You are on page 1of 3

Daerah Yogyakarta dan sekitarnya, secara tektonik merupakan kawasan dengan

tingkat aktivitas kegempaan yang cukup tinggi di Indonesia. Kondisi ini disebabkan karena
daerahnya yang berdekatan dengan zona tumbukan lempeng di Samudera Indonesia. Di
samping sangat rawan gempa bumi akibat aktivitas tumbukan lempeng tektonik, daerah
Yogyakarta juga sangat rawan gempa bumi akibat aktivitas sesar-sesar lokal di daratan.
Berdasarkan data dari USGS didapatkan titik koordinat gempa pada 7,977 LS dan 110,318
BT pada kedalaman 35 km dengan magnitude sebesar 6,3 skala richter. Menurut data
geofisika (gaya berat, MT dan geolistrik) menunjukkan bahwa pada zona yang mengalami
kerusakan berat merupakan rendahan Bantul yang terisi oleh endapan muda kuarter (pasir
lanau dari letusan G. Merapi) yang berarah hampir sejajar dengan patahan Opak, yang
mempunyai konduktifitas tinggi. Lapisan sedimen tersebut dapat memperbesar amplitude
getaran gelombang gempa. Disisi lain, penanggulangan gempa bumi dapat dilakukan dengan
perencanaan wilayah yang baik mencakup desain konstruktsi sipil, progam pelatihan mitigasi
sebelum gempa itu sendiri terjadi dan penyediaan media informasi dan komunikasi yang
kritis dan up to date untuk meningkatkan response terhadap bencana ketika terjadi.

http://opac.geotek.lipi.go.id/index.php?id=171&p=show_detail
http://id.wikipedia.org/wiki/Gempa_bumi_Yogyakarta_2006
Masalah penanganan korban gempa serta bantuan pangan dan obat-obatan selanjutnya mulai
dipusatkan di masing-masing lokasi dengan didirikannya posko induk. Demikian halnya
jumlah bantuan dari pihak-pihak lain yang yang perduli korban, nampak terus berlangsung.
Bantuan sandang-pangan yang bersifat personal serta bantuan dari lembaga-lembaga swasta
(LSM) lebih cepat diterima dan dimanfaatkan oleh mereka yang membutuhkan. Sedangkan
bantuan lewat jalur birokrasi seperti dikatakan seorang korban luka ringan yang rumahnya
roboh di Dusun Ponggok I, Jetis, Bantul ketika mengurus permintaan tenda harus pulang
dengan tangan hampa, ia ditolak karena tidak membawa kartu identitas atau Kartu Tanda
Penduduk (KTP).

Dalam amatan penulis, distribusi bantuan akomodasi serta logistik melalui jalur formal
nampak belum berjalan optimal, belum merata memenuhi kebutuhan para korban seperti
diharapkan. Khususnya di daerah-daerah yang tidak terjangkau kendaraan roda empat dan
berada di pelosok dusun, hanya memperoleh bantuan dalam jumlah sangat terbatas.
Kebutuhan tenda, selimut, pakaian layak hingga lampu senter serta lampu penerangan untuk
setiap tenda pengungsi di malam hari belum juga tercukupi. Sejak hari pertama setelah
gempa, di mana jalur-jalur komunikasi terputus, semua telepon seluler belum berfungsi
optimal sehingga untuk mengetahui lokasi mana yang sangat membutuhkan bantuan menjadi
sulit dipetakan.
Sampai hari ketiga pascagempa, hilir-mudik mobil ambulan dari berbagai lembaga terus
menelusuri daerah korban gempa menolong korban, termasuk helikopter Badan SAR
Nasional (Basarnas) mengangkut korban sebagai langkah evakuasi ke Mini Hospital, yang
sudah dipersiapkan di kompleks Gedung Olahraga UNY, Kampus Karangmalang, Yogyakarta.
http://sosbud.kompasiana.com/2013/05/27/mengenang-gempa-tektonik-2006-di-
yogyakarta-dan-sekitarnya-1-559539.html
Secara umum mitigasi bencana gempabumi menawarkan konsep mengenai Model Pola aliran
Penanggulangan Bencana Gempabumi dan Rancangan Manajemen Resiko Bencana[3].
Model pola aliran penanggulangan bencana menawarkan suatu tindakan untuk mengurangi
resiko bencana di dalam rentang yang luas dari fungsi dan operasi didalam suatu kota secara
terus menerus.


Gambar 1. Model Pola Aliran: Koordinasi Dari
Pusat + Inmelementasi Tingkat Lokal + Partisipasi



Rencana Manajemen Resiko Bencana menyediakan suatu sistem yang memudahkan
pemerintah daerah untuk mengimplementasikan agenda manajemen resiko bencana secara
sistematis pada suatu wilayah termasuk aspek legal formalnya, institusi yang terkait,
pendanaannya, kapasitas sosial dan teknisnya. Tujuan dari Rancangan manajemen resiko
bencana adalah menyiapkan (1) rancangan kerangka kerja institusi dan legal untuk
menyampaikan sistem Manajemen Resiko Bencana (2) penggabungan program
pelatihanManajamen Resiko Bencana ke dalam proses internal pemerintah dan aktivitas
bisnis secara terus menerus di dalam wilayah dengan memperkenalkan Rencana Manajemen
Risiko Bencana sebagai praktek perencanaan yang kritis yang diambil oleh wilayah tersebut
sebagai aturan dasar. Pendekatan Secara Ilmiah dan Kerjasama Antar Kota
http://merliindriati.blogspot.com/2010/10/manajemen-risiko-bencana-gempa-bumi-
di.html
Proses mitigasi adalah beberapa tindakan yang seharusnya diambil sebelum terjadinya suatu
bencana dalam rangka pengurangan resiko bencana yang terintegrasi dengan menggunakan
sistem
pengembangan yang berkelanjutan /sustainable development. Resiko yang ditimbulkan oleh
bencana
gempabumi terhadap kehidupan manusia termasuk, perencaan wilayah yang baik dan
penyediaan media
informasi dan komunikasi yang kritis dan up to date sebagai sarana untuk meningkatkan
response terhadap
bencana. Mitigasi gempabumi hendaknya mencakup konsep Model Utama dan Rencana
Awal Manajemen
Mitigasi Bencana yang harus diimplementasikan untuk mengurangi resiko bencana gempa
bumi.Gempabumi
Yogya sebagai studi kasus yang cukup baik untuk implementasi sistem manajemen
gempabumi

You might also like