You are on page 1of 34

Hubungan Faktor Lingkungan Fisik Rumah dengan

Kejadian Tuberkulosis Paru di Puskesmas Pemenang

Disusun Oleh :
dr. Hastin Nur Setyawati

Dokter Pembimbing :
Dr. Asep Nasrullah

PUSKESMAS PEMENANG
KABUPATEN LOMBOK UTARA
PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT
2014

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH


Penyakit tuberkulosis paru merupakan penyakit yang disebabkan
oleh Mycobacterium tuberculosis yang telah menginfeksi hampir sepertiga
penduduk dunia. Kasus tuberkulosis meningkat dan banyak yang tidak
berhasil disembuhkan, terutama pada negara yang dikelompokkan dalam 22
negara dengan masalah tuberkulosis besar (High Burden Countries).7
Penyakit TB paru juga merupakan masalah kesehatan di Indonesia.
Indonesia merupakan negara dengan pasien tuberkulosis terbanyak ke-5 di
dunia setelah India, Cina, Afrika Selatan, dan Nigeria. Jumlah pasien
tuberkulosis di Indonesia sekitar 5,8% dari total pasien TB di dunia.
Tuberkulosis

merupakan

kematian

nomor

tiga

setelah

penyakit

kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan pada semua kelompok usia,


serta nomor satu dari golongan penyakit infeksi. Pada tahun 2010 prevalensi
tuberkulosis di Indonesia sebesar 289 per 100.000 penduduk.7
Diperkirakan setiap tahun 450.000 kasus baru tuberkulosis paru,
dimana 1/3 penderita terdapat di puskesmas, 1/3 di pelayanan rumah sakit,
klinik pemerintah maupun klinik swasta, dan 1/3 ditemukan di unit pelayanan
kesehatan yang tidak terjangkau seperti pengobatan tradisional. Penderita TB
paru di Indonesia sebagian besar terjadi pada kelompok usia produktif dan
sosial ekonomi rendah.7
Berdasarkan data di Puskesmas Pemenang pada tahun 2013 dari
251 penderita suspek TB paru, didapatkan sebanyak 73 pasien yang
didiagnosis TB paru, baik itu berdasarkan BTA (+), Ro (+), dan TB pada
anak. Tingkat kesembuhan pada 2013 cukup baik yaitu 93,3%, yang mana
semua

penderita

TB

sudah

mendapatkan

pengobatan.

Sedangkan

kekambuhan terjadi pada 4 penderita.

Faktor risiko yang berperan terhadap timbulnya kejadian penyakit


tuberkulosis paru dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu faktor risiko
kependudukan (jenis kelamin, umur, pendidikan, pekerjaan, status gizi,) dan
faktor risiko lingkungan (kepadatan hunian, jenis lantai, luas lubang ventilasi
alamiah, pencahayaan, kelembaban, suhu, jenis dinding, jenis atap). Basil
tuberkulosis dapat bertahan hidup selama beberapa minggu dalam sputum
kering, ekskreta lain dan mempunyai resistensi tinggi terhadap antiseptik,
tetapi dengan cepat menjadi inaktif oleh cahaya matahari, sinar ultraviolet
atau suhu lebih tinggi dari 60 C. Kuman ini tumbuh lambat dan membelah
diri setiap 18-24 jam pada suhu yang optimal.6
Penyakit TB ini sendiri banyak ditularkan oleh pasien dewasa.
Rendahnya temuan kasus TB diantaranya disebabkan oleh kurangnya
screening awal pada penderita TB. Berdasarkan uraian di atas, maka akan
dilakukan mini project yang berjudul Hubungan Faktor Lingkungan Fisik
Rumah dengan Kejadian Tuberkulosis Paru di Puskesmas Pemenang.

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian di atas, dimana Indonesia masuk dalam 22
negara yang dikategorikan high burden countries terhadap TB, dapat
dikatakan bahwa kasus TB di Indonesia cukup tinggi. Faktor lingkungan yang
tidak memenuhi syarat kesehatan, merupakan faktor risiko sumber penularan
berbagai jenis penyakit termasuk tuberkulosis paru. Dari identifikasi masalah
tersebut, dapat dirumuskan masalah pada penelitian ini adalah : Apakah Ada
Hubungan Faktor Lingkungan Fisik Rumah Dengan Kejadian Tuberkulosis
Paru di Puskesmas Pemenang.

C. TUJUAN PENELITIAN
1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan faktor lingkungan fisik rumah dengan kejadian
tuberkulosis paru.

2. Tujuan Khusus
Mengidentifikasi masing-masing faktor risiko terhadap kejadian
tuberkulosis paru.

D. MANFAAT PENELITIAN
1. Bagi Masyarakat
Menambah pengetahuan masyarakat tentang penyakit tuberkulosis paru
terutama faktor lingkungan fisik rumah apa saja yang berhubungan, cara
penularan, pencegahan, dan pengobatannya.
2. Bagi Instansi Terkait (Puskesmas dan Dinas Kesehatan)
Sebagai bahan pertimbangan dan pemikiran bagi program pemberantasan
penyakit tuberkulosis paru terutama untuk menentukan kebijakan dalam
perencanaan, pelaksanaan serta evaluasi program.
3. Bagi Peneliti
Menambah pengetahuan, wawasan, dan pengalaman langsung dalam
pelaksanaan penelitian, serta merupakan pengetahuan yang di peroleh
dalam melaksanakan penelitian dilapangan.

E. KEASLIAN PENELITIAN
Di bawah ini adalah beberapa penelitian serupa yang pernah
dilakukan sebelumnya :
No.

Judul Penelitian
Hubungan

Tahun

Metode

Rumah Dengan Kejadian


Tuberkulosis pada Anak
di

Hasil

Antara

Karakteristik Lingkungan

1.

Variabel

Kecamatan

2007

Kasus
Kontrol

Paseh

Kepadatan hunian rumah

OR = 14

Pencahayaaan rumah

OR = 5,58

Ventilasi rumah

OR = 3,69

kelembaban rumah

OR = 18,57

Kabupaten Sumedang
Kesehatan
Rumah

2.

Kesehatan

lingkungan
dan

penyakit

rumah

Kejadian

Tuberkulosis

lingkungan

2005

Paru di Kabupaten Agam

Kasus
Kontrol

OR = 4,94

Status gizi

OR = 5,84

Sumber penularan

sumatera Barat

OR = 2,478

Pencahayaan

OR = 2,2

Ventilasi
Keberadaan

OR = 5,96

jendela

ruang

OR = 4,248

tidur
Hubungan
Fisik

3.

Lingkungan

Rumah

Kejadian
tuberkulosis

dengan
Penyakit
Paru

Kabupaten Banyumas

di

2006

Kasus
Kontrol

Kelembaban ruang tidur

OR = 3,281

Suhu ruang tidur

OR = 3,683

Jenis lantai

OR = 2,129

Pembagian ruang tidur

OR = 5,508

Jenis dinding

OR = 2,299

Kelembaban luar rumah

OR = 2,421

Suhu luar rumah

OR = 2,384

Kontak penderita

OR = 5,455

Status gizi

OR = 2,425

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tuberkulosis Paru
1. Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosa yang ditularkan melalui
udara (droplet nuclei) saat seorang penderita tuberkulosis batuk dan
percikan ludah yang mengandung bakteri tersebut terhirup oleh orang
lain saat bernapas.5

2. Penyebab Tuberkulosis
Tuberkulosis paru disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosa.
Ditemukan pertama kali oleh Robert Koch pada tahun 1882.Karakteristik
kuman Mycobacterium Tuberculosa adalah mempunyai ukuran 0,5-4
mikron x 0,3-0,6 mikron dengan bentuk batang tipis, lurus atau agak
bengkok, bergranular atau tidak mempunyai selubung, tetapi mempunyai
lapisan luar tebal yang terdiri dari lipoid (terutama asam mikolat). Dapat
bertahan terhadap pencucian warna dengan asam dan alkohol, sehingga
disebut basil tahan asam (BTA), tahan terhadap zat kimia dan fisik, serta
tahan dalam keadaan kering dan dingin, bersifat dorman (dapat tertidur
lama) dan aerob.7
Bakteri tuberkulosis ini mati pada pemanasan 100C selama 510 menit atau pada pemanasan 60C selama 30 menit, dan dengan
alkohol 70-95% selama 15-30 detik. Bakteri ini tahan selama 1-2 jam di
udara, di tempat yang lembab dan gelap bisa berbulan-bulan namun tidak
tahan terhadap sinar matahari atau aliran udara. Data pada tahun 1993
melaporkan bahwa untuk mendapatkan 90% udara bersih dari
kontaminasi bakteri memerlukan 40 kali pertukaran udara per jam.7

3. Gejala-gejala Tuberkulosis
Gejala klinis pasien Tuberkulosis Paruadalah:
a. Batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih.
b. Dahak bercampur darah.
c. Batuk berdarah.
d. Sesak napas.
e. Badan lemas.
f. Nafsu makan menurun.
g. Berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik.
h. Demam meriang lebih dari satu bulan.
Dengan strategi yang baru (DOTS, directly observed treatment
shortcourse) gejala utamanya adalah batuk berdahak dan/atau terusmenerus selama tiga minggu atau lebih. Berdasarkan keluhan tersebut,
seseorang sudah dapat ditetapkan sebagai tersangka. Gejala lainnya
adalah gejala tambahan. Dahak penderita harus diperiksa dengan
pemeriksaan mikroskopis.7
4. Penemuan Pasien Tuberkulosis
a. Penemuan Pasien Tuberkulosis Pada Orang Dewasa7
Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan suspek,
diagnosis, penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien.Penemuan
pasien merupakan langkah pertama dalam kegiatan program
penanggulangan Tuberkulosis.
Strategi penemuan pasien Tuberkulosis dilakukan secara
pasif dengan promosi aktif. Penjaringan tersangka pasien dilakukan
di unit pelayanan kesehatan, didukung dengan penyuluhan secara
aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat untuk
meningkatkan cakupan penemuan tersangka pasien Tuberkulosis.
Pemeriksaan terhadap kontak pasien Tuberkulosis, terutama mereka
yang BTA positif dan pada keluarga anak yang menunjukan gejala
sama, harus diperiksa dahaknya. Penemuan secara aktif dari rumah
ke rumah, dianggap tidak cost efektif.

b. Penemuan Pasien Tuberkulosis Pada Anak7


Diagnosis Tuberkulosis pada anak sulit sehingga sering
terjadi misdiagnosis baik overdiagnosis maupun underdiagnosis.
Pada anak-anak batuk bukan merupakan gejala utama. Pengambilan
dahak pada anak biasanya sulit, maka diagnosis Tuberkulosis anak
perlu kriteria lain dengan menggunakan sistem skor yang dilakukan
dokter dengan parameter : kontak Tuberkulosis, uji tuberkulin, berat
badan/keadaan gizi, demam tanpa sebab jelas, batuk, pembesaran
kelenjar limpe, koli,aksila, inguinal, pembengkakan tulang/sendi
panggul, lutut, falang, foto thoraks.
5. Klasifikasi Penyakit dan Tipe PasienTuberkulosis Paru6,7
a. Klasifikasi Penyakit Tuberkulosis Paru
Klasifikasi penyakit Tuberkulosis paru berdasarkan pemeriksaan
dahak dibagi dalam :
i) Tuberkulosis paru BTA positif.
i. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya
BTA positif.
ii. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks
dada menunjukkan gambaran tuberkulosis.
iii. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan
kuman Tuberkulosis positif.
iv. 1 atau lebih spesimen dahak hasinya positif setelah 3
spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya
BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian
antibiotika non OAT.
2) Tuberkulosis paru BTA negatif.
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada Tuberkulosis
paru BTA positif. Kriteria diagnostik Tuberkulosis paru BTA
negatif harus meliputi :
i)

Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya negatif.

ii) Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran Tuberkulosis.


iii) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
iv) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi
pengobatan.
b. Tipe Pasien Tuberkulosis Paru
Klasifikasi pasien Tuberkulosis Paru berdasarkan riwayat
pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe, yaitu :
1) Baru, adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau
sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
2) Kambuh (Relaps), adalah pasien Tuberkulosis yang sebelumnya
pernah mendapat pengobatan Tuberkulosis dan telah dinyatakan
sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan
BTA positif (apusan atau kultur).
3) Pengobatan setelah putus berobat (Default), adalah pasien yang
telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA
positif.
4) Gagal (Failure), adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya
tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau
lebih selama pengobatan.
5) Pindahan (Transfer In), adalah pasien yang dipindahkan dari UPK
yang memiliki register Tuberkulosis lain untuk melanjutkan
pengobatannya.
6) Lain-lain, adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan
diatas. Kelompok ini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan
hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan
ulangan.
6. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Tuberkulosis Paru
Teori John Gordon mengemukakan bahwa timbulnya suatu penyakit
sangat dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu bibit penyakit (agent), pejamu
(host), dan lingkungan (environment).1
a. Agent

Adalah penyebab yang esensial yang harus ada, apabila penyakit


timbul atau manifest, tetapi agent sendiri tidak mencukupi syarat
untuk menimbulkan penyakit, perlu dukungan faktor penentu agar
penyakit dapat manifest. Agent yang mempengaruhi penularan
penyakit tuberkulosis adalah kuman Mycobacterium tuberculosis,
yang

dipengaruhi

oleh

beberapa

faktor

diantaranya

pathogenitas,infektifitas, dan virulensi.


b. Host
Host atau pejamu adalah manusia atau hewan hidup, termasuk
burung dan arthropoda yang dapat memberikan tempat tinggal dalam
kondisi alam. Host untuk kuman tuberkulosis paru adalah manusia
dan hewan, tetapi host yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
manusia. Beberapa faktor host yang mempengaruhi penularan
penyakit tuberkulosis paru adalah :
a. Jenis kelamin
Dari catatan statistik meski tidak selamanya konsisten,mayoritas
penderita tuberkulosis paru adalah wanita.
b. Umur
Risiko untuk mendapatkan tuberkulosis paru dapat dikatakan
seperti halnya kurva normal terbalik, yakni tinggi ketika
awalnya, menurun karena diatas 2 tahun hingga dewasa
memiliki daya tahan terhadap tuberkulosis paru dengan baik.
Puncaknya tentu dewasa muda danmenurun kembali ketika
seseorang atau kelompok menjelang usia tua.
c. Kondisi sosial ekonomi
WHO (2003) menyebutkan 90% penderita tuberkulosis paru di
dunia menyerang kelompok dengan sosial ekonomi lemah atau
miskin.
d. Kekebalan
Kekebalan dibagi menjadi dua macam, yaitu : kekebalanalamiah
dan buatan. Kekebalan alamiah didapatkan apabila seseorang

10

pernah menderita tuberkulosis paru dan secara alamiah tubuh


membentuk antibodi, sedangkan kekebalan buatan diperoleh
sewaktu seseorang diberi vaksin BCG.
e. Status gizi
Apabila kualitas dan kuantitas gizi yang masuk dalam tubuh
cukup akan berpengaruh pada daya tahan tubuh sehingga tubuh
akan tahan terhadap infeksi kuman tuberkulosisparu. Namun
apabila keadaan gizi buruk maka akan mengurangi daya tahan
tubuh terhadap penyakit ini, karena kekurangan kalori dan
protein serta kekurangan zat besi, dapat meningkatkan risiko
tuberkulosis paru.
c. Lingkungan
Faktor lingkungan memegang peranan penting dalam penularan,
terutama

lingkungan

rumah

yang

tidak

memenuhi

syarat.

Lingkungan rumah merupakan salah satu faktor yang memberikan


pengaruh besar terhadap status kesehatan penghuninya. Menurut
Winslow dan APHA yang dikutip oleh Suyono dan Budiman (2011),
perumahan yang sehat harus memenuhi beberapa persyaratan, antara
lain

memenuhi

kebutuhan

fisiologis,

memenuhi

kebutuhan

psikologis, mencegah penularan penyakit, dan mencegah terjadinya


kecelakaan.
Perumahan yang sehat harus memenuhi kebutuhan fisiologis :
1. Pencahayaan yang cukup, baik cahaya alam (sinar matahari)
maupun cahaya buatan (lampu).
2. Penghawaan (ventilasi) yang cukup untuk proses penggantian
udara dalam ruangan.
3. Tidak terganggu oleh suara-suara yang berasal dari luar maupun
dalam rumah (termasuk radiasi).
4. Cukup tempat bermain bagi anak-anak dan untuk belajar.
Perumahan yang memenuhi kebutuhan psikologis :
1. Setiap

anggota

keluarga

terjamin

ketenangannya

dan

11

kebebasannya (privacy), tidak terganggu oleh anggota keluarga


dalam rumah maupun oleh tetangga atau orang lewat.
2. Mempunyai ruang untuk berkumpulnya anggota keluarga.
3. Lingkungan yang sesuai, homogen, tidak terlalu ada perbedaan
tingkat yang ekstrem di lingkungannya. Misalnya tingkat
ekonomi.
4. Mempunyai fasilitas kamar mandi dan WC sendiri.
5. Jumlah kamar tidur dan pengaturannya harus disesuaikan dengan
umur dan jenis kelaminnya. Orangtua dan anak dibawah 2 tahun
boleh satu kamar. Anak di atas 10 tahun dipisahkan antara lakilaki dan perempuan. Anak umur 17 tahun ke atas diberi kamar
sendiri.
6. Jarak antara tempat tidur minimal 90 cm untuk terjaminnya
keleluasaan

bergerak,

bernapas

dan

untuk

memudahkan

membersihkan lantai.
7. Ukuran ruang tidur anak yang berumur 5 tahun sebesar 4,5 m,
dan yang umurnya 5 tahun adalah 9 m. Artinya dalam satu
ruangan anak yang berumur 5 tahun kebawah diberi kebebasan
menggunakan volume ruangan 1,5 x 1 x 3 m, dan diatas 5 tahun
menggunakan ruangan 3 x 1 x 3 m.
8. Mempunyai halaman yang dapat ditanami pepohonan.
9. Hewan/ternak yang akan mengotori ruangan dan ribut/bising
hendaknya dipindahkan dari rumah dan dibuat kandang tersendiri
dan mudah dibersihkan.
10. Perumahan juga harus mampu mencegah penularan penyakit:
a) Tersedianya air bersih untuk minum yang memenuhi syarat
kesehatan.
b) Tidak memberi kesempatan serangga (nyamuk dan lalat), tikus
dan binatang lainnya bersarang di dalam atau di sekitar rumah.
c) Pembuangan kotoran (tinja) dan air limbah memenuhi syarat
kesehatan.

12

d) Pembuangan sampah pada tempat yang baik, kuat dan higienis.


e) Luas kamar tidur maksimal 3,5 m per orang dan tinggi langitlangit maksimal 2,7 m. Ruangan yang terlalu luas akan
menyebabkan mudah masuk angin, tidak nyaman secara
psikologis (gamang), sedang apabila terlalu sempit akan
menyebabkan sesak napas dan memudahkan penularan
penyakit karena terlalu dekat kontak.
f) Tempat masak dan menyimpan makanan harus bersih dan
bebas dari pencemaran atau gangguan serangga (lalat, semut,
lipas dll) dan tikus serta debu.
g) Perumahan harus memenuhi keamanan untuk terjadinya
kecelakaan.

7. Sanitasi Perumahan dan Hubungannya dengan Tuberkulosis


Paru3,4,5
Menurut Departemen Kesehatan RI (2002), sanitasi adalah usaha
pencegahan penyakit untuk melenyapkan, mengendalikan faktor-faktor
lingkungan yang merupakan mata rantai penularan penyakit.Menurut
Ehlers dan Steel yang dikutip oleh Rajagukguk (2008) adalah usahausaha pengawasan yang ditujukan terhadap faktor-faktor lingkungan
yang dapat merupakan mata rantai penularan penyakit.
Jadi berdasarkan kedua definisi diatas, disimpulkan inti dari
sanitasi adalah pengawasan terhadap faktor-faktor lingkungan untuk
menghindari penularan penyakit dari satu orang kepada orang lain.Bila
dihubungkan dengan perumahan sebagai faktor lingkungan, sanitasi
tersebut meliputi kegiatan usaha yang sasarannya adalah segala aspek
yang berkaitan dengan rumah sehingga tidak menimbulkan dampak
negatif terhadap kesehatan penghuninya.
Penyehatan perumahan dan lingkungan perlu dilakukan karena
erat

kaitannya

dengan

masalah

kesehatan

masyarakat.

Untuk

menunjukkan bahwa kondisi perumahan yang tidak sehat sangat

13

berpengaruh dalam penularan penyakit dilihat dari data-data penelitian


yang sudah ada.
Berdasarkan hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)
pada tahun 1980 didapatkan hasil sebagai berikut :
1. 35,8% rumah tidak mempunyai kamar tidur terpisah.
2. 34% rumah mempunyai lubang penghawaan, pencahayaan, lantai,
dinding dan atap yang buruk.
Menurut berbagai penelitian, penyakit saluran pernafasan dan
tuberkulosis dapat dicegah dengan terpenuhinya suatu rumah dari
pencahayaan, ventilasi, tidak lembab, tidak padat penghuni (minimal 10
m per orang), mempunyai kamar lebih dari satu, asap dapur tidak dapat
masuk ke kamar tidur/ruang tamu.
Hal diatas menunjukkan betapa besar pengaruh sanitasi
perumahan terhadap kejadian penularan penyakit Tuberkulosis, begitu
juga untuk penyakit menular lainnya apabila rumah tersebut tidak
memenuhi

syarat

sanitasi.Di

daerah-daerah

pedesaan,

masalah

perumahan masih banyak yang belum memenuhi syarat kesehatan


sedangkan di kota-kota sudah ada kemajuan, tetapi di berbagai tempat
masih terdapat perumahan yang sama sekali tidak memenuhi persyaratan
kesehatan, yang sering disebut dengan daerah kumuh (slum area).
Menurut Reksosoebroto (1978) yang dikutip oleh Rajagukguk
(2008), perumahan yang tidak sehat disebabkan oleh faktor-faktor
sebagai berikut :
a. Taraf sosial ekonomi yang masih rendah
b. Kurangnya pengertian tentang kesehatan
c. Sanitasi lingkungan yang tidak memenuhi syarat
d. Kepadatan penghuni (over crowding)
e. Konstruksi bangunan yang tidak memenuhi syarat-syarat kesehatan
Perumahan

yang

tidak

memenuhi

persyaratan

fisik

akan

menimbulkan gangguan kesehatan antara lain yang erat kaitannya dengan


penyebaran penyakit Tuberkulosis paru adalah luas ruangan, ventilasi,

14

konstruksi lantai dan pencahayaan sinar matahari yang tidak memenuhi


persyaratan sanitasi.

8. Luas Ruangan
Rumah yang sehat harus memenuhi persyaratan psikologis
meliputi

privacy

(kebebasan),

security

(keamanan),

safety

(perlindungan), comfort (kebahagiaan dan kesenangan) dan relax


(ketenangan), disamping itu juga harus memenuhi fisik yang meliputi
konstruksi yang baik dan memenuhi syarat kesehatan dan sanitasi yang
baik (Reksosoebroto, 1978).Salah satu syarat konstruksi yang harus
diperhatikan sehubungan dengan penyakit Tuberkulosis Paru adalah luas
ruangan rumah.
Menurut Regional Housing Centre seperti yang dikutip oleh
Reksosoebroto (1978), suatu bangunan harus memenuhi ukuran luas
yang layak (dengan perhitungan untuk setiap keluarga yang terdiri dari 5
anggota rata-rata).
Di berbagai negara persyaratan luas ruangan perumahan biasanya
ditentukan berdasarkan banyaknya penghuni. Over crowing (kepenuh
sesakan) dapat menimbulkan efek negatif terhadap kesehatan fisik,
mental

maupun

moral.Luas

bangunan

yang

optimum

menurut

Notoatmodjo (1997) adalah apabila dapat menyediakan 2,5 3 m untuk


tiap orang anggota keluarga. Menurut Lubis (1985) over crowing suatu
perumahan apabila kondisi rumah terhadap jumlah penghuni sebagai
berikut :
a.

Dua individu dari jenis kelamin berbeda dan usia diatas 10 tahun
yang bukan suami isteri, tidur dalam satu kamar.

b.

Jumlah penghuni dibandingkan dengan luas lantai melebihi


ketentuan yang ditetapkan.

Di Indonesia ketentuan mengenai kepadatan hunian ruang tidur oleh


keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 829/Menkes/SK/VII/1999, yaitu
luas ruang tidur minimal 8 meter, dan tidak dianjurkan digunakan lebih

15

dari 2 orang tidur dalam satu ruang tidur, kecuali anak dibawah 5 tahun.
9. Ventilasi
Menurut Suyono dan Budiman (2011), hawa segar diperlukan
untuk mengganti udara ruangan yang sudah terpakai. Udara bebas
mempunyai

susunan

unsur

Oksigen

20,7%,

Nitrogen

78,8%,

Karbondioksida 0,04%,Uap air 0,46%, Ozon (O ), amoniak (NH ),


hidrogen (H2) dan lain-lain.
Pengadaan ventilasi menurut Salvato yang dikutip oleh Lubis
(1985) dalam Rajagukguk (2008) adalah untuk menyediakan udara segar
dan melenyapkan udara jenuh, tapi tidak ada sangkut pautnya dengan
komposisi kimia, namun ia tetap menghubungan dengan pencegahan
terjadinya akumulasi gas-gas beracun dan mikroorganisme di ruangan.
Rumah yang ventilasinya tidak memenuhi syarat kesehatan
mengakibatkan perasaan sesak, pengap, cepat lelah dan keaktifan
menurun. Tidak adanya ventilasi yang baik di suatu ruangan akan
semakin membahayakan kesehatan jika didalam ruangan tersebut
terdapat penderita Tuberkulosis Paru.
Ventilasi udara dalam ruangan harus memenuhi syarat lain di antaranya:
1. Luas lubang ventilasi tetap, minimum 5% dari luas lantai ruangan,
selain itu luas ventilasi insidentil (buka dan tutup) minimum 5% luas
lantai. Jumlah keduanya menjadi 10% dari luas lantai. Ukuran luas ini
diatur sedemikian rupa agar udara yang masuk tidak terlalu deras dan
tidak terlalu sedikit.
2. Udara yang masuk harus udara bersih, tidak tercemar gas atau asap
dari pembakaran sampah, pabrik, knalpot kendaraan, asap rokok,
debu, dll.
3. Aliran udara jangan membuat orang masuk angin, untuk ini jangan
menempatkan tempat tidur atau tempat duduk persis pada aliran udara,
misalnya di depan jendela atau pintu.
4. Aliran udara mengikuti aturan cross ventilation dengan menempatkan
lubang ventilasi berhadapan/berseberangan antara 2 dinding ruangan.

16

Aliran udara ini jangan terhalang oleh barang-barang besar seperti


lemari, dinding sekat dan lain-lain.
5. Kelembaban udara jangan sampai terlalu tinggi (menyebabkan orang
berkeringat) dan jangan terlalu rendah (menyebabkan kulit kering,
bibir pecah-pecah dan hidung sampai berdarah). Udara dalam ruangan
setelah terpakai susunannya menjadi, oksigen 15,4%,CO 4,4%,
nitrogen 79,2%, uap air 1,0%.
10. Lantai
Perkembangbiakan mikroorganisme pada ruangan rumah juga
dipengaruhi oleh kondisi lantai yang tidak memenuhi syarat kesehatan.
Lantai rumah juga dipengaruhi oleh kondisi lantai yang tidak memenuhi
syarat kesehatan. Lantai rumah biasanya hanya berupa tanah atau batu
bata yang langsung diletakkan diatas tanah, sehingga kelembabannya
sangat tinggi dan pada musim panas dapat menyebabkan udara berdebu.
Lantai yang tidak memenuhi syarat dapat mengundang berbagai
serangga dan tikus untuk bersarang, demikian juga kotoran yang melekat
padanya. Biasanya tanah dan debu banyak mengandung mikroorganisme
berbahaya antara lain kuman Tuberkulosis.Lantai perumahan yang
dipersyaratkan di Indonesia seperti telah ditetapkan oleh Departemen
Pekerjaan Umun adalah : tidak mudah aus, kedap air, mudah dibersihkan,
tidak lentur, tidak mudah terbakar dan harus memenuhi normalisasi serta
peraturan yang berlaku.
11. Pencahayaan Sinar Matahari
Salah satu syarat rumah sehat adalah tersedianya cahaya yang
cukup. Sinar matahari berperan secara langsung dalam mematikan
bakteri dan mikroorganisme lain yang terdapat di lingkungan rumah,
dengan demikian sinar matahari sangat diperlukan di dalam suatu
ruangan rumah terutama ruangan tidur, khususnya sinar matahari pagi
yang dapat menghambat perkembang biakan kuman tuberkulosis dan
kuman penyakit lainnya.
Cahaya matahari ini berguna selain untuk penerangan, juga dapat

17

mengurangi kelembaban ruangan, mengusir nyamuk, membunuh kuman


penyakit tertentu seperti TBC, Influensa, penyakit mata dan lain-lain.
(Sanropie, et.al, 1989).

B. KERANGKA KONSEP
Variabel bebas
Faktor Lingkungan fisik rumah :
-

Lingkungan fisik rumah

Suhu

Kelembaban

Luas ventilasi

Intensitas pencahayaan

Kepadatan hunian

Jenis lantai rumah

Variabel terikat
Kejadian Tuberkulosis paru

Variabel pendukung
faktor risiko kejadian
tuberkulosis paru

C. HIPOTESIS
Berdasarkan uraian di atas, dapat dibuat hipotesis ada hubungan
antara faktor lingkungan fisik rumah dengan kejadian tuberkulosis paru di
puskesmas pemenang

18

BAB III
METODE PENELITIAN

A. DESAIN PENELITIAN
Desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah cross
sectional (potong lintang). Menurut Gordis cit Fina (2004) dalam penelitian
rancangan studi potong lintang pengambilan data variabel bebas dan variabel
terikat diamati secara bersamaan pada suatu periode tertentu.8

B. POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN


Populasi dalam penelitian ini adalah penderita yang dicurigai
menderita tuberkulosis di Puskesmas Pemenang pada tahun 2014.
Penelitian dilaksanakan di Puskesmas Pemenang dari 15 Agustus
2014 sampai dengan 15 September 2014.
Untuk pemilihan sampel didasarkan pada responden yang telah
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, yaitu :
Kriteria inklusi :
1. Batuk lebih dari 2 minggu atau batuk berdarah
2. Demam meriang lebih dari 2 minggu
3. Bersedia diwawancara
Kriteria eksklusi :
1. Responden pindah atau meninggal
2. Tidak bersedia diwawancara
Perhitungan jumlah sampel didapat melalui :

n = besar sampel
Z = nilai pada kurva normal
P1 = proporsi terpapar pada kelompok kasus

19

P2= proporsi terpapar pada kelompok pembanding


= presisi/ penyimpangan
OR = diperoleh dari penelitian sebelumnya
Dari perhitungan di atas didapatkan jumlah sebanyak 64 orang.

C. VARIABEL DAN DEFINISI OPERASIONAL


1. Variabel bebas : faktor lingkungan fisik rumah
Variabel terikat : kejadian tuberkulosis paru
2. Definisi Operasional
Definisi operasional yang dibuat tentang batasan-batasan dari
istilah yang dipakai dalam penulisan, yaitu :
1. Penderita tuberkulosis paru adalah sampel pada penelitian ini yang
menderita tuberkulosis paru baik berdasarkan BTA +, Rontgen
Thorax, maupun skoring TB.
2. Lingkungan fisik rumah adalah keadaan bagian-bagian dari rumah
responden yang diperkirakan ikut berperan dalam penularan penyakit
tuberkulosis paru, yaitu luas ruangan, ventilasi, lantai, kelembaban,
dan pencahayaan.
3. Kepadatan hunian ruangan tidur adalah luas ruangan minimal 8 meter,
dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari 2 orang tidur dalam satu
ruang tidur, kecuali anak dibawah umur 5 tahun.
4. Ventilasi rumah yang baik adalah rumah yang memiliki luas
jendela/lubang udara pada rumah paling sedikit 10% dari luas lantai
ruangan dan 50% dari luas jendela atau lubang udara harus dapat
dibuka, sehingga ada aliran udara yang segar terus berlangsung.

20

5. Lantai rumah yang baik adalah kondisi kedap air, terbuat dari bahan
yang cukup keras, kuat, rata, dan mudah dibersihkan.
6. Kelembaban adalah keadaan lembab dalam ruangan yang berkisar
40%-70%.
7. Pencahayaan yang memenuhi syarat adalah masuknya sinar matahari
kedalam ruangan dan menyebar secara merata, terang dan tidak silau
sehingga dapat membaca secara normal.
3. Instrumen Penelitian
Penilaian terhadap lingkungan fisik rumah dilakukan dengan
melakukan wawancara dan observasi, kemudian menilai persyaratan
untuk masing-masing objek yang diteliti, dengan menggunakan
Kepmenkes no. 829 tahun 1999 dan Pedoman Teknis Penilaian Rumah
Sehat, yang mana dikatakan baik jika nilai 35-42 (> 83%), dan dikatakan
kurang jika <35 ( 83%).
4. Cara Pengumpulan Data
a. Data Primer
Data primer diperoleh melalui wawancara langsung terhadap
responden ataupun keluarga responden, dengan menggunakan instrumen
penelitian berupa kuesioner.
b. Data Sekunder
Data

sekunder

diperoleh

dari

formulir

laporan

kejadian

tuberkulosis di Puskesmas Pemenang.


5. Analisa Data
Sebelum melakukan analisa, data terlebih dahulu harus diolah dengan
tujuan mengubah data menjadi informasi, dimana informasi yang diperoleh
tersebut akan digunakan untuk proses pengambilan keputusan, terutama
untuk pengujian hipotesis.
Pengujian hipotesis dengan menggunakan uji chi square. Uji statistik
ini dilakukan dengan bantuan komputer.
21

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. HASIL
Penelitian ini dilakukan di wilayah Puskesmas Pemenang pada bulan
Agustus sampai dengan September 2014.
Karakteristik

responden

berdasarkan

usia,

jenis

kelamin,dan

lingkungan fisik rumah disajikan dalam tabel di bawah ini.


Tabel 1. Karakteristik responden berdasarkan usia
Usia (tahun)

Jumlah penderita TB paru


Jumlah

Persen ( % )

0 10

10,94

11 20

10,94

21 30

4,69

31 40

7,81

41 50

14

21,87

51 60

15

23,44

61 70

14,06

71 80

6,25

Berdasarkan tabel 1, dapat dilihat bahwa jumlah responden paling


banyak pada rentang usia 51-60 tahun yaitu sebanyak 15 orang (23,44%).
Selanjutnya dengan jumlah responden 14 orang (21,87%) pada rentang usia
41-50 tahun. Rentang usia paling banyak ketiga adalah 61-70 tahun dengan
jumlah 9 orang (14,06).Responden dengan rentang usia 0-10 tahun dan 11-20
tahun berjumlah 7 orang (10,94%), kemudian responden dengan jumlah 5
orang (7,81%) pada rentang usia 31-40 tahun, dan rentang usia 71-80 tahun
berjumlah 4 orang (6,25%). Sedangkan rentang usia paling sedikit responden
pada rentang usia 21-30 tahun yaitu sebanyak 3 orang (4,69%).

22

Tabel 2. Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin


Jumlah penderita TB paru

Jenis kelamin

Jumlah

Persen ( % )

Laki-laki

38

59,36

Perempuan

26

40,64

Karakteristik responden menurut jenis kelamin berdasarkan tabel di


atas adalah paling banyak jumlah responden laki-laki sebanyak 38 orang
(59,36%), sedangkan responden dengan jenis kelamin perempuan berjumlah
26 orang (40,64%).

Karakteristik responden berdasarkan faktor lingkungan fisik rumah :


Pada bagian ini akan menggambarkan karakteristik responden yang akan
disajikan dalam tabel dan bar chart. Berikut ini adalah hasil perhitungan
berdasarkan hasil yang diperoleh dari kuesioner.
Tabel 3. Karakteristik responden berdasarkan faktor lingkungan fisik rumah
Frequency

Percent

Valid Percent

Cumulative
Percent

Valid

Kurang

42

65,6

65,6

65,6

Baik

22

34,4

34,4

100,0

Total

64

100,0

100,0

Berdasarkan tabel di atas mengenai kategori lingkungan fisik rumah


responden dapat dilihat jumlah responden dengan kategori lingkungan fisik rumah
kurang adalah sebanyak 42 responden atau sebesar 65,6% sedangkan jumlah
responden dengan kategori lingkungan fisik rumah baik adalah sebanyak 22
responden atau sebesar 34,4%.

23

Tabel 4. Kejadian Tuberkulosis


Frequency

Percent

Valid Percent

Cumulative
Percent

Valid

Tuberkulosis

46

71,9

71,9

71,9

Non-TB

18

28,1

28,1

100,0

Total

64

100,0

100,0

Berdasarkan tabel di atas mengenai kejadian tuberkulosis pada responden


dapat dilihat jumlah responden yang menderita tuberkulosis adalah sebanyak 46
responden atau sebesar 71,9% sedangkan jumlah responden yang tidak menderita
tuberkulosis adalah sebanyak 18 responden atau sebesar 28,1%.
Tabel 5. Faktor lingkungan fisik rumah : Lokasi
Frequency

Percent

Valid Percent

Cumulative
Percent

Valid

Tidak rawan

64

100,0

100,0

100,0

Berdasarkan tabel di atas mengenai lokasi tempat tinggal responden dapat


dilihat bahwa seluruh responden berada pada wilayah yang tidak rawan banjir.
Tabel 6. Faktor lingkungan fisik rumah : Kepadatan Hunian
Frequency

Percent

Valid Percent

Cumulative
Percent

Valid

Tidak padat (> 8 m2 / orang)

15

23,4

23,4

23,4

Padat (< 8 m2 / orang)

49

76,6

76,6

100,0

Total

64

100,0

100,0

Berdasarkan tabel di atas mengenai kepadatan hunian dapat dilihat jumlah


responden yang tinggal pada tingkat kepadatan tidakpadat (> 8 m2 / orang) adalah
sebanyak 15 responden (23,4%) sedangkan jumlah responden yang tinggal pada
tingkat hunian adalah 49 responden (76,6%).

24

Tabel 7. Faktor lingkungan fisik rumah : Lantai


Frequency

Percent

Valid Percent

Cumulative
Percent

Semen, ubin, keramik, kayu


Valid

62

96,9

96,9

96,9

Tanah

3,1

3,1

100,0

Total

64

100,0

100,0

Berdasarkan tabel di atas mengenai lantai hunian dapat dilihat jumlah


responden yang tinggal dengan lantai semen, ubin, keramik, kayu adalah 62
responden (96,9%), sedangkan jumlah responden yang tinggal dengan lantai tanah
adalah sebanyak 2 responden (3,1%).
Tabel 8. Faktor lingkungan fisik rumah : Pencahayaan
Frequency

Percent

Valid Percent

Cumulative
Percent

Valid

Cukup

33

51,6

51,6

51,6

Tidak Cukup

31

48,4

48,4

100,0

Total

64

100,0

100,0

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat jumlah responden yang tinggal


dengan pencahayaan cukup adalah 33responden (51,6%) sedangkan yang tinggal
dengan pencahayaan tidak cukup 31 responden atau sebesar 48,4%.

Tabel 9. Faktor lingkungan fisik rumah : Ventilasi


Frequency

Percent

Valid Percent

Cumulative
Percent

Ada Ventilasi
Valid

Tidak Ada Ventilasi


Total

60

93,8

93,8

93,8

6,3

6,3

100,0

64

100,0

100,0

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa responden yang memiliki


ventilasi cukup sebanyak 60 responden (93,8%) dan yang tidak memiliki ventilasi
cukup ada 4 orang (6,3%).

25

Tabel 10. Faktor lingkungan fisik rumah : Air bersih


Frequency

Percent

Valid Percent

Cumulative
Percent

Air dalam kemasan

4,7

4,7

4,7

15

23,4

23,4

28,1

Mata air terlindung

7,8

7,8

35,9

Sumur pompa tangan

4,7

4,7

40,6

Sumur terlindungi

24

37,5

37,5

78,1

Sumur tidak terlindung

14

21,9

21,9

100,0

Total

64

100,0

100,0

Ledeng / PAM

Valid

Berdasarkan table di atas mengenai sumber air bersih dapat dilihat


mayoritas responden mendapatkan air bersih yang bersumber dari sumur
terlindungi yaitu sebanyak 24 responden (37,5%), dan yang paling sedikit air
dalam kemasan dan sumur pompa tangan yaitu 3 responden.
Tabel 11. Faktor lingkungan fisik rumah : Pembuangan kotoran (kakus)
Frequency

Percent

Valid Percent

Cumulative
Percent

Leher angsa

Valid

51

79,7

79,7

79,7

Cemplung / cubluk

3,1

3,1

82,8

Kolam ikan/ sungai/ kebun

14,1

14,1

96,9

Tidak ada

3,1

3,1

100,0

64

100,0

100,0

Total

Berdasarkan tabel di atas mengenai pembuangan kotoran (kakus) dapat


dilihat mayoritas responden memiliki pembuangan (kakus) dengan model leher
angsa yaitu sebanyak 51 responden atau sebesar 79,7%, kemudian kolam ikan/
sungai/ kebun yaitu sebanyak 9 responden atau sebesar 14,1%.
Tabel 12. Faktor lingkungan fisik rumah : Septi tank
Frequency

Percent

Valid Percent

Cumulative
Percent

Valid

Dengan jarak >10 m dari sumber air minum

28

43,8

43,8

43,8

Lainnya

36

56,3

56,3

100,0

Total

64

100,0

100,0

26

Berdasarkan tabel di atas mengenai keadaan septitank dapat dilihat jumlah


responden yang memiliki septitank dengan jarak >10 meter dari sumber air
minum adalah sebanyak 28responden (43,8%) sedangkan jumlah responden yang
memiliki septi tank dengan jarak lainya adalah sebanyak 36 responden (56,3%).
Tabel 13. Faktor lingkungan fisik rumah : Kepemilikan WC
Frequency

Percent

Valid Percent

Cumulative
Percent

Sendiri

25

39,1

39,1

39,1

Bersama

28

43,8

43,8

82,8

Tidak Ada

11

17,2

17,2

100,0

Total

64

100,0

100,0

Valid

Sebanyak 25 responden telah memiliki wc sendiri, sedangkan 28


responden (43,80%) memiliki wc bersama, dan 11 responden (17,20%) tidak
memiliki wc.
Tabel 14. Faktor lingkungan fisik rumah : SPAL
Frequency

Percent

Valid Percent

Cumulative
Percent

Saluran tertutup

35

54,7

54,7

54,7

Saluran terbuka

13

20,3

20,3

75,0

Tanpa saluran

16

25,0

25,0

100,0

Total

64

100,0

100,0

Valid

Jumlah responden yang memiliki saluran tertutup adalah sebanyak 35


responden (54,7%), saluran terbuka dimiliki 13 responden (20,3%) dan jumlah
responden yang tanpa saluran adalah sebanyak 16 responden atau sebesar 25,0%.
Tabel 15. Faktor lingkungan fisik rumah : Saluran got
Frequency

Percent

Valid Percent

Cumulative
Percent

Mengalir lancar

27

42,2

42,2

42,2

Mengalir lambat

12

18,8

18,8

60,9

Tidak ada got

25

39,1

39,1

100,0

Total

64

100,0

100,0

Valid

27

Responden yang memiliki saluran got mengalir lancar adalah sebanyak 27


responden (42,2%), mengalir lambat sebanyak 12 responden (18,8%) dan
responden yang tidak memiliki saluran got sebanyak 25 responden (39,1%).
Tabel 16. Faktor lingkungan fisik rumah : Pengelolaan sampah
Frequency

Percent

Valid Percent

Cumulative
Percent

Diangkut petugas

4,7

4,7

4,7

Ditumbun

19

29,7

29,7

34,4

Dibakar

29

45,3

45,3

79,7

Dibuang ke sungai

14,1

14,1

93,8

Dibuang sembarangan

6,3

6,3

100,0

64

100,0

100,0

Valid

Total

Mayoritas responden melakukan pengelolaan sampah dengan cara dibakar


yaitu sebanyak 29 responden atau sebesar 45,3%, terbanyak kedua melakukan
pengelolaan sampah dengan cara ditimbun yaitu sebanyak 19 responden atau
sebesar 29,7%.
Tabel 17. Faktor lingkungan fisik rumah : Polusi udara
Frequency

Percent

Valid Percent

Cumulative
Percent

Valid

Tidak ada gangguan polusi

23

35,9

35,9

35,9

Ada gangguan

41

64,1

64,1

100,0

Total

64

100,0

100,0

Jumlah responden tanpa gangguan polusi adalah 23 responden(35,9%),


sedangkan dengan gangguan polusi sebanyak 41 responden (64,1%).
Tabel 18. Faktor lingkungan fisik rumah : Bahan bakar masak
Frequency

Percent

Valid Percent

Cumulative
Percent

Listrik dan gas

30

46,9

46,9

46,9

Minyak tanah

10

15,6

15,6

62,5

Kayu bakar

24

37,5

37,5

100,0

Total

64

100,0

100,0

Valid

28

Jumlah responden yang menggunakan bahan bakar listrik dan gas adalah
sebanyak 30responden (46,9%), yang menggunakan bahan bakar minyak tanah
adalah sebanyak 10 responden (15,6%) dan jumlah responden yang menggunakan
bahan bakar kayu bakar adalah sebanyak 24 responden atau sebesar 37,5%.

a. Uji Hipotesis
Pada bagian ini akan menggambarkan tabulasi silang antarakategori
rumah sehat dengan kejadian tuberkulosis. Untuk membuktikan ada tidaknya
hubungan yang signifikan antarakategori rumah sehat dengan kejadian
tuberkulosispada responden, maka dilakukan uji Chi-Square. Berikut ini
adalah hasil perhitungan berdasarkan data yang diperoleh dari kuesioner.
Kejadian TBC * Kategori Lingkungan Fisik Rumah Crosstabulation
Kategori Lingkungan Fisik Rumah
Kurang
Count

Total

Baik
42

46

91,3%

8,7%

100,0%

18

18

0,0%

100,0%

100,0%

42

22

64

65,6%

34,4%

100,0%

TBC
% within Kejadian TBC
Kejadian TBC
Count
Non-TBC
% within Kejadian TBC
Count
Total
% within Kejadian TBC

Berdasarkan tabel tabulasi silang antarakategori rumah sehat dengan


kejadian tuberkulosis, dapat dilihat untuk responden dengan kategori
lingkungan rumah fisik yang kurang, memiliki proporsi kejadian tuberkulosis
lebih tinggi dibandingkan dengan responden dengan kategori lingkungan
rumah fisik yang baik.
Untuk mengetahui ada tidaknya hubungan kategori rumah sehat
dengan kejadian tuberkulosis, maka dilakukan pengujian Chi-Square. Berikut
ini adalah hasil pengujian Chi-Squareberdasarkan data yang diperoleh.

29

Chi-Square Tests
Value

Pearson Chi-Square
Continuity Correction

df

Likelihood Ratio

Exact Sig. (2-

Exact Sig. (1-

sided)

sided)

sided)

,000

43,849

,000

55,187

,000

47,810
b

Asymp. Sig. (2-

Fisher's Exact Test


Linear-by-Linear Association
N of Valid Cases

,000
47,063

,000

,000

64

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6,19.
b. Computed only for a 2x2 table

Berdasarkan hasil pengujian diatas dapat dilihat bahwa nilai signifikansi


adalah sebesar 0.000 yang bernilai lebih kecil dari 0,05. Sehingga dapat
disimpulkan, terbuktibahwa terdapat hubungan kategori rumah sehat dengan
kejadian tuberkulosis. Responden dengan kategori lingkungan fisik rumah yang
kurang memiliki kecenderungan mengalami tuberkulosis dibandingkan dengan
responden dengan dengan kategori lingkungan fisik rumah yang baik.

B. PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil data di atas terlihat bahwa responden dengan
lingkungan fisik rumah yang kurang baik sebanyak 42 responden(65,6%)
sedangkan dengan kategori lingkungan fisik rumah baik sebanyak 22
responden(34,4%).
Sedangkan dari uji hipotesis dapat dilihat bahwa responden dengan
kategori lingkungan rumah fisik yang kurang, memiliki proporsi kejadian
tuberkulosis lebih tinggi dibandingkan dengan responden dengan kategori
lingkungan rumah fisik yang baik.
Melalui uji Chi-square didapatkan nilai p=0,000 yang berarti kurang dari
0,05, yang berarti hasil data signifikan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
terdapat hubungan lingkungan fisik rumah dengan kejadian tuberkulosis.
Responden dengan kategori lingkungan fisik rumah yang kurang memiliki

30

kecenderungan mengalami tuberkulosis dibandingkan dengan responden dengan


dengan kategori lingkungan fisik rumah yang baik.
Kepadatan

hunian

mempengaruhi

terhadap

kejadian

tuberkulosis.

Kepadatan hunian yang baik adalah >8m2/orang. Semakin padat, maka pertukaran
udara akan semakin sempit, dan memudahkan penularan tuberkulosis.
Kelembapan berperan dalam pertumbuhan kuman penyakit. Kelembapan
yang normal di tempat tidur berkisar 40-70%. Kelembapan yang tinggi dapat
menjadi tempat yang disukai kuman untuk pertumbuhan dan perkembangannya.
Kelembapan dapat disebabkan oleh 3 faktor, yaitu kelembapan yang naik dari
tanah, merembes melalui dinding, dan bocor melalui atap.Kelembaban
diakibatkan oleh ventilasi yang tidak memenuhi syarat dan padat penghuni.
Ventilasi yang tidak memenuhi syarat membuat cahaya matahari tidak dapat
masuk ke dalam rumah sehingga meningkatkan kelembaban di dalam rumah.
Pada penderita tuberkulosis banyak yang tidak memenuhi syarat rumah
sehat, diantaranya adalah ventilasi dan pencahayaan yang kurang, bahkan ada 4
responden yang tidak memiliki ventilasi pada ruang tidurnya sama sekali. Rumah
dengan ventilasi yang kurang akan berpengaruh terhadap kejadian tuberkulosis
paru. Ventilasi rumah berfungsi untuk mengeluarkan udara yang tercemar
(bakteri, CO2) di dalam rumah dan menggantinya dengan udara yang segar dan
bersih atau untuk sirkulasi udara tempat masuknya cahaya ultraviolet. Dalam
penelitian ini ventilasi yang kurang berhubungan dengan kejadian tuberkulosis.
Hasil ini sesuai dengan penelitian terdahulu bahwa ada hubungan antara ventilasi
dengan kejadian tuberkulosis.
Faktor yang tidak kalah pentingnya adalah pembuangan kotoran dan
pembuangan air limbah. Apabila syarat dari dua hal tersebut tidak dipenuhi maka
akan mempermudah kuman untuk tumbuh, sehingga meningkatkan risiko
kejadian tuberkulosis.

31

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN
1. Jumlah responden paling banyak berusia antara 51-60 tahun yaitu 15
orang dan paling sedikit pada rentang usia 21-30 tahun yaitu 3 orang.
2. Jumlah responden yang mengalami tuberkulosis adalah sebanyak 46
orang dan yang tidak mengalami tuberkulosis sebanyak 18 orang.
3. Jumlah responden yang memiliki lingkungan fisik rumah kurang baik
berjumlah 42 orang sedangkan dengan kategori lingkungan fisik rumah
baik sebanyak 22 orang.
4. Hasil uji hipotesis menunjukkan bahwa responden dengan kategori
lingkungan fisik rumah yang kurang, memiliki proporsi kejadian
tuberkulosis lebih tinggi dibandingkan dengan responden dengan kategori
lingkungan fisik rumah yang baik.
5. Dari hasil uji chi-square ditunjukkan bahwa terdapat hubungan
lingkungan fisik rumah dengan kejadian tuberkulosis. Responden dengan
kategori lingkungan fisik rumah yang kurang memiliki kecenderungan
mengalami tuberkulosis dibandingkan dengan responden dengan dengan
kategori lingkungan fisik rumah yang baik.

B. SARAN
1. Bagi dinas kesehatan setempat
a. Perlu diadakan penyuluhan mengenai tuberkulosis bagi masyarakat
yang masih minim pengetahuan.
b. Pemantauan fisik rumah secara berkala bekerjasama dengan dinas
pekerjaan umum dan pihak lain yang terkait dan diharapkan dapat
mencegah penularan serumah atau meminimalisir peningkatan
kejadian tuberkulosis.

32

2. Puskesmas
Puskesmas bekerjasama dengan kader kesehatan untuk membentuk
Komunitas Masyarakat Peduli (KMP) dan kader tuberkulosis agar dapat
mengatasi permasalahan tuberkulosis dilapangan serta memudahkan
penemuan kasus dilapangan secara langsung, sehingga memudahkan
penyembuhan penderita.
3. Masyarakat
Saling mengupayakan kesehatan tempat tinggal yang tidak memenuhi
syarat.
4. Peneliti
Memperbaiki

penelitian

yang sebelumnya

telah

ada

dengan

memperbanyak variabel dan desain penelitian yang berbeda.

33

DAFTAR PUSTAKA

1.

2.

3.

4.
5.

6.

7.

8.

Anonim.
2007.
Aspek
Teknis
dalam
Penyehatan
Rumah.
http://miqralingkungan.blogspot.com/2007
Anonim. 2014. Laporan Kasus Tuberkulosis di Wilayah Puskesmas
Pemenang tahun 2010-2013
Atmosukarto, Sri Soewati. 2000. Pengaruh Lingkungan Pemukiman dalam
Penyebaran Tuberkulosis. Jakarta: Media Litbang Kesehatan. Vol 9.
Depkes RI
Azwar A. 1995. Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan. Jakarta: Mutiara
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2002. Pedoman Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta : Edisi 2. Cetakan Pertama
Hariyadi S. 2010. Ilmu Penyakit Paru. Surabaya : Departemen Ilmu Penyakit
Paru FK Unair-RSUD dr. Soetomo
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2011. Laporan Situasi Terkini
Perkembangan Tuberkulosis Di Indonesia. Jakarta: Direktorat
Jenderal Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan
Kementerian Kesehatan RI
Priyo Hastono and Sutanto. 2001. Modul Analisis Data. Fakultas Kesehatan
Masyarakat. Universitas Indonesia

34

You might also like