Pembicaraan tentang keadilan tidak pernah berhenti sejak zaman dahulu hingga saat ini, sebab masalah keadilan merupakan hal yang sangat esensial dalam kehidupan manusia. Keadilan merupakan persoalan asasi, yang menyentuh kehidupan manusia sebagai makhluk yang berunsur dualis, yaitu sebagai makhluk individu dan masyarakat ( zoon politicon ), serta makhluk yang berdimensi jasmani dan ruhani. Keadilan merupakan persoalan yang berkaitan dengan isu isu hak asasi manusia, kemerdekaan, persamaan, dan pertanggung jawaban, serta persoalan yang mendasar bagi kehidupan. Bila keadilan tercabut dari masyarakat, maka akan kembali ke dalam suasana Bar-bar atau primitif. Itulah sebabnya, keadilan terus dibicarakan dan diperjuangkan oleh setiap individu dan masyarakat untuk memperolehnya agar kehidupannya dapat berjalan dengan baik, aman dan sentosa. Keadilan adalah kebijakan tertinggi dan selalu ada dalam segala manifestasinya yang beraneka ragam. Keadilan juga merupakan salah satu tujuan setiap agama yang ada di dunia ini, termasuk agama Islam yang menempatkan keadilan di tempat yang sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Secara garis besar, ketertiban umum akan terganggu atas chaos yang timbul dalam masyarakat disebabkan sistem yang tidak adil atau karena ketidak adilan. Dan oleh karena itu, keadilan merupakan salah satu tujuan hukum yang paling banyak dibicakan sepanjang perjalanan sejarah filsafat hukum. Demikian pentingnya keadilan ini, dalam mempelajari filsafat hukum selalu timbul pertanyaan, sesungguhnya keadilan itu apa ?
B. Makna Keadilan
Jeremy Bentham menyatakan, bahwa keadilan dan kebahagiaan yang mungkin diwujudkan adalah yang bersifat umum, yang mencakup sebanyak mungkin orang. Ia adalah kebahagiaan sebesar mungkin dari individu ( The Greatest Possible Happiness of The Greatest Possible Number of Individuals ). Ukuran baik buruknya suatu perbuatan manusia tergantung pada apakah perbuatan tersebut dapat mendatangkan kebahagiaan atau tidak. Setiap kejahatan harus disertai dengan hukuman hukuman yang sesuai dengan kejahatan tersebut, dan hendaknya penderitaan yang dijatuhkan tidak lebih daripada yang diperlukan untuk terjadinya kejahatan. Menurut Ulpianus yang kemudian pendapatnya ini diambil alih oleh kitab Hukum Yustianus, bahwa keadilan itu adalah kehendak yang ajeg dan tetap untuk memberikan kepada masing masing bagiannya ( Iustitia est contstans et perpetua voluntas ius suun cuique tribuendi ). Adapun kaitannya dengan ilmu hukum adalah, bahwa yang disebut terakhir ini ( jurisprudentia ) merupakan pengetahuan tentang perkara perkara Ilahi dan manusiawi, ilmu tentang yang adil dan tidak adil Aristoteles menyatakan, bahwa keadilan itu adalah kebijakan yang berkaitan dengan hubungan antar manusia. Kata adil, menurutnya, mengandung lebih dari satu arti. Adil itu dapat berarti menurut hukum dan apa yang sebanding, yaitu yang semestinya. Di sini ditunjukkan, bahwa seorang dikatakan berlaku tidak adil apabila orang itu mengambil lebih dari bagian yang semestinya. Pengertian keadilan seperti tersebut di atas, merupakan pengertian yang sangat kompleks, dan sepanjang sejarah lahirnya filsafat hukum, para filusuf belum pernah merumuskan pengertian keadilan secara tuntas dan menyeluruh. Dari berbagai pandangan tentang keadilan yang dikemukakan oleh berbagai ahli hukum dapat diperoleh gambaran bahwa keadilan adalah ukuran atau norma bagi hukum yang memungkinkan untuk diperlakukan perkara yang sama secara sama dan perkara yang tidak sama dengan cara yang tidak sama pula. Keadilan merupakan tujuan hukum yang paling utama dan merupakan satu satunya tujuan hukum, sebagaimana yang dinyatakan oleh Bismar Siregar dalam sebuah aritikelnya yang berjudul Rasa Keadilan Itu . dimuat di Kompas 22 Maret 1989 halaman 4 , Bila untuk menegakkan keadilan saya korbankan kepastian hukum, akan saya korbankan hukum itu. Hukum hanya sarana, sedangkan tujuannya adalah keadilan. Mengapa tujuan dikorbankan karena sarana ? Ibnu Qayyim mengatakan, bahwa tujuan hukum Islam ialah untuk kebahagiaan, kesejahteraan dan keselamatan umat manusia di dunia dan diakhirat. Hukum Islam bersendi dan berasaskan hikmah dan kemaslahatan dalam hidupnya. Syariat Islam adalah keadilan, rahmat ( kasih sayang ), kemaslahatan dan kebijaksanaan sepenuhnya. Setiap persoalan yang keluar dan menuju pada kezaliman, menyimpangi kasih sayang, menghindar dari kemaslahatan menuju pada kemafsadatan, dari kebijaksanaan menuju pada hal yang sia sia, itu semua bukanlah hukum Islam. Hukum Islam itu menempatkan keadilan Allah di tengah tengah hambaNya, menebarkan kasih sayang Allah di antara makhluk makhlukNya. Menurut Ibnu Qudamah bahwa yang dimaksud dengan keadilan adalah sesuatu yang tersembunyi, motivasinya semata mata karena takut kepada Allah SWT. Berlaku adil itu sangat terkait dengan hak dan kewajiban. Hak yang dimiliki oleh seseorang , termasuk hak asasi wajib diperlakukan secara adil. Hak dan kewajiban terkait pula dengan amanah, sementara amanah wajib diberikan kepada yang berhak menerimanya. Oleh karena itu, hukum berdasarkan amanah harus ditetapkan secara adil tanpa dibarengi dengan rasa kebencian dan sifat sifat negatif lainnya. Islam memandang kehidupan ini sebagai suatu sistem yang terpadu antara kebutuhan materiel dan spiritual secara selaras dan seimbang. Islam memandang kehidupan ini sebagai wujud kasih sayang, tolong menolong dan persaudaraan dalam batas bagi individu individu manusia pada umumnya. Keadilan dalam Islam, memiliki fundamental Ilahiyah dan berakar pada moralitas. Prinsip pertama, adil adalah berhubungan dengan mengakui Tuhan sebagai Pencipta. Prinbsip kedua , adalah persamaan manusia dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan kultural yang didasarkan pada seperangkat nilai dan prinsip moral. Golongan sekuler memisahkan soal keadilan dari persoalan moralitas. Demiikian pula konsep Barat yang memisahkan antara moralitas dan hukum, dan antara moralitas dan keadilan. Sedangkan dalam Islam, keadilan merupakan tema sentral dan dibicarakan secara konprehensif. Keadilan harus ditegakkan untuk sertiap individu. Konsep keadilan dalam Islam mencakup segala aspek kehidupan baik itu dalam bidang akidah maupun ibadah, dan bahkan hukum juga mencakup gagasan tentang keadilan sosial dalam bidang ekonomi. Di dalam Islam, keadilan berasal dari bahasa Arab al adl , yang dapat dijumpai dalam Al Quran sebanyak 28 tempat, yang secara etimologi bermakna pertengahan. Dan oleh karena demikian pentingnya persoalan keadilan ini, maka kata al adl dan yang sinonim dengannya, seperti kata qisth, wast wazn , dan sebagainya diulang sebutannya dalam Al Quran sekitar seribu kali. Al Gharib al Isfahani, mendefinisikan, bahwa adil sama dengan muaddalah atau musawamah berarti persamaan ( equitable ) . Dengan demikian, kata adil mengandung pengertian pantas, wajar, dan jujur, yang merupakan lawan dari sikap curang, berat sebelah, dan aniaya ( zalim ) Dalam Ensiklopedia Hukum Islam dikemukakan, bahwa secara etimologi arti adil ( al adl ) berarti tidak berat sebelah , tidak memihak atau menyamakan sesuatu dengan yang lain ( al musawah ). Istilah lain dari al adl adalah al qist, al misl yang berarti sama dengan bagian atau semisal. Sedangkan pengertian adil secara terminologis adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya ( wadh syaiin fi maqaamihi ). Keadilan merupakan katup pengaman pada setiap masyarakat, baik dalam hukum, kesaksian, akidah, tindakan, kecintaan dan kedamaian bagi manusia. Selama timbangannya benar dan tangan yang diberi wewenang untuk melaksanakannya berlaku amanah dan terpelihara, niscaya masyarakat akan merasakan kebaikan dan kebahagiaan.Akan tetapi, apabila timbangannya rusak dan tangan yang diberi wewenang untuk melaksakan amanah disalah gunakan, maka masyarakat akan merasakan penderitaan yang menyakitkan, karena di sana tidak ada keadilan, masyarakat akan kacau, dan akan hidup menderita sepanjang zaman. Berkenaan dengan penegakan keadilan, dalam Al Quran surat Al Nisa ayat 135 ditegaskan bahwa hukum dan keadilan harus ditegakkan meskipun terhadap diri sendiri, atau ibu bapak dan kaum kerabat. Dalam surat al Maidah ayat 8, Allah SWT menegaskan, bahwa janganlah sekali kali kebencian terhadap sesuatu, menjadikan kamu tidak adil, karena dil itu lebih dekat kepada taqwa. Berdasarkan penjelasan ayat ayat Al Quran seperti tersebut di atas, terbentuklah suatu kaidah, keadilan itu sudah semestinya tidak terpengaruh oleh pertimbangan pertimbangan yang bersifar emosional, seperti kecintaan kepada diri sendiri, keberpighakan kepada kerabat sendiri, kebencian kepada suatu kaum dan karena kekeyaaan seseorang, kebencian seorang musuh dan kecintaan seorang kekasih. Hendaklah dipahami bahwa dalam konsep Islam, keadilan itu lebih dekat kepada keridhaan Allah SWT dan mendorong kepada ketaatan kepadaNya Syekh Muhammad Al Madani mengemukakan, bahwa ketentuan Allah yang tersebut dalam Al Quran surat Al Nisa ayat 58 merupakan asas yang komprehensif dari segala asas hukum dan keadilan yang dimanifestasikan dalam kewajiban menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya. Pengertian amanah dalam ayat tersebut bersifat umum, dan menetapkan hukum kepada manusia itu merupakan amanah, di mana Allah menyerahkan penetapan hukum ini kepada hakim untuk melaksanakannya. Oleh karena itu, seorang hakim dianggap telah menyimpang dari tugasnya jika ia telah melakukan penipuan dan pengkhianatan terhadap rakyat pencari keadilan. Dalam berbagai aspek kehidupan, hukum wajib ditegakkan atas dasar keadilan, meskipun sulit dan pahit dalam melaksanakannya. Mengingat hukum dan keadilan merupakan salah satu landasan dalam mencapai kehidupan berbangsa dan bernegara, maka hakim diposisikan sebagai suriteladan bagi masyarakat dan sebagai penjaga amanat dalam penegakan hukum dan keadilan.
C. Arti Keadilan Dalam Hukum Kewarisan
Dari uraian tersebut di atas, dapat dipahami bahwa hukum dan keadilan yang berasaskan pada ketentuan yang tersebut dalam Al Quran surat Al Nisa ayat 58 adalah merupakan manifestasi kewajiban menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya. Maka, terkait dengan asas hukum dan keadilan yang demikian itu, Allah SWT sebagai pembuat hukum kewarisan Islam, sudah tentu dalam aturan aturan hukum yang ditetapkanNya akan selalu mengedepankan nilai nilai keadilan sebagaimana yang diperintahkanNya untuk ditegakkan dalam kehidupan umat manusia di muka bumi ini. Hasanain Muhammad Makhluf seorang pakar hukum Islam dari Mesir, mengatakan, bahwa dalam masalah kewarisan, Islam mensyariatkan aturan hukum yang adil karena menyangkut penetapan hak milik seseorang, yakni hak yang harus dimiliki oleh seseorang sebagai ahli waris dengan sebab meninggalnya seseorang yang meninggalkan harta peninggalannya kepada ahli warisnya. Pembagian kepada ahli waris harus adil, tidak boleh berlaku aniaya atau pengurangan bagian yang satu untuk ditambahkan pada bagian yang lain. Ini semua telah diatur oleh agama Islam sebagai warisan yang diperoleh bagian laki laki adalah dua kali bagian perempuan, atau memperoleh setengah harta warisan jika isterinya yang meninggal tidak mempunyai anak sebagaimana tersebut dalam Al Quran surat Al Nisa ayat 11.12,dan 176. Ini ketentuan atau keadilan dari Allah SWT dan siapa yang mematuhinya akan masuk surga sebagaimana tersebut dalam Al Quran surat Al Nisa ayat 13. Dengan statemen Al Quran tentang kewarisan mengisyaratkan, bahwa pembagian waris yang telah ditetapkan oleh Allah itu bertitik tolak pada pemeliharaan rasa keadilan, di mana Allah SWT mengetahui siapa saja yang lebigh banyak memberi manfaat. Berdasarkan manfaat inilah maka diberikanlah bagian batgian dan warisan sesuai dengan perannya, yakni Allah SWT mengetahui peran masing masing anggota keluarga di dalam keluarganya, kadar kemanfaatan yang diberikannya, dan ukuran pertolongan yang dilakukannya bagi anggota yang lain menurut pengetahuan, kebijaksanaan dan kekuasaanNya. Dr. H. Abdul Manan, SH, S.IP, M.Hum, mengatakan, bahwa keadilan dalam kewarisan tidak berarti membagi sama rata harta warisan kepada semua ahli waris, tetapi berpihak kepada kebenaran sebagaimana yang telah digariskan oleh Al Quran. Jika laki laki memperoleh lebih banyak dari kaum perempuan, ini terkait dengan tanggung jawab laki laki yang lebih besar dari perempuan untuk membiayai rumah tangganya. Jika menyimpang dari apa yang telah ditetapkan oleh Al Quran , berarti pembagiannya telah dilakukan secara tidak adil. Pengertian umum dari berlaku adil dalam kewarisan ( juga dalam sawiat ) dan juga larangan memakan harta orang lain secara batil merupakan suatu hal yang harus ditinggalkan sebagaimana tersebut dalam surat Al Baqarah ayat 188. Lebih lanjut, nilai nilai keadilan hukum kewarisan sebagaimana yang telah ditetapkan dan digariskan oleh Al Quran, itu akan tergambar secara jelas jika dikomparasikan dengan menengok kedudukan kaum wanita dalam sejarah kewarisan sebelum Islam.