You are on page 1of 9

Hebat nih orang gue dukung

>>Surat Terbuka Nurmillaty Abadiah ke Pak Menteri Pendidikan Tentang UNAS



Sebagai pelajar yang baru saja menjalani UNAS, saya justru punya banyak pertanyaan yang
saya pendam dalam hati saya. Banyak beban pikiran yang ingin saya utarakan kepada
Bapak Menteri Pendidikan. Tapi tenang saja, Bapak tidak perlu menjadi pembaca pikiran
untuk tahu semua itu, karena saya akan menceritakannya sedikit demi sedikit di sini. Dari
berbagai kekalutan dan tanda tanya yang menyesaki otak sempit saya, saya
merumuskannya menjadi tiga poin penting...

Pertama, tentang kesamarataan bobot pertanyaan-pertanyaan UNAS, yang tahun ini
Alhamdulillah ada dua puluh paket.

Bapak Menteri Pendidikan yang terhormat... pernah tidak terpikir oleh Bapak bagaimana
caranya seorang guru Bahasa Indonesia bisa membuat 20 soal yang berbeda, dengan
tingkat kesulitan yang sama, untuk satu SKL saja? Pernah tidak terpikir oleh Bapak
bagaimana caranya seorang guru Biologi membuat 20 soal yang berbeda, dengan taraf
kesulitan yang sama, hanya untuk satu indikator 'menjelaskan fungsi organel sel pada
tumbuhan dan hewan'?

Menurut otak sempit saya, sejujurnya, itu mustahil. Mau tidak mau akan ada satu tipe soal
yang memuat pertanyaan dengan bobot lebih susah dari tipe lain. Hal ini jelas tidak adil
untuk siswa yang kebetulan apes, kebetulan mendapatkan tipe dengan soal susah
sedemikian itu. Sebab orang tidak akan pernah peduli apakah soal yang saya terima lebih
susah dari si A atau tidak. Manusia itu makhluk yang seringkali terpaku pada niai akhir, Pak.
Orang tidak akan pernah bertanya, 'tipe soalmu ada berapa nomor yang susah?' melainkan
akan langsung bertanya, 'nilai UNASmu berapa?'.

Bapak Menteri Pendidikan yang terhormat, di sini Bapak akan beralasan, barangkali, bahwa
jika siswa sudah belajar, maka sesusah apapun soalnya tidak akan bermasalah. Tapi coba
ingat kembali, Pak, apa sih tujuan diadakannya Ujian Nasional itu? Membuat sebuah
standard untuk mengevaluasi siswa Indonesia, 'kan? Untuk menetapkan sebuah garis yang
akan jadi acuan bersama, 'kan? Sekarang, bagaimana bisa UNAS dijadikan patokan
nasional saat antar paket saja ada ketidakmerataan bobot soal? Ini belum tentang
ketidakmerataan pendidikan antar daerah, lho, Pak.

Kedua, tentang pertanyaan-pertanyaan UNAS tahun ini, yang, menurut saya, menyimpang
dari SKL.

Bapak Menteri Pendidikan yang terhormat, saya tahu Bapak sudah mengklarifikasinya di
twitter, bahwa soal tahun ini bobot kesulitannya di naikkan sedikit (saya tertawa miris di
bagian kata 'sedikit' ini). Tapi, aduh, jujur saya bingung juga Pak bagaimana
menanggapinya. Pertama, bobot soal kami dinaikkan hanya sampai standard Internasional.
Kedua, konfirmasi itu Bapak sampaikan setelah UNAS selesai. Saya jadi paham kenapa di
sekolah saya disiapkan tabung oksigen selama pelaksanaan UNAS. Mungkin sekolah
khawatir kami pingsan saking bahagianya menemui soal-soal itu, 'kan?

Bapak, saya tidak mengerti, benar-benar tidak mengerti... apa yang ada di pikiran Bapak-
Bapak semua saat membuat, menyusun, dan mencetak soal-soal itu? Bapak mengatakan di
twitter Bapak, 'tiap tahun selalu ada keluhan siswa karena soal yang baru'. Tapi, Pak, sekali
ini saja... sekali ini saja saya mohon, Bapak duduk dengan santai, kumpulkan contoh soal
UNAS tahun dua ribu sebelas, dua ribu dua belas, dua ribu tiga belas, dan dua ribu empat
belas. Dengan kepala dingin coba Bapak bandingkan, perbedaan tingkat kesulitan dua ribu
sebelas dengan dua ribu dua belas seperti apa. Perbedaan bobot dua ribu dua belas
dengan dua ribu tiga belas seperti apa. Dan pada akhirnya, coba perhatikan dan kaji baik-
baik, perbedaan tipe dan taraf kerumitan soal dua ribu tiga belas dengan dua ribu empat
belas itu seperti apa.

Kalau Bapak masih merasa tidak ada yang salah dengan soal-soal itu, saya ceritai sesuatu
deh Pak. Bapak tahu tidak, saat hari kedua UNAS, saya sempat mengingat-ingat dua soal
Matematika yang tidak saya bisa. Saya ingat-ingat sampai ke pilihan jawabannya sekalipun.
Kemudian, setelah UNAS selesai, saya pergi menghadap ke guru Matematika saya untuk
menanyakan dua soal itu. Saya tuliskan ke selembar kertas, saya serahkan ke beliau dan
saya tunggu. Lalu, hasilnya? Guru Matematika saya menggelengkan kepalanya setelah
berkutat dengan dua soal itu selama sepuluh menit. Ya... beliau bilang ada yang salah
dengan kedua soal itu. Tetapi yang ada di kepala saya hanya pertanyaan-pertanyaan
heran...

Bagaimana bisa Bapak menyuruh saya menjawab sesuatu yang guru saya saja belum tentu
bisa menjawabnya?

Tidak diuji dulukah kevalidan soal-soal UNAS itu?

Bapak ujikan ke siapa soal-soal itu? Para dosen perguruan tinggi? Mahasiswa-mahasiswa
semester enam?

Lupakah Bapak bahwa nanti yang akan menghadapi soal-soal itu adalah kami, para pelajar
kelas tiga SMA dari seluruh Indonesia?

Haruskah saya ingatkan lagi kepada Bapak bahwa di Indonesia ini masih ada banyak
sekolah-sekolah yang jangankan mencicipi soal berstandard Internasional, dilengkapi
dengan fasilitas pengajaran yang layak saja sudah sujud syukur?

Etiskah menuntut sebelum memberi?

Etiskah memberi kami soal berstandard Internasional di saat Bapak belum mampu
memastikan bahwa seluruh Indonesia ini siap untuk soal setingkat itu?

Pada bagian ini, Bapak mungkin akan teringat dengan berita, 'Pelajar Mengatakan bahwa
UNAS Menyenangkan'. Kemudian Bapak akan merasa tidak percaya dengan semua yang
sudah saya katakan. Kalau sudah begitu, itu hak Bapak. Saya sendiri juga tidak percaya
kenapa ada yang bisa mengatakan bahwa UNAS kemarin menyenangkan. Awalnya saya
malah mengira bahwa itu sarkasme, sebab sejujurnya, tidak sedikit teman-teman saya yang
menangis sesudah mengerjakan Biologi. Mereka menangis lagi setelah Matematika dan
Kimia. Lalu airmata mereka juga masih keluar seusai mengerjakan Fisika. Sekarang, di
mana letak 'UNAS menyenangkan' itu? Bagi saya, hanya ada dua jawabannya; antara
narasumber berita itu memang sangat pintar, atau dia menempuh jalan pintas...

Jalan pintas itu adalah hal ketiga yang menganggu pikiran saya selama UNAS ini. Sebuah
bentuk kecurangan yang tidak pernah saya pahami mengapa bisa terjadi, yaitu joki.

Mengapa saya tidak paham joki itu bisa terjadi? Sebab, setiap tahun pemerintah selalu
gembar-gembor bahwa "Soal UNAS aman! Tidak akan bocor! Pasti terjamin steril dan
bersih!", tetapi ketika hari H pelaksanaan... voila! Ada saja joki yang jawabannya tembus.
Jika bocor itu paling-paling hanya lima puluh persen benar, ini ada joki yang bisa sampai
sembilan puluh persen akurat. Sembilan puluh persen! Astaghfirullah hal adzim, itu bukan
bocor lagi namanya, melainkan banjir. Kemudian ajaibnya pula, yang sudah dilakukan
pemerintah untuk menanggulangi hal ini sepanjang yang saya lihat baru satu: menambah
tipe soal! Kalau sewaktu saya SD dulu tipe UNAS hanya satu, sewaktu SMP beranak-pinak
menjadi lima. Puncaknya sewaktu SMA ini, berkembang-biak menjadi 20 paket soal.
Pemerintah agaknya menganggap bahwa banyaknya paket soal akan membuat jawaban
joki meleset dan UNAS dapat berjalan mulus, murni, bersih, sebersih pakaian yang dicuci
pakai detergen mahal.

Iya langsung bersih cling begitu, toh?

Nyatanya tidak.

Sekalipun dengan 20 paket soal, joki-joki itu rupanya masih bisa memprediksi soal sekaligus
jawabannya. Peningkatan jumlah paket itu hanya membuat tarif mereka makin naik. Setahu
saya, mereka bahkan bisa menyertakan kalimat pertama untuk empat nomor tententu di tiap
paket agar para siswa bisa mencari yang mana paket mereka. Lho, kok bisa? Ya entah.
Tidak sampai di sana, jawaban yang mereka berikan pun bisa tembus sampai di atas
sembilan puluh persen. Lho, kok bisa? Ya sekali lagi, entah. Seperti yang saya bilang, kalau
sudah sampai sembilan puluh persen akurat begitu bukan bocor lagi namanya, melainkan
banjir bandang. Saat joki sudah bisa menyertakan soal, bukan hanya jawaban, maka adalah
sebuah misteri Ilahi jika pemerintah masih sanggup bersumpah tidak ada main-main dari
pihak dalam.

Bapak Menteri Pendidikan yang terhormat, saya memang hanya pelajar biasa. Tapi saya
juga bisa membedakan mana jawaban yang mengandalkan dukun dan mana jawaban yang
didapat karena sempat melihat soal. Apa salah kalau akhirnya saya mempertanyakan
kredibilitas tim penyusun dan pencetak soal? Sebab jujur saja, air hujan tidak akan menetesi
lantai rumah jika tidak ada kebocoran di atapnya.

Bapak Menteri Pendidikan yang terhormat... tiga hal yang saya paparkan di atas sudah
sejak lama menggumpal di hati dan pikiran saya, menggedor-gedor batas kemampuan saya,
menekan keyakinan dan iman saya.

Pernah terpikirkah oleh Bapak, bahwa tingkat soal yang sedemikian inilah yang memacu
kami, para pelajar, untuk berbuat curang? Jika tidak... saya beritahu satu hal, Pak. Ada
beberapa teman saya yang tadinya bertekad untuk jujur. Mereka belajar mati-matian,
memfokuskan diri pada materi yang diajarkan oleh para guru, dan berdoa dengan khusyuk.
Tetapi setelah melihat soal yang tidak berperikesiswaan itu, tekad mereka luruh. Saat
dihadapkan pada soal yang belum pernah mereka lihat sebelumnya itu, mereka runtuh.
Mereka menangis, Pak. Apa kesalahan mereka sehingga mereka pantas untuk dibuat
menangis bahkan setelah mereka berusaha keras? Beberapa dari mereka terpaksa
mengintip jawaban yang disebar teman-teman, karena dihantui oleh perasaan takut tidak
lulus. Beberapa lainnya hanya bisa bertahan dalam diam, menggenggam semangat mereka
untuk jujur, berdoa di antara airmata mereka... berharap Tuhan membantu.

Saya tidak bisa sepenuhnya menyalahkan teman-teman yang terpaksa curang setelah
mereka belajar tetapi soal yang keluar seperti itu. Kami mengemban harapan dan angan
yang tak sedikit di pundak kami, Pak. Harapan guru. Harapan sekolah. Harapan orangtua.
Semakin jujur kami, semakin berat beban itu. Sebelum sampai di gerbang UNAS, kami telah
melewati ulangan sekolah, ulangan praktek, dan berbagai ulangan lainnya. Tenaga, biaya,
dan pikiran kami sudah banyak terkuras. Tetapi saat kami menggenggam harapan dan doa,
apa yang Bapak hadapkan pada kami? Soal-soal yang menurut para penyusunnya sendiri
memuat soal OSN. Yang benar saja, Pak. Saya tantang Bapak untuk duduk dan
mengerjakan soal Matematika yang kami dapat di UNAS kemarin selama dua jam tanpa
melihat buku maupun internet. Jika Bapak bisa menjawab benar lima puluh persen saja,
Bapak saya akui pantas menjadi Menteri. Kalau Bapak berdalih 'ah, ini bukan bidang saya',
lantas Bapak anggap kami ini apa? Apa Bapak kira kami semua ini anak OSN? Apa Bapak
kira kami semua pintar di Matematika, Fisika, Biologi, Kimia, Bahasa Indonesia, dan Bahasa
Inggris sekaligus? Teganya Bapak menyuruh kami untuk lulus di semua bidang itu? Sudah
sepercaya itukah Bapak pada kecerdasan kami?

Tidak.

Tentu saja Bapak tidak sepercaya itu pada kami. Sebab jika Bapak percaya, Bapak tidak
akan sampai terpikir untuk membuat dua puluh paket soal, padahal lima paket saja belum
tentu bobot soal kelima paket itu seratus persen sama. Jika Bapak percaya, Bapak tidak
akan sengaja meletakkan persentase UNAS di atas persentase nilai sekolah untuk nilai
akhir kami, padahal belum tentu kemurnian nilai UNAS itu di atas kemurnian nilai sekolah.
Jika Bapak percaya, Bapak tidak akan merasa perlu untuk melakukan sidak. Jika Bapak
percaya... mungkin Bapak bahkan tidak akan merasa perlu untuk mengadakan UNAS.

.........

.........

.........

Anda akan mengatakan kalimat klise itu, Pak, bahwa nilai itu tidak penting, yang penting itu
kejujuran.

Tapi tahukah, bahwa kebijakan Bapak sangat kontradiktif dengan kata-kata Bapak itu?
Bapak memasukkan nilai UNAS sebagai pertimbangan SNMPTN Undangan. Bapak
meletakkan bobot UNAS (yang hanya berlangsung tiga hari tanpa jaminan bahwa siswa
yang menjalani berada dalam kondisi optimalnya) di atas bobot nilai sekolah (yang selama
tiga tahun sudah susah payah kami perjuangkan) dalam rumus nilai akhir kami. Bapak
secara tidak langsung menekankan bahwa UNAS itu penting, dan itulah kenyataannya, Pak.
Itulah kenyataan yang membuat kami, para pelajar, goyah. Takut. Tertekan. Tahukah Bapak
bahwa kepercayaan diri siswa mudah hancur? Pertahanan kami semakin remuk ketika kami
dihadapkan oleh soal yang berada di luar pengalaman kami. Pernahkah Bapak pikirkan ini
sebelumnya? Bahwa soal yang di luar kemampuan kami, soal yang luput Bapak
sosialisasikan kepada kami meskipun persiapan UNAS tidak hanya satu-dua minggu dan
Bapak sebetulnya punya banyak kesempatan jika saja Bapak mau, sesungguhnya bisa
membuat kami mengalami mental breakdown yang sangat kuat? Pernahkah Bapak pikirkan
ini sebelum memutuskan untuk mengeluarkan soal-soal tidak berperikesiswaan itu dalam
UNAS, yang notabene adalah penentu kelulusan kami?

Pada akhirnya, Pak, izinkan saya untuk mengatakan, bahwa apa yang sudah Bapak lakukan
sejauh ini tentang UNAS justru hanya membuat kecurangan semakin merebak. Bapak dan
orang-orang dewasa lainnya sering mengatakan bahwa kami adalah remaja yang masih
labil. Masih dalam proses pencarian jati diri. Sering bertingkah tidak tahu diri, melanggar
norma, dan berbuat onar. Tapi tahukah, ketika seharusnya Bapak selaku orangtua kami
memberikan kami petunjuk ke jalan yang baik, apa yang Bapak lakukan dengan UNAS
selama tiga hari ini justru mengarahkan kami kepada jati diri yang buruk. Tingkat kesulitan
yang belum pernah disosialisasikan ke siswa, joki yang tidak pernah diusut sampai tuntas
letak kebocorannya, paket soal yang belum jelas kesamarataan bobotnya, semua itu justru
mengarahkan kami, para siswa, untuk mengambil jalan pintas. Sekolah pun ditekan oleh
target lulus seratus persen, sehingga mereka diam menghadapi fenomena itu alih-alih
menentang keras. Para pendidik terdiam ketika seharusnya mereka berteriak lantang
menentang dusta. Kalau perlu, sekalian jalin kesepakatan dengan sekolah lain yang
kebetulan menjadi pengawas, agar anak didiknya tidak dipersulit.

Sampai sini, masih beranikah Bapak katakan bahwa tidak ada yang salah dengan UNAS?
Ada yang salah, Pak. Ada lubang yang menganga sangat besar tidak hanya pada UNAS
tetapi juga pada sistem pendidikan di negeri ini. Siapa yang salah? Barangkali sekolah yang
salah, karena telah membiarkan kami untuk menyeberang di jalur yang tak benar.
Barangkali kami yang salah, karena kami terlalu pengecut untuk mempertahankan kejujuran.
Barangkali joki-joki itu yang salah, karena mereka menjual kecurangan dan melecehkan ilmu
untuk mendapat uang.

Tapi tidak salah jugakah pemerintah? Tidak salah jugakah tim penyusun UNAS? Tidak salah
jugakah tim pencetak UNAS? Ingat Pak, kejahatan terjadi karena ada kesempatan.
Bukankah sudah menjadi tugas Bapak selaku yang berwenang untuk memastikan bahwa
kesempatan untuk berlaku curang itu tidak ada?

Mungkin Bapak tidak akan percaya pada saya, dan Bapak akan berkata, "Kita lihat saja
hasilnya nanti."

Kemudian sebulan lagi ketika hasil yang keluar membahagiakan, ketika angka delapan dan
sembilan bertebaran di mana-mana, Bapak akan melupakan semua protes yang saya
sampaikan. Bapak akan menganggap ini semua angin lalu. Bapak akan berpesta di atas
grafik indah itu, menggelar ucapan selamat kepada mereka yang lulus, kepada tim UNAS,
kepada diri Bapak sendiri, dan Bapak akan lupa. Bapak yang saya yakin sudah berkali-kali
mendengar pepatah 'don't judge a book by its cover', akan lupa untuk melihat ke balik kover
indah itu. Bapak akan melupakan kemungkinan bahwa yang Bapak lihat itu adalah hasil
kerja para 'ghost writer UNAS'. Bapak akan lupa untuk bertanya kepada diri Bapak, berapa
persen dari grafik itu yang mengerjakan dengan jujur? Kemudian Bapak akan memutuskan
bahwa Indonesia sudah siap dengan UNAS berstandard Internasional, padahal
kenyataannya belum. Joki-jokinyalah yang sudah siap, bukan kami. Mengerikan bukan, Pak,
efek dari tidak terusut tuntasnya joki di negeri ini? Mengerikan bukan, Pak, ketika
kebohongan menjelma menjadi kebenaran semu?

Bapak, tiga hari ini, kami yang jujur sudah menelan pil pahit. Pil pahit karena ketika kami
berusaha begitu keras, beberapa teman kami dengan nyamannya tertidur pulas karena
sudah mendapat wangsit sebelum ulangan. Pil pahit karena ketika kami masih harus
berjuang menjawab beberapa soal di waktu yang semakin sempit, beberapa teman kami
membuat keributan dengan santai, sedangkan para pengawas terlalu takut untuk menegur
karena sudah ada perjanjian antar sekolah. Pil pahit, karena kami tidak tahu hasil apa yang
akan kami terima nanti, apakah kami bisa tersenyum, ataukah harus menangis lagi...

Berhentilah bersembunyi di balik kata-kata, "Saya percaya masih ada yang jujur di generasi
muda kita". Ya ampun Pak, kalau hanya itu saya juga percaya. Tetapi masalahnya bukan
ada atau tidak ada, melainkan berapa, dan banyakan yang mana? Sebab yang akan Bapak
lihat di grafik itu adalah grafik mayoritas. Bagaimana jika mayoritas justru yang tidak jujur,
Pak? Cobalah, untuk kali ini saja tanyakan ke dalam hati Bapak, berapa persen siswa yang
bisa dijamin jujur dalam UNAS, dibandingkan dengan yang hanya jujur di atas kertas?

(Ngomong-ngomong, Pak, banyak dosa bisa menyebabkan negara celaka. Kalau mau
membantu mengurangi dosa masyarakat Indonesia, saya punya satu usul efektif. Hapuskan
kolom 'saya mengerjakan ujian dengan jujur' dari lembar jawaban UNAS.)

UNAS bukan hal remeh, Pak, sama sekali bukan; terutama ketika hasilnya dijadikan
parameter kelulusan siswa, parameter hasil belajar tiga tahun, sekaligus pertimbangan layak
tidaknya kami untuk masuk universitas tujuan kami. Jika derajat UNAS diletakkan setinggi
itu, mestinya kredibilitas UNAS juga dijunjung tinggi pula. Mestinya tak ada cerita tentang
soal bocor, bobot tidak merata, dan tingkat kesulitan luput disosialisasikan ke siswa.

Kejujuran itu awalnya sakit, tapi buahnya manis.

Dan saya tahu itu, Pak.

Tapi bukankah Pengadilan Negeri tetap ada meski kita semua tahu keadilan pasti akan
menang?

Bukankah satuan kepolisian masih terus merekrut polisi-polisi baru meski kita semua tahu
kebenaran pasti akan menang?

Dan bukankah itu tugas Bapak dan instansi-instansi pendidikan, untuk menunjukkan pada
kami, para generasi muda, bahwa kejujuran itu layak untuk dicoba dan tidak mustahil untuk
dilakukan?

Kejujuran itu awalnya sakit, buahnya manis.

Tapi itu bukan alasan bagi Bapak untuk menutup mata terhadap kecurangan yang terjadi di
wilayah kewenangan Bapak.

Kami yang berusaha jujur masih belum tahu bagaimana nasib nilai UNAS kami, Pak. Tapi
barangkali hal itu terlalu remeh jika dibandingkan dengan urusan Bapak Menteri yang
bejibun dan jauh lebih berbobot. Maka permintaan saya mewakili teman-teman pelajar cuma
satu; tolong, perbaikilah UNAS, perbaikilah sistem pendidikan di negeri ini, dan kembalikan
sekolah yang kami kenal. Sekolah yang mengajarkan pada kami bahwa kejujuran itu adalah
segalanya. Sekolah yang tidak akan diam saat melihat kadernya melakukan tindak
kecurangan. Kami mulai kehilangan arah, Pak. Kami mulai tidak tahu kepada siapa lagi kami
harus percaya. Kepada siapa lagi kami harus mencari kejujuran, ketika lembaga yang
mengajarkannya justru diam membisu ketika saat untuk mengamalkannya tiba...

Dari anakmu yang meredam sakit,

Pelajar yang baru saja mengikuti UNAS






















"Perjanjian Ibu dan Anak atas iPhone 5 Baru"
Seorang ibu bernama Janell Burley Hofmann memberikan hadiah ponsel berkelas yaitu
iPhone 5 kepada anaknya Gregory. Meskipun iPhone 5 merupakan barang mewah,
pemberian iphone 5 ini bukan untuk memanjakan anaknya, justru ia memberi aturan
atau perjanjian yang sangat ketat kepada anaknya, dan ia harus mentaatinya. Jika tidak
mau taat, maka iPhone tersebut akan di minta kembali.
Perjanjian tersebut sangat positif untuk anaknya, juga sangat inspiratif untuk kita
terapkan bagi anak-anak kita. Berikut Ini daftar perjanjian ibu kepada anaknya:
1. Ini (iPhone 5) adalah milik ibu. Ibu membelinya. Ibu yang membayarnya. Ibu
meminjamkannya untukmu. Bukankah ibu yang terbaik?
2. Ibu harus selalu mengetahui password-nya
3. Jika teleponnya berdering, jawablah. Itu adalah sebuah telepon. Katakan halo,
tunjukkan perilaku yang baik (sopan.) Jangan pernah abaikan panggilan telepon jika
dilayarnya tertulis Ibu atau Ayah. Jangan pernah.
4. Berikan teleponnya kepada orang tua-mu tepat jam 7:30 malam setiap malam
sekolah dan setiap akhir minggu pada jam 9 malam. Telepon tersebut akan dimatikan
untuk satu malam dan akan dihidupkan kembali esok hari jam 7:30 pagi. Jika kamu tidak
mau menelepon ke telepon rumah temanmu, karena takut jika orang tua-nya yang
mengangkat terlebih dahulu, maka jangan menelepon atau SMS sama sekali.
Dengarkan suara hatimu dan hormatilah keluarga orang lain seperti kamu ingin keluarga
kita dihormati.
5. Kamu tidak akan membawa Ini (iPhone 5) ke sekolah. Ngobrol-lah secara langsung
dengan orang-orang yang biasa kamu ajak chatting atau SMS. Ini adalah bekal atau skill
untuk hidupmu kelak. Untuk sekolah setengah hari atau field trip sesudah sekolah akan
kami pertimbangkan.
6. Jika ini (iPhone 5) jatuh kedalam toilet, terhempas ke tanah, atau menghilang di udara
bebas, kamu bertanggung jawab untuk penggantian atau biaya perbaikan. Kamu bisa
memotong rumput, menjaga bayi, atau menggunakan uang tabungan hadiah ulang
tahun. Ini akan terjadi, kamu harus bersiap.
7. Jangan gunakan teknologi ini untuk berbohong, membodohi, atau menipu umat
manusia lainnya. Jangan biarkan dirimu terlibat dalam pembicaraan yang akan
menyakiti orang lain. Jadilah teman yang baik terlebih dahulu atau menjauhlah dari
kemungkinan perseteruan.
8. Jangan mengirimkan SMS, email, atau mengatakan apapun yang tidak mau kamu
ucapkan dalam kehidupan sehari-hari.
9. Jangan mengirimkan SMS, email, atau mengatakan apapun ke seseorang yang tidak
mau kamu katakan dengan lantang ketika orang tua mereka sedang berada diruangan
itu. Sensorlah dirimu sendiri.
10. Tidak boleh ada pornografi. Carilah informasi di internet yang hanya akan kamu
bagikan ke Ibu secara langsung. Jika kamu memiliki pertanyaan tentang apapun,
tanyalah seseorang lebih baik lagi tanya ke Ibu atau ayahmu.
11. Matikan, diamkan, sembunyikan dari khalayak ramai. Terutama di restoran, didalam
bioskop, atau ketika berbicara dengan umat manusia lain. Kamu bukanlah orang yang
kejam; jangan biarkan iPhone merubah itu.
12. Jangan kirimkan atau menerima gambar/ foto dari bagian pribadi anggota tubuhmu
atau orang lain. Jangan tertawa. Suatu saat kamu akan tergoda untuk melakukannya
secerdas apapun dirimu. Ini sangat beresiko dan dapat menghancurkan masa muda/
kuliah/ atau masa dewasamu. Ini akan selalu jadi ide yang buruk. Dunia maya itu luas
dan lebih kuat daripada dirimu. Sulit sekali menghilangkan jejak dalam skala sebesar ini
termasuk reputasi yang buruk.
13. Jangan mengambil jutaan foto dan video. Tidak perlu mendokumentasikan
segalanya. Alamilah hidupmy sendiri.
Kenangan itu akan tersimpan dalam ingatanmu untuk selamanya.
14. Sesekali tinggalkan iPhone ini dirumah dan coba untuk merasa nyaman dan aman
dengan keputusan itu. Ini (iPhone) bukanlah benda hidup ataupun perpanjangan dirimu.
Belajarlah untuk hidup tanpanya.
Jadilah lebih besar dan lebih kuat daripada FOMO Fear Of Missing Out (rasa takut
kehilangan.)
15. Download lagu yang baru atau yang klasik atau yang berbeda dari yang
didengarkan oleh jutaan orang lain yang mendengarkan hal yang sama. Generasimu
memiliki akses musik yang belum pernah ada selama sejarah. Ambillah keuntungan dari
hal tersebut. Perluas cakrawala-mu.
16. Sesekali mainkan permainan dengan kata-kata atau puzzles (teka-teki) atau
permainan yang melatih otak.
17. Jaga matamu tetap menghadap kedepan. Lihat dunia disekelilingmu. Pandangilah
jendela. Dengarkan kicauan burung. Jalan-jalan. Berbicaralah dengan orang asing.
Berkelilinglah tanpa Googling.
18. Kamu pasti akan melakukan kesalahan. Ibu akan mengampil teleponmu. Kita akan
duduk dan membicarakannya. Kita akan memulai dari awal lagi. Ibu dan kamu, kita
selalu belajar. Ibu adalah bagian dari tim-mu. Kita melakukan ini bersama-sama.
Dan pada akhir daftar kontrak, sang ibu menulis Kebanyakan pelajaran disini tidak
hanya berlaku untuk iPhone, namun untuk kehidupan..
Sungguh perjanjian yang sangat mendidik dan sangat bijak sana bagi anaknya. sangat
cocok sekali dengan keadaan saat ini, zaman di mana kemudahan teknologi membuat
kita jarang berinteraksi secara langsung kepada orang di sekitar kita.
Kita lebih suka berlama-lama sms-an, berlama lama melihat dinding facebook kita, lebih
suka chating. Kita lebih suka menatap layar, dari pada harus bertemu langsung.
Padahal jika kita melakukan hal tersebut secara berlebihan, akan berdampak buruk bagi
perkembangan psikologis kita, khususnya kemampuan untuk berinteraksi secara
langsung dengan masyarakat.
Semoga kisah inspiratif ibu yang memberikan hadiah iPhone 5 kepada anaknya dengan
perjanjian ketat di atas bisa bermanfaat bagi kita semua. (Sumber: mitrafm.com)

You might also like