You are on page 1of 19

Laboratorium Ilmu Kesehatan Jiwa Laporan Kasus

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

Ketergantungan Zat Psikoaktif
Amfetamin




Oleh
Listyono Wahid Rhomadani
0808015009

Pembimbing
dr. H. Jaya Mualimin, Sp. KJ. M. Kes

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik
Laboratorium Ilmu Kesehatan Jiwa
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
2012
LAPORAN KASUS
Dipresentasikan pada Kegiatan Kepaniteraan Klinik Laboratorium Ilmu Kesehatan Jiwa.
Pemeriksaan dilakukan pada Hari Kamis, 27 September 2012 pukul 12.15 WITA di IGD.
RSJD Atma Husada Mahakam Samarinda. Sumber Anamnesa : autoanamnesa.

RIWAYAT PSIKIATRI

A. Identitas Pasien
Nama : Tn. Iswan
Umur : 31 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Status perkawinan : Belum Menikah
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Karyawan Tambang (Operator Alat Berat)
Suku : Bugis
Alamat :
Pasien datang berobat ke IGD RS Atma Husada Mahakam Samarinda diantar oleh keluarga
pasien.


B. Keluhan Utama
Pasien dibawa untuk rehabilitasi NAPZA (shabu-shabu)


C. Riwayat Penyakit Sekarang
Autoanamnesis
Pasien dibawa oleh kejaksaan untuk rehabilitasi NAPZA. Pasien mengkonsumsi shabu-shabu
sejak 12 tahun yang lalu. Sebelum berangkat bekerja pasien terbiasa mengkonsumsi shabu-
shabu.

Heteroanamnesis
Heteroanamnesis tidak dilakukan karena keluarga pasien tidak ada.

D. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengkonsumsi shabu-shabu sejak 12 tahun yang lalu berawal dari pemberian
teman-teman pasien.
Pasien tidak pernah mengalami cedera kepala, tidak ada riwayat malaria, tidak ada
riwayat kejang berulang, tidak ada riwayat hipertensi.
Riwayat mengkonsumsi alkohol hingga 5 bulan yang lalu. Riwayat merokok hingga
sekarang.

E. Riwayat Keluarga
Riwayat Keluarga
Struktur keluarga yang tinggal serumah dengan penderita hingga usia 2 tahun :

Nama L/P Hub Umur Sifat
Ayah L Ayah 50 thn -
Ibu P Ibu 45 thn -
Inal L Kakak kandung 11 thn -
Sri P Kakak kandung 9 thn -
Ipul L Kakak kandung 7 thn -
Ipan L Kakak kandung 4 thn -
Iswan L Os 2 thn Manja

Struktur keluarga yang tinggal serumah sampai saat penderita berusia 10 tahun:

Nama L/P Hub Usia Sifat
Sayuti L Om 50 thn -
Siti P Tante 45 thn -
Iswan L Os 10 thn Manja

Struktur keluarga yang tinggal dengan penderita sekarang :

Nama L/P Hub Usia Sifat
Aswar L Sepupu 33 thn
Safira P Istri Sepupu 28 thn
Iswan L Os 32 thn Mandiri


Genogram


F. Riwayat Pribadi
Pasien tinggal bersama keluarga hingga usia 2 tahun, kemudian karena Ibu meninggal
pasien di asuh oleh tantenya hingga SMA. Sedangkan saudara kandungyang lain ikut dengan
nenek. Tinggal bersama tantenya pasien merupakan orang yang manja, periang, dan mudah
bergaul. Ayah pasien meninggal tahun 2000 saat pasien lulus SMA. Pasien pertama kali
mengenal rokok dan alkohol saat di bangku SMP karena diajak oleh teman-teman sekelas.
Mulai mengenal NAPZA saat dibangku SMA kelas 2 tahun 1999, pertama kali yang
digunakan adalah ganja. Pasien mengenal shabu-shabu pertamakali saat lulus SMA dan
pindah ke Makassar untuk mengikuti kursus, karena sering ke tempat hiburan malam saat di
Makassar, pasien terpengaruh oleh temannya untuk mengkonsumsi shabu. Pada tahun 2001,
keluarga pasien mengetahui bahwa pasien menggunakan NAPZA berdasarkan laporan dari
sepupu pasien. Sehingga pihak keluarga memutuskan untuk menitipkan pasien pada
sepupunya di Sangata, Kalimantan Timur, untuk bekerja. Tahun 2001 hingga 2004 pasien
bekerja sebagai driver dan supervisor di perusahaan tambang. Pertengahan tahun 2004 pasien
menjalani kursus dibidang mekanik alat berat, sehingga pada tahun 2005 pasien berpindah
posisi menjadi mekanik dan driver dump truck hingga tahun 2012. Pada Januari 2012 pasien
mencoba untuk tinggal terpisah dari sepupunya (kos), namun menjadi terpengaruh oleh
teman-temannya lagi untuk menggunakan shabu-shabu, terlebih saat jam kerja berubah, yang
pada awalnya 7-8 jam / hari menjadi 13 jam / hari. Pasien menggunakan shabu shabu
sebagai stimulant agar kuat bekerja. Pada Juni 2012 pasien dijebak oleh temannya sendiri
yang juga pengedar di tempat kos pasien bersama 3 orang lainnya. Saat tertangkap oleh
kepolisian, pasien sedang tidak menggunakan shabu-shabu, namun peralatan yang digunakan
untuk mengkonsumsi shabu-shabu ditemukan dan menjadi barang bukti untuk penangkapan
pasien. Saat berada dalam rumah tahanan pasien mengaku sangat menderita 1 bulan pertama
karena sering mengalami gejala putus zat. Namun bulan berikutnya menjadi terbiasa hingga
bebas dari tahanan dan menjalani masa rehabilitasi sejak tanggal 13 November 2012. Saat ini
pasien mengaku tersadar dan tidak ingin lagi menggunakan NAPZA karena seorang wanita
yang dicintainya dengan tulus menjenguk dan memperhatikannya saat berada di rumah
tahanan.

STATUS PSIKIATRI

Kesan Umum : sakit ringan, tenang, kooperatif
Kontak : verbal (+), lancar, visual (+)
Kesadaran : compos mentis, atensi (+), orientasi baik
Emosi / Afek : stabil / afek sesuai
Proses Berpikir : cepat, koheren, waham (-)
Intelegensi : baik
Persepsi : halusinasi visual (-), auditori (-), ilusi (-)
Psikomotor : dalam batas normal
Kemauan : ADL mandiri

STATUS FISIK

Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis, GCS E4 V5 M6
Tekanan Darah : 120/70 mmHg
Nadi : 80 x/menit
RR : 20 x/menit
Sistem Kardiovaskular : tidak didapatkan kelainan
Sistem Respiratorik : tidak didapatkan kelainan
Sistem Gastrointestinal : tidak didapatkan kelainan
Sistem Urogenital : tidak didapatkan kelainan

Status Neurologikus
Panca Indera : tidak didapatkan kelainan
Tanda Meningeal : tidak didapatkan kelainan
Tekanan Intrakranial : tidak didapatkan kelainan
Mata
Gerakan : normal
Pupil : isokor
Diplopia : tidak ditemukan
Visus : tidak dilakukan pemeriksaan




DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN
Diagnosis Multi Aksial
Aksis I : F15.21 Kini abstinen dalam lingkungan terlindung.
Aksis II : Tidak ada diagnosis.
Aksis III : Tidak ada diagnosis.
Aksis IV : Masalah berkaitan dengan lingkungan sosial.
Masalah pekerjaan
Aksis V : GAF Scale 90-81

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah lengkap, GDS, Ureum, Kreatinin,Asam Urat.
Pemeriksaan Narkoba.Sampel Urin.
MMPI test

Penatalaksanaan Psikoterapi
1. Memberi dukungan dan motivasi pada pasien agar dapat menahan keinginan untuk
menggunakan NAPZA kembali dan mencari teman yang dapat membawa kepada arah
yang lebih baik dan menjauhi NAPZA.
2. Menyarankan kepada pasien untuk menjauhi teman-teman pasien yang cenderung
untuk mengajak pasien menggunakan NAPZA kembali.
3. Memberikan informasi kepada keluarga terhadap pentingnya dukungan keluarga
dalam membantu kesembuhan pasien.

PROGNOSIS
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : bonam



FORMULASI PSIKODINAMIK

Pasien datang ke IGD RSKD Atma Husada Mahakam Samarinda pada Hari Kamis, 27
September 2012 pukul 12.15 WITA di IGD dibawa oleh pihak kejaksaan dengan keperluan
untuk menjalani masa rehabilitasi NAPZA. Pasien datang tanpa ditemani oleh keluarganya.
Berdasarkan autoanamnesis pasien orang yang terbuka dan memiliki niat baik untuk sembuh
dari ketergantungannya terhadap NAPZA. Tidak terdapat kelainan dari pemeriksaan fisik.
Riwayat pribadi pasien menggambarkan bahwa pasien mudah terbujuk oleh rayuan teman-
temannya untuk mengkonsumsi NAPZA.


TINJAUAN PUSTAKA

Gangguan karena Amfetamin
Resemik amphetamine sulfat pertama kali disintesis pada tahun 1887 dan dikenalkan
dalam praktik klinis pada tahun 1932 sebagai inhaler yang dapat dibeli bebas untuk kongesti
hiidung dan asma. Di tahun 1937, tablet amphetamine sulfat diperkenalkan untuk mengobati
narkolepsi, parkinsonisme pascaensefalitis, depresi dan letargi. Produksi, pemakaian legal dan
penggunaan gelap amfetamin meningkat sampai tahun 1970-an saat berbagai faktor social dan
aturan mulai membatasi penggunaannya secara luas. Indikasi penggunaan amfetamin yang
sekarang diajukan adalah terbatas pada gangguan defisitetansi/hiperaktivitas, narkolepsi dan
gangguan depresif. Amfetamin juga digunakan untuk mengobati obesitas walaupun masih
controversial.
Bentuk-bentuk
Sekarang ini, amfetamin utama yang tersedia adalah dextroamphetamine,
metaamphetamine dan methylphenidate. Obat ini beredar luas dengan nama crack, sabu-sabu,
ekstasi dan speed. Sebagai suatu kelas umum, amfetamin juga di maksudkan sebaagai suatu
simpatomimetik, stimulan dan psikostimulan.
Amfetamin tipikal digunakan untuk meningkatkan daya kerja dan untuk menginduksi
perasaaan euforia. Pelajar yang belajar untuk ujian, pengendara truk jarak jauh, orang bisnis
dengan deadline penting dan atlet untuk kompetisi adalah contoh orang dan situasi dimana
amfetamin digunakan. Amfetamin adalah obat yang adiktif walaupun tak seadiktif kokain.
Zat yang berhubungan dengan amfetamin lainnya adalah efedrin dan propanolamin
yang tersedia secara bebas sebagai dekongestan hidung. Phenilpropanolamin juga tersedia
sebagai penekan nafsumakan. Walaupun kurang poten dibanding amfetamin klasik, efedrin
dan propanolamin sering menjadi sasaran penyalahgunaan karena mudah didapat dan
harganya murah. Kedua obat, propanolamin khususnya dapat mencetuskan hipertensi,
mencetuskan suatu psikosis toksik atau menyebabkan kematian. Batas keamanan untuk
propanolamin adalah sempit, dan tiga sampai empat kali dosis normal dapat menyebabkan
hipertensi yang mengancam kehidupan.

Neurofarmakologi
Semua amfetamin cepat diabsorbsi peoral dengan onset kerja yang cepat, biasanya
satu jam jika digunakan peroral. Amfetamin klasik juga digunakan secara intravena. Dengan
cara kerja tersebut mereka mempunyai efek yang hampir segera. Amfetamin yang tak
diresepkan dan racikan juga dimasukkan dalam inhalasi. Toleransi timbul pada amfetamin
klasik dan amfetamin racikan, walaupun pemakai amfetamin sering seringkali mengatasi
toleransi dengan menggunakan lebih banyak obat. Amfetamin adalah kurang adiktif
dibandingkan kokain, seperti yang dibuktikan oleh percobaan binatang dimana tidak semua
tikus coba secara spontan memasukkan sendiri dosis rendah amfetamin. Penelitian lebih lanjut
pada model binatang tersebut dapat membantu dokter mengerti kepekaan beberapa pasien
terhadap ketergantungan amfetamin.
Amfetamin klasik mempunyai efek primernya dengan menyebabkan pelepasan
katekolamin terutama dopamin dari terminal presinaptik. Efek tersebut terutama kuat pada
neuron dopaminergik yang keluar dari area tegmental ventralis ke korteks serebri dan area
limbik. Jalur ini disebut jalur hadiah atau reward pathway dan aktivasinya kemungkinan
mekanisme adiksi utama pada pemakai amfetamin.
Amfetamin racikan (MDMA, MDEA, MMDA dan DOM) menyebabkan pelepasan
katekolamin dan pelepasan katekolamin yaitu dopamin dan norepinefrin dan pelepasan
serotinin. Serotinin adalah neurotransmitter utama yang terlibat dalam halusinogen.
Farmakologi MDMA adalah yang paling dimengerti dengan baik dalam kelompok tersebut.
MDMA di ambil dalam neuron serotonergik oleh transporter serotinin yang bertanggung
jawab untuk pengambilan kembali serotinin. Setelah didalam neuron, MDMA menyebabkan
pelepasan suatu bolus serotinin dan menghambat aktivitas enzim yangmenghasilkan serotinin.
Sebagai akibatnya, pasien yang menggunakan inhibitor ambilan kembali spesifik serotonin
contohnya fluoxetine tak dapat mencapai perasaan ketinggian jika mereka menggunakan
MDMA karena inhibitor ambilan kembali spesifik serotonin mencegah pengambilan MDMA
kedalam neuron serotonergik mencegah pengambilan MDMA kedalam neuron serotonergik
mencegah pengambilan MDMA ke dalam neuron serotonergik.
Diagnosis
Diagnostic and Statistical Manual of Mental disorder edisi keempat (DSM-IV) menuliskan
banyak gangguan berhubungan amfetamin. Tetapi menyebutkan criteria diagnostic hanya
untuk intoksikasi amfetamin, putus amfetamin dan gangguan berhubungan amfetamin yang
tak terspesifikasi ketempat lain.




Ketergantungan dan penyalahgunaan
Ketergantungan amfetamin dapat menyebabkan penurunan cepat kemampuan
seseorang untuk mengatasi kewajiban dan ketegangan yang berhubungan dengan pekerjaan
dan keluarga. Orang yang menyalahgunakan amfetamin memerlukan dosis amfetamin yang
semakin tinggi untuk mendapatkan perasaan melambung yang biasanya dan tanda fisik
penyalahgunaan amfetamin hamper selalu timbul pada penyalahgunaan yang terus menerus.
Intoksikasi
Sindrom intoksikasi oleh kokain dan amfetamin adalah serupa. Karena penelitian yang
lebih giat dan mendalam telah dilakukan terhadap penyalahgunaan dan intoksikasi kokain
dibandingkan terhadap amfetamin, literatur klinik tentang amfetamin, sangat dipengaruhi oleh
temuan klinis pada penyalahgunaan kokain. Sebagai contoh, dalam DSM IV, kriteria
diagnostik untuk intoksikasi amfetamin dan intoksikasi kokain adalah dipisahkan tetapi
sebenarnya sama. DSM-IV memungkinkan spesifikasi adanya gangguan perseptual. Jika tes
realitas tidak terdapat, diagnosis suatu gangguan psikotik akibat amfetamin dengan onset
selama intoksikasi adalah diindikasikan. Gejala intoksikasi amfetamin adalah hamper
menghilang sama sekali setelah 24 jam dan biasanya menghilang secara lengkap setelah 24
jam.
Putus Amfetamin
Keadaan setelah intoksikasi amfetamin dapat disertai dengan kecemasan, gemetar,
mood disforik, letargi, fatigue, mimpi menakutkan, nyeri kepala, keringat banyak, kram otot,
kram lambung dan rasa lapar yang tak pernah kenyang. Gejala putus biasanya memuncak dua
sampai empat hari dan menghilang dalam satu minggu. Gejala putus amfetamin yang paling
serius adalah depresi, yang dapat berat setelah pengguanaan amfetamin dosis tinggi secara
terus-menerus dan yang dapat disertai usaha bunuh diri. Kriteria diagnostik DSM-IV untuk
putus amfetamin menyebutkan bahwa suatu mood disforik dan sejumlah perubahan fisiolgis
adalah diperlukan untuk mendiagnosis putus amfetamin.

Gambaran Klinis
Amfetamin Klasik
Pada seseorang yang sebelumnya belum pernah menggunakan amfetamin, dosis
tunggal 5 mg meningkatkan rasa kesehatannya dan menyebabkan elasi, euforia dan
keramahan. Dosis kecil biasanya memperbaiki pemusatan perhatian merekadan meningktkan
kinerja dalam tugas menulis, oral dan bekerja. Terdapat juga penurunan kelelahan,
menyebabkan anoreksia dan peningkatan ambang rasa nyeri. Efek yang tidak diharapkan
menyertai penggunaan dosis tinggi untuk periode waktu yang lama.
Amfetamin Racikan
Karena efeknya pada system dopaminergik, amfetamin racikan memiliki sifat
mengktifkan dan memberikan energi. Tetapi, efeknya pada sistem serotonergik, mewarnai
pengalaman dengan obat tersebut dengan suatu karakter halusinogenik. Amfetamin racikan
dikaitkan dengan disorientasi dan distorsi persepsi yang lebih sedikit daripada halusinogenik
klasik contohnya lysergic acid diethylamine atau LSD. Rasa keakraban dengan orang lain dan
rasa nyaman pada diri sendiri dan peningkatan kecerahan objek adalah efek yang sering
dilaporkan pada MDMA atau dikenal dengan ekstasi (XTC). Beberapa ahli psikoterapi telah
menggunakan dan menganjurkan penelitian yang lebih lanjut tentang amfetamin racikan
sebagai adjuvan terhadap psikoterapi. Anjuran tersebut adalah kontroversial,


Efek Merugikan
Amfetamin Klasik
Efek pada serebrovaskular, jantung dan GIT adalah diantara efek merugikan yang
paling sering berhubungan dengan penyalahgunaan amfetamin. Keadaan spesifik yang
mengancam kehidupan adalah adanya infark miokardium, hipertensi berat, penyakit
kardiovaskular dan kolitis iskemik. Gejala neurologis yang terjadi terus-menerus, dari kedutan
sampai tetanus sampai kejang, koma dan berakhir dengan kematiaan dapat menyerang dengan
pemakaian dosis amfetamin yang semakin tinggi. Penggunaan amfetamin intravena
berhubungan dengan transmisi virus HIV dan hepatitis dan dengan perkembangan abses paru,
endokarditis dan angitis nekrotikan. Beberapa penelitian telah menemukan bahwa informasi
tentang praktik seks yang aman dan penggunaan kondom adalah tidak diketahui denganbaik
oleh pelaku penyalahgunaan amfetamin. Efek merugikan yang kurang mengancam kehidupan
adalah kemerahan, pucat, sianosis, demam, nyeri kepala, takikardia, palpitasi, mual muntah,
bruxism (menggesekkan gigi), sesak nafas, tremor dan ataksia. Penggunaan amfetamin oleh
wanita yang mengandung telah disertai dengan BBLR, lingkar kepala yang kecil, usia
kehamilan dini dan retardasi pertumbuhan. Efek psikologis yang merugikan dari amfetamin
adalah kegelisahan, insomnia, iritabilitas, sikap permusuhan dan konfusi. Gejala gangguan
kecemasan, seperti gangguan kecemasan umum dan gangguan panik dapat diinduksi oleh
penggunaan amfetamin. Ideas of reference, waham paranoid dan halusinasi dapat diselesaikan
dengan pemakaian amfetamin.

Amfetamin Racikan
Amfetamin racikan mempunyai efek yang merugikan yang sama dengan amfetamin klasik.
Tetapi, berbagai efek merugikan lainnya juga telah dihubungkan dengan obat racikan. Secara
klinis, suatu efek merugikan yang berat yang berhubungan dengan MDMA adalah hipertermia
yang disebabkan oleh obat dan selanjutnya dieksaserbasi oleh aktivitas yang berlebihan
contohnya berdansa liar di klub yang panas dan padat. Terdapat sejumlah laporan klinis
tentang kematian yang berhubungan dengan pemakaian MDMA dibawah situasi tersebut.
Peneliti dasar berbeda dalam pendapat mereka tentang apakah MDMA menyebabkan
neurotoksisitas dalam dosis yang digunakan oleh manusia.

Pengobatan
Pengobatan gangguan berhubungan amfetamin adalah mirip dengan gangguan
berhubngan dengan kokain berupa kesulitan dalam membantu pasien tetap abstinen dari obat
yang mempunyai kualitas mendorong yang sangat kuat dan yang menginduksi kecanduan.
Lingkungan rawat inap danpenggunaan cara pengobatan yangbermacam-macam biasanya
diperlukan untukmencapai abstinensi zat yang berlangsung selamanya. Pengobatan gangguan
spesifik akibat amfetamin mungkin diperlukan dalam jangka waktu yang pendek. Anti
psikotik, baik phenotiazine atau haloperidol dapat diresepkan untuk beberapa hari pertama.
Tanpa adanya psikosis, diazepam adalah berguna untuk mengobati agitasi dan hiperaktivitas
pasien.
Dokter harus menegakkan ikatan terapetik dengan pasien untuk mengatasi depresi atau
gangguan kepribadian dasar ataukeduanya. Tetapi, karena banyak pasien adalah mengalami
ketergantungan berat dengan obat, psikoterapi mungkin sangat sulit.


Tanda-tanda overdosis
Jika salah satu dari gejala di bawah ini timbul, segera cari pertolongan. Membiarkan
seseorang dalam kondisi ini akan berakibat fatal.
Muka pucat.
Ketidaksadaran.
Denyut nadi lemah.
Ling-lung.
Nafas pendek atau sulit bernafas.

Langkah-langkah yang harus diambil ketika bantuan datang:
Ketika bantuan datang, beritahu paramedis jenis narkoba apa yang menyebabkan
korban mengalami overdosis. Informasi ini yang dapat menyelamatkan hidup mereka.
Bersihkan saluran pernafasan (hidung dan mulut).
Baringkan korban di sisi paramedis (untuk mencegah tersedak).
Periksa pernafasan.
Periksa denyut jantung.

PEMBAHASAN

Diagnosis
Axsis I
Kriteria Diagnostik untuk lntoksikasi Amfetamin DSM IV
Kriteria penilaian Pada
pasien
A. Pemakaian amfetamin atau zat yang berhubungan (misalnya,
methyiphenidate) yang belum lama terjadi.
B. Perilaku maladaptif atau perubahan perilaku yang bermakna secara klinis
(misalnya, euforia atau penumpulan afektif; perubahan sosiabilitas;
kewaspadaan berlebihan; kepekaan interpersonal; kecemasan, ketegangan,
atau kemarahan; perilaku stereotipik; gangguan pertimbangan; atau
x


x


gangguan fungsi sosial atau pekerjaan) yang berkembang selama, atau segera
setelah, pemakaian amfetamin atau zat yang berhubungan.
C. Dua (atau lebih) hal berikut, berkembang selama atau segera sesudah,
pemakaian amfetamin atau zat yang berhubungan:
(1) takikardia atau bradikardia
(2) dilatasi pupil
(3) peninggian atau penurunan tekanan darah
(4) berkeringat atau menggigil
(5) mual atau muntah
(6) tanda-tanda penurunan berat badan
(7) agitasi atau retardasi psikomotor
(8) kelemahan otot, depresi pernapasan, nyeri dada, atau aritmia
jantung
(9) konfusi, kejang. diskinesia, clistonia, atau koma
D. Gejala tidak disebabkan oleh kondisi medis umum dan tidak lebih baik
diterangkan oleh gangguan mental lain.
Sebutkan jika:
dengan gangguan persepsi






x


x
x
x


x

Shabu-shabu merupakan psikotropika jenis methamphetaimne, merupakan golongan
stimulant yang dapat merangsang fungsi tubuh dan meningkatkan kegairahan kerja. Jenis ini
dapat membuat pemakainya menadi aktif segar dan bersemangat. Penggunaan amphetamine
biasa ditemui pada pelajar, supir truk, atlet, dan orang yang menginginkan untuk selalu terjaga
dan fokus.
Pada autoanamnesa pasien menjelaskan bahwa pasien adalah pengkonsumsi shabu-shabu
(amfetamin) sejak 1 tahun terakhir yang pada awalnya terpengaruh oleh teman hingga
pemakaian rutin 1 paket/2 hari, pasien hanya menggunakan shabu-shabu jika dirasa perlu
untuk meningkatkan gairah kerja. Pasien mengaku terakhir menggunakan shabu 6 bulan yang
lalu.
Untuk memastikan diagnosis dan objektivitas penjelasan pasien maka dilakukan uji
laboratorium urin untuk melihat sisa metabolisme shabu dalam urin, normalnya pada urine
akan terdapat sisa metabolisme amfetamin selama 5-7 hari. Pada pasien hasil laboratorium
untuk met-amfetamin dan amfetamin dinyatakan negatif. Sehingga dapat ditarik kesimpulan
bahwa dalam 1 minggu terakhir pasien tidak mengkonsumsi shabu-shabu.
Perubahan perilaku yang dialami pasien dalam beberapa tahun terakhir yaitu lebih semangat
bekerja. Kemudian pasien menjelaskan adanya perasaan sulit untuk tidur dan tidak ada nafsu
makan setelah pemakaian.

Axsis II
Untuk Axsis II, berdasarkan anamnesa didapatkan kepribadian premorbid pasien
merupakan pribadi yang terbuka, suka bergaul, dan mudah bersosialisasi, sehingga
disimpulkan tidak ada diagnosis untuk Axsis II.

Axsis III
Untuk Axsis III, berdasarkan anamnesa tidak didapatkan kelainan.


Axsis IV
Untuk Axsis IV, berdasarkan anamnesa didapatkan bahwa pasien lebih banyak
menggunakan shabu karena pengaruh teman-teman, sehingga diagnosis pada Axsis IV adalah
masalah berkaitan dengan lingkungan sosial.

Axsis V
GAF 90-81 gejala-gejala minimal, berfungsi dengan baik, cukup puas, tidak lebih dari
masalah harian biasa.

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan terhadap akibat toksisitas dari amfetamine bertujuan untuk
menstabilisasi fungsi vital, mencegah absorbsi obat yang lebih lanjut, mengeliminasi obat
yang telah diabsorbsi, mengatasi gejala toksik spesifik yang ditimbulkan dan disposisi.
Toksisitas amfetamine kurang berhubungan dengan kadar dalam serum, penatalaksanaan
hanya berupa perawatan tidak spesifik berdasarkan gejala klinik yang ditimbulkan

1. Tindakan emergensi dan suportif
o Mempertahankan fungsi pernafasan
o Terapi agitasi: Midazolam 0,05-0,1 mg/Kg IV perlahan-lahan atau 0,1-0,2 mg/kg IM;
Diazepam 0,1-0,2 mg/kg IV perlahan-lahan; Haloperidol 0,1-0,2/kg IM atau IV
perlahan-lahan
o Terapi kejang: Diazepam 0,1-0,2 mg/kg BB IV; Phenitoin 15-20 mg/kg BB infus
dengan dosis 25-50 mg/menit; pancuronium dapat digunakan bila kejang tidak teratasi
terutama dengan komplikasi asidosis dan atau rabdomiolisis
o Terapi coma, Awasi suhu, tanda vital dan EKG minimal selama 6 jam Terapi spesifik
dan antidotum, pada amfetamine tidak ada antidotum khusus
o Terapi hipertensi: phentolamine atau nitroprusside
o Terapi tachiaritmia: propanolol atau esmolol
o Terapi hiperthermia: bila gejala ringan terapi dengan kompres dingin atau sponging
bila suhu lebih dari 40
o
C atau peningkatan suhu berlangsung sangat cepat terapi lebih
agresif dengan menggunakan selimut dingin atau ice baths. Bila hal ini gagal dapat
digunakan Dantrolene. Trimethorfan 0,3-7 mg/menit IV melalui infus.
o Terapi hipertensi dengan bradikardi atau talhikardi bila ringan biasanya tidak
memerlukan obat-obatan. Hipertensi berat (distolik > 120 mmHg) dapat diberikan
terapi infus nitroprusid atau obat-obat lain seperti propanolol, diazoksid,
khlorpromazine, nifedipin dan fentolamin
o Gejala psikosa akut sebaiknya diatasi dengan supportive environment dan evaluasi
cepat secara psikiatri. Gejala yang lebih berat dapat diberikan sedatif dengan
khlorpromazin atau haloperidol.

2. Dekontaminasi
Dekontaminasi dari saluran cerna setelah penggunaan amphetamine tergantung pada
jenis obat yang digunakan, jarak waktu sejak digunakan, jumlah obat dan tingkat agitasi dari
pasien. Pada pasien yang mempunyai gejala toksik tetapi keadaan sadar berikan activated
charcoal 30-100 gr pada dewasa dan pada anak-anak 1-2 gr/kg BB diikuti atau ditambah
dengan pemberian katartik seperti sorbitol. Bila pasien koma lakukan gastric lavage dengan
menggunakan naso atau orogastric tube diikuti dengan pemberian activated charcoal.


DAFTAR PUSTAKA

1. Kaplan, Sadock. 2010. Sinopsis Psikiatri. Ilmu Pengetahuan Psikiatri Klinis Edisi 10.
Alih bahasa: Widjaja Kusuma. Jawa Barat: Binarupa Aksara
2. Departemen Kesehatan RI. 1993. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan
Jiwa di Indonesia (PPDGJ). Edisi ke III. Jakarta
3. Kumisnarno, Ketut. 2002. Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika
dan Zat Aditif Lainnya (NAPZA). Cermin Dunia Kedokteran No.135 hal.17-20.
Jakarta
4. Badan Narkotika Provinsi Kalimantan Timur. 2008. Pengenalan Jenis-Jenis Narkoba.
Cited on: http://bnpkaltim.blogspot.com/. Diakses tanggal 15 Januari 2012.
5. Maslim, R. Buku Saku Diagnosis Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ III. Bagian Ilmu
Kedokteran Jiwa Unika Atmajaya: Jakarta. 2003
6. Maslim, R. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik edisi ketiga. Bagian
ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.2007
7. Elvira, Sylvia D & Gitayanti Hadisukanto. Buku Ajar Psikiatri. FK UI: Jakarta. 2010

You might also like