You are on page 1of 35

INFEKSI NOSOKOMW (IN)

DI RUMAH SAKlT KHUSUS PENYAKIT MENULAR, JAKARTA


Jams*, Sutoto*, dan Narain H. Punjabi**
ABSTRACT
A prospective rbndomized study to establish nosocomial infection (NI) mte was conducted at
the Infectious Diseases Hospital (IDH) of Jakarta for 1 year in 198211983. Specimens were
obtained from mndomized patients for blood culture, rectal swabs and urine culture on day-1, 3
and 7. In addition, if there is any indication, other examinations were pefotmed for patients
hospitalized longer than 2 days, including culture of infusion needle. From 2,288 patients
hospitaIized during study periorl, 723 patients (aged 2 months-70 years) fulfilled the criteria for
inclusion into the study, and NZ was found in 191 (26.4%) patients with 285 infections according
to the anatomical location. From 285 infections, highest infection rate was urinary tract
nosocomial infection (15.970)~fo llowed by nosocomial bacteremia (10,8%), lower respiratory
tract infection (4.770), gastrointestinal tract nosocomial infection (2.6%), skin nosocomial
infection (2,4%), oral mucous membrane nosocomial infection (1,4%), nosocomial infection of
infusion needle and the lowest rate was upper respiratory tract nosocomial infection (0.6%). me
incidence was higher in female patients (29.1%) compared to male patients (24.0%). It was also
higher in younger age group with highest in less than I year old (47.170) and decreased as age
of patients increased. Comparing the group of patients due to type of their illnesses, the
incidence was significantly higher in febrile patients (52.0%) compared to diarrhea patients
(12.9%) (p< 0.05). It was also higher in group with community acquired infection (27.4% vs.
24.270; in patients who received invasive procedureslintravenous fluid administration (30.6%
vs. 19.6%; p < O,O5), with catheterization (64.7% vs. 12.3%; p < 0,01), received oqgen
treatment (23.4 vs 3.4%, p < 0.001), received antibiotics prior to hospitalization (34.4% vs.
20.9%, p<0.001), and for patients who were hospitalized for > days compared to <7 days
(20.2% vs. 18.470). Most common etiologic agents were gram negative organism (94.4%) with
E.coli (20.3%) the most frequent, with gram positive organism was found in 5.6%. Some
organisms recovered i.e. Klebsiella sp, Proteus sp, Akaligenes sp and Citrobacter sp showed
high resistency toward common& utilized antibiotics in the hospital,i.e., Ampicillin,
Tetracycline, and Chloramphenicol. Average duration of hospitalization for patients with NZ
(8.3 days) was longer than patients without it (4.3%). Fourteen out of 191 patients with NZ
died (7.3704 compared 0% in patients without NZ, it was also significantly hkher (p < 0,001) in
patients who received invasive treatment, oxygen (through masklnasal ca~nule), mucus suction
(45,570) compared to who didn't get invasive treatment (4,3%). Morldli: of NI patients was due
to more severely of underlying disease of the NI patients.
* Rumah Sakit Khusus Penyakit Menular (RSKPM)/R.S Karantina, Ditjen PPM dan PLP,
Jakarta.
* * U.S. Naval Medical Research Unit No.2, Jakarta.
Bul. PeneliL KesehaL 20 (2) 1992
Inlckai amtomid (IN) di Mub satit -.... JM dal



























PENDAHULUAN
Infeksi nosokomial (IN) adalah infeksi
yang didapat seseorang selama dirawat di
rumah sakit1. Saat ini IN merupakan salah satu
sebab utama meningkatnya angka kesakitan dan
angka kematian di rumah sakit, serta
menyebabkan secara langsung atau tidak
langsung bertambahnya biaya perawatan2.
IN merupakan problema besar kesehatan
rakyat, bukan hanya untuk penderita, tetapi
juga untuk masyarakat dan negara, baik di
negara berkembang maupun di negara maju;
di negara berkembang IN terlihat lebih
prevalen dan lebih serius3.
Angka insiden infeksi nosokomial di
beberapa negara di luar negeri antara
3,3%-9,2%4-12, dengan angka kematian kasus
6,4%13.

Di Indonesia sendiri data IN belum jelas
Di Indonesia sendiri data IN belum jelas,
karena penelitian masih kurang dan tidak
!engkap. Diantaranya adalah penelitian
retrospektif IN di Bagian Perinatologi dengan
angka insiden infeksi nosokomial antara
11,1%-15,74% dan an ka kematian kasus
antara 0,9776-24,59%14-I? IN di Bagian Bedah
dengan angka insiden antara 4,5%-19,4% dan
angka kimatian kasus antara 0%-1,5%~~"~.
~i RSKPM telah dilakukan suatu survei
prospektif IN dengan tujuan umum untuk
menentukan data dasar IN pada penderita dan
tujuan khusus untuk mencari cara pencegahan
IN. Dalam tulisan ini dilaporkan tentang
hasil-hasil survei IN tersebut.
BAHAN DAN CARA
Survei IN ini dilakukan secara prospektif selama satu tahun antara 14 Maret 1982 s/d
17 Maret 1983, di Rumah Sakit Khusus Penyakit Menular (RSKPM)/RS. Karantina, Tinjug Priok, Jakarta.
Rumah Sakit dengan kapasitas 70 tempat tidur ini merawat penderita-penderita penyakit menular yang dapat
dibagi atas dua kelompok utama yaitu kelompok pertama, yaitu penyakit dengan diare dan kelompok kedua,
yaitu penyakit ,dengan panas (tanpa diare atau dengan diare). Selama periode satu tahun tersebut telah
dirawat 2288 penderita berumur antara 5 hari-70 tahun, yang terbagi atas 1721 (75,2%) penderita
kelompok penyakit dengan diare berat dan 567 (24,8%) penderita kelompok penyakit dengan
panas, yang sebagian besar adalah demam tifoid dan sisanya 'dalah penderita dengan pneumonia,
morbilli, meningitis, demam berdarah, hepatitis dan lain-lain. Pemilihan sampel Prinsipnya
semua penderita yang dirawat di RSKPM masuk survei; tapi karena keterbatasan kemampuan
pemeriksaan laboratorium mikrobiologi, tidak semua penderita dapat dimasukkan dalam survei,
maka pemilihan sampel dilakukan secara acak. Dari kelompok pertama, empat penderita pertama
berturut-turut tiap hari dengan diare berat yang mendapat terapi intravenatinfus yang masuk
rumah sakit antara hari Minggu jam 12.00 dan Sabtu jam 08.00. Dari kelompok
kedua: semua penderita dengan panas (tanpa diare atau dengan diare) yang masuk rumah
sakit antara hari Minggu jam 12.00 dan Jum'at jam 08.00.
Pengambilan spesimen dilakukan oleh petugas paramedis khusus untuk survei yang sebelumnya
sudah dilatih di Laboratorium Mikrobiologi Universitas Indonesia. Dari penderita diambil
spesimen darah vena, hapus dubur dan air kencing (urine), pada hari pertama perawatan (< 24
jam perawatan), hari ketiga perawatan (48-72 jam perawatan) dan dari kelompok penderita
dengan panas juga pada hari ketujuh perawatan (2144 jam perawatan) serta pada hari lain, bila
pada penderita terdapat indikasi atau gejala klinik tersangka infeksi nosokomial. Bagi yang
mendapat infusltransfusi diambil juga specimen jarum infus/transfusi pada akhir infusltransfusi.
Darah vena diambil 5 ml dimasukkan ke dalam 45 ml media liqoid (Hoffman la RocheR) yang
berisi larutan trypticase soy broth dengan 0,05% sodium polyanethol Pemeriksaan Untuk
mendapatkan data infeksi nosokomial penderita yang dirawat, dilakukan anamnesa dan
pemeriksaan terhadap penderita berupa :
- Anamnesa dan pemeriksaan fisik
- pemeriksaan rutin laboratorium klinik darah, tinja dan air kencing, kalau perlu
pemeriksaan spesimen laboratorium lain.
- pemeriksaan biakan kuman darah, hapus dubur dan air kencing serta jarum
infuse/transfusi, kalau perlu pemeriksaan biakan kuman spesimen. lain, menurut cara
yang lazim berlaku untuk biakan, isolasi, identifikasi dan uji kekebalan terhadap bakteria.
Pemeriksaan ini tidak termasuk pemeriksaan untuk menemukan virus, jamur dan parasit.
sulfonate dan CO2 atau dimasukkan ke dalam Pemeriksaan biakan kuman kelompok
penderita dengan diare dikerjakan oleh untuk pemeriksaan. Labor ator ium Mikrobiolog- i
Universitas Indonesia
Sedang untuk penderita dengan panas
atau media Amies, lalu dikirim ke dikerjakao oleh Bagian Mikrobiologi,
laboratorium. Laboratorium Namru-2 Jakarta.
- pemeriksaan foto rontgen paru-paru pada
sebagian penderita
- selama penderita dirawat di rumah sakit,
setiap hari penderita diperiksa oleh dokter
khusus untuk survei dan keadaan penderita
tiap saat dimonitor oleh petugas paramedik
khusus untuk survei, untuk menemukan
gejala infeksi nosokomial secara dini.

3 ml natrium sitrat, lalu dikirim ke laboratorium Hapus dubur, diambil dengan 2
kapas lidi steril, dimasukkan kedalam media Cary Blair
Untuk pemeriksaan air kencing, diambil
10 rnl air kencing porsi tengahl midstream atau
kateterisasi dimasukkan ke dalam botol steril,
kemudian dikirim langsung ke laboratorium
dalam alat pembawa vaksin (vaccine carrier)
dengan suhu 4O-8'~ atau dishpan dulu dalam
lemari es temperatur 4OC paling lama 24 jam.
Spesimen jarum infus/transfusi diambil
saat mencabut jarum dengan memotong 2 2
cm ujung distalnya dengan gunting steril dan
langsung ditampung kedalam botol berisi
media Trypticase soy broth medium, atau
larutan natrium sitrat steril lalu dikirim ke
laboratorium.
Kriteria dan batasan
Kriteria clan batasan untuk menentukan infeksi
nosokomial disini berpedoman kepada kriteria
yang dipakai pada Pengamatan Infeksi
Nosokomial di rumah sakit-rumah sakit di
Bd. Penelit Kesehal20 (2) 1992
Infeksi nosokomial (IN) di rumab saki1 ...... Janas eLal
Amerika serikat2', pada hari ke tiga perawatan
penderita atau sesudahnya. Seorang penderita
dikatakan mendapat :
- infeksi nosokomial saluran kencing (INSK)
bila ditemukan hasil biakan kuman air
kencing positif kuman patogen dan tidak
dinyatakan terkontaminasi, dengan jumlah
koloni ~100.000tmlp ada pengambilan
spesimen hari ketiga perawatan atau
sesudahnya yang sebelumnya tidak ada
ditemukan.
- bakteremia nosokomial (BN) bila ditemukan
hasil biakan kuman darah positif untuk
kuman patogen dan tidak dinyatakan
terkontaminasi, pada pengambilan spesimen
hari ketiga perawatan atau sesudahnya, yang
sebelumnya tidak ada ditemukan.
- infeksi nosokomial saluran cerna (INSC) bila
ditemukan hasil biakan kuman hapus dubur
positif untuk kuman patogen, pada
pengambilan spesimen hari ketiga perawatan
atau sesudahnya, yang sebelumnya tidak ada
ditemukan, kecuali bila ditemukan E.coli
patogen pada penderita tanpa gejala diare.
- infeksi nosokomial saluran nafas bawah
(INSNB) bila pada penderita ditemukan
batuk, riak kental yang purulen, panas, ronkhi
basahfiering pada auskultasi, redup pada
perkusi, tanpaldengan foto Rontgen yang
menunjukkan adanya infiltrat, pada hari
ketiga perawatan atau sesudahnya; atau
kalau sebelumnya sudah batuk, ditemukan
gejala batuk, bertambah berat riak makin
banyaktpurulen, infiltrat makin progresif,
pada hari ketiga perawatan atau sesudahnya.
- infeksi nosokomial jarum infus/transfusi, bila
ditemukan hasil biakan kuman jarum
infusltransfusi positif kuman patogen, yang
sama jenisnya dan bersamaan dengan kuman
di dalam darah. Serta disertai phlebitis pada
daerah kulit tusukan jarum.
- infeksi nosokomial kulit, selaput lendir
rongga mulut dan saluran nafas atasttelinga,
bila ditemukan nanahlinfeksi pada kulit,
selaput lendir rongga mulut, hidung/sinus/
telinga bagian dalam, pada hari ketiga
perawatan atau sesudahnya, yang sebelumnya
tidak ada.
Uji statistik
Terhadap hasil survei dilakukan uji
statistik dengan memakai Chi Square Test.
H A S I L
Kejadian infeksi
Dari 2288 penderita yang dirawat di
RSKPM selama survei telah diperiksa
sebanyak 723 (31,6%) penderita yang
memenuhi kriteria survei, berumur antara 2
bulan sampai 70 tahun.
Dari 723 pender-ita survei ini, telah
ditemukan 191 kasus IN (26,4%) hingga angka
insiden (incidence rate) IN besarnya 26,4%
(Tabel 1).
Tabel 1. Angka insiden dan angka kematian kasus infeksi nosokomial di Rumah
Sakit Karantina .. ,,
Jumlah penderita Jumlah pen- JumJah kasus Persentase Jumtah kasus Persentase
kemadirawat
di RS derita survei IN kasus I%) yang meninggal tian kasus (%)
723 191 264 14 7,3
4 BuL Penelit Kesebat 20 (2) 1992
lnfebi nosokomial (IN) di rumab sakit ...... Janas eta1
Dari 191 kasus ini ditemukan 285 infeksi
nosokomial menurut lokasi anatominya,
dengan angka infeksi (infection rate)
masing-masing: IN saluran kencing (INSK)
15,9%, bakteremia nosokomial (BN) 10,8%, IN
saluran cerna (IN";;) 2,6%, IN jarum
infusttransfusi 1%, 1, .! saluran napas bawah
(INSNB) 4,7%, IN kulit 2,4%, IN selaput lendir
rongga mulut 1,4% dan IN saluran napas atas
(INSNA) 0,6%, dengan frekuensi relatiflangka
proporsi masing- masing INSK 115 kasus
(40,4%), BN 75 kasus (28,3%), INSC 19 kasus
(6,7%), IN jarum infusJtransfusi 7 kasus (2,5%),
INSNB 34 kasus (11,9%), IN kulit berupa
decubitus 17 kaus (6%), IN selaput lendir
berupa stomatitis dan atau glossitis 14 kasus
(4,9%), INSNA berupa otitis media perforata
4 kasus (1,4%) (Tabel 2).
Dari'l91 kasus IN, 123 kasus (64,3%)
dengan satu macam IN menurut lokasittempat,
50 kasus (242%) dengan 2 macam IN, 12 kasus
(6,3%) dengan 3 macam IN, 4 kasus (2%)
dengan 4 macam IN dan 2 kasus (1%) dengan
5 macam IN (lhbel 3).
Faktor-faktor yang berpengaruh pada insiden
infeksi nosokomial
Dari faktor-faktor yang mungkin
berpengaruh pada angka insiden IN, menurut
perbedaan jenis kelamin ternyata disini pada
jenis kelamin perempuan (29,1%) sedikit lebih
tinggi dari laki-laki (24%) (Tabel 4). Bila
dibandingkan menurut kelompok umur maka
pada kelompok c 1 tahun (47,1%) paling tinggi,
disusul umur 1-4 tahun (44,7%), umur 5-11
tahun (36,1%) dan terendah pada kelompok
umurzl2 tahun (20,5%) (Tabel 5). Sedangkan
bila dilihat dari jenis penyakitnya maka pada
kelompok penyakit dengan panas (52%) lebih
tinggi dari kelompok penyakit dengan diare
(12,9%) (Tabel 6); dari perincian jenis penyakit
Tabel 2. Angka infeksi, frekuensi relatif dan angka kematian infeksi nosokomial
menurut lokasi anatomitterjadinya IN (sites)
Lakasi anatomi Jumlah kasus Persentase hgka pmporsil 3umhh kasw Persentase kema-
IN kasus (Yo) frdwensi relatif meninggal tian kasus (%)
: Saluran kencing 115 fS,9 40,4 6 52
Bakteremis 75 10,8 28,3 9 1~4
: Sat. cerna 19 296 67 2 103
Jarum infus 7 1,o 23 0 0
Sat. nafas bawah 34 4,7 11,9 6 1?,6
Kulit 17 24 6 2 II,9
Selaput lendir 14 1,4 4,9 2 14,3
tong, mulut
Sat. nafas atas/ 4 0,6 174 0 0
telinga
Jumlah 285 I00
Tabel 3. MsMbusi fkkuensi dan angka kematian kasus infeksi nosokomial menurut
jumlah lokasi anatornutempat IN
dengan panas, maka angka tertinggi terdapat
pada penderita-penderita dengan meningitis1
encephalitis (88,8%) disusul pada penyakit lain
dengan panas (82,7%), hepatitis (75%), demam
berdarah (66,6%), pneumonia (64%), demam
tifoidt salmonellosis , (56,1%), infeksi
komunitas (IK)/infeksi luar rumah sakit (ILRS)
(community acquired infection) dengan panas
(54,7%), gizi jelek dengan panas (35,7%),
terendah pada tetanus, pyelitis dan penyakit
keganasan masing-masing (0%).
Dari perincian jenis penyakit dengan
diare, maka angka tertinggi terdapat pada diare
dengan gizi jelek (50%) disusul IK dengan
diare (18,8%), kolera (10,9%) dan terendah
pada penyakit lain dengan diare (8,2%)
(Tabel 7).
Bila dilihat secara keseluruhan maka
pada semua penderita dengan IK (27,,4%)
lebih tinggi dibandingkan penderita-penderita
tanpa IK (24,2%) (Tabel 8).
Pada yang mendapat tindakan invasif
infus/transfusi ditemukan BN (30,6%) lebih
tinggi dari yang tidak mendapat tindakan
infus/transfusi (19,8%) (Tabel 9); pada yang
mendapat tindakan invasif kateter menetapl
Foley ditemukan INSK (85,7%) paling tinggi,
disusul dengan kateter sewaktu (64,7%) dan
terendah pada tanpa kateter (12,3%) (Tabel
10). Pada penderita yang mendapat tindakan
Tabel 4. Angka insiden dan angka kematian kasus infeksi nosokomial menurut jenis
kelamin.
Kelamin Jumlah Jumlah Persentase Jumlah kasus Persentase kemapendenta
kasus IN kasus (YO) meninggal tian kasus (96)
Laki-laki 379 91 2A 8 83
Perempuan 344 100 29,l 6 690
Jumlah 559 35 6,3 26 7,3
6 Bul. PeneliL KesehaL 20 (2) 1992
Tabel 5. Angka insiden dan angka kematian kasus infeksi nosokomial menurut
kelompok umur.
Tabel 6. Angka insiden dan angka kematian kasus infeksi nosokomial menurut
kelompok penyakit.
Kelompok Jumlah Jumlah Persentase Jumlah kasus Persentase kemapenyakit
penderita kasus IN kasus (%) meninggal tian kasus (%)
Diare 473 61 12,9 1 196
Panas 250 130 52 13 10
Jumlah 723 191 26,4 14 7,3
invasif pemberian zat asam dantatau sonde
hidung danlatau sedotan lendir, ditemukan
INSNB (23,4%) lebih tinggi dari yang tidak
mendapat tindakan (3,4%) (Tabel 11). Pada
penderita-penderita yang mendapat
antibiotika sebelum dirawat di rumah sakit,
angka IN (34,4%) lebih tinggi dari yang tidak
mendapat antibiotika sebelumnya (20,6%)
(Tabel 12). Demikian pula pada penderitapenderita
yang dirawat sampai hari ketujuh
(20,2%) mempunyai angka IK yang lebih tinggi
dari yang dirawat sampai hari ketiga (18,4%)
(Tabel 13).
Kuman penyebab
Kuman penyebab IN yang ditemukan
berupa bakteri gram negatif (94,4%) dan
bakteri gram positif (5,6%), dengan E.coli
patogen merupakan kuman yang tersering
dijumpai (20,3%), diikuti Pseudomonas spp
Bul. Penelit Kesehat 20 (2) 1992
(17,8%), Mebsiella spp. (15,7%), Enterobacter bacteria, Alkaligenes spp. dan Staphylococcus
spp. (10,1%), Acinetobacter spp. (7,7%), spp. masing-masing 1,4%, Diphtheroid 1,1%
Pmteus spp. (5,2%), Salmonella spp. (4,9%), dan terendah Citrobacter spp, K Cholerae
Mima polymorpha (4,6%), Streptococcus spp. dan Vibrio NAG. masing-masing 0,4%
(4,2%), MoraxeNa spp. (3,2%), Coliform (Thbel 14).
Tabel 7. Angka infeksi dan angka kematian kasus IN menurut jenis penyakit.
-
Jenis penyakit Jumfah Jumkh Persentass Jumlah kasus Persentase kemapriyakir
kasus iN kasus (%) meninggal timkasus (%)
Meningitis1 9 8 a$ 6 75
encephalitis
Pneumonia 50 32 64 8 25
lkmam tifoidl 98 55 56,l 4 7,3
Salmonellosis
Hepatitis 8 6 75 1 16,7
Demam Ekrdarah 6 4 66,6 0 0
Tetanus 2 0 0 0 0
Pyelitis 1 0 0 0 0
Penyakit 2 0 0 0 0
keganasan i
Penyakit lain2 281 105 37,4 7 67
- Dengan panas 110 91 82,7 7 7,7 - Dengan diare 171 14 82 0 0
Gizi jelek 26 11 42,3 4 36,4 - Dengan panas 14 5 35,7 3 60 - Dengan diare 12 - 6 50 1 16,7
Infeksi komunitas 176 56 31,8 7 12,5
- Dengan panas 64 35 54,7 7 20 - Dengan dire 112 21 18,8 0 0
Kolera 339 37 10,9 1 2,7
Jumlah 998 314 31,5 14 7,3"
Keterangan :
1) Dua penderita masuk rumah sakit dengan panas: seorang menderita leukemia, seorang lagi
menderita Ca Pulmonum,
keduanya dikirim kerumah sakit lain.
2) Seperti Rhinopharyngitis, bronchitis, anemia, helminthiasis, penyakit dengan sebab tak
diketahui.
3) Angka mutlak jumlah dan persentase dari kasus yang meninggal karena beberapa macam
penyakit pada satu penderita.
BuL Penelil. Kesehal. 20 (2) 1992
lnfetai nosokomial (IN) di rumah aakit ...... Janas eLal
Tabel 8. Angka insiden dan angka kematian kasus infeksi nosokomial berhubungan
dengan infeksi komunitas I).
: Infeksi Jumlah Jumlah Persen tsse Jumlah kasus Persentase kemakomunitas
pcriderita kasus IN kasus (%) meninggal tian kasus (%)
Dengan IK 5w2 138 27,4 11 7,9 - Salmonella 63 38 60,3 4 105 - V. chalerae 265 44 16,6 0 0 -
Kuman lain 176 56 31,s 7 12,5
Tanpa dengan IK 219 53 242 3 56
Jumlah 723 la 264 14 7,3
Keterangan :
1. lnfeksi Komunitas (1K)Anfeksi luar mmah sakit (ILRS) atau community acquired infection
adalah infeksi yang
ada pada saat seorangpenderita masuk rumah sakit, ditentukan berdasarkan adanya kuman
patogen hasil pemeriksaan
pertama biakan kuman.
2. Jumlah IKdisini adalah jumlah keselumhan, termasuk IK karena kuman Salmonella
danV.cholerae yangmasing-masing
sudah mempunyai nama diagnosis sendiri, seperti dalam perincian jenis penyakit, (Tabel 7), serta
karena kuman-kuman
lain saja dan kuman lain bemama Salrnonella!V.cholerae.
Tabel 9. Angka infeksi dan angka kematian kasus bakteremia nosokomial menurut
tindakan invasif infus.
t-
Tindakan Jumlah Jumtah ~ersentase' Jumkah kasus Persentaw kemainvasif
penderita' kasus IN %asus (%> meningal tian kasus (%)
Mefidapat infus 134 41 30,6 7 17,s
Tidak mendapat 116 23 19,8 1 4,4
infus
Jumlah 250 64 2.v 8 125
Catatan : Hanya kelompok penderita penyakit dengan panas.
Infebi naotomial (IN) di rumab sakit ...... Janar eta1
Tabel 10. Angka infeksi dan angka kematian kasus infeksi nosokomial saluran kencing
menurut tindakan invasif.
Tindakan Jumlah Jumlah Persentase Jumlah kasus Persentase kemainvasif
penderita kasus INSK kasus (%) meninggal tian kasus (%)
Katerer Menetapl 21 18 8577 0 0
Fo9
Kateter sewaktu 17 11 @,7 0 0
Tanpa kateterf 685 84 12,3 6 791
porsi tengah
(midstream)
Jumlah 723 115 15,9 6 5,2
Tabel 11. Angka infeksi dan angka kematian kasus infeksi. nosokomial saluran nafas
bawah menurut tindakan invasif pem berian 02 (sonde hidungtsedotan
lendir).
Infeki norotomial (IN) di mmab stit ...... Janas eta1
Tabel 12. Angka insiden dan angka kematian kasus infeksi nosokomial yang mendapat
dan tidak mendapat antibiotika sebelum dirawat di rumah sakit.
Antrbtotika sebelum Jumlah Jumlah Persentase 3umlah kasus Persentase kemadirawat
di RS penderita kssus IN kasus (70) meninggaf tian kasus (%)
Mendapat 237 91 38,4 4 4,4
Tidak mendapat 486 100 20,6 10 10
Jumlah 723 191 26,4 14 7,3
Tabel 13. Angh insiden infeksi nosokomial berhubungan dengan lama perawatan.
r
Hati perawatan Jumlah Jumlah Persentase Jumlah kasus Pewntase kemapenderita
kasus* IN kasus (%) meninggal tian kasus (96)
Hari ke 3" 723 133 38,4 7 5,3
Hari ke T** 2x3 41 20,2 7 17,2
P.. - Jumlah 174 14 8,o
Keterangan :
Hanya infeksi nosokomial berdasar hasil pemeriksaan biakan kuman darah, air kencing dan
hapus dubur.
.**. * dirawat sampai hari ke-3 atau meninggal antara hari ke 3 dan hari ke-6 dirawat sampai hari
ke-7 atau meninggal hari ke-7 atau sesudahnya.
Uji kekebalan (Gentamycin). Kurnan Alkaligenes sp dan
Dari uji kekebalan bapneny ebab Citmbucter sp kebal terhadap kelima antibiotika
in vitro terhadap antibiotika yang digunakan tersebut (Tabel 15).
di RSKPM, terdapat kecenderungan
kekebalan yang tinggi beberapa jenis kuman Lama rawat
terhadap antibiotika yang sering dipakai
(Ampicillin, Trimethoprim + Sulfame- Hari rawat rata-rata penderita dengan IN
thoxaz.de, Chloramphenicol dan Etracycline) (8,3 hari) lebih lama &banding dengan yang
dibanding antibiotika yang jarang dipakai tidak mendapat IN (4,3 hari) (nbel 16).
Tabel 14. Distribusi frekuensi kuman penyebab infeksi nosokomial dan angka
kematian kasus infeksi nosokomial menurut jenis kuman penyebab.
Bul. Penelil Kesehal 20 (2) 1992
Tabel 15. Pola uji kekebalan kuman penyebab infeksi terhadap antibiotika yang
digunakan.
Keterangan : - tidak diperiksa.
Kematian Kasus Faktor-faktor yang berpengaruh pada
Dari 723 penderita survei dengan 191
kematian
kasus IN, 14 kasus (7,3%) meninggal, hingga Dari faktor-faktor yang mungkin
angka kematian kasus (case fatality rate) IN berpengaruh pada angka kematian kasus IN
besarnya 7,3% (Tabel 1). Penderita tanpa IN disini, menurut lokasi anatomis maka yang
tidak ada yang meninggal (0%). tertinggi adalah pada INSNB (17.6%), diikuti
Bul. Penelit. Kesehat. 20 (2) 1992
Tabel 16. Lama hari rawat kasus infeksi nosokomial dan penderita yang tak mendapat
infeksi nosokomial.
IN selaput lendir rongga mulut (14,3%), BN
(12,4%), IN kulit (11,9%), INSC (10,5%),
INSK (5,2%) dan terendah pada IN jarum infus
dan INSNA/telinga masing-masing 0% (tabel
2); dengan 4 macam lokasi anatomis IN (50%)
paling tinggi, diikuti 2 macam IN (14,4%), 1
macam IN (4,1%) dan terendah dengan ?) dan
5 macam IN masing-masing 0% (Tabel 3).
Sedang bila dilihat dari jenis kelamin pada jenis
kelamin lelaki (8,8%) sedikit lebih tinggi dari
perempuan (6%) (Tabel 4); Pada kelompok
umur menurut perbandingan kelo~poku mur
ternyata pada kurang 1 tahun (18,8%) hampir
sama tinggi dengan pada umur 1-4 tahun
(18,4%), diikuti umur 5-11 tahun (3,3%) dan
terendah pada umur 12 tahun (2,8%) (Tabel
5). Bila dilihat dari jenis penyakitnya, pada
kelompok penyakit dengan panas (10%) lebih
tinggi dari kelompok penyakit dengan diare
(1,676) (Tabel 6); dari rincian jenis penyakit
dengan panas, angka tertinggi terdapat pada
meningitistencephalitis (75%), diikuti penderita
panas dengan gizi jelek (60%), pneumonia
(25%), IK dengan panas (20%), hepatitis
(16,7%), penyakit lain dengan panas (7,7%),
demam tifoid/salmonellosis (7,3%) dan
terendah pada demam berdarah, tetanus,
pyelitis dan penyakit keganasan, masing-masing
0%; dari rincian jenis penyakit dengan diare,
terdapat pada gizi jelek dengan diare (16,7%)
paling tinggi, disusul kolera (2,7%) dan
terendah pada penyakit lain dengan diare dan
IK dengan dare masing-masing 0% (Tabel 7).
Adanya IK mempertinggi angka kematian,
dalam ha1 ini pada penderita-penderita yang
dengan IK, angka kematiannya lebih tinggi
(7,9%) dari yang tidak dengan IK (5,6%) (Tabel
8). Pada yang mendapat BN pada tindakan
invasif infus/transfusi (17,1%) lebih tinggi dari
yang tidak mendapat infusltransfusi (4,4%)
(Tabel 9). Meskipun adanya kateterisasi
meningkatkan angka IN, tetapi hasil
pengamatan angka kematian menunjukkan
bahwa angka kematian tertinggi terdapat pada
yang mendapat INSK tanpa kateterlporsi
tengah (midstream) (7,1%) diikuti dengan
kateter menetap Foley dan kateter sewaktu,
masing-masing 0% (Tabel 10).
Hal ini berbeda dengan yang mendapat
INSNB; pada tindakan invasif mendapat zat
14 Bul. PeneliL KesehaL 20 (2) 1992
lnfebi norokomial (IN) di rumah satit ...... Janas eta1
asam (02) dadatau sonde hidung dadatau
sedotan lendir (453%) iebih tinggi dari yang
tidak mendapat tindakan (4,3%) (Tabel 11).
Pemberian antibiotika sebelum dirawat di
Rumah Sakit meningkatkan IN, tetapi angka
kematian pada yang tidak mendapat antibiotika
sebelum dirawat di rumah sakit (10%) lebih
tinggi dari yang mendapat antibiotika
sebelumnya (4,4%) (Tabel 12). Berlanjutnya
hari rawat mempertinggi angka kematian, pada
penderita-penderita yang dirawat sampai hari
ke-7 atau sesudahnya, disini angka kematiannya
lebih tinggi (17,1%) dari yang dirawat antara
hari ke-3 dan hari ke-6 (53%) (Tabel 13).
Dilihat dari jenis kuman, maka dengan
kuman penyebab Kcholera Ogawa (100%)
paling tinggi, disusul dengan Staphylococcus
spp. (25%), Enterobacter spp. (17,2%), Proteus
spp. (13,3%), E.coli patogen (12,1%), Klebsiella
spp. (1 1,1%), Acinetobacter spp. (4,2%),
Pseudomonas spp. (2%), dan terendah dengan
Salmonella sp,Mimapo@morpha, Moraxella sp,
Coliform bacteria, Alkaligenes sp, Diphtheroid,
Citrobacter sp, Hbno NA. G. dan Streptococcus
sp, masing-masing 0% (%be1 14).
PEMBICARAAN
Kejadian infeksi
Angkallaju insidedkejadian IN 26,4% di
RSKPM, lebih tinggi dari angka penelitian lain
terdahulu. Lebih tinggi dari angka di Amerika
Serikat, CDCINNIS~, Pusat Pengawasan
Penyakit dengan Studi Infeksi Nosokomial
Nasional di 82 RS di seluruh Amerika Serikat
selama tahun 1979 melaporkan angka IN ratarata
sebesar 3,3% (antara 0,8% - 8,9%).
Brachman dkk5 melaporkan angka
insiden IN 3,4% (antara 0,8% - 83%); Allen
dkk6 melaporkan angka insiden IN 3,4%
(antara 3,1% - 33%) pada tahun 1970-1979;
Scheckler dkk7 melaporkan angka insiden IN
55% dari 8 rumah sakit umum tahun 1969-1970;
Britt dkk8 melaporkan 'angka insiden IN 9,2
di RS Salt Lake City, Utah, Amerika Serikat,
selama 10 bulan tahun 1975; wenze19
melaporkan angka insiden IN 7,2% di RS.
Universitas Virginia, Amerika Serikat, tahun
1972-1978. Juga lebih tinggi dari angka IN di
hggris; ~eers" dan ~hanson" melaporkan
angka prevalen IN 9,2% berdasarkan hasil
survei prevalen oleh Pusat Pelayanan
Laboratorium Kesehatan Rakyat Inggris
terhadap 43 RS, tahun 1980; juga lebih tinggi
dari laporan sabri12, yang menemukan angka
insiden IN 7,396 di Kuwait.
Angka insiden IN di RSKPM juga lebih
tinggi dari angka insiden IN di Indonesia.
Boejang melaporkan angka insiden IN
12,6% di ruang Perinatologi RS. Cipto
Mangunkusumo, Raid dkk15 dan Lubis dkk16
melaporkan angka prevalen IN 15,74% dan
14,4% di ruang Perinatologi RS Dr. Pringadi
dan Sutoharjo dkk17 melaporkan angka
insiden IN 11,1% di ruang Perinatologi RSUP
Sanglah.
Hakim, T dkk18 melaporkan angka
insiden IN 43% di Bagian Bedah RS. Jantung
Harapan Kita dan Ali,I. dkk19 melaporkan
angka insiden IN 19,4% di Bagian Bedah
RSPAD Gatot Subroto.
Besarnya angka insiden IN di RSKPM
barangkali karena penyakit penderita yang di
rawat disini semuanya penyakit infeksilmenular.
Hal ini memerlukan penelitian lebih lanjut.
Menurut Brachman dkks data angka
insiden IN berbeda antara satu negara dengan
negara lain, antara satu rumah sakit dengan
rumah sakit lain, malah menurut WHO^' antara
satu bagidruangan dengan bagiantruangan
RS lain.
lnfetri nosokomial (IN) di rumah satit ...... Janas eta1
Perbedaan angka ini menurut m en net'^
karena berbagai faktor dasar: seperti perbedaan
umur dan status penyakit penderita, frekuensi
dan macam prosedur dan terapi yang
dilakukan, ketaatan pada definisi dan kriteria,
kelengkapan mengidentifikasi kasus, efektivitas
pengawasan, fasilitas fisik, lama dirawat
di RS dan faktor lain yang tidak dapat diidentifikasi.
Freeman dkk22 menyebut angka insiden
IN tergantung dari faktor resiko terhadap IN
yaitu penyakit dasar, prosedur, pelayanan di
RS, umur, jenis kelamin, ras dan kadar urgensi
untuk masuk RS.
luff^^ menyebut tergantung dari faktor
yang berpengaruh (determinant) terhadap IN
yaitu umur, instrumentasi, determinan
diabetik, metabolik, hematologik dan imunologik,
kardiovaskuler, kutaneus, respiratoriki
dan neurologik.
Angka IN menurut lokasi anatomis 3sini
juga lebih tinggi, masing-masing kira-kira 10
kali dari angka IN penelitian diluar negeri.
Urutan dari angka IN dao frekuensi
relatiUangka proporsi disini mulai dari yang
tinggi: INSK, BN, INSNB, INSC dst, berbeda
dengan urutan angka IN di Amerika ~erikat~~
dan di lnggrislO-" dengan urutan INS& IN
luka operasi (INLO), INSNB, IN kulit, BN dst;
juga berbeda dengan urutan IN di ~uwait'~,
yaitu: IN luka operasi, INSK, IN luka bakar
(INLB), INSNB dst; tapi urutan IN di RSKPM
ini sama dengan urutan IN dibagian Penyakit
Dalam dan di Bagian Anak RS Universitas
~igini?, Amerika Serikat.
Perbedaan ini antara lain karena di
RSKPM tidak ada perawatan kasus bedah
(untuk kasus bedah dirujuk ke RS lain/RSCM),
seperti juga di Bagian Penyakit Dalam dan di
Bagian Anak umumnya tidak merawat kasus
bedah.
Faktor-faktor yang berpengaruh pada infeksi
Pengaruh jenis kelamin terhadap IN,
menunjukkan pengaruh faktor kelamin lelaki
lebih kecil disini dari wanita, berbeda dengan
laporan sabri12 yang menemukan IN pada
lelaki 5% dan pada perempuan 33%.
Pengaruh umur disini makin muda makin
tinggi angka insiden IN, kecuali pada INSK
dan BN pada umur 50-59 tahun dan pada
INSNB pada umur 60-69 tahun yang angka
IN sedikit meningkat sebelum turun kembali
dan berbeda dengan laporan CDC/NNIS 19794,
yang dikutip Brachman dkk5 yang menemukan
IN pada anak < 1 tahun 4,1%, lalu menurun
pada kelompok anak umur 1-14 tahun (1%)
kemudian makin tinggi pada umur 15-44 tahun
2,3%, umur 45-64 tahun 3,9% dan pada umur
>64 tahun, 59%.
Hal ini agaknya berhubungan dengan
tulisan parker2 dan ~einarpb,a hwa pada
anak-anak yang lebih muda, daya tahan tubuh
lebih rendah hingga risiko mendapatkan IN
lebih besar.
Pengaruh kelompok penyakit dengan
panas disini menunjukkan bahwa angka INlebih
tinggi dan berbeda bermakna (p< 0,05) dari
kelompok penyakit dengan diare, mungkin
karena penyakit dasar kelompok penyakit
dengan panas lebih berat dari kelompok
penyakit dengan diare.
Hal ini juga terlihat pada perincian jenis
penyakit penderita, bahwa angka infeksi
nosokomial pada sebagian besar jenis penyakit
dengan panas lebi tinggi dari jenis penyakit
dengan diare.
lnfekni nmkomial (IN) di rumab satit ...... Jan= eLal
Hal ini agaknya sesuai dengan laporan
Britt dkk8 bahwa risiko mendapatkan IN
paralel dengan beratnya penyakit dasar
penderita.
Pengaruh faktor dengan IK disini lebih
tinggi dari yang tidak dengan IK, masih
diragukan. Karena walau berbeda bermakna
(pc0,01), dari tiga kelompok besar kuman
penyebab IK, yaitu Salmonella, Vcholeme dan
kurnan-kuman lain, pengaruh IK dengan
Vcholerae (16,6%) lebih kecil dari kelornpok
yang tidak dengan IK (24,4%). Untuk
memastikan ha1 ini perlu dilakukan penelitian
lebih lanjut dan agaknya risiko mendapatkan
IN disini lebih dipengaruhi oleh beratnya
penyakit dasar penderita seperti dilaporkan
Britt dkk8 di atas.
Pengaruh faktor adanya tindakan invasif/
instrumentasi infus disini lebih tinggi dan
berbeda bermakna (p < 0,05) dari yang tidak
mendapat infus, agaknya tidak berbeda dengan
laporan Spengler dkk26 bahwa pada
kateterisasi, terapi immunosupresif dan
penggunaan monitor untuk tekanan vena
sebelumnya, berhubungan bermakna dengan
terjadinya BN. Disini hanya penderita
kelompok penyakit dengan panas saja yang
dimasukkan, karena untuk penderita
kelompok penyakit dengan diare (yang)
semuanya mendapat infus, tidak terdapat
kelompok pembanding yang tidak mendapat
tindakan infus.
Pengaruh faktor mendapat kateter disini
lebi tinggi dan berbeda bermakna (p < 0,Ol)
dari yang tidak mendapat kateterisasi, hal ini
sesuai dengan tulisan Brachman dkks, bahwa
risiko mendapat INSK pada penderita yang
mendapat katete&asi sewaktu adalah 3% dan
pada yang tidak mendapat kateterisasi 1,7%,
sesuai pula dengan tulisan ~aribaldi~'b,a hwa
bakteriuria pada penderita yang mendapat
kateterisasi sewaktu 0,5%-8% dan pada yang
mendapat kateterisasi menetap 85%-100%
serta pada yang mendapat kateterisasi cara
tertutup 10%; sesuai pula dengan tulisan
~einarzb~ah~w,a bakteriuria pada penderita
yang mendapat kateterisasi menetap 48 jam,
besarnya 100% dan pada yang mendapat
kateterisai sewaktu 2%.
Pengaruh faktor mendapat zat asam dan
atau sonde hidung dan atau sedotan lendir
lebih tinggi dan berbeda bermakna (p< 0,001)
dari yang tidak mendapat. Menurut anf ford^^,
ha1 ini disebabkan karena pada pemakaian
instrumentasi terhadap jalan nafas, maka
terisap suspensi gas yang mengandung kuman.
Pengaruh faktor mendapat antibiotika
sebelum dirawat di RS, hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa pada kelompok yang
mendapat terapi antibiotika sebelumnya angka
IN lebih tinggi dan berbeda bermakna
(p< 0,001) dari yang tidak mendapat antibiotika
sebelumnya, walau disini data tentang
antibiotika yang didapat sebelumnya hanya dari
anamnesa dan sebagian dari sisa obat yang
diperlihatkan, tapi peranan pemberian
antibiotika sebelumnya belum dapat diabaikan.
~einarp menulis, bahwa pemberianfterapi
antibiotika sebelum atau bersamaan dengan
infeksi, berpengaruh dan dapat mematikan flora
normal penderita yang kemudian di antikan 24: oleh kuman lain yang kebal. Eickhoff menulis
bahwa pemakaian antibiotika cenderung
meningkatkan kekebalan kuman dan kuman
tersebut berkolonisasi pada penderita,
sehingga dapat menyebabkan timbulnya infeksi
pada penderita.
Kuman penyebab disii terdiri dari bakteri
gram negatif dan bakteri gram positif, tidak
berbeda dengan laporan lainP4'9-12 disini sebulan, sedang yang tidak mendapat IN, 10
bakteria gram negatif jauh lebih banyak dari hari.
bakteria gram positif, barangkali karena di
RSKPM hnderia yang dirawat kebanyakan
dengan penyakit enterik (87,7%) (menurut
laporan RSKPM tahun 1982), jenis kuman
terbanyak adalah E.coli, sesuai dengan laporan
CDC/NNIS, 1979~B, rachman dkks, Allen dkk6,
Scheckler dkk7, wenze19, dan shansonl1, tapi
berbeda dengan laporan sabri12 yang
menemukan kuman penyebab terbanyak
Pseudomonas aeruginosa.
Kekebalan kuman penyebab disini lebih
tinggi terhadap antibiotika yang sering
digunakan (Ampicillin, Tetracyclin,
Chloramphenicol) dibanding dengan yang
jarang dipakai, mungkin berpengaruh
terhada terjadinya IN, sesuai dengan tulisan
Reinarz' dan 15ikchoff2' seperti disebut di
depan.
Terhadap antibiotika yang jarang dipakai
(Gentamycin) kekebalan masih rendah, maka
bila ditemukan penderita tersangka IN dapat
dipakai antibiotika yangjarang digunakan untuk
pengobatan sementara, sambil menunggu hasil
uji kekebalan.
Dengan mengetahui faktor-faktor yang
mungkin mempengaruhi terjadinya IN, kita
dapat melakukan upaya pencegahan.
Lama hari rawat
Lama hari rawat rata-rata IN disini lebih
lama 5 hari dari yang tidak mendapat IN. Hal
ini sesuai dengan tulisan wenze19 dan
~einarzb~a,h wa lama hari rawat penderita
yang mendapat IN lebih lama 5-10 hari dari
penderita yang tidak mendapat IN, sesuai pula
dengan laporan Gross ~Ikky~an~g ,m enemukan
hari rawat rata-rata kasus IN lebih dari
Kematian kasus
Angka kematian kasus IN di RSKPM
sebesar 7,3% sedikit lebii tinggi sedikit dari
laporan CDC/NNIS 1971-1976 yang dikutip
hennetl3 dengan angka kematian kasus
6,4%, tapi lebih rendah dari laporan sabri12
yang menemukan 10%.
Tapi ratio kematian kasus IN disini
terhadap kematian penderita tanpa IN adalah
7,5 : 0, dibanding 6,4 : 3 pada laporan
CDC/NNIS. Semua kasus yang meninggal disini
mendapat IN, sedang penderita yang tidak
mendapat IN tidak ada yang meninggal.
Pada uji statistik kematian kasus IN disini
(14 orang) lebih tinggi dan berbeda bermakna
dari kematian penderita tanpa IN (tidak ada).
Sebagai gambaran disini, dari 1465 orang
penderita lain yang tidak masuk survei pada
periode sama, 24 orang (1,6%) meninggal,
yaitu 20 orang sebelum 48 jam perawatan,
karena keadaan penyakit penderita sangat
berat pada saat masuk RS.
Faktor-faktor yang berpengaruh pada
kematian
Dari faktor-faktor yang mungkin
berpengaruh terhadap angka kematian kasus
IN, pada jenis kelamin lelaki lebih tinggi dari
pada perempuan, demikian pula pada
kelompok umur 1 tahun paling tinggi, serta
kelompok penyakit panas lebih tinggi dari pada
diare, dan pada penderita-penderita yang
dengan IK lebih tinggi dari pada yang tidak
dengan IK, juga pada yang mendapat infus
lebih tinggi dari pada yang tidak mendapat infus,
tetapi pada penderita-penderita yang tidak
1s Rul. Penelit KesehaL 20 (2) 1992
Inferu omtomid (IN) di mmab nLit -- Jmus etd
~endapakt' ateterisasi angka kematiannya lebih
tinggi dari yang mendapat kateter. Penggunaan
antibiotika menunjukkan bahwa pada yang tidak
mendapat antibiotika sebelum perawatan RS
meningkatkan angka kematian, demikian pula
lama perawatan menunjukkan pada yang lebih
lama dirawat lebih tinggi daripada yang singkat,
tapi semuanya tidak berbeda bermakna pada
uji statistik.
Adanya tindakan invasif menunjukkan
bahwa kematian kasus pada yang mendapat
tindakan invasif, dalam hal ini pemberian zat
asam dan atau sonde hidung dan atau sedotan
lendir, angka kematiamya lebih tinggi dan
berbeda bermakna (p < 0,Ol) dari yang tidak
mendapat tindakan invasif tersebut.
Dalam ha1 ini penderita-penderita yang
mendapat pemberian zat asam dan atau
tindakan sonde hidung dan atau sedotan lendir
pada penyakit infeksi biasanya karena penyakit
dasarnya lebih berat meskipun tindakantindakan
tersebut sendiri dapat menjadi sumber
terjadinya INSNB.
Maka kematian kasus dengan IN disini
lebih disebabkan beratnya penyakit dasar
penderita. Hal ini sejajar dengan tulisan
Wenzel9, bahwa banyak penderita IN meninggal
karena penyakit dasarnya, sesuai pula dengan
laporan Gross bahwa infeksi saluran
nafas bawah terbanyak pada penderita yang
meninggal dengan IN, bahwa pneumonia
merupakan IN yang paling sering berhubungan
dengan kematian penderita.
Di RSKPM belum dapat ditentukan
klasifikasi/penggolongan apakah kematian
kasus IN karena IN (casualty to death, directly
related to death) atau dipengaruhi IN
(contributed to death) atau tidak ada
hubungan dengan IN tapi penyakit dasar yang
sangat menonjol (not related to death)
sebagaimana menurut kriteria CDCINNIS,
karena sukar sekali menentukan batasnya.
CDC/NNIS4 melaporkan kematian karena IN
1,2% dan karena dipengaruhi IN 3,5%,
Brachuman dkk5 melaporkan karena IN 1%,
clan dipengaruhi IN 3,2%, Sabril2 melaporkan
karena IN 1% dan dipengaruhi IN 9%.
KESIMPULAN
Telah dilakukan survei propektif IN di
RSKPM/RS. Karantina Jakarta selama satu
tahun mengenai kejadian infeksi, kematian dan
faktor yang mungkin berpengaruh. Ditemukan
angka insiden IN lebih tinggi dari penelitian
lain. Angka infeksi IN menurut lokasi anatomis
masing-masing 10 kali dari angka penelitian
lain.
Angka insiden IN secara bermakna
dipengaruhi jenisberat penyakit, tindakan
invasif/instrumentasi dan pemberian antibiotika
sebelumnya.
Angka kematian kasus IN dipengaruhi
tindakan invasif pemberian zat asamtsonde
hidunglsedotan lendir. Kematian lebih disebabkan
beratnya penyakit dasar penderita.
Kuman penyebab 94,4% berupa bakteria
gram negatif, terbanyak E.coli patogen. Hari
rawat kasus IN lebih lama (hampir 2x) dari hari
rawat penderita tanpa IN.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada
seluruh staf Laboratorium Mikrobiologi
Universitas Indonesia Jakarta dan kepada Dr.
S.L. Hoffman dan seluruh staf Laboratorium
Bul. Penelit. Kesehat. 20 (2) 1992
Id& naokomhl (IN) di maub uUt ..-.. Jaw dal
Namru-2, Jakarta, yang telah membantu
memeriksa specimen penderita.
Kepada Zr Edha Bdrapadang BSc, Zr.
Octavina, Zr. Marsinta, Zr. Ike Gunawiarsih
BSc, Sdr. Sukman BSc, Sdr Dicky Datunsolang
dan seluruh staff dokter dan paramedik
RSKPMRS. Karantina yang telah bersusah
payah membantu terselenggaranya suwei ini.
Kepada Ka Dit Epim Dit Jen PPM dan
PLP Dep Kes RI dan Dr. M.A. Moechtar,
Direktur RSKPM/RS.Karantina yang telah
mengizinkan pemakaian seluruh fasilitas
RSKPMIRS. Karantina sehingga survei ini
dapat diselesaikan sebaik-baiknya.
DmAR KEPUSTAKAAN
1. Jawetz E and Grossman, M. (1979) Introduction
to infectious disease. Nosocomial infection. Current
Medical Diagnosis and Treatment. Krupp.M.A and
Chatton, M.J. (Eds). Lange Medical Publication
1979: 813-814.
2. Parker, MT (Ed) (1978) Hospital Acquired
Infections. Guidelines to Laboratory Methods,
WHO. Regional Publication, European Series No
4, WHO Regional Office for Europe, Copenhagen.
3. Brachman PS. (1979) Introduction. Hospital
Infection. enn net JV and Brachman PS (Eds) Little,
Brown and Company, Boston, 3-7.
4. Center for Disease Control, Atlanta, Georgia, USA.
(1979)National Nosocomial lnfection Study Report.
Annual Summary 1979.
5. Brachman PS; Emori, TE; Gamer, J.S and Haley
RW (1982) Incidence of Hospital acquired infection
in United States of America. Proceeding of the First
Middle East Symposium Hospital lnfection and its
Control. Kuwait 12-16 November 1981. Sabri, S and
Tittensor JR (Eds). Barker Publications Ltd.
Richmond. England, 11-15.
Allen, JR; Hightower, AW, Martin SM and Dixon
RE. (1981) Secular Trend in Nosocomial Infection.
1970-1979. The Am. J. Med, 70:389- 392.
Scheckler, WE, Gamer, JS; Kaiser, AB and Bennet
JV. (1971) P~valenceo f infections and antibiotic
usage in eight community hospitals. Proceedings of
Nosocomial Infections. August 3-6, 1970, American
Hospital Association, Chicago, 299-305.
Britt, MR Schleupner, U and Matsumiya S. (1978)
Underlying Disease as a Predictor of Nosocomial
Infection. Utility in the Control of Nosocomial
Infection, JAMA, 239:1047-1051.
Wenzel, RP. (1981) Surveillance and reporting of
hospital acquired infections, CRC Handbook of
Hospital Acquired Infections. Wenzel RP (Ed) CRC
Press Inc. Boca Raton, Florida, 35- 72.
Meers PD. (1981) Infection in hospital, British
Medical Journal, 282:1246.
Shanson, DC. (1982) Changing Patterns and
prevalence of infection in hospital in United
Kingdom. Proceeding of the First Middle East
Symposium "Hospital lnfection and Its Control".
Kuwait 14-16 November 1981. Sabri.S and Tittensor
JR (Eds) Barker Publications Ltd. Richmond,
England, 17-19.
Sabri, S. (1982) lnfection Control Activities in
Kuwait, Proceedings of the First Middle East
Symposium. Hospital Infection and Its Control.
Sabri. S andTittensor JR (Eds) Barker Publications
Ltd. Richmond, England, 5-9.
Bennett, JV. (1979) Incidence and nature of endemic
and epidemic nosocomial infection. Hospital
Infections. Bennett, JV and Brachman, PS (Eds)
Little, Brown and Company, Boston, 233-238.
Boedjang, RF. (1983) lnfeksi nosocomial di bangsal
bayi baru lahir Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo,
Kongres Perinasia I, Jogjakarta 25-28 Mei 1983.
Raid, N; Aldi, D; Nasution, JK; Nasution, MA dan
Lubis CP. (1984) Prevalensi infeksi nosokomial,
diruang neonatus RS. Dr. Pringadi, Medan,
Kumpulan Makalah Kongres Ilmu Kesehatan Anak
ke VI, DenPasar, 15-19 Juli 1984: Panitia
Penyelenggara Konika VI: 399- 403.
Bul. Penelil. Kesehal. 20 (2) 1992
lnfeksi nosokomial (IN) di mmah sakit ...... Janas eta1
16. Lubis, CP; Raid, N and Aldi D. (1984) lnfeksi
nosokomial di bangsal bayi baru lahir RS. Dr.
Pringadi, Medan. Kumpulan Makalah Penataran
Isolasi Penderita Penyakit Menular, Soerachmad, S;
Sutoto dan Josodipuro, K (Eds). Departemen
Kesehatan RI Jakarta: 185-190.
17. Sutohardjo, A.H; Suwenda, P; Widarsa, KT. (1984)
Infeksi nosokomial di bangsal bayi Rumah Sakit
Pusat Sanglah, Denpasar, Kumpulan Makalah
Kongres Nasional llmu Kesehatan Anak ke VI
Denpasar 15-19 Juli, 1984. Panitia Penyelenggara
Konika VI: 412- 418.
18. Hakim, T, Anwar, M dan Mustafa, J. (1986) Infeksi
nosokomial pada bedah jantung di Rumah Sakit
Jantung Harapan Kita, Jakarta. Simposium Infeksi
Nosokomial I1 FKUI, Jakarta. 27 September 1986.
19. Ali, I; Halim, S.L.; Sutopo; Harasio H, Rusli, S;
Soerbakti, R; Syahboedin, S; dan Karyadi A. (1986)
Infeksi nosokomial pada perawatan bedan yang
mondok di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta Laporan
Penelitian.
20. US, Departement of Health, Education and Wilfare,
Public Health Se~ceC,e nter for Disease Control,
Atlanta, Georgia USA. (1980) Prevalence Survey
for Nosokomial Infection Appendix 11. Guidelines
for determining prevalence and clasification of
infection.
21. WHO BAUNICI81.6 (1981) Sulveillance, control
and prevention of hospital acquired (nosocomial)
infections, Report of an Advisa~y Group, Geneva,
30 September-2 October 1981.
Freeman, J and McCowan Jr, JE. (1978) Risk
factors for nosokomial infections. The Journal of
Infections Diseases, 38: 811-819.
Cluff LE. (1971) Medical determinant of
nosocomial infecticns. Proceedings of the
International Conference of Nosocomial Infections.
August 3-6, 1970. Brachman, P.S. and Eickhoff, TC
(Eds) American Hospital Association, Chicago,
164-168.
Reinarz, JA. (1978) Nosocomial Infections, Ciba
Clinical Symposia, 1978; 30: 6.
Eickhoff, T.C. (1979) Antibiotic and Nosocomial
Infections. Hospital Infectiouns. Bennet, JV and
Brachman PS (Eds). Little, Brown and Company,
Boston, 195-221.
Spengler RF. Greenough 111, W.B. and Stolley, P.D.
(1978) A Discriptive Study of Nosocomial
Bacteremia at the Johns Hopkins Hospital:
1968-1974. Johns Hopkins Med. J, 142: 77-84.
Garibaldi, R.A. (1981) Hospital acquired urinary
tract infections. CRC Handbook of Hospital
Acquired Infections. Wenzel, R.P. (Ed) CRC Press
Inc Boca Raton, Florida, 513-537.
Sanford, J.P. and Pierce, A.K. (1979) Lower
respiratory tract infection. Hospital Infection,
Bennet, J.V. and Brachman P.S. (Ed) Little, Brown
and Company, Boston, 255-286.
Gross, P.A: Neu, H.C.; Aswapokee, P; Antwerpen,
C.V. and Aswapokee, N. (1980) Deaths from
Nosocomial Infections: Experience in a University
Hospital and Community Hospital. The J of Med,
219-223.

You might also like