Professional Documents
Culture Documents
PENGERTIAN
1. Edema Paru
Edema, pada umumnya, berarti pembengkakan. Ini secara khas terjadi ketika cairan
dari bagian dalam pembuluh-pembuluh darah merembes keluar pembuluh darah
kedalam jaringan-jaringan sekelilingnya, menyebabkan pembengkakan. Ini dapat terjadi
karena terlalu banyak tekanan dalam pembuluh-pembuluh darah atau tidak ada cukup
protein-protein dalam aliran darah untuk menahan cairan dalam plasma (bagian dari
darah yang tidak megandung segala sel-sel darah) (Horrison, 1995).
Pulmonary edema adalah istilah yang digunakan ketika edema terjadi di paru-paru.
Area yang langsung diluar pembuluh-pembuluh darah kecil pada paru-paru ditempati
oleh kantong-kantong udara yang sangat kecil yang disebut alveoli. Ini adalah dimana
oksigen dari udara diambil oleh darah yang melaluinya, dan karbon dioksida dalam
darah dikeluarkan kedalam alveoli untuk dihembuskan keluar. Alveoli normalnya
mempunyai dinding yang sangat tipis yang mengizinkan pertukaran udara ini, dan cairan
biasanya dijauhkan dari alveoli kecuali dinding-dindig ini kehilangan integritasnya.
Edema paru merupakan penumpukan abnormal cairan didalam paru-paru , baik
dalam spasium interstisial atau dalam alveoli. ( Brunner dan Suddarth, 2012 )
2. ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrom)
Sindrom gagal pernafasan merupakan gagal pernafasan mendadak yang timbul
pada penderita tanpa kelainan paru yang mendasari sebelumnya. Sindrom Gawat Nafas
akut (ARDS) juga dikenal dengan edema paru nonkardiogenik merupakan sindroma
klinis yang ditandai penurunan progresif kandungan oksigen arteri yang terjadi setelah
penyakit atau cedera serius
Gagal nafas ARDS terjadi bilamana pertukaran oksigen terhadap karbondioksida
dalam paru-paru tidak dapat memelihara laju komsumsi oksigen dan pembentukan
karbon dioksida dalam sel-sel tubuh. Sehingga menyebabkan tegangan oksigen kurang
dari 50 mmHg (Hipoksemia) dan peningkatan tekanan karbondioksida lebih besar dari
45 mmHg (hiperkapnia). (Brunner & Sudarth, 2001)
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa ARDS merupakan
ketidakmampuan atau kegagalan sitem pernapasan oksigen dalam darah sehingga
pertukaran oksigen terhadap karbondioksida dalam paru - paru tidak dapat memelihara
laju konsumsi oksigen dan pembentukan karbondioksida dalam sel sel tubuh.sehingga
tegangan oksigen berkurang dan akan peningkatan karbondioksida akan menjadi lebih
besar.
B. ETIOLOGI
1. Edema paru
Menurut Arif Muttaqin.2008. Edema paru disebapkan karena 2 hal yaitu
1) Kardiogenik
a) Peningkatan tekanan vena paru tanpa adanya gangguan fungsi ventrikel kiri
(stenosis mitral)
b) Peningkatan tekanan vena paru sekunder oleh karena gangguan fungsi
ventrikel kiri
c) Peningkatan kapiler paru sekunder oleh karena peningkatan tekanan arteri
pulmonalis
d) Post cardioversion
e) Eclampsia
2) Non Koardiogenik
a) Pneumonia
b) Pneumonitis radiasi akut
c) Bahan vasoaktif endogen
d) Aspirasi asam lambung
e) Peningkatan tekanan onkotik interstitial
f) Bahan toksik ihalan
g) Bahan asing dalam sirkulasi seperti bisa ular, endoktoksin, dan bakteri
h) Emboli paru
i) Post cardiopulmonary bypass
j) Pengambilan terlalu cepat pneumotorak atau efusi pleura
2. ARDS
Mengakibatkan gagal nafas karena ventilasi tidak adekuat. Pusat pernafasan yang
menngendalikan pernapasan, terletak dibawah batang otak (pons dan medulla)
sehingga pernafasan lambat dan dangkal.
Trauma
Disebabkan oleh kendaraan bermotor dapat menjadi penyebab gagal nafas.
Kecelakaan yang mengakibatkan cidera kepala, ketidaksadaran dan perdarahan dari
hidung dan mulut dapat mnegarah pada obstruksi jalan nafas atas dan depresi
pernapasan. Hemothoraks, pnemothoraks dan fraktur tulang iga dapat terjadi dan
mungkin meyebabkan gagal nafas. Flail chest dapat terjadi dan dapat mengarah pada
gagal nafas. Pengobatannya adalah untuk memperbaiki patologi yang mendasar.
C. KLASIFIKASI
1. Edema Paru
Berdasarkan penyebabnya, edema paru terbagi menjadi 2, kardiogenik dan nonkardiogenik. Hal ini penting diketahui oleh karena pengobatannya sangat berbeda. Edema
Paru Kardiogenik disebabkan oleh adanya Payah Jantung Kiri apapun sebabnya. Edema
Paru Kardiogenik yang akut disebabkan oleh adanya Payah Jantung Kiri Akut. Tetapi
dengan adanya faktor presipitasi, dapat terjadi pula pada penderita Payah Jantung Kiri
Khronik
a) Cardiogenic pulmonary edema
Edema paru kardiogenik ialah edema yang disebabkan oleh adanya kelainan pada
organ jantung. Misalnya, jantung tidak bekerja semestinya seperti jantung memompa
tidak bagus atau jantung tidak kuat lagi memompa.
Cardiogenic pulmonary edema berakibat dari tekanan yang tinggi dalam
pembuluh-pembuluh darah dari paru yang disebabkan oleh fungsi jantung yang buruk.
Gagal jantung kongestif yang disebabkan oleh fungsi pompa jantung yang buruk (datang
dari beragam sebab-sebab seperti arrhythmias dan penyakit-penyakit atau kelemahan
dari otot jantung), serangan-serangan jantung, atau klep-klep jantung yang abnormal
dapat menjurus pada akumulasi dari lebih dari jumlah darah yang biasa dalam
pembuluh-pembuluh darah dari paru-paru. Ini dapat, pada gilirannya, menyebabkan
cairan dari pembuluh-pembuluh darah didorong keluar ke alveoli ketika tekanan
membesar.
b) Non-cardiogenic pulmonary edema
Non-cardiogenic pulmonary edema ialah edema yang umumnya disebabkan oleh hal
berikut:
1) Acute respiratory distress syndrome (ARDS)
Pada ARDS, integritas dari alveoli menjadi terkompromi sebagai akibat dari
respon peradangan yang mendasarinya, dan ini menurus pada alveoli yang bocor
yang dapat dipenuhi dengan cairan dari pembuluh-pembuluh darah.
2) kondisi yang berpotensi serius yang disebabkan oleh infeksi-infeksi yang parah,
trauma, luka paru, penghirupan racun-racun, infeksi-infeksi paru, merokok kokain,
atau radiasi pada paru-paru.
3) Gagal ginjal dan ketidakmampuan untuk mengeluarkan cairan dari tubuh dapat
menyebabkan penumpukan cairan dalam pembuluh-pembuluh darah, berakibat pada
pulmonary edema. Pada orang-orang dengan gagal ginjal yang telah lanjut, dialysis
mungkin perlu untuk mengeluarkan kelebihan cairan tubuh.
4) High altitude pulmonary edema, yang dapat terjadi disebabkan oleh kenaikan yang
cepat ke ketinggian yang tinggi lebih dari 10,000 feet.
interstitium ke rongga rongga udara (spaces). Faktor penentu yang paling penting
dalam pembentukkan cairan ekstravaskuler adalah perbedaan tekanan hidrostatik dan
onkotik dalam lumen kapiler dan ruang interstitial, serta permeabilitas sel endotelium
terhadap air, zat terlarut (solut) dan molekul besar seperti protein plasma. (Aryanto,1994)
Ciri perubahan dini pada edema paru adalah terjadinya peningkatan aliran
limfatik. Perubahan ini terjadi karena saluran limfatik terjalin dalam jaringan ikat longgar
yang mengelilingi arteriola paru dan saluran pernafasan yang kecil pembekaan saluran
limfatik ini akan berdampak pada struktur sekitarnya dan mengakibatkan terjadinya
prubahan hubungan tekanan pada struktur tersebut. Salah satu akibatnya adalah adanya
obstruksi pada saluran kecil yang telah dibuktikan sebagai perubahan fisiologis dini pada
klien dengan gagal jantung kiri mengingat lesi ini tidak merata disaluran paru, maka
timbul perubahan dalam distribusi, ventilasi, dan perfusi yang kemidian menyebabkan
terjadinya hipoksemia ringan terkenanya arteriola kecil juga menyebabkan gambaran
radiologis dini pada gagal jantung kiri, yaitu suatu redistribusi aliran darah dari basis ke
apek paru pada klien dengan posisi tegak.
Jika terbentuknya cairan intersisial melebihi kapasitas sistem limfatik, maka
terjadi edema dinding alveolar. Pada fase ini komplan paru berkurang hal ini
menyebabkan terjadinya takipneu yang mungkin tanda klinis awal pada klien dengan
edema paru. Ketidakseimbangan antara ventilasi dan aliran darah menyebabkan
hipoksenia memburuk. Meskipun demikian, ekskresi karbondioksida tidak terganggu dan
klien akan menunjukkan keadaan hiperventilasi dengan alkalosis respiratorik.
Selain hal yang telah disebutkan diatas gangguan difusi juga berperan, dan pada
fase ini mungkin terjadi peningkatan pintas kanan ke kiri melalui alveoli yang tidak
mengalami ventilasi. Pada fase alveolar penuh dengan cairan, semua gambaran menjadi
lebih berat dan komplain akan menurun dengan nyata ( Nowak, 2004). Alveoli terisi
cairan dan pada saat yang sama aliran darah kedaerah tersebut tetap berlangsung, maka
pintas kanan ke kiri aliran darah akan menjadi lebih berat dan menyebabkan hipoksia
yang rentan terhadap peningkatan konsentrasi oksigen yang diinspirasi. Kecuali pada
keadaan yang amat berat, hiperventilasi dan alkalosis respiratorik akan tetap berlangsung.
Secara radiologis akan tampak gambaran infiltrat alveolar yang tersebar diseluruh
paru, terutama daerah parahilar dan basal. Ketika klien dalam keadaan sadar dia akan
tampak mengalami sesak nafas hebat dan ditandai dengan takipnea, takikardi, serta
sianosis bila pernafasannya tidak dibantu. Keadaan ini disebut sebagai adult respiratory
sindrom (ARDS).
2. ARDS
ARDS terjadi sebagai akibat cedera atau trauma pada membran alveolar kapiler yang
mengakibatkan kebocoran cairan kedalam ruang interstisiel alveolar dan perubahan
dalam jaring- jaring kapiler, terdapat ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi yang jelas
akibat kerusakan pertukaran gas dan pengalihan ekstansif darah dalam paru-paru. ARDS
menyebabkan penurunan dalam pembentukan surfaktan, yang mengarah pada kolaps
alveolar. Komplians paru menjadi sangat menurun atau paru-paru menjadi kaku
akibatnya adalah penurunan karakteristik dalam kapasitas residual fungsional, hipoksia
berat dan hipokapnia (Brunner & Suddart, 2001). Ada 3 fase dalam patogenesis ARDS:
Fase eksudatif.
Fase permulaan, dengan cedera pada endothelium dan epitelium, inflamasi, dan
eksudasi cairan. Terjadi 2-4 hari sejak serangan akut.
Fase Proliferatif.
Terjadi setelah fase eksudatif, ditandai dengan influks dan proliferasi fibroblast,
sel tipeII, dan miofibroblast, menyebabkan penebalan dinding alveolus dan
perubahan eksudat perdarahan menjadi jaringan granulasi seluler/membran hialin.
Fase proliferatif merupakan fase menentukan yaitu cedera bisa mulai sembuh atau
menjadi menetap, adaresiko terjadi lung rupture (pneumothorax).
Fase Fibrotik/Recovery.
Jika pasien bertahan sampai 3 minggu, paru akan mengalami remodeling dan
fibrosis.Fungsi paru berangsur angsur membaik dalam waktu 6 12 bulan, dan
sangat bervariasi antar individu, tergantung keparahan cederanya. Perubahan
patofisiologi berikut ini mengakibatkan sindrom klinis yang dikenal sebagai
ARDS:
a) Sebagai konsekuensi dari serangan pencetus, complement cascade menjadi
aktif yang selanjutnya meningkatkan permeabilitas dinding kapiler.
b) Cairan, lekosit, granular, eritrosit, makrofag, sel debris, dan protein bocor
kedalam ruang interstisiel antar kapiler dan alveoli dan pada akhirnya ke
dalam ruang alveolar.
c) Karena terdapat cairan dan debris dalam interstisium dan alveoli maka area
permukaan
untuk pertukaran
oksigen
dan
CO2
menurun
sehingga
hiperventilasi
kompensasi
dari
alveoli
fungsional,
sehingga
Faktor non-kardiogenik
PATHWAY
ARSD
Pnemonia
Aspirasi As.
Lambung
Bahan Toksik
inhalan
Isufisiensi
limfatik
Post. Lung
transplant
Lymphangitic
carsinomiclos
is
Silicosis
Unkwnown
Pulmonary
Embolism
Eclamasia
High
altitude
Pulmonary
edema
Ketidakseimbangan
Staling Force
Tekanan
Kapiler
Paru
Tekanan
Tekanan
Tekanan
Onkotik
Plasma
Negative
Onkotik
Interstitial
Interstitial
Cairan berpindah
ke interstitial
Akumulasi cairan berlebih (transudat / eksudat)
Alveoli terisi
cairan
Gangguan
pertukaran gas
Gangguan
perfusi
jaringan
2. ARDS
Cardiac ouput
O2 jaringan
Pemasangan alat
bantu nafas
(ventilator)
Bed rest
fisik
Pengambilan
O2
Kelelahan
Gangguan pola
nafas
Intoleransi
aktivitas
Defisit
perawatan
diri
Pemasangan
selang
endotrakheal
Area
invasi
Gangguan
komunikasi
verbal
Resiko
tinggi
infeksi
M.O
F. MANIFESTASI KLINIK
1. Edema Paru
Gejala yang paling umum dari pulmonary edema adalah sesak napas. Ini mungkin
adalah penimbulan yang berangsur-angsur jika prosesnya berkembang secara perlahan,
atau ia dapat mempunyai penimbulan yang tiba-tiba pada kasus dari pulmonary edema
akut. Gejala-gejala umum lain mungkin termasuk mudah lelah, lebih cepat
mengembangkan sesak napas daripada normal dengan aktivitas yang biasa (dyspnea on
exertion), napas yang cepat (tachypnea), kepeningan, atau kelemahan.
Tingkat oksigen darah yang rendah (hypoxia) mungkin terdeteksi pada pasien-pasien
dengan pulmonary edema. Lebih jauh, atas pemeriksaan paru-paru dengan stethoscope,
dokter mungkin mendengar suara-suara paru yang abnormal, sepeti rales atau crackles
(suara-suara mendidih pendek yang terputus-putus yang berkoresponden pada
muncratan cairan dalam alveoli selama bernapas).
Manifestasi klinis Edema Paru secara spesifik juga dibagi dalam 3 stadium:
a) Stadium 1.
Adanya distensi dan pembuluh darah kecil paru yang prominen akan memperbaiki
pertukaran gas di paru dan sedikit meningkatkan kapasitas difusi gas CO. Keluhan pada
stadium ini mungkin hanya berupa adanya sesak napas saat bekerja. Pemeriksaan fisik
juga tak jelas menemukan kelainan, kecuali mungkin adanya ronkhi pada saat inspirasi
karena terbukanya saluran napas yang tertutup pada saat inspirasi.
b) Stadium 2.
Pada stadium ini terjadi edema paru intersisial. Batas pembuluh darah paru menjadi
kabur, demikian pula hilus juga menjadi kabur dan septa interlobularis menebal (garis
Kerley B). Adanya penumpukan cairan di jaringan kendor inter-sisial, akan lebih
memperkecil saluran napas kecil, terutama di daerah basal oleh karena pengaruh
gravitasi. Mungkin pula terjadi refleks bronkhokonstriksi. Sering terdapat takhipnea.
Meskipun hal ini merupakan tanda gangguan fungsi ventrikel kiri, tetapi takhipnea juga
membantu memompa aliran limfe sehingga penumpukan cairan intersisial diperlambat.
Pada pemeriksaan spirometri hanya terdapat sedikit perubahan saja.
c) Stadium 3.
Pada stadium ini terjadi edema alveolar. Pertukaran gas sangat terganggu, terjadi
hipoksemia dan hipokapnia. Penderita nampak sesak sekali dengan batuk berbuih
kemerahan. Kapasitas vital dan volume paru yang lain turun dengan nyata. Terjadi rightto-left intrapulmonary shunt. Penderita biasanya menderita hipokapnia, tetapi pada kasus
yang berat dapat terjadi hiperkapnia dan acute respiratory acidemia. Pada keadaan ini
morphin hams digunakan dengan hati-hati (Ingram and Braunwald, 1988).
Edema Pam yang terjadi setelah Infark Miokard Akut biasanya akibat hipertensi
kapiler paru. Namun percobaan pada anjing yang dilakukan ligasi arteriakoronaria,
terjadi edema paru walaupun tekanan kapiler paru normal, yang dapat dicegah de-ngan
pemberian indomethacin sebelumnya. Diperkirakan bahwa dengan menghambat
cyclooxygenase atau cyclic nucleotide phosphodiesterase akan mengurangi edema paru
Takikardi, takipnea
Sianosis
Hipoksemia
Batuk kering dan demam yang terjadi lebih dari beberapa jam sampai seharian.
Auskultasi paru: ronkhi basah, krekels halus di seluruh bidang paru, stridor,
wheezing.
Perubahan sensorium yang berkisar dari kelam pikir dan agitasi sampai koma.
G. DIAGNOSA PENUNJANG
1. Edema Paru
a. Pemeriksaan Fisik
Sianosis sentral. Sesak napas dengan bunyi napas seperti mukus berbuih.
b. Elektrokardiografi. Bisa sinus takikardia dengan hipertrofi atrium kiri atau fibrilasi
atrium, tergantung penyebab gagal jantung. Gambaran infark, hipertrofi ventrikel
kiri atau aritmia bisa ditemukan.
c) Laboratorium
Analisa gas darah pO2 rendah, pCO2 mula-mula rendah dan kemudian
hiperkapnia.
Darah rutin, ureum, kreatinin, , elektrolit, urinalisis, foto thoraks, EKG, enzim
jantung (CK-MB, Troponin T), angiografi koroner.
d) Foto thoraks Pulmonary edema secara khas didiagnosa dengan X-ray dada.
Radiograph (X-ray) dada yang normal terdiri dari area putih terpusat yang
menyinggung jantung dan pembuluh-pembuluh darah utamanya plus tulang-tulang
dari vertebral column, dengan bidang-bidang paru yang menunjukan sebagai bidangbidang yang lebih gelap pada setiap sisi, yang dilingkungi oleh struktur-struktur
tulang dari dinding dada.
X-ray dada yang khas dengan pulmonary edema mungkin menunjukan lebih
banyak tampakan putih pada kedua bidang-bidang paru daripada biasanya. Kasuskasus yang lebih parah dari pulmonary edema dapat menunjukan opacification
(pemutihan) yang signifikan pada paru-paru dengan visualisasi yang minimal dari
bidang-bidang paru yang normal. Pemutihan ini mewakili pengisian dari alveoli
Alat-alat diagnostik lain yang digunakan dalam menilai penyebab yang mendasari
dari pulmonary edema termasuk pengukuran dari plasma B-type natriuretic peptide
(BNP) atau N-terminal pro-BNP. Ini adalah penanda protein (hormon) yang akan timbul
dalam darah yang disebabkan oleh peregangan dari kamar-kamar jantung. Peningkatan
dari BNP nanogram (sepermilyar gram) per liter lebih besar dari beberapa ratus (300
atau lebih) adalah sangat tinggi menyarankan cardiac pulmonary edema. Pada sisi lain,
nilai-nilai yang kurang dari 100 pada dasarnya menyampingkan gagal jantung sebagai
penyebabnya.
h) Pulmonary artery catheter (Swan-Ganz)
Pulmonary artery catheter (Swan-Ganz) adalah tabung yang panjang dan tipis
(kateter) yang disisipkan kedalam vena-vena besar dari dada atau leher dan dimajukan
melalui ruang ruang sisi kanan dari jantung dan diletakkan kedalam kapiler-kapiler
paru atau pulmonary capillaries (cabang-cabang yang kecil dari pembuluh-pembuluh
darah dari paru-paru). Alat ini mempunyai kemampuan secara langsung mengukur
tekanan dalam pembuluh-pembuluh paru, disebut pulmonary artery wedge pressure.
Wedge pressure dari 18 mmHg atau lebih tinggi adalah konsisten dengan cardiogenic
pulmonary edema, sementara wedge pressure yang kurang dari 18 mmHg biasanya
menyokong non-cardiogenic cause of pulmonary edema. Penempatan kateter Swan-Ganz
dan interpretasi data dilakukan hanya pada intensive care unit (ICU).
2. ARDS
Tes fungsi paru : normal atau menunjukan defek restriktik disertai gangguan
pertukaran udara.
Foto thorak dan CT: terdapat infiltrasi jaringan parut lokasi terpusat pada region
perihilir paru yang biasanya multivokal. Pada tahap lanjut, interstisial bilatareral
difus dan alveolar infiltrate menjadi bukti dan dapat melibatkan semua lobus paru.
Ukuran jantung normal, berbeda dari edema paru kardogenik. Gas darah arteri
seri membedakan gambaran kemajuan hipoksemia, hipokapnea dapat terjadi pada
tahap awal sehubungan dengan hiperventilasi. Alkalosis respiratorik dapat terjadi
pada tahap dini dan pada tahap lanjut terjadi asidosis metabolik. Tes fungsi paru,
Pengukuran pirau, dan kadar asam laktat meningkat
H. PENATALAKSANAAN
1. Edema Paru
a) Edema paru kardiogenik akut
Terapai kegagalan jantung kiri adalah pengobatan seumur hidup dengan
memperhatikan faktor dasar penyebab, tetapi keadaan gawat darurat paru harus
harus segera di atasi.
Pengobatan edema paru kardiogenik akut meliputi :
Morfin
Cara pemberian : SC, IM, atau IV
Dosis
Cara kerja
: 3-20 mg
: mengurangi kegelisahan sehingga mngurangi rangsangan
adrenergik vasokontriksi.
Oksigen
Oksigen 100% dengan tekanan positif dengan menggunakan masker
rebreathing.
Diuretik
Cara pemberian : IV
Dosis
Cara kerja
: 40-100 mg
: Cepat memberikan deuresis dapat mengurangi volume
Aminofilin
Cara pemberian : IV
Dosis
Cara kerja
: 240-480 mg
: Bekerja dalam bronkodilator, meningkatkan aliran darah
Digitalis
Dapat diberikan digitalisi cepat (misal, dogoksin, lanatoside C) apabila
sebelumya mendapat digitalis.
Posisi penderita
Penderita di usahakan posisi duduk dengan kaki berjuntai sepanjang sisi
tempat tidur sehingga mengurangi venous return ke jantung.
Intubasi endotrakeal.
Tujuan penatalaksanaan medis pada pasien dengan Edema Paru akut adalah mengurangi
volume sirkulasi total untuk memperbaiki pertukaran gas pernapasan. Tujuan ini dapat
dicapai dengan kombinasi terapi oksigen dan terapi medis.
Farmakologi. Dilakukan pemberian Morfin secara intravena dalam dosis kecil untuk
mengurangi kecemasan dan dispnea serta menurunkan tekanan perifer sehingga darah
dapat didistribusikan dari paru ke bagaian tubuh lain. Hal tersebut akan menurunkan
tekanan dalam kapiler paru dan mengurangi perembesan cairan ke jaringan paru.
Morfin juga bermanfaan dalam menurunkan kecepatan napas.
Morfin tidak boleh diberikan bila edema paru disebapkan oleh cedera vaskuer otak,
penyakit paru kronis, atau syok kardiogenik. Pasien harus diawasi bila terjadi depresi
pernapasan berat.
Diuretik. Furosemide diberikan secara intravena untuk memberi efek diuretik yang
cepat. Furosemide juga mengakibatkan vasodilatasi dan penimbunan darah di
pembuluh darah perifer yang pada gilirannya mengurangi jumlah darah yang kembali
ke jantung, bahkan sebelum terjadi efek diuretik.
Aminofilin. Bila pasien mengalami wheezing dan terjadi bronkospasme yang berarti,
maka perlu diberikan aminofilin untuk merelaksasi bronkospasme. Aminofilin
diberikan melalui intravena secara terus menerus dengan dosis sesuai berat badan.
c) ARDS
Tujuan Terapi :
Support pernapasan
Mencegah komplikasi.
TERAPI :
Inotropik agent (Dopamine ) untuk meningkatkan curah jantung & tekanan darah.
Penderita sindroma gawat pernafasan akut dirawat di unit perawatan intensif. Terapi oksigen
sangat penting untuk mengoreksi kadar oksigen darah, seringkali diberikan oksigen dalam
konsentrasi tinggi (mungkin diperlukan oksigen 100%). Bila pemberian oksigen dengan
sungkup muka tidak berhasil mengatasi masalah, perlu digunakan alat bantu pernafasan
(ventilator). Ventilator menyalurkan oksigen dengan menggunakan tekanan melalui pipa yang
dimasukkan ke hidung, mulut atautrakea; tekanan ini membantu memasukkan oksigen ke
dalam darah. Tekanan yang diberikan dapat disesuaikan untuk membantu tetap terbukanya
saluran napas yang kecil dan alveoli, dan untuk memastikan agar paru-paru tidak menerima
konsentrasi yang berlebihan karena konsentrasi yang berlebihan dapat merusak paru-paru dan
memperberat sindroma ini.
Pengobatan suportif lainnya seperti pemberian cairan atau makananintravena (melalui
infus) juga penting karena dapat terjadi dehidrasi ataumalnutrisi yang bisa menyebabkan
berhentinya fungsi organ tubuh (keadaan yang disebut sebagai kegagalan organ
multipel). Obat-obatan khusus diberikan untuk mengobati infeksi, mengurangi peradangan dan
membuang cairan dari dalam paru-paru. Misalnya pada infeksi diberikan antibiotik.
b) Umur
remaja/dewasa muda
c) Riwayat Masuk
Klien biasanya dibawa ke rumah sakit setelah sesak nafas, cyanosis atau batukbatuk disertai dengan demam tinggi/tidak. Kesadaran kadang sudah menurun dan
dapat terjadi dengan tiba-tiba pada trauma. Berbagai etiologi yang mendasar dengan
masing-masik tanda klinik mungkin menyertai klien
d) Riwayat Penyakit Dahulu
Predileksi penyakit sistemik atau berdampak sistemik seperti sepsis,
pancreatitis, Penyakit paru, jantung serta kelainan organ vital bawaan serta penyakit
ginjal mungkin ditemui pada klien
e) Pemeriksaan fisik
1) Sistem Integumen
Subyektif
:-
Obyektif
Obyektif
: sakit dada
Obyektif
Subyektif
Obyektif
5) Sistem Musculoskeletal
Subyektif
Obyektif
:-
Obyektif
7) Sistem digestif
Subyektif
Obyektif
f) Pemeriksaan Penunjang :
1) Hb : menurun/normal
2) Analisa Gas Darah : acidosis respiratorik, penurunan kadar oksigen darah,
kadar karbon darah meningkat/normal
3) Elektrolit : Natrium/kalsium menurun/normal
Diagnosa yang mungkin muncul
1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kelelahan dan pemasangan alat bantu
nafas
2. Gangguan pertukaran Gas berhubungan dengan distensi kapiler pulmonary
3. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan area invasi mikroorganisme sekunder terhadap
pemasangan selang endotrakeal
Rencana Tindakan:
Intervensi
No
1
Diagnosa
Tujuan & KH
berhubungan
setelah
Intervensi
1. Berikan penjelasan
penyakitnya
tubuh
lemah
yang tindakan
keperawatan
gejala sianosis
selama 24
4. Berikan terapi
jam, dengan
kriteria hasil:
- Tidak terjadi
hipoksia atau
hipoksemia
- Tidak sesak
Rasional
oksigenasi
5. Observasi tanda-tanda
vital
6. Observasi timbulnya
gagal nafas.
7. Kolaborasi dengan tim
memberikan terapi
2. Jalan nafas yang
- RR normal
medis dalam
(16-20 /
memberikan
perifer .
menit)
pengobatan
- Tidak terdapat
4. Pemberian oksigen
kontraksi otot
mensuplai dan
bantu nafas
memberikan cadangan
- Tidak terdapat
sianosis
oksigen, sehingga
mencegah terjadinya
hipoksia.
5. Dyspneu, sianosis
merupakan tanda
terjadinya gangguan
nafas disertai dengan
kerja jantung yang
menurun timbul
diberikan berdasar
indikasi sangat
membantu dalam
proses terapi
keperawatan
2
Gangguan
Fungsi
1. Berikan HE pada
pasien tentang
berhubungan
penyakitnya
dapat maksimal
dilakukan
pulmonar
tindakan
memberikan terapi
2. Jalan nafas yang
keperawatan
melakukan reposisi
sumbatan proses
selama 24 jam
secara sering
dengan kriteria
hasil:
- Tidak terjadi
sianosis
- Tidak sesak
- RR normal
4. Berikan terapi
oksigenasi
5. Observasi tanda
tanda vital
6. Kolaborasi dengan
tim medis dalam
dengan lancer
3. Posisi yang berbeda
menurunkan resiko
perlukaan akibat
imobilisasi
4. Pemberian oksigen
(16-20 /
memberikan
menit)
pengobatan
mensuplai dan
- BGA normal:
memberikan cadangan
partial
oksigen, sehingga
pressure of
mencegah terjadinya
oxygen
hipoksia
(PaO2): 75-
5. Dyspneu, sianosis
100 mm Hg
merupakan tanda
partial
terjadinya gangguan
pressure of
carbon
dioxide
menurun timbul
(PaCO2): 35-
45 mm Hg
oxygen
memanjang/lama.
content
6. Pengobatan yang
(O2CT): 15-
diberikan berdasar
23%
indikasi sangat
oxygen
membantu dalam
saturation
proses terapi
(SaO2): 94-
keperawatan
100%
bicarbonate
(HCO3): 2226 mEq/liter
pH: 7.357.45
1. Berikan penjelasan
terjadi setelah
dilakukan
kondisi yang
Resiko tinggi
Infeksi tidak
infeksi
berhubungan
dengan area
tindakan
invasi
keperawatan
mikroorganisme
selama 24
sekunder
jam, dengan
terhadap
kriteria hasil:
pemasangan selang
pemasangan
- Pasien mampu
endotrakheal
selang
mengurangi
4. Lakukan tehnik
endotrakeal
kontak dengan
perawatan secara
area
aseptik
masuknya
pemasangan
dialaminya
2. Observasi tanda-tanda
vital
3. Observasi daerah
memberikan terapi
2. Meningkatnya suhu
pemasangan selang
mikroorganisme
4. Meminimalkan
selang
medis dalam
endotrakeal
memberikan
- Suhu normal
pengobatan
(36,5oC)
menurunkan resiko
terjadinya infeksi
5. Pengobatan yang
diberikan berdasar
indikasi sangat
membantu dalam
proses terapi
keperawatan
4. Implementasi
Didasarkan pada diagnosa yang muncul baik secara aktual, resiko, atau potensial. Kemudian
dilakukan tindakan keperawatan yang sesuai berdasarkan NCP.
5. Evaluasi:
Disimpulkan berdasarkan pada sejauh mana keberhasilan mencapai kriteria hasil, sehingga dapat
diputuskan apakah intervensi tetap dilanjutkan, dihentikan, atau diganti jika tindakan yang
sebelumnya tidak berhasil
2. ARDS
Asuhan Keperawatan pada kasus Gawat Darurat dengan pasien yang mengalami ARDS,
berbeda dengan pemberian ASKEP pada Konsep Medikal Bedah. Dalam mengkaji pasien Gawat
Darurat dengan kasus ARDS, harus dilakukan dengan sistematis mulai dari:
Intervensi :
1) Kaji kesadaran pasien dengan menyentuh, menggoyang dan memanggil namanya.
R/ mengetahui tingkat kesadaran pasien, pakah masih dalam tahap unrespon, pain,
voice, dan alert.
2) Lakukan panggilan untuk pertolongan darurat
disamping tubuhnya.
R/ mengantisipasi trauma servikal, posisi yang tepat dan lingkungan yang nyaman
dapat penolong dan korban dalam melakukan tindakan.
4) Berikan pertolongan dengan nafas bantuan dengan cara berlutut sejajar dengan bahu
pasien.
R/ posisi yang nyaman bagi penolong dapat mempermudah dalam memberikan
tindakan.
5) Buka jalan napas dengan teknik tengadahkan kepala, topang dagu untuk membuka
jalan napas, jari tengah, jari manis dan kelengking bias digunakan untuk menopang
dagu sedangkan jari telunjuk untuk mengeluarkan benda asing yang ada dalam mulut.
R/ memastikan tidak ada obstruksi pada jalan napas sehingga pasien dapat bernapas
dengan baik.
Evaluasi:
B: Breathing (Pernapasan)
Pengkajian:
Dalam mengkaji breathing/pernapasan pasien gawat darurat dengan ARDS, kita
akan menjumpai pasien mengalami sesak dan irama pernapasannya tidak teratur. Ini
dikarenakan karena adanya peningkatan secret pada organ paru. Akan kita jumpai pula
takipneu, penggunaan otot-otot bantu pernapasan dan suara napas tambahan (ronchi).
Diagnosa:
1) Gangguan perukaran gas b/d penumpukan cairan di alveoli, alveolar hipoventilasi.
2) Ketidak efektifan pola napas b/d pertukaran gas tidak adekuat, penurunan
kemampuan
untuk oksigenasi.
Intervensi :
a) Kaji pernapasan pasien dengan mendekatkan telinga diatas mulut/ hidung pasien
sambil memepertahankan pembukaan jalan napas.
R/ mengetahui ada tidaknya pernapasan.
b) Perhatikan dada pasien dengan melihat gerakan naik turunnya dada pasien
R/ mengetahui apakah masih terjadi pengembangan paru.
c) Auskultasi udara yang keluar waktu ekspirasi, merasakan adanya aliran udara.
R/ mendengarkan apakah terdapat suara tambahan atau tidak.
Mulut ke mulut; penolong memijat hidung pasien dengan ibu jari dan jari
telunjuk, penolong memberikan nafas penuh.
R/ memastikan udara yang diberikan dapat masuk secara maksimal.
Mulut ke hidung; pada pasien yang tidak mungkin dilakukan ventilasi melalui
mulut, penolong manarik napas dalam, menutup hidung pasien dengan bibir
penolong dan menghembuskan kedalam hidung.
R/ memberikan bantuan pernapasan, agar kebutuhan oksigennya terpenuhi.
Setelah itu observasi kembali naik turunnya dada, mendengar dan merasakan
udara yang keluar pada waktu ekshalasi.
R/ mengetahui keberhasilan dari tindakan yang telah dilakukan.
C: Circulation (Sirkulasi)
Pengkajian:
Karena adanya gangguan / masalah pada organ paru, maka akan terjadi penurunan balik
vena (cardio-pulmoner). Yang kemudian akan menyebabkan penurunan curah jantung.
Sehingga dalam mengobservasi Tekanan Darah, akan didapatkan hasil pasien mengalami
hipotensi (tekanan darah rendah). Tekanan darah yang rendah ini, akan menyebabkan
darah sulit sampai pada pembuluh darah/jaringan-jaringan perifer. Sehingga tidak jarang
kita akan mendapati pasien yang mengalami cianosis. Tidak jarang pula, kita akan
mendapati pasien mengalami edema.
Diagnosa:
Resiko
c) Kompresi dada luar akan menyebabkan sirkulasi ke paru- paru dan di ikuti dengan
ventilasi.
R/ kompresi dada luar akan menstimulus jantung untuk berkontraksi.
Evaluasi :
D: Disability (Kesadaran)
Pada pasien ARDS, biasanya akan mengalami penurunan kesadaran. Ini mungkin
diakibatkan transport oksigen ke otak yang kurang/tidak mencukupi (menurunnya curah
jantung menyebabkan terjadinya hipotensi). Yang akhirnya darah akan sulit mencapai
jarinagn otak. Pada pasien ARDS kesadaran memang mungkin akan menurun tetapi
GCSnya masih sekitar 12-14. Sehingga kita lebih memprioritaskan pernapasan dan
pemompaan jantungnya. Karena apabila pernapsan dan pemompaan jantungnya sudah
tertangani dengan baik maka secara otomatis kesadarannya akan membaik (GCS 15).
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, Lynda Juall. 2006. Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC
Simon, G. 1981. Diagnostik Rontgen untuk Mahasiswa Klinik dan Dokter Umum. Edisi kedua.
Jakarta: Penerbit Erlangga
Harrison. 1995. Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume3. Yogyakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC