You are on page 1of 9

AMOEBIASIS

Definisi
Amoebiasis merupakan suatu infeksi Entamoeba histolytica pada manusia dapat terjadi secara
akut dan kronik . Manusia merupakan penjamu dari beberapa spesies amuba, yaitu Entamoeba
histolytica, A. coli, E. ginggivalis, Dientamoeba frigilis, Endolimax nana, Iodamoeba butclii.
Diantara beberapa spesies amuba, hanya satu spesies yaitu Entamoeba histolytica yang
merupakan parasit patogen pada manusia.E. histolytica bersama Giardia lamblia,
Criptosporidium, Balantidium coli,Blastocystis hominis dan Isospora sp merupakan protozoa
yang sering menyebabkan infeksi usus pada anak. Infeksi yang disebabkan oleh protozoa usus
biasanya didapatkan per oral melalui kontaminasi feses pada air atau makanan. Pada manusia E.
histolytica mengadakan invasi ke dalam mukosa usus dan dapat menyebar ke dalam traktus
intestinalis, misalnya ke dalam duodenum, gaster, esofagus atau ekstraintestinalis, yaitu hepar
(terutama), paru, perikardium, peritonium, kulit dan otak.

Etiologi
Entamoeba histolytica terdapat dalam dua bentuk, yaitu sebagai kista dan tropozoit. Infeksi
amoeba pada amubiasis terjadi melalui kista parasit yang tertelan yang mengkontaminasi
makanan atau minuman. Sedangkan tertelannya bentuk tropozoit tidak menimbulkan infeksi
karena tidak tahan terhadap lingkungan asam dalam lambung.Kista ini berukuran 10-18 mm,
berisi empat inti, dan resisten terhadap keadaan lingkungan seperti suhu rendah dan kadar klorin
yang biasa digunakan pada pemurniaan air, parasit dapat dibunuh dengan pemanasan 55 C.
Setelah penelanan, kista yang resisten terhadap asam lambung dan enzim pencernaan, masuk dan
pecah dalam usus halus membentuk delapan tropozoit yang bergerak aktif, merupakan koloni
dalam lumen usus besar dan dapat menimbulkan invasi pada mukosa, pada keadaan yang belum
diketahui saat ini. Trofozoit mempunyai diameter rata-rata 20 mm; sitoplasmanya terdiri atas
zona luar yang jernih dan endoplasma dalam yang granuler padat, mengandung inti yang
berbentuk sferis yang mempunyai kariosom sentral yang kecil dan bahan kromatin granuler yang
halus. Endoplasma juga berisi vakuola, dimana eritrosit dapat ditemukan pada kasus amubiasis
invasif. Lima spesies Amoeba nonpatogen lain yang dapat menginfeksi saluran pencernaan
manusia; E. coli, E. hartmanni, E. gingivalis, E. moshkovskii, dan E. polecki.
Siklus Hidup
ENKISTASI
Secara alami perubahan tropozoit menjadi bentuk kista tidak terjadi di dalam jaringan. Tropozoit
yang ada di dalam lumen kolon akan berkondensasi menjadi benda berbentuk sferis, yakni
prekista yang kemudian dindingnya relatif tipis dan halus dilepaskan sehingga terjadilah kista
muda. Pada stadium ini terdapat dua macam inklusi pada kista muda dan kista matang, yaitu
inklusi glikogen dengan tepi yang samar-samar dan bahan yang refraktil, disebut kromatoid,
yaitu benda yang dapat berbentuk batang panjang atau dapat juga pendek, biasanya dengan ujung
bundar.
Ukuran kista ini bervariasi dari 5-20 mm. Bentuk kistanya biasanya sferis. Kista yang matang
berisi 2 inti yang akan membelah menjadi 4 inti yang kecil. Selama proses pematangan vakuola
glikogen akan dikeluarkan dan benda kromatoid menjadi makin kabur dan akhirnya menghilang.
Trofozoit dalam tinja yang cair tidak akan menjadi kista setelah dikeluarkan dari dalam usus.
Kadang-kadang dalam tinja yang agak cair mungkin ditemukan prekista, kista berisi 1, berinti 2
dan kadang-kadang kista dengan 3 atau 4 inti. Dalam tinja dapat ditemukan kista yang matang (4
inti). Kista inilah yang akan menjadi sumber penularan untuk orang lain. Kista E. histolytica
peka terhadap pembusukan, pengawetan dan temperatur di atas 4 C, tetapi dapat hidup di dalam
lemari es (4-8 C) untuk beberapa hari, dan di dalam air dingin dengan kontaminasi bakteri yang
minimum untuk beberapa minggu.
Eksitasi
Proses ini tidak dapat terjadi secara in-vitro, kecuali bila dalam suasana yang hampir mendekati
keadaan dalam saluran cerna. Begitu kista masuk dalam mulut, akan terus masuk ke dalam
lambung lalu usus kecil. Dalam lingkungan asam, kista tidak akan berubah tetapi bila lingkungan
menjadi netral atau basa, amuba akan menjadi aktif. Juga karena pengaruh cairan lambung maka
dinding kista menjadi lemah dan amuba dengan banyak intinya menjadi pusat metakista
tropozoit. Dalam lingkungan yang tidak cocok untuk ekskistasi yaitu keluar di dalam usus kecil,
kista akan dibawa ke usus besar dan kemudian dikeluarkan bersama tinja tanpa mengalami
ekskistasi. Metakista tropozoit tidak akan berkembang biak dan menempel pada mukosa usus
atau tersangkut di dalam kelenjar yang terdapat di dalam kripta usus. Bila amuba muda mulai
tumbuh, mereka akan menjadi tropozoit yang normal dan lengkaplah siklus perkembangannya.

EPIDEMIOLOGI
Prevalensi infeksi amuba di seluruh dunia bervariasi dari 5% sampai 81% dengan frekuensi
tertinggi terutama ada di daerah tropis yang mempunyai kondisi lingkungan yang buruk, sanitasi
perorangan yang jelek, dan hidup dalam kemiskinan. Manusia adalah penjamu alamiah (natural
host) dan reservoir utama E. histolytica, meskipun pernah dilaporkan terdapat juga pada anjing,
kucing, babi dan ikan. Diduga bahwa 12% dari populasi seluruh dunia terinfeksi E.
histolytica (sekitar 480 juta orang). Infeksi ini disertai dengan 50 juta kasus penyakit simtomatik
di seluruh dunia dan mortalitas 70.000-100.000 kematian per tahun; amubiasis adalah
penyebab ketiga kematian karena infeksi parasit secara global. Disentri amuba yang disebabkan
oleh invasi mukosa usus terjadi pada fraksi yang lebih kecil dan menetap dari individu yang
terinfeksi dan jarang pada anak dibandingkan orang dewasa, demikian juga dengan
penyebarannya. Disentri amuba terjadi kira-kira 1-17% dari subyek yang terinfeksi.
Walaupun sangat endemik di Afrika, Amerika latin, India dan Asia Tengara, amubiasis tidak
semata-mata terbatas pada daerah tropik. Di Amerika Serikat, amubiasis telah diperkirakan
terjadi dengan prevalensi 1-4 % pada kelompok risiko tinggi tertentu, termasuk orang-orang
yang diasramakan dengan lama (penyakit invasif jarang pada AIDS), anak dengan retardasi
mental, pekerja yang berpindah-pindah, imigran (terutama Meksiko), laki-laki homoseksual dan
kelompok sosioekonomi rendah di Amerika serikat selatan serta yang telah berpergian dari
daerah endemik. Sebagian besar anak yang terinfeksi dengan E. histolytica masuk kedalam
kelompok resiko ini.
Pola infeksi bervariasi di berbagai bagian dunia. Misalnya, infeksi yang terdapat di India,
Meksiko, atau Durban, Afrika Selatan tampak lebih virulen daripada infeksi dari lokasi lain.
Namun definisi virulensi, strain geografis atau patogenisitas berbagai amuba tetap harus
ditentukan. Makanan atau minuman yang terkontaminasi dengan kista E. histolytica dan kontak
langsung fekal-oral adalah cara infeksi yang paling sering. Air yang tidak diolah dan tinja
manusia yang digunakan sebagai pupuk merupakan sumber infeksi penting. Pedagang makanan
yang mengidap kista amuba, dapat memainkan peran terhadap penyebaran infeksi. Kontak
langsung dengan tinja yang terinfeksi juga dapat menyebabkan penularan dari orang ke orang.

Patogenesis
Amubiasis dimulai dengan tertelannya bahan yang mengandung kista E. histolytica, kolonisasi
oleh tropozoit terjadi di seluruh kolon, terutama di sekum dan kolon asendens, tetapi kurang pada
rektosigmoid. Kolon transversum dan kolon desendens terkena bila semua kolon terkena infeksi.
Sesudah periode waktu yang bervariasi dari beberapa hari sampai 30 tahun dapat terbentuk
tropozoit yang berukuran 50 mm. Lesi pertama biasanya merupakan ulkus kecil dengan
diameter 1 mm, yang meluas hanya pada mukosa muskularis. Stadium berikutnya ialah
pembentukan ulkus yang lebih dalam, dapat berdiameter sampai 1 cm dan meluas ke
submukosa. Kadang-kadang terjadi perforasi melalui serosa dengan akibat terjadinya peritonitis.
Nekrosis dapat meluas tetapi biasanya sedikit sekali peradangan. Edema lebih intensif, tetapi
muksa di antara ulkus relatif normal, dan ini kontas terhadap enteritis karena bakteri dengan
respons peradangan yang mencolok. Jika ulserasi lebih ekstensif, maka edema di sekeliling ulkus
menjadi bersatu (confluent) dan mukosa menyerupai gelatin. Jarang suatu respons peradangan
berbentuk jaringan granulasi tanpa fibrosis. Ini yang disebut ameboma. Kadang-kadang
ameboma akan mengisi lumen menimbulkan striktura atau obstruksi.
Patogenisitas E. histolytica diyakini tergantung pada dua mekanisme- kontak sel dan pemajanan
toksin. Penelitian baru-baru ini telah menunjukkan bahwa kematian tergantung kontak oleh
tropozoit meliputi perlengketan (adherence), sitolisis ekstraseluler, dan fagositosis. Reseptor
lektin spesifik-galaktosa diduga bertanggung jawab dalam menjembatani perlekatan pada
mukosa kolon. Juga telah dirumuskan bahwa amuba dapat mengeluarkan protein
pembentuk pori yang membentuk saluran pada membran sel-sasaran hospes. Bila tropozoit E.
histolytica mengivasi sel mukosa usus, mereka menyebabkan penghancuran jaringan (tukak)
dengan sedikit respon radang lokal karena kapasitas sitolitik organisme. Organisme
memperbanyak diri dan menyebar ke lateral di bawah epitel usus untuk menimbulkan ulkus
bergaung yang khas. Lesi ini biasanya ditemukan pada sekum, kolon transversum, dan kolon
sigmoid. Amuba dapat menghasilkan lesi litik yang serupa jika mereka mencapai hati (ini
biasanya disebut abses walaupun mereka tidak mengandung granulosit). E. histolyticakadang-
kadang menyebar ke tempat-tempat ekstraintestinal lain seperti paru dan otak. Perbedaan
mencolok antara luas penghancuran jaringan oleh amuba, tidak adanya respon radang lokal
hospes, dan gambaran (antibodi) humoral sistemik dan reaksi selular (cell-mediated) terhadap
organisme tetap merupakan teka-teki ilmiah utama.
Penyulit lain amubiasis usus akibat eksistensi ulkus. Dapat mengenai kulit di daerah perianal
atau lesi pada penis, vulva, vagina atau serviks. Amuba menyebar ke hati yang terjadi pada 50%
kasus amubiasis fulminan. Penyebaran ke organ lain langsung dari usus biasanya tidak terjadi,
tetapi penyebaran dari hati ke paru, jantung, otak, limpa, skapula, laring, lambung dan aorta.
Abses amuba hati terjadi lebih sering pada laki-laki daripada perempuan dengan rasio 16:1. Ini
lebih sering terjadi pada orang dewasa, tetapi pernah dilaporkan terjadi pada anak umur 4 bulan.
Abses bervariasi dari lesi mikroskopik sampai nekrosis yang masif pada 90% bagian hati. Abses
selalu bebas dari kontaminasi bakteri. Tidak ada sel radang, jadi cairan tidak dapat disebut sebgai
pus. Cairan bersifat asam dengan pH bervariasi antara 5,2-6,7. Amuba didapatkan pada dinding
abses dan jarang didapatkan cairan. Lobus hati bagian kanan terkena abses amuba 6 kali lebih
sering daripada lobus kiri. Abses pada lobus bagian kanan dapat mengalami perforasi dan
menyerang diafragma atau rongga toraks. Abses pada lobus kiri dapat menimbulkan efusi
perikardial yang lebih jarang dari pada efusi pleura.
Manifestasi Klinik
Kebanyakan individu yang terinfeksi asimtomatik, dan kista ditemukan pada tinjanya. Gejala
yang biasa terjadi adalah diare, muntah, dan demam. Tinja lembek atau cair disertai dengan
lendir dan darah. Pada infeksi akut kadang-kadang ditemukan kolik abdomen, kembung,
tenesmus dan bising usus yang hiperaktif. Invasi jaringan terjadi pada 2-8 % individu yang
terinfeksi mungkin berhubungan dengan strain parasit atau status nutrisi dan flora usus.
Manifestasi klinis dari amubiasis yang paling sering disebabkan oleh invasi lokal pada epitel
usus dan penyebaran ke hati. Selain itu amubiasis juga mencakup dari infeksi amubiasis dari
kista yang asimptomatik sampai kolitis amuba, disentri amuba, ameboma dan penyakit
ekstraintestinal. E. dispar tidak berkaitan dengan penyakit yang memiliki gejala yang khas.
Infeksi E. histolytica tidak bergejala sama sekali pada 90% penderita, namun memiliki potensi
untuk menjadi invasif sehingga hal tersebut memerlukan perawatan. Penyakit yang berat lebih
banyak ditemukan pada anak yang lebih muda, wanita hamil, individu dengan malnutrisi dan
penderita yang menggunakan kortikosteroid.
Penyakit ekstraintestinal biasanya melibatkan hanya hati saja pada amubiasis hati, namun ada
pula abses paru, peritonitis amuba, dan amubiasis kulit. Namun ada pula manifestasi yang jarang
terjadi termasuk abses otak karena amuba, penyebaran yang sangat jarang yaitu ke limpa,
pankreas, dan saluran kemih serta genital..
Amubiasis Intestinalis.
Umumnya infestasi amuba yang paling sering adalah amubiasis intraluminal asimptomatik.
Perkiraan prevalens individu yang asimptomatik bervariasi antara 5-50% populasi. Amubiasis
intestinalis atau disentri amuba merupakan bentuk tersering amubiasis invasif yang
simptomatik. Disentri amuba mungkin dapat terjadi dalam 2 minggu infeksi atau lebih lama
hingga beberapa bulan kemudian. Onsetnya biasanya perlahan-lahan dengan nyeri pada abdomen
yang menyerupai kolik dan bising usus yang menjadi sering (6-8 gerakan/24 jam). Diare sering
kali dihubungkan dengan tenesmus. Tinja dapat ditemukan darah pada 95% kasus dan
mengandung lendir dengan jumlah yang cukup banyak dengan sejumlah leukosit. Penderita
amubiasis kronik biasanya mendapat serangan diare berdarah, penurunan berat badan dan nyeri
pada abdomen. Gejala-gejala secara umum dan tanda-tanda yang khas biasanya tidak ada,
dengan demam yang jarang, ditemukan hanya pada sepertiga penderita dan ini kadang-kadang
menolong membedakannya dengan disentri basiler yang disebabkan oleh Shigella. Disentri
amuba akut berlangsung beberapa hari sampai minggu, pada penderita yang tidak diobati sering
kali kambuh. Pada 1/3 kasus disentri amuba ditandai dengan gejala yang mendadak, seperti
demam tinggi, menggigil dan diare berat menyerupai disentri basiler. Akibatnya dapat terjadi
dehidrasi dan gangguan keseimbangan elektrolit. Nyeri pada abdomen paling sering pada
kuadran kanan bawah, menyerupai apendisitis akut. Pada beberapa penderita dapat timbul
penyulit seperti striktura usus dan ameboma, penyebaran keluar usus atau perforasi lokal atau
perdarahan. Selain itu pada anak dapat terjadi intususepsi atau necrotizing colitis. Kolitis
amubiasis dapat mengenai semua golongan umur, namun insidensinya paling banyak pada anak-
anak dengan usia 1-5 tahun. Kolitis amubiasis yang berat pada bayi dan anak kecil cenderung
untuk menjadi progresif dengan keterlibatan ekstraintestinal yang sering, dan angka kematian
yang cukup tinggi, khususnya pada negera tropis. Pada sebagian penderita dapat terjadi
komplikasi seperti ameboma, megakolon toksik, ekstensi ekstraintestinal, atau perforasi lokal
dan peritonitis dapat terjadi.
Tidak umum ditemukan, sebuah bentuk kronis dari perkembangan kolitis amubiasis, yang dapat
menyerupai inflammantory bowel disease dengan nyeri dari penyakit abdomen dan mencret
yang berdarah, seringnya sembuh setelah beberapa tahun. Ameboma adalah sebuah fokus
nodular dari radang proliferatif atau menyerupai tumor yang berisi jaringan granulasi yang
berasal dari kolon kadang berkembang pada amubiasis yang kronis, biasanya pada dinding dari
kolon dengan lokasi tersering terdapat dalam sekum, tapi bisa pada semua tempat di kolon dan
rektum. Pada pemeriksaan barium enema, ameboma dapat berupa lesi polipoid, dapat dikelirukan
dengan karsinoma kolon. Adanya ulkus pada mukosa usus dapat diketahui dengan
sigmoidoskopi pada 25% kasus. Ulkus tersebar, terpisah satu sama lain oleh mukosa usus yang
normal, ukurannya bervariasi dari 2-3 mm sampai 2-3 cm.
Abses Amoeba Hati
Abses amuba hati merupakan manifestasi yang sangat serius dari infeksi yang meluas dan
merupakan amubiasis invasif kedua terbanyak yang terjadi pada 1-7% kasus anak dengan
amubiasis invasif. Lebih sering terdapat pada orang dewasa dengan rasio laki-
laki:perempuan=16:1. Pada pre-pubertas, tidak ada perbedaan insidensi antara laki-laki dengan
perempuan, namun sering terjadi pada anak laki-laki. Abses biasanya soliter dan lokasinya di
lobus kanan hati. Amuba masuk ke dalam hati melalui sistem portal ke lobus kanan dan
menyebabkan nekrosis serta degenerasi parenkim. Abses hati sebagai penyulit amubiasis usus
terjadi 1-8%. Gejala yang sering ditemukan adalah nyeri dan demam. Nyeri biasanya terlokalisir
di kuadran kanan atas, tapi mungkin dapat juga di daerah epigastrium. Pada keadaan akut, gejala
dapat timbul kurang dari 10 hari sejak terinfeksi disertai demam yang tinggi sedangkan yang
kronik dapat beberapa minggu sampai bulan, dengan demam yang tidak begitu tinggi. Meskipun
pembesaran hepar yang difus telah dihubungkan dengan amubiasis intestinal, abses hepar dapat
terjadi pada kurang dari 1% penderita yang terinfeksi dan mungkin muncul pada penderita
dengan riwayat yang tidak jelas dari penyakit pada intestinal. Pada anak-anak, demam
merupakan tanda yang khas dari abses hepar amuba dan sering kali dihubungkan dengan nyeri
abdominal, distensi dan pembesaran dan juga perlunakan dari hepar. Pada pemeriksaan fisik,
teraba hepar yang lembut di kuadran kanan atas abdomen. Hati biasanya teraba pada amubiasis
kronik, tapi hanya 1/3 atau kurang pada kasus akut. Lebih kurang 50% dari kasus didapatkan
pemeriksaan fisik yang abnormal pada dasar paru kanan, seperti peningkatan batas diafragma
kanan dan atelektasis pada lobus kanan bawah atau efusi pleura dapat juga terjadi. Pada beberapa
penderita dapat terjadi abses pada lobus kiri hati, pada pemeriksaan fisis teraba hepar yang
lembut dan nyeri epigastrium dan kelainan di dasar paru kiri.
Penemuan dari hasil pemeriksaan laboratorium dapat berupa sedikit leukositosis, dengan
aneosinofil, tapi dapat juga normal. Anemia berat, angka sedimen eritrosit yang tinggi, dan
peningkatan yang tidak spesifik dari level enzim hepar (terutama alkali fosfatase dan
transaminase/SGOT). Hiperbilirubinemia dan ikterus biasanya tidak didapatkan. Pemeriksaan
faeses untuk trofozoit dan kista amuba didapatkan hasil yang negatif pada sekitar lebih dari 50%
penderita. Pemeriksaan yang menunjang untuk mendeteksi dan menentukan lokasi abses amuba
adalah dengan menggunakan scanningdan ultrasonografi. Pada kebanyakan kasus, CT, MRI atau
scan isotop dapat menentukan lokasi dan juga menggambarkan ukuran dari besarnya kavitas
abses. Pada pemeriksaan scanning, abses amuba tampak sebagai filling defect atau hole dalam
hati. Pemeriksaan ultrasonografi menghasilkan rongga kistik. Kebanyakan pasien memiliki
kavitas soliter pada lobus hepar kanan namun pada anak dengan gejala akut dapat ditemukan
abses hati yang multipel, meskipun hasil penelitian terakhir dengan bantuan CT telah
menunjukkan sebuah peningkatan angka pada abses multipel dan keterlibatan lobus kiri.
Diagnosis pasti dapat ditegakkan melalui aspirasi abses dan ditemukan cairan berwarna coklat
atau coklat kemerahan, jaringan nekrotik, tidak berbau dan tidak ditemukan pertumbuhan
bakteri. Pernah ditemukan trofozoit dalam cairan aspirasi, tapi bukan gambaran yang biasa
ditemukan. Kebanyakan abses hati amuba sebagai akibat penyebaran intra intestinal dan
menunjukkan hasil indirect hemaglutination (IHA) yang positif. Pengobatan sesuai dengan
kemoterapi antiamuba, dengan atau tanpa aspirasi abses. Indikasi utama aspirasi sebagai
pengobatan adalah bila gambaran rongga abses berdiameter > 10 cm, perluasan abses dengan
kemungkinan terjadinya ruptur atau respon yang buruk terhadap pengobatan medikamentosa.
Abses Amoeba Paru
Abses paru, efusi pleura dan empiema selalu sekunder dari abses hati. Pada awalnya
hemidiafragma terangkat ke atas atau terjadi efusi pleura yang serius. Abses amuba paru terjadi
karena rupturnya abses hati. Abses dan empiema kebanyakan ditemukan di lobus kanan bawah.
Dapat juga abses yang ruptur masuk ke dalam bronkus dan penderita akan batuk dengan
mengeluarkan pus yang berwarna coklat kemerahan. Gejala abses amuba paru dapat berupa
batuk, nyeri dada, pleuritis, demam dan sesak.
Perikarditis Amoeba
Perikarditis amuba adalah penyulit yang jarang dari abses hati amuba, ditemukan hanya 1%.
Lebih kurang 30% kasus perikarditis amuba akan meninggal. Penyebaran infeksi ke jantung
(perikardium) hampir selalu dari abses di lobus kiri hati, meskipun dapat juga akibat penyebaran
dari abses paru. Ketika terjadi ruptur yang mendadak dari abses hati ke dalam kandung
perikardium, sering timbul gejala tamponade jantung dan EKG sesuai dengan gambaran
perikarditis. Pada pemeriksaan ultrasonografi akan didaptkan gambaran efusi perikardial.
Diagnosis perikarditis amuba mungkin sangat sulit di daerah bukan endemik. Pada gambaran
foto dengan kontras ke dalam rongga perikardium akan didapatkan gambaran saluran fistula ke
dalam abses hati. Hampir 1/3 kasus perikarditis amuba, jika mereka dapat bertahan dari serangan
akut, maka akan berkembang menjadi perikarditis konstriktif, sehingga perlu segera dilakukan
operasipericardial stripping.
Peritonitis Amoeba
Peritonitis amuba dapat berkembang melalui satu atau dua jalan, yaitu akibat abses amuba hati
yang pecah ke dalam rongga peritonium (75%) atau sebagai akibat dari perforasi kolitis yang
berat. Peritonitis akibat rupturnya abses hati ke dalam rongga peritoneum mempunyai prognosis
yang lebih baik karena tidak didapatkan kontaminan bakteri di dalamnya, daripada peritonitis
amuba sekunder karena perforasi usus. Peritonitis yang diakibatkan kolitis amuba yang berat,
dapat terjadi perforasi yang multipel. Pada operasi eksplorasi didapatkan usus yang edematus.
Pemotongan usus hampir tidak mungkin karena destruksi yang hebat pada jaringan.
Amoebiasis Kulit
Amubiasis kulit adalah reaksi radang granulamatus pada kulit dan jaringan subkutan, kulit
tampak edematus, menonjol dengan indurasi dan batas pinggir yang ireguler. Reaksi ini akibat
kontak langsung dengan tropozoit E. histolytica. Lesi umumnya ditemukan di daerah perineal
dan sekitar saluran fistula dari usus ke kulit atau dari hati ke kulit. Akhir-akhir ini ditemukan lesi
pada penis kaum homoseksual.
Amoebiasis Otak
Abses amuba otak jarang terjadi sekali sebagai penyulit amubiasis. Didapatkan pada 8% kasus
infeksi amuba pada otopsi. Pada penelitian lain lebih rendah, hanya 0,66-4,7% dari kasus dengan
abses hati. Tropozoit masuk ke otak melalui sirkulasi darah pleksus venosus paravertebral
Batson. Abses amuba otak seringkali berasal dari usus, hati, paru, dengan tanda-tanda neurologik
yang tidak selalu mudah diketahui.
Diagnosis
Diagnosis secara umum didasari oleh adanya organisme dalam tinja, apusan yang didapat secara
sigmoidoskopi, contoh biopsi jaringan, atau yang jarang dilakukan dengan aspirasi dari abses
hepar. Diagnosis pasti amubiasis ditentukan dengan adanya tropozoit atau kista dalam feses atau
trofozoit di dalam pus hasil aspirasi atau dalam spesimen jaringan. Semua penderita tersangka
amubiasis sebaiknya dilakukan pemeriksaan feses 3-6 kali untuk menemukan tropozoit atau
kista. Pemeriksaan tropozoit sebaiknya dilakukan maksimum dalam 1 jam sejak feses diambil,
bila tidak memungkinkan maka sebaiknya disimpan di dalam lemari es. Identifikasi
tropozoitEntamoeba histolytica memerlukan tenaga yang berpengalaman, karena tropozoit
kadang-kadang tidak ditemukan dalam feses. Leukosit dan makrofag yang telah memfagosit
eritrosit dapat dikelirukan dengan tropozoit.
Pada penderita dengan amubiasis intestinal yang invasif diagnosis dapat ditegakkan dengan
ditemukannya ulkus yang khas dengan sigmoidoskopi. Kerokan dari eksudat ulkus dapat
diperiksa secara parasitologik. Pada saat ini dapat juga diambil jaringan untuk biopsi, yang
dilakukan bila pada pemeriksaan feses berulang hasilnya negatif. Pada pemeriksaan dari
spesimen feses sebanyak 3 kali, tropozoit dan kista dalam feses akan ditemukan pada 55-95%
kasus amubiasis intestinalis. Sayangnya beberapa obat dan zat kontras dapat mengaburkan
gambaran tropozoit dan kista dalam feses. Obat tersebut ialah antimikroba, antiprotozoa,
antihelmintiasis, bismth, barium, kaolin, magnesium hidroksida, sabun dan cairan garam
hipertonis. Zat ini dapat mengaburkan gambaran tropozoit dan kista dalam feses dalam beberapa
minggu. Feses segar harus segera diperiksa dalam waktu 30 menit setelah diambil dan diperiksa
juga untuk motalitas tropozoit yang mengandung eritrosit. Kapan pun amubiasis dicurigai contoh
tinja tambahan harus segera diambil dalam alkohol polivinil untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Endoskopi dan biopsi dari jaringan yang dicurigai harus segera dilakukan jika spesimen feses
yang diambil hasilnya negatif, namun kecurigaan atas amubiasis tetap ada. Namun demikian,
selain eritrosit yang terfagosit ditemukan, penemuan secara mikroskopis tidak dapat untuk
membedakan antara E. histolytica dan E. dispar. Pasien dengan kolitis amubiasis yang invasif
memiliki hasil pemeriksaan yang positif untuk tinja yang berdarah.
Uji serologik akhir-akhir ini memegang peran penting dalam menegakkan diagnosis amubiasis.
Uji serologik terutama dilakukan pada kasus abses hati amuba dan amubiasis ekstraintestinal
lain, oleh karena tidak didapatkan tropozoit dan kista dalam feses. Beberapa uji serologik
yaitu indirect hemaglutination (IHA), indiret immunofluorence, countercurrent
immunoelectrophoresis, complement fixationdan agar gel diffusion. IHA merupakan uji
serologik yang paling sensitif. Pada kasus abses amuba hati didapatkan 90-100% mempunyai
titer 1:128 atau lebih. Uji serologik juga digunakan untuk diagnosis banding antara inflammatory
bowel disease dengan amubiasis usus. Pada kolitis ulseratif dan enteritis regional hanya 1% yang
mempunyai titer IHA 1:128 atau lebih. Titer antibodi biasanya kembali normal dalam 12 bulan
(6 bulan-3tahun) sejak ditegakkan diagnosis dan pengobatan. Hasil serologis ditemukan positif
dalam 95% dari pasien dengan gejala nyata dari penyakit yang telah berlangsung dalam 7 hari
atau lebih dan pada kebanyakan karier asimptomatik dari strain patogenEntamoeba. E.
dispar tidak menimbulkan respon humoral. Test serologis yang paling sensitif, indiret
hemagglutination, memunculkan hasil yang positif bahkan setelah bertahun-tahun infeksi invasif
terjadi.
Complement-fixation (CF) test positif pada 85% kasus amubiasis berat, 56% kasus amubiasis
simtomatik, dan 58% kasus asimptomatik. Agar gel diffusion (AGD) test positif pada 86%
amubiasis berat, 54% pada kasus simptomatik, dan 52% pada kasus asimptomatik. Latex
agglutination (LA) test sedikit kurang sensitif daripada IHA.Indiret fluorecent antibody (IFA)
test mengukur antibodi yang berbeda dari yang diukur oleh IHA dan positif hanya 2-6 bulan
sesudah menderita penyakit. IFA tampaknya pengukur yang sensitif untuk penyakit aktif,
sedangkan IHA merupakan uji yang sensitif untuk penelitian epidemiologi. Pada tahun
1974counterimmunoelectrophoresis (CIE) dievaluasi, dan sensitif seperti IHA, lebih simpel, dan
lebih cepat, tetapi terbatas pada laboratorium yang lengkap. Deteksi antigen dalam tinja atau
serum dapat menegakkan sebuah diagnosis sementara juga dapat membedakan E. dispar dari E.
histolytica. Test deteksi antigen tidak secara rutin tersedia untuk pemeriksaan.
Bila timbul gejala obstruksi dapat dilakukan barium enema untuk menentukan striktur atau
ameboma. Barium enema tidak dapat dilakukan secara rutin, oleh karena pernah dilaporkan
terjadi perforasi. Pada abses amuba hati, jumlah leukosit dapat meninggi (>15.000/mm3), LED
meningkat SGOT dan SGPT sedikit meningkat. Pada anak tidak didapatkan peninggian alkali
fosfatase. Dapat pula disertai penurunan albumin dan peninggian globulin. Pemeriksaan
radiologik dapat pula membantu. Foto torak memperlihatkan peninggian diafragma kanan pada
56% kasus abses hati.

Diagnosa Banding
Kolitis amuba invasif dapat menyerupai kolitis ulserativa, chron disease of the colon, disentri
basiler atau kolitis tuberkulosa. Semua pasien yang mengeluh feses berdarah harus dilakukan
pemeriksaan feses, proktoskopi, dan serologik. Abses amuba hati harus dibedakan dari abses
piogenik dan neoplasma. Jumlah leukosit dan biakan darah dapat membedakan abses piogenik
dan abses amuba, tetapi pada banyak anak denganabses hati piogenik sering didapatkan hasil
biakan darah yang negarif. Neoplasma dapat diketahui dengan pemeriksaan USG.

Pengobatan
Isolasi, pemberian cairan yang adekuat, pengobatan penyulit, monitor pemeriksaan feses 3 kali
untuk memastikan apakah infeksi sudah dapat dieradikasi.
Dua jenis obat digunakan untuk mengobati infeksi dengan E. histolytica. Golongan luminal yang
dapat membunuh amuba, seperti iodoquinol, paromomycin dan diloksanid furoat, secara primer
efektif di dalam lumen usus. Metronidazol atau nitroimidazol lainnya, klorokuin dan
dihidroemetin efektif dalam pengobatan dari amubiasis invasif. Semua individual dengan
tropozoit atau kista dari E. histolytica dalam tinjanya harus juga diobati.

1. Infeksi usus asimtomatik
Diloksanid furoat (furamid) 7-10Mg/kgBB/hari dalam tiga dosis, atau iodokuinol (diiodohidroksi
kuinin) 10 mg/kgBB/hari selama 3 dosis atau paromomisin (humatin) 8 mg/kgBB/hari dalam 3
dosis. Obat-obat tersebut harus diberikan selama 7-10 hari.
2. Infeksi usus ringan sampai sedang
Metronidazol (flagyl) 15 mg/kgBB/hari dalam 3 dosis, peroral atau intravena, selama 10 hari,
atau dehidroemetin 0,5-1 mg/kgBB/hari dalam 2 dosis intramuskular selama 5 hari, maksimal 90
mg/hari. Dapat menimbulkan aritmia jantung, nyeri dada dan selulitis pada tempat suntikan.
Klorokuin fosfat 10 mg/kgBB/hari diberikan secara oral dalam 3 dosis untuk 21 hari, maksimum
600 mg/hari, efektif untuk abses hati amuba, tetapi tidak untuk amubiasis usus. Dapat terjadi
gatal, muntah, kerusakan kornea mata, tetapi efek samping yang paling serius ialah kerusakan
retina yang reversibel.
3. Infeksi usus berat dan abses amuba hati
Iodoquinol adalah obat lini pertama untuk mengobati karier kista asimptomatik, besarnya
regimen yang dianjurkan sebanyak 30-40 mg/kgBB/ 24 jam dibagi dalam 3 dosis (maksimum
650 mg/dosis) diberikan secara oral untuk 20 hari. Paromomycin, sebuah aminoglikosida yang
tidak dapat larut, adalah alternatif lainnya, regimen yang dianjurkan adalah 25-35 mg/kgBB/24
jam dibagi menjadi 3 dosis, diberikan secara oral untuk 7 hari. Diloksanid furoat hanya tersedia
di beberapa pusat pengobatan yang besar saja. Toksisitasnya jarang terjadi namun sebaiknya
tidak digunakan untuk anak-anak dibawah usia 2 tahun.

Amubiasis invasif dari usus, hepar dan organ lainnya membutuhkan metronidazole, sebuah obat
antiamuba. Tinidazol dan ornidazol tersedia dan telah banyak digunakan. Efek yang tidak
diharapkan dari metronidazol termasuk mual, rasa tidak nyaman pada abdomen, dan rasa logam
pada lidah, gejala ini tidak umum dan dapat hilang setelah terapi diselesaikan. Metronidazol juga
termasuk amubisid luminal namun efektivitasnya kecil untuk tujuan ini dan harus diikuti dengan
pemberikan golongan luminal. E. histolytica yang resisten metronidazol tidak banyak dilaporkan.
Namun demikian pada kasus-kasus fulminan, beberapa ahli menyarankan untuk menambahkan
dehidroemetin untuk beberapa hari pertama, diberikan dapat secara subkutan atau intramuskular
(tidak melalui intravena) dalam dosis 1 mg/kgBB/24 jam. Pasien harus dirawat inap di rumah
sakit jika obat ini diberikan. Jika didaptkan takikardi, depresi gelombang T, aritmia, atau
berkembang menjadi proteinuria pemberian obat tersebut harus dihentikan. Klorokuin, yang
terkonsentrasi di dalam hepar, dapat sangat bermanfaat untuk pengobatan abses hepar amubiasis.
Aspirasi dari lesi yang besar atau dari abses lobus hepar kiri dapat dilakukan jika terjadi ruptur
atau pasien hanya menunjukkan respon pengobatan yang minimal dalm 4-6 hari setelah
pemberian obat antiamuba tersebut.
Pemeriksaan tinja harus diulang setiap 2 minggu sampai hasilnya negatif setelah selesai terapi
antiamuba untuk mengkonfirmasikan kesembuhan.

Prognosis

Prognosis amubiasis usus baik bila tidak ada penyulit. Data statistik menunjukkan bahwa
kematian amubiasis usus tanpa abses hati hanya 1-2%. Kematian ini biasanya akibat nekrosis
atau perforasi usus, tindakan bedah sedini mungkin dapat menurunkan angka kematian karena
penyulit ini dari 100% sampai 28%. Abses amuba hati terjadi pada 1% kasus amubiasis usus
dan case fatality rate (CFR) nya sebesar 10-15%, bila terjadi ruptur ke dalam rongga pleura
maka angka kematian menjadi 120%. Pada kasus abses amuba hati dapat terjadi penyulit
perikarditis amuba (0,2-2,8% dengan CFR 40%). Amubiasis otak angka kematian 96%
Pencegahan
Pengendalian dari amubiasis dapat dicapai dengan penyediaan sarana yang bersih dan layak dan
menghindari kontak secara fekal-oral. Pemeriksaan secara teratur dan pemeriksaan terhadap
pasien yang sering menderita diare mungkin dapat menemukan sumber infeksi pada beberapa
komunitas. Tidak ada obat profilaksis atau pun vaksin yang tersedia untuk pencegahan amubiasis
ini.

You might also like