You are on page 1of 21

BAGIAN ILMU THT

REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN

APRIL 2014

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

ANGIOFIBROMA NASOFARING

Pen

Oleh :
IRA SRIHARTINI, S. Ked (10542002508)
MARYAM MAYIDAH, S. Ked (10542003108)

Pembimbing :
Dr. Hj. NANI IRIANI DJUFRI, Sp.THT-KL (K)

BAGIAN ILMU THT


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2014
1

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT karena


dengan rahmat-Nya jualah penyusun dapat menyelesaikan referat yang berjudul
Angiofibroma Nasofaring.
Referat ini ditulis sebagai salah satu syarat dalam mengikuti kepaniteraan
klinik di bagian Ilmu THT Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Makassar dan juga sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian akhir di bagian
ini.
Penyusun mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing Dr. Hj. Nani
Iriani Djufri, Sp.THT-KL (K), yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan
kepada kami penulis sehingga referat ini dapat diselesaikan.
Kritik dan saran terhadap referat ini diharapkan dapat memberi masukan
untuk perbaikan di kemudian hari. Semoga referat ini dapat bermanfaat dalam
menambah khasanah pengetahuan di bidang kedokteran terutama dalam bidang ilmu
THT bagi para pembacanya.

Makassar, 05 April 2014

Penyusun

DAFTAR ISI

Halaman Judul........................................................................................................i
Halaman Pengesahan..............................................................................................ii
Kata pengantar........................................................................................................iii
Daftar Isi..................................................................................................................iv
BAB I

PENDAHULUAN....................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


II.1 Anatomi ...........................................................................................................3
II.2 Definisi.............................................................................................................4
II.3 Etiologi.............................................................................................................4
II.4 Patogenesis.......................................................................................................4
II.5 Gejala Klinis.....................................................................................................5
II.6 Diagnosis..........................................................................................................6
II.7. Histopatologi....................................................................................................9
II.8 Penatalaksanaan...............................................................................................9
II.9 Prognosis.........................................................................................................10
BAB III PENUTUP.............................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................
LAMPIRAN...........................................................................................................

BAB I
PENDAHULUAN
Angiofibroma nasofaring adalah suatu tumor jinak pembuluh darah di daerah
nasofaring yang secara histologik jinak, namun secara klinis bersifat seperti tumor
ganas karena mempunyai kemampuan mendekstruksi tulang dan meluas ke jaringan
sekitarnya. Tumor ini dapat meluas ke daerah sinus paranasal, pipi, mata, dan
tengkorak, serta sangat mudah menimbulkan perdarahan dan susah untuk dihentikan.
Tumor yang kaya pembuluh darah ini memperoleh aliran darah dari arteri faringealis
asenden atau arteri maksilaris interna. Angiofibroma kaya dengan jaringan fibrosa
yang timbul dari atap nasofaring atau bagian dalam dari fossa pterigoid. Setelah
mengisi nasofaring, tumor ini meluas ke dalam sinus paranasal, rahang atas, pipi dan
orbita serta dapat meluas ke intra kranial setelah mengerosi dasar tengkorak.1,2
Angiofibroma nasofaring paling sering ditemukan pada anak lak-laki
prepubertas dan remaja, yang umumnya terdapat pada rentang usia 7 sampai 21 tahun
dengan insidens terbanyak antara usia 14-18 tahun. Angiofibroma nasofaring jarang
terjadi pada usia diatas 25 tahun sehingga tumor ini disebut juga Juvenile
Nasopharyngeal Angiofibroma. Istilah juvenile tidak sepenuhnya tepat, karena
neoplasma ini kadang ditemukan juga pada pasien yang lebih tua. Juvenile
Nasopharyngeal Angiofibroma jarang ditemukan dan diperkirakan hanya 0,05% dari
seluruh tumor kepala dan leher. Insiden angiofirboma nasofaring diperkirakan antara
1 : 5.000-60.000 pada pasien THT.1,2
Gejala klinik yang dapat ditemukan pada juvenile angiofibroma nasofaring
dapat berupa hidung tersumbat (80-90%), merupakan gejala yang paling sering,
diikuti epistaksis (45-60%) yang kebanyakan unilateral dan rekuren, nyeri kepala
(25%) khususnya bila sudah meluas ke sinus paranasal, pembengkakan wajah (1018%). Gejala lain seperti anosmia, rhinolalia, deafness, pembengkakan palatum serta
deformitas pipi juga dapat ditemukan pada penderita angiofibroma nasofaring.

Angiofibroma nasofaring sangat sulit untuk di palpasi, palpasi harus sangat


hati-hati karena sentuhan jari pada permukaan tumor dapat menimbulkan perdarahan
yang

ekstensif.

Diagnosis

angiofibroma

nasofaring

ditegakkan

berdasarkan

anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan radiologis. Trias gejala dan tanda
klinis dari tumor ini adalah epistaksis masif berulang, sumbatan hidung dan massa di
nasofaring sangat mendukung kecurigaaan adanya angiofibroma nasofaring. 2,3

BAB II
PEMBAHASAN
II.1 Anatomi
Ruang nasofaring yang relatif kecil mempunyai hubungan yang erat dengan
beberapa struktur yang secara klinis mempunyai arti penting. Nasofaring
berhubungan dengan rongga hidung di anterior melalui koana, dan orofaring di
bagian inferior melalui bagian terbawah dari palatum molle. Sedangkan
di bagian superior dan posterior, nasofaring berhubungan dengan korpus vertebra.
Tuba eustachius memasuki nasofaring di sebelah lateralnya, dan bagian superior dan
posterior muara tuba ini ditutupi oleh kartilago, yang disebut sebagai torus tubarius.
Fossa Rosenmuller (lateral dari resesus nasofaring) terletak di bagian superior dan
posterior torus tubarius dan merupakan predileksi dari karsinoma nasofaring. Banyak
terdapat foramen kranial yang membawa struktur syaraf dan pembuluh darah penting
yang terletak di dekat nasofaring. Nasofaring diliputi oleh mukosa yang terdiri atas
epitel squamous kompleks atau epitel kolumner pseudokompleks.4

Gambar 1. Anatomi nasofaring


7

II.2 Definisi
Angiofibroma nasofaring adalah suatu tumor jinak nasofaring yang secara
histologik jinak, secara klinis bersifat ganas, karena mempunyai kemampuan
mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasal,
pipi, mata dan tengkorak, serta sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan.1,5
Sebutan lain untuk angiofibroma di dalam literatur antara lain: juvenile
angiofibroma, juvenile nasopharyngeal angiofibroma (JNA), nasal cavity tumor,
nasal tumor, benign nasal tumor, tumor hidung (nose tumor), nasopharyngeal tumor,
atau angiofibroma nasofaring belia.6
II.3 Etiologi
Etiologi JNA masih belum jelas. Berbagai teori banyak diajukan, salah
satunya adalah teori jaringan asal, yaitu pendapat bahwa tempat perlekatan spesifik
angiofibroma adalah di dinding posterolateral atap rongga hidung. Faktor
ketidakseimbangan hormonal juga banyak dikemukakan sebagai penyebab dari tumor
ini, bahwa JNA berasal dari sex steroid-stimulated hamartomatous tissue yang
terletak di turbinate cartilage. Pengaruh hormonal yang dikemukakan ini dapat
menjelaskan mengapa beberapa JNA jarang terjadi (ber-involute) setelah masa remaja
(puberty). 1,4,6,8
II.4 Patogenesis

Permukaan tumor

dilapisi oleh mukosa yang dibawahnya terdapat anyaman

pembuluh darah. Massa tumor terdiri dari jaringan ikat padat dan gumpalan sel serta
terisi pembuluh vena lebar yang menumpuk di bagian pinggir. Tumor ini tidak
bermetastasis tetapi dapat tumbuh mendesak, dapat menginvasi orbita, sinus
paranasal, fossa pterigoid dan temporal atau ke ruang intrakranial. Tumor pertama
kali tumbuh di bawah mukosa di tepi sebelah posterior dan lateral koana di atap
nasofaring. Tumor akan tumbuh besar dan meluas dibawah mukosa sepanjang atap
8

nasofaring, mencapai tepi posterior septum dan meluas ke arah bawah membentuk
tonjolan massa diatap rongga hidung posterior. Perluasan ke arah anterior akan
mengisi rongga hidung, mendorong septum ke sisi kontralateral dan memipihkan
konka. Pada perluasan kearah lateral, tumor melebar kearah foramen sfenopalatina,
masuk ke fisura pterigomaksila dan akan mendesak dinding posterior sinus maksila.
Bila meluas terus, akan masuk ke fossa intratemporal yang akan menimbulkan
benjolan di pipi, dan rasa penuh di wajah. Apabila tumor mendorong salah satu
atau kedua bola mata maka akan tampak gejala yang khas pada wajah, yang akan
disebut muka kodok.1,8
Perluasan ke intrakranial dapat terjadi melalui fossa infratemporal dan
pterigomaksila masuk ke fossa serebri media. Dari sinus ethmoid masuk ke fossa
serebri anterior atau dari sinus sfenoid ke sinus kavernosus dan fossa hipofise.1

Gambar 2. Angifibroma nasofaring yang sudah dioperasi


II.5 Gejala klinik
Gejala yang sering ditemukan adalah sumbatan hidung yang progresif dan
epistaksis berulang yang masif. Timbul rinorea kronik diikuti gangguan penciuman,
rinolalia, dan anosmia. Tuli atau otalgia akibat okulasi pada tuba eustachius, dan
dapat terjadi otitis media. Sefalgia hebat terjadi bila tumor sudah meluas ke
intrakranial. Dapat pula menyebabkan deformitas pada muka, disfagi, proptosis dan
gangguan visus. Gejala-gejala dini adalah kongesti dari sumbatan hidung dengan
disertai perdarahan. Perdarahan ini kadang-kadang merupakan komplikasi berat.
Suara menjadi datar atau mati, pernafasan dan proses menelan terhalang jika proses
berlanjut. Pada stadium lanjut timbul rasa nyeri dan sekret muko purulen. Jika
9

pertumbuhan tumor mencapai besar tertentu, maka wajah seperti muka kodok jelas
terlihat, tulang maksila merenggang dan

tampak eksopthalmus yang menonjol.

Sering disertai aprosexsia dan rasa ngantuk.5,7


Gejala lanjut meningkat lebih berat sesuai dengan makin besarnya tumor,
sampai penyerapan jaringan tulang meningkat, kecuali jika tumor meluas ke luar
rongga hidung atau faring, seperti misalnya ke rongga intrakranial. Pada keadaan ini
nekrosis akibat penekanan tulang tidak terlalu besar.7

II.6 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang
seperti x-foto polos, CT scan, angiografi atau MRI. Gejala yang paling sering
ditemukan (>80%) ialah hidung tersumbat yang progresif dan epistaksis yang
berulang dan masif, infeksi sekunder dapat terjadi pada ruangan di belakang hidung
akibat berkurangnya drainase di tempat tersebut. Gejala-gejala lain muncul
tergantung dari luasnya tumor dan arah pembesarannya.1,2

Gambar 2. Penampang koronal CT scan yang memperlihatkan adanya lesi


angiofibroma yang mengisi cavum nasal kiri dan sinus ethmoid, memenuhi sinus
maksilaris dan menyebabkan deviasi septum nasi ke kanan.
Pada pemeriksaan fisik secara rinoskopi posterior akan terlihat massa tumor yang
konsistensinya kenyal, warnanya bervariasi dari abu-abu sampai merah muda. Bagian
10

tumor yang terlihat di nasofaring biasanya diliputi oleh selaput lendir berwarna
keunguan, sedangkan bagian yang meluas ke luar nasofaring berwarna putih atau
abu-abu. Pada usia muda warnanya merah muda, pada usia yang lebih tua warnanya
kebiruan, karena lebih

banyak komponen fibromanya. Mukosanya mengalami

hipervaskularisasi dan tidak jarang ditemukan adanya ulserasi.1


Karena tumor sangat mudah berdarah, sebagai pemeriksaan penunjang
diagnosis dilakukan pemeriksaan radiologik konvensional CT scan serta pemeriksaan
arteriografi. Pada pemeriksaan radiologik konvensional (foto kepala potongan anteroposterior, lateral dan posisi waters) akan terlihat gambaran klasik

yang disebut

sebagai tanda Holman Miller yaitu pendorongan prosesus pterigoideus ke belakang,


sehingga fisura pterigopalatina melebar. Akan terlihat juga adanya massa jaringan
lunak di daerah nasofaring yang dapat mengerosi dinding orbita, arkus zigoma dan
tulang disekitar nasofaring. Pada pemeriksaan CT scan dengan zat kontras akan
tampak secara tepat perluasan massa tumor serta destruksi tulang ke jaringan
sekitarnya.1,4
Pada pemeriksaan arteriografi arteri

karotis interna, akan memperlihatkan

vaskularisasi tumor yang biasanya berasal dari cabang a. maksila interna homolateral.
Kadang-kadang juga sekaligus dilakukan embolisasi agar terjadi trombosis
intravaskular,

sehingga

vaskularisasi

berkurang

dan

akan

mempermudah

pengangkatan tumor.1
Pemeriksaan patologi anatomik tidak dapat dilakukan, karena biopsi
merupakan kontraindikasi, sebab akan mengakibatkan perdarahan yang masif.2

11

Gambar 3. Gambaran angiogram yang memperlihatkan adanya angifibroma


sebelum embolisasi.

12

Gambar 4. Gambaran angiogram yang memperlihatkan adanya angifibroma


setelah embolisasi
Untuk menentukan perluasan tumor, dibuat sistem staging. Ada 2 sistem
yang paling sering digunakan yaitu Sessions dan Fisch.1,3
Klasifikasi menurut Sessions sebagai berikut :
- Stage IA

:Tumor terbatas pada nares posterior dan/atau nasofaring

- Stage IB

:Tumor melibatkan nares posterior dan/atau nasofaring


dengan perluasan ke satu sinus paranasal.

- Stage IIA

: Perluasan lateral minimal ke dalam fossa pterygomaksila.

- Stage IIB

: Mengisi seluruh fossa pterygomaksila dengan atau tanpa erosi


ke tulang orbita.

- Stage IIIA

:Mengerosi dasar tengkorak; perluasan intrakranial yang


minimal.

- Stage IIIB

: Perluasan ke intrakranial dengan atau tanpa perluasan ke


dalam sinus kavernosus.

Klasifikasi menurut Fisch :


- Stage I

: Tumor terbatas pada kavum nasi, nasofaring tanpa destruksi


tulang.

- Stage II

: Tumor menginvasi fossa pterygomaksila, sinus paranasal


dengan destruksi tulang.
13

- Stage III

: Tumor menginvasi fossa infra temporal, orbita dan/atau


daerah parasellar sampai sinus kavernosus.

- Stage IV

: Tumor menginvasi sinus kavernosus, chiasma optikum


dan/atau fossa pituitary.

II.7 Histopatologi
Pada pemeriksaan histopatologi angiofibroma nasofaring, ditemukan jaringan
fibrous yang matur yang terdiri dari berbagai ukuran pembuluh darah dengan dinding
yang tipis. Pembuluh darah tersebut dibatasi endotelium tetapi pada dinding
pembuluh darahnya sedikit mengandung elemen kontraktil otot yang normal. Hal
inilah yang menyebabkan angiofibroma nasofaring mudah berdarah.

Gambar 5. Gambaran histopatologi angiofibroma nasofaring


II.8 Penatalaksanaan
Tindakan operasi merupakan pilihan utama selain terapi hormonal atau
radioterapi, namun ada buku yang menyebutkan bahwa tumor ini cenderung
mengalami regresi ketika penderita tumor ini masuk ke masa pubertas, jadi operasi
diindikasikan jika ada komplikasi akibat tumor ini seperti jika angiofibroma tumbuh
membesar, menghalangi saluran udara atau menyebabkan epistaksis menahun.1,4
Operasi tumor ini sendiri harus dilakukan di rumah sakit dengan fasilitas cukup,
karena resiko perdarahan yang hebat. Berbagai pendekatan operasi dapat dilakukan
sesuai dengan lokasi tumor dan perluasannya, seperti melalui transpalatal, rinotomi
lateral, rinotomi sublabial atau kombinasi dengan kraniotomi bila sudah meluas ke
14

intrakranial. Untuk tumor yang sudah meluas ke jaringan sekitarnya dan


mendestruksi dasar tengkorak sebaiknya diberikan radioterapi prabedah yakni dengan
penanaman radium dan sinar rontgen yang dilanjutkan dengan elektrokoagulasi atau
dapat

pula

diberikan

terapi

hormonal

meskipun

hasilnya

tidak

sebaik

radioterapi. 3 Pada pemberian hormonal terapi menggunakan testosterone receptor


blocker flutamide didapatkan penurunan staging pada staging I dan II sebesar 44%.3
Perlu dicatat bahwa pengangkatan tumor seringkali sulit dilakukan karena
tumor terbungkus dan menyusup ke dalam, sehingga setelah pengangkatan tumor
seringkali terjadi kekambuhan. Cara lain yang dapat digunakan yaitu embolisasi
(penyumbatan arteri dengan suatu bahan) yang bisa menyebabkan terbentuknya
jaringan parut pada tumor dan menghentikan perdarahan. Embolisasi dilakukan
dengan cara menyuntikkan suatu zat ke dalam pembuluh darah untuk menyumbat
aliran darah yang melaluinya. Embolisasi efektif untuk mengatasi perdarahan hidung
dan tindakan ini bisa diikuti dengan pembedahan untuk mengangkat tumor.6
II.7 Prognosis
Prognosis lebih baik jika cepat diketahui dan segera di ekstirpasi juga lebih
menguntungkan jika umur diatas 25 tahun.
Dengan kata lain, fibroma kecil yang tidak memenuhi rongga nasofaring lebih
muda diangkat daripada yang telah memenuhi rongga tersebut sesudah umur 25 tahun
pertumbuhan cenderung berkurang.6
Pada kasus-kasus di mana pertumbuhan

tumor dapat diatasi dengan

pambedahan dapat dikatakan memiliki prognosis yang baik. Biasanya ini terjadi
pada pasien dengan usia yang lebih tua. Pada kasus yang lain, terutama pada pasien
berusia lebih muda, tumor jenis ini dapat berkembang menjadi degenerasi yang ganas
dan memiliki prognosis yang buruk.1

15

BAB III
KESIMPULAN

Angiofibroma nasofaring adalah suatu tumor jinak nasofaring yang secara


histologik jinak, secara klinis bersifat ganas, karena mempunyai kemampuan
mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasal,
pipi, mata dan tengkorak, serta sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan.
Angiofibroma nasofaring khusus menyerang jenis kelamin laki-laki prepubertas dan
remaja.
Etiologi tumor ini masih belum jelas, ada dua teori yaitu teori asal jaringan
asal dan teori ketidakseimbangan hormonal.
Tumor pertama kali tumbuh di bawah mukosa di tepi sebelah posterior dan
lateral koana di atap nasofaring. Tumor akan tumbuh besar dan meluas dibawah
mukosa sepanjang atap nasofaring, mencapai tepi posterior septum dan meluas ke
arah bawah membentuk tonjolan massa diatap rongga hidung posterior.
Gejala yang sering ditemukan adalah sumbatan hidung yang progresif dan
epistaksis berulang yang masif. Gejala-gejala lain muncul tergantung dari luasnya
tumor dan arah pembesarannya.
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang
seperti x-foto polos, CT scan, angiografi atau MRI. Tindakan operasi merupakan
pilihan utama selain terapi hormonal atau radioterapi.
Pada kasus-kasus di mana pertumbuhan tumor dapat diatasi dengan
pambedahan dapat dikatakan memiliki prognosis yang baik.

16

DAFTAR PUSTAKA

1. Roezin A. Dharmabaktio S. Angiofibroma Nasofaring Belia. Dalam: Soepardi


AIN, editors: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala
Leher. Edisi keenam. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
2007:188-190.
2. Asroel HA, Angiofibroma Nasofaring Belia, http://library.usu.ac.id, diakses
tanggal 15 Maret 2014.
3. Mansfield E. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. June 26, 2006. Available
from : http:/www.emedicine.com/med/topic 2758.htm . diakses 15 Maret 2014.
4. Adam G. Penyakit

Nasofaring dan Orofaring. Dalam : EffendiH, Santoso

K, editors Boeis. Buku Ajar Penyakit THT, Jakarta: EGC,1991:322-346.


5. Mansjoer A, Triyanti K,Savitri R, Wardhani IW, Setiowulan W. Angiofibroma
Nasofaring Belia. Dalam: Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1. Jakarta.1999.111.
6. Pradhana D. 2009. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. Referat Kepaniteraan
Klinik Ilmu Penyakit THT Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti. Jakarta.
7. Ballengger JJ.Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala Dan leher, jilid 1.
Edisi 13. Jakarta: Binarupa Aksara, 1994.
8. Anonymous, Juvenile Angifibroma Nasopharynx , http://www.brownmed.com,
diakses tanggal 17 Maret 2014.

17

18

19

20

21

You might also like