You are on page 1of 32

A.

PENGERTIAN
1. Edema Paru
Edema, pada umumnya, berarti pembengkakan. Ini secara khas terjadi ketika cairan
dari bagian dalam pembuluh-pembuluh darah merembes keluar pembuluh darah
kedalam jaringan-jaringan sekelilingnya, menyebabkan pembengkakan. Ini dapat terjadi
karena terlalu banyak tekanan dalam pembuluh-pembuluh darah atau tidak ada cukup
protein-protein dalam aliran darah untuk menahan cairan dalam plasma (bagian dari
darah yang tidak megandung segala sel-sel darah) (Horrison, 1995).
Pulmonary edema adalah istilah yang digunakan ketika edema terjadi di paru-paru.
Area yang langsung diluar pembuluh-pembuluh darah kecil pada paru-paru ditempati
oleh kantong-kantong udara yang sangat kecil yang disebut alveoli. Ini adalah dimana
oksigen dari udara diambil oleh darah yang melaluinya, dan karbon dioksida dalam
darah dikeluarkan kedalam alveoli untuk dihembuskan keluar. Alveoli normalnya
mempunyai dinding yang sangat tipis yang mengizinkan pertukaran udara ini, dan cairan
biasanya dijauhkan dari alveoli kecuali dinding-dindig ini kehilangan integritasnya.
Edema paru merupakan penumpukan abnormal cairan didalam paru-paru , baik
dalam spasium interstisial atau dalam alveoli. ( Brunner dan Suddarth, 2012 )
2. ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrom)
Sindrom gagal pernafasan merupakan gagal pernafasan mendadak yang timbul
pada penderita tanpa kelainan paru yang mendasari sebelumnya. Sindrom Gawat Nafas
akut (ARDS) juga dikenal dengan edema paru nonkardiogenik merupakan sindroma
klinis yang ditandai penurunan progresif kandungan oksigen arteri yang terjadi setelah
penyakit atau cedera serius
Gagal nafas ARDS terjadi bilamana pertukaran oksigen terhadap karbondioksida
dalam paru-paru tidak dapat memelihara laju komsumsi oksigen dan pembentukan
karbon dioksida dalam sel-sel tubuh. Sehingga menyebabkan tegangan oksigen kurang
dari 50 mmHg (Hipoksemia) dan peningkatan tekanan karbondioksida lebih besar dari
45 mmHg (hiperkapnia). (Brunner & Sudarth, 2001)
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa ARDS merupakan
ketidakmampuan atau kegagalan sitem pernapasan oksigen dalam darah sehingga
pertukaran oksigen terhadap karbondioksida dalam paru - paru tidak dapat memelihara

laju konsumsi oksigen dan pembentukan karbondioksida dalam sel sel tubuh.sehingga
tegangan oksigen berkurang dan akan peningkatan karbondioksida akan menjadi lebih
besar.
B. ETIOLOGI
1. Edema paru
Menurut Arif Muttaqin.2008. Edema paru disebapkan karena 2 hal yaitu

a) Peningkatan tekanan hidrostatik


b) Peningkatan permeabilitas kapiler paru
Secara garis besar Edema Paru dibagi menajdi 2 garis besar yaitu

1) Kardiogenik
a) Peningkatan tekanan vena paru tanpa adanya gangguan fungsi ventrikel kiri
(stenosis mitral)
b) Peningkatan tekanan vena paru sekunder oleh karena gangguan fungsi
ventrikel kiri
c) Peningkatan kapiler paru sekunder oleh karena peningkatan tekanan arteri
pulmonalis
d) Post cardioversion
e) Eclampsia
2) Non Koardiogenik
a) Pneumonia
b) Pneumonitis radiasi akut
c) Bahan vasoaktif endogen
d) Aspirasi asam lambung
e) Peningkatan tekanan onkotik interstitial
f) Bahan toksik ihalan
g) Bahan asing dalam sirkulasi seperti bisa ular, endoktoksin, dan bakteri
h) Emboli paru
i) Post cardiopulmonary bypass
j) Pengambilan terlalu cepat pneumotorak atau efusi pleura
2. ARDS

Depresi Sistem Saraf Pusat

Mengakibatkan gagal nafas karena ventilasi tidak adekuat. Pusat pernafasan yang
menngendalikan pernapasan, terletak dibawah batang otak (pons dan medulla)
sehingga pernafasan lambat dan dangkal.

Kelainan neurologis primer


Akan memperngaruhi fungsi pernapasan. Impuls yang timbul dalam pusat
pernafasan menjalar melalui saraf yang membentang dari batang otak terus ke saraf
spinal ke reseptor pada otot-otot pernafasan. Penyakit pada saraf seperti gangguan
medulla spinalis, otot-otot pernapasan atau pertemuan neuromuslular yang terjadi
pada pernapasan akan sangat mempengaruhi ventilasi.

Efusi pleura, hemotoraks dan pneumothoraks


Merupakan kondisi yang mengganggu ventilasi melalui penghambatan ekspansi
paru. Kondisi ini biasanya diakibatkan penyakti paru yang mendasari, penyakit pleura
atau trauma dan cedera dan dapat menyebabkan gagal nafas.

Trauma
Disebabkan oleh kendaraan bermotor dapat menjadi penyebab gagal nafas.
Kecelakaan yang mengakibatkan cidera kepala, ketidaksadaran dan perdarahan dari
hidung dan mulut dapat mnegarah pada obstruksi jalan nafas atas dan depresi
pernapasan. Hemothoraks, pnemothoraks dan fraktur tulang iga dapat terjadi dan
mungkin meyebabkan gagal nafas. Flail chest dapat terjadi dan dapat mengarah pada
gagal nafas. Pengobatannya adalah untuk memperbaiki patologi yang mendasar.

Penyakit akut paru


Pnemonia disebabkan oleh bakteri dan virus. Pnemonia kimiawi atau pnemonia
diakibatkan oleh mengaspirasi uap yang mengritasi dan materi lambung yang bersifat
asam. Asma bronkial, atelektasis, embolisme paru dan edema paru adalah beberapa
kondisi lain yang menyababkan gagal nafas.

C. KLASIFIKASI
1. Edema Paru
Berdasarkan penyebabnya, edema paru terbagi menjadi 2, kardiogenik dan nonkardiogenik. Hal ini penting diketahui oleh karena pengobatannya sangat berbeda. Edema
Paru Kardiogenik disebabkan oleh adanya Payah Jantung Kiri apapun sebabnya. Edema
Paru Kardiogenik yang akut disebabkan oleh adanya Payah Jantung Kiri Akut. Tetapi

dengan adanya faktor presipitasi, dapat terjadi pula pada penderita Payah Jantung Kiri
Khronik
a) Cardiogenic pulmonary edema
Edema paru kardiogenik ialah edema yang disebabkan oleh adanya kelainan pada
organ jantung. Misalnya, jantung tidak bekerja semestinya seperti jantung memompa
tidak bagus atau jantung tidak kuat lagi memompa.
Cardiogenic pulmonary edema berakibat dari tekanan yang tinggi dalam
pembuluh-pembuluh darah dari paru yang disebabkan oleh fungsi jantung yang buruk.
Gagal jantung kongestif yang disebabkan oleh fungsi pompa jantung yang buruk (datang
dari beragam sebab-sebab seperti arrhythmias dan penyakit-penyakit atau kelemahan
dari otot jantung), serangan-serangan jantung, atau klep-klep jantung yang abnormal
dapat menjurus pada akumulasi dari lebih dari jumlah darah yang biasa dalam
pembuluh-pembuluh darah dari paru-paru. Ini dapat, pada gilirannya, menyebabkan
cairan dari pembuluh-pembuluh darah didorong keluar ke alveoli ketika tekanan
membesar.
b) Non-cardiogenic pulmonary edema
Non-cardiogenic pulmonary edema ialah edema yang umumnya disebabkan oleh hal
berikut:
1) Acute respiratory distress syndrome (ARDS)
Pada ARDS, integritas dari alveoli menjadi terkompromi sebagai akibat dari
respon peradangan yang mendasarinya, dan ini menurus pada alveoli yang bocor
yang dapat dipenuhi dengan cairan dari pembuluh-pembuluh darah.
2) kondisi yang berpotensi serius yang disebabkan oleh infeksi-infeksi yang parah,
trauma, luka paru, penghirupan racun-racun, infeksi-infeksi paru, merokok kokain,
atau radiasi pada paru-paru.
3) Gagal ginjal dan ketidakmampuan untuk mengeluarkan cairan dari tubuh dapat
menyebabkan penumpukan cairan dalam pembuluh-pembuluh darah, berakibat pada
pulmonary edema. Pada orang-orang dengan gagal ginjal yang telah lanjut, dialysis
mungkin perlu untuk mengeluarkan kelebihan cairan tubuh.
4) High altitude pulmonary edema, yang dapat terjadi disebabkan oleh kenaikan yang
cepat ke ketinggian yang tinggi lebih dari 10,000 feet.

5) Trauma otak, perdarahan dalam otak (intracranial hemorrhage), seizure-seizure yang


parah, atau operasi otak dapat adakalanya berakibat pada akumulasi cairan di paruparu, menyebabkan neurogenic pulmonary edema.
6) Paru yang mengembang secara cepat dapat adakalanya menyebabkan re-expansion
pulmonary edema. Ini mungkin terjadi pada kasus-kasus ketika paru mengempis
(pneumothorax) atau jumlah yang besar dari cairan sekeliling paru (pleural effusion)
dikeluarkan, berakibat pada ekspansi yang cepat dari paru. Ini dapat berakibat pada
pulmonary edema hanya pada sisi yang terpengaruh (unilateral pulmonary edema).
7) Jarang, overdosis pada heroin atau methadone dapat menjurus pada pulmonary
edema. Overdosis aspirin atau penggunaan dosis aspirin tinggi yang kronis dapat
menjurus pada aspirin intoxication, terutama pada kaum tua, yang mungkin
menyebabkan pulmonary edema.
8) Penyebab-penyebab lain yang lebih jarang dari non-cardiogenic pulmonary edema
mungkin termasuk pulmonary embolism (gumpalan darah yang telah berjalan ke
paru-paru), luka paru akut yang berhubungan dengan transfusi atau transfusionrelated acute lung injury (TRALI), beberapa infeksi-infeksi virus, atau eclampsia
pada wanita-wanita hamil.
2. ARDS
a) EKSUDATIF : Ditandai dengan adanya perdarahan pada permukaan parenkim paru,
edema interstisial atau alveolar, penekanan pada bronkiolus terminalis dan kerusakan
pada sel alveolar tipe 1.
b) FIBROPROLIFERATIF : ditandai dengan adanya kerusakan pada sel alveolar tipe II
, peningkatan tekanan puncak inspirasi, penurunan compliance paru ( statistic dan
dinamik ), hipoksemia, penurunan fungsi kapasitas residual, fibrosis interstisial dan
peningkatan ruang rugi ventilasi
D. PATOFISIOLOGI
1. Edema Paru
Pemahaman mengenai mekanisme ini memerlukan tinjauan mengenai
pembentukkan dan reabsorbsi cairan paru serta struktur ultra paru. Ruang alveolar
dipisahkan dari interstisium paru terutama oleh sel epitel alveoli Tipe I, yang dalam
kondisi normal membentuk suatu barier relatif nonpermiabel terhadap aliran cairan dari

interstitium ke rongga rongga udara (spaces). Faktor penentu yang paling penting
dalam pembentukkan cairan ekstravaskuler adalah perbedaan tekanan hidrostatik dan
onkotik dalam lumen kapiler dan ruang interstitial, serta permeabilitas sel endotelium
terhadap air, zat terlarut (solut) dan molekul besar seperti protein plasma. (Aryanto,1994)
Ciri perubahan dini pada edema paru adalah terjadinya peningkatan aliran
limfatik. Perubahan ini terjadi karena saluran limfatik terjalin dalam jaringan ikat longgar
yang mengelilingi arteriola paru dan saluran pernafasan yang kecil pembekaan saluran
limfatik ini akan berdampak pada struktur sekitarnya dan mengakibatkan terjadinya
prubahan hubungan tekanan pada struktur tersebut. Salah satu akibatnya adalah adanya
obstruksi pada saluran kecil yang telah dibuktikan sebagai perubahan fisiologis dini pada
klien dengan gagal jantung kiri mengingat lesi ini tidak merata disaluran paru, maka
timbul perubahan dalam distribusi, ventilasi, dan perfusi yang kemidian menyebabkan
terjadinya hipoksemia ringan terkenanya arteriola kecil juga menyebabkan gambaran
radiologis dini pada gagal jantung kiri, yaitu suatu redistribusi aliran darah dari basis ke
apek paru pada klien dengan posisi tegak.
Jika terbentuknya cairan intersisial melebihi kapasitas sistem limfatik, maka
terjadi edema dinding alveolar. Pada fase ini komplan paru berkurang hal ini
menyebabkan terjadinya takipneu yang mungkin tanda klinis awal pada klien dengan
edema paru. Ketidakseimbangan antara ventilasi dan aliran darah menyebabkan
hipoksenia memburuk. Meskipun demikian, ekskresi karbondioksida tidak terganggu dan
klien akan menunjukkan keadaan hiperventilasi dengan alkalosis respiratorik.
Selain hal yang telah disebutkan diatas gangguan difusi juga berperan, dan pada
fase ini mungkin terjadi peningkatan pintas kanan ke kiri melalui alveoli yang tidak
mengalami ventilasi. Pada fase alveolar penuh dengan cairan, semua gambaran menjadi
lebih berat dan komplain akan menurun dengan nyata ( Nowak, 2004). Alveoli terisi
cairan dan pada saat yang sama aliran darah kedaerah tersebut tetap berlangsung, maka
pintas kanan ke kiri aliran darah akan menjadi lebih berat dan menyebabkan hipoksia
yang rentan terhadap peningkatan konsentrasi oksigen yang diinspirasi. Kecuali pada
keadaan yang amat berat, hiperventilasi dan alkalosis respiratorik akan tetap berlangsung.
Secara radiologis akan tampak gambaran infiltrat alveolar yang tersebar diseluruh
paru, terutama daerah parahilar dan basal. Ketika klien dalam keadaan sadar dia akan

tampak mengalami sesak nafas hebat dan ditandai dengan takipnea, takikardi, serta
sianosis bila pernafasannya tidak dibantu. Keadaan ini disebut sebagai adult respiratory
sindrom (ARDS).
2. ARDS
ARDS terjadi sebagai akibat cedera atau trauma pada membran alveolar kapiler yang
mengakibatkan kebocoran cairan kedalam ruang interstisiel alveolar dan perubahan
dalam jaring- jaring kapiler, terdapat ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi yang jelas
akibat kerusakan pertukaran gas dan pengalihan ekstansif darah dalam paru-paru. ARDS
menyebabkan penurunan dalam pembentukan surfaktan, yang mengarah pada kolaps
alveolar. Komplians paru menjadi sangat menurun atau paru-paru menjadi kaku
akibatnya adalah penurunan karakteristik dalam kapasitas residual fungsional, hipoksia
berat dan hipokapnia (Brunner & Suddart, 2001). Ada 3 fase dalam patogenesis ARDS:

Fase eksudatif.
Fase permulaan, dengan cedera pada endothelium dan epitelium, inflamasi, dan
eksudasi cairan. Terjadi 2-4 hari sejak serangan akut.

Fase Proliferatif.
Terjadi setelah fase eksudatif, ditandai dengan influks dan proliferasi fibroblast,
sel tipeII, dan miofibroblast, menyebabkan penebalan dinding alveolus dan
perubahan eksudat perdarahan menjadi jaringan granulasi seluler/membran hialin.
Fase proliferatif merupakan fase menentukan yaitu cedera bisa mulai sembuh atau
menjadi menetap, adaresiko terjadi lung rupture (pneumothorax).

Fase Fibrotik/Recovery.
Jika pasien bertahan sampai 3 minggu, paru akan mengalami remodeling dan
fibrosis.Fungsi paru berangsur angsur membaik dalam waktu 6 12 bulan, dan
sangat bervariasi antar individu, tergantung keparahan cederanya. Perubahan
patofisiologi berikut ini mengakibatkan sindrom klinis yang dikenal sebagai
ARDS:
a) Sebagai konsekuensi dari serangan pencetus, complement cascade menjadi
aktif yang selanjutnya meningkatkan permeabilitas dinding kapiler.

b) Cairan, lekosit, granular, eritrosit, makrofag, sel debris, dan protein bocor
kedalam ruang interstisiel antar kapiler dan alveoli dan pada akhirnya ke
dalam ruang alveolar.
c) Karena terdapat cairan dan debris dalam interstisium dan alveoli maka area
permukaan

untuk pertukaran

oksigen

dan

CO2

menurun

sehingga

mengakibatkan rendahnyan rasio ventilasi- perfusi dan hipoksemia.


d) Terjadi

hiperventilasi

kompensasi

dari

alveoli

fungsional,

sehingga

mengakibatkanhipokapnea dan alkalosis respiratorik.


e) Sel-sel yang normalnya melapisi alveoli menjadi rusak dan diganti oleh sel-sel
yang tidak menghasilkan surfaktan ,dengan demikian meningkatkan tekanan
pembukaan alveolar.ARDS biasanya terjadi pada individu yang sudah pernah
mengalami trauma fisik,meskipun dapat juga terjadi pada individu yang
terlihat sangat sehat segera sebelum awitan,misalnya awitan mendadak seperti
infeksi akut. Biasanya terdapat periode laten sekitar 18-24 jam dari waktu
cedera paru sampai berkembang menjadi gejala. Durasi sindrom dapat
dapat beragam dari beberapa hari sampai beberapa minggu. Pasien yang
tampak sehat akan pulih dari ARDS. Sedangkan secara mendadak relaps
kedalam penyakit pulmonary akut akibat serangan sekunder seperti
pneumotorak atau infeksi berat. Sebenarnya sistim vaskuler paru sanggup
menampung penambahan volume darah sampai 3 kali normalnya, namun pada
tekanan tertentu, cairan bocor keluar masuk ke jaringan interstisiel danterjadi
edema paru. ( Jan Tambayog, 2000)
E. PATHWAY
1. Edema Par
Faktor kardiogenik

Faktor non-kardiogenik

PATHWAY
ARSD

Gagal jantung kiri

Pnemonia
Aspirasi As.
Lambung
Bahan Toksik
inhalan

Isufisiensi
limfatik

Post. Lung
transplant
Lymphangitic
carsinomiclos
is
Silicosis

Unkwnown

Pulmonary
Embolism
Eclamasia
High
altitude
Pulmonary
edema

Ketidakseimbangan
Staling Force

Tekanan
Kapiler
Paru

Tekanan

Tekanan

Tekanan

Onkotik
Plasma

Negative

Onkotik

Interstitial

Interstitial

Cairan berpindah
ke interstitial
Akumulasi cairan berlebih (transudat / eksudat)

Alveoli terisi
cairan

Gangguan
pertukaran gas

Gangguan
perfusi
jaringan

2. ARDS

Cardiac ouput

O2 jaringan

Pemasangan alat
bantu nafas
(ventilator)

Bed rest
fisik

Pengambilan
O2

Kelelahan

Gangguan pola
nafas

Intoleransi
aktivitas

Defisit
perawatan
diri

Pemasangan
selang
endotrakheal

Area
invasi

Gangguan
komunikasi
verbal

Resiko
tinggi
infeksi

M.O

F. MANIFESTASI KLINIK
1. Edema Paru
Gejala yang paling umum dari pulmonary edema adalah sesak napas. Ini mungkin
adalah penimbulan yang berangsur-angsur jika prosesnya berkembang secara perlahan,
atau ia dapat mempunyai penimbulan yang tiba-tiba pada kasus dari pulmonary edema
akut. Gejala-gejala umum lain mungkin termasuk mudah lelah, lebih cepat
mengembangkan sesak napas daripada normal dengan aktivitas yang biasa (dyspnea on
exertion), napas yang cepat (tachypnea), kepeningan, atau kelemahan.
Tingkat oksigen darah yang rendah (hypoxia) mungkin terdeteksi pada pasien-pasien
dengan pulmonary edema. Lebih jauh, atas pemeriksaan paru-paru dengan stethoscope,

dokter mungkin mendengar suara-suara paru yang abnormal, sepeti rales atau crackles
(suara-suara mendidih pendek yang terputus-putus yang berkoresponden pada
muncratan cairan dalam alveoli selama bernapas).
Manifestasi klinis Edema Paru secara spesifik juga dibagi dalam 3 stadium:
a) Stadium 1.
Adanya distensi dan pembuluh darah kecil paru yang prominen akan memperbaiki
pertukaran gas di paru dan sedikit meningkatkan kapasitas difusi gas CO. Keluhan pada
stadium ini mungkin hanya berupa adanya sesak napas saat bekerja. Pemeriksaan fisik
juga tak jelas menemukan kelainan, kecuali mungkin adanya ronkhi pada saat inspirasi
karena terbukanya saluran napas yang tertutup pada saat inspirasi.
b) Stadium 2.
Pada stadium ini terjadi edema paru intersisial. Batas pembuluh darah paru menjadi
kabur, demikian pula hilus juga menjadi kabur dan septa interlobularis menebal (garis
Kerley B). Adanya penumpukan cairan di jaringan kendor inter-sisial, akan lebih
memperkecil saluran napas kecil, terutama di daerah basal oleh karena pengaruh
gravitasi. Mungkin pula terjadi refleks bronkhokonstriksi. Sering terdapat takhipnea.
Meskipun hal ini merupakan tanda gangguan fungsi ventrikel kiri, tetapi takhipnea juga
membantu memompa aliran limfe sehingga penumpukan cairan intersisial diperlambat.
Pada pemeriksaan spirometri hanya terdapat sedikit perubahan saja.
c) Stadium 3.
Pada stadium ini terjadi edema alveolar. Pertukaran gas sangat terganggu, terjadi
hipoksemia dan hipokapnia. Penderita nampak sesak sekali dengan batuk berbuih
kemerahan. Kapasitas vital dan volume paru yang lain turun dengan nyata. Terjadi rightto-left intrapulmonary shunt. Penderita biasanya menderita hipokapnia, tetapi pada kasus
yang berat dapat terjadi hiperkapnia dan acute respiratory acidemia. Pada keadaan ini
morphin hams digunakan dengan hati-hati (Ingram and Braunwald, 1988).
Edema Pam yang terjadi setelah Infark Miokard Akut biasanya akibat hipertensi
kapiler paru. Namun percobaan pada anjing yang dilakukan ligasi arteriakoronaria,
terjadi edema paru walaupun tekanan kapiler paru normal, yang dapat dicegah de-ngan
pemberian indomethacin sebelumnya. Diperkirakan bahwa dengan menghambat
cyclooxygenase atau cyclic nucleotide phosphodiesterase akan mengurangi edema paru

sekunder akibat peningkatan permeabilitas alveolar-kapiler; pada ma-nusia masih


memerlukan penelitian lebih lanjut. Kadang kadang penderita dengan Infark Miokard
Akut dan edema paru, tekanan kapiler pasak parunya normal; hal ini mungkin
disebabkan lambatnya pembersihan cairan edema secara radiografi meskipun tekanan
kapiler paru sudah turun atau kemungkinan lain pada beberapa penderita terjadi
peningkatan permeabilitas alveolar-kapiler paru sekunder oleh karena adanya isi
sekuncup yang rendah seperti pada cardiogenic shock lung.
2. ARDS
Gejala klinis utama pada kasus ARDS :

Peningkatan jumlah pernapasan

Klien mengeluh sulit bernapas, retraksi dan sianosis

Pada Auskultasi mungkin terdapat suara napas tambahan

Penurunan kesadaran mental

Takikardi, takipnea

Dispnea dengan kesulitan bernafas

Terdapat retraksi interkosta

Sianosis

Hipoksemia

Auskultasi paru : ronkhi basah, krekels, stridor, wheezing

Auskultasi jantung : BJ normal tanpa murmur atau gallop


Sedangkan menurut Yasmin Asih, 2010, ciri khas ARDS adalah hipoksemia
yang tidak dapat diatasi selama bernapas spontan. Frekuensi pernapasan sering kali
meningkat secara bermakna dengan ventilasi menit tinggi. Sianosis dapat atau tidak
terjadi. Hal ini harus diingat bahwa sianosis adalah tanda dini dari hipoksemia. Gejala
klinis utama pada kasus ARDS adalah:

Distres pernafasan akut: takipnea, dispnea, pernafasan menggunakan otot


aksesoris pernafasan dan sianosis sentral.

Batuk kering dan demam yang terjadi lebih dari beberapa jam sampai seharian.

Auskultasi paru: ronkhi basah, krekels halus di seluruh bidang paru, stridor,
wheezing.

Perubahan sensorium yang berkisar dari kelam pikir dan agitasi sampai koma.

Auskultasi jantung: bunyi jantung normal tanpa murmur atau gallop

G. DIAGNOSA PENUNJANG
1. Edema Paru
a. Pemeriksaan Fisik

Sianosis sentral. Sesak napas dengan bunyi napas seperti mukus berbuih.

Ronchi basah nyaring di basal paru kemudian memenuhi hampir seluruh


lapangan paru, kadang disertai ronchi kering dan ekspirasi yang memanjang
akibat bronkospasme sehingga disebut sebagai asma kardiale.

Takikardia dengan S3 gallop.

Murmur bila ada kelainan katup.

b. Elektrokardiografi. Bisa sinus takikardia dengan hipertrofi atrium kiri atau fibrilasi
atrium, tergantung penyebab gagal jantung. Gambaran infark, hipertrofi ventrikel
kiri atau aritmia bisa ditemukan.
c) Laboratorium

Analisa gas darah pO2 rendah, pCO2 mula-mula rendah dan kemudian
hiperkapnia.

Enzim kardiospesifik meningkat jika penyebabnya infark miokard.

Darah rutin, ureum, kreatinin, , elektrolit, urinalisis, foto thoraks, EKG, enzim
jantung (CK-MB, Troponin T), angiografi koroner.

d) Foto thoraks Pulmonary edema secara khas didiagnosa dengan X-ray dada.
Radiograph (X-ray) dada yang normal terdiri dari area putih terpusat yang
menyinggung jantung dan pembuluh-pembuluh darah utamanya plus tulang-tulang
dari vertebral column, dengan bidang-bidang paru yang menunjukan sebagai bidangbidang yang lebih gelap pada setiap sisi, yang dilingkungi oleh struktur-struktur
tulang dari dinding dada.
X-ray dada yang khas dengan pulmonary edema mungkin menunjukan lebih
banyak tampakan putih pada kedua bidang-bidang paru daripada biasanya. Kasuskasus yang lebih parah dari pulmonary edema dapat menunjukan opacification
(pemutihan) yang signifikan pada paru-paru dengan visualisasi yang minimal dari
bidang-bidang paru yang normal. Pemutihan ini mewakili pengisian dari alveoli

sebagai akibat dari pulmonary edema, namun ia mungkin memberikan informasi


yang minimal tentang penyebab yang mungkin mendasarinya.
e) Gambaran Radiologi yang ditemukan :
Pelebaran atau penebalan hilus (dilatasi vaskular di hilus)
Corakan paru meningkat (lebih dari 1/3 lateral)
Kranialisasi vaskuler
Hilus suram (batas tidak jelas)
Interstitial fibrosis (gambaran seperti granuloma-granuloma kecil atau nodul milier)

Gambar hasil radiologi

Gambar 1 : Edema Intesrtitial


Gambaran underlying disease (kardiomegali, efusi pleura, diafragma kanan letak tinggi).

Gambar 2 : Kardiomegali dan edema paru


Infiltrat di daerah basal (edema basal paru)
Edema butterfly atau Bats Wing (edema sentral)

Gambar 3 : Bats Wing


Edema localized (terjadi pada area vaskularisasi normal, pada paru yang mempunyai kelainan
sebelumnya, contoh : emfisema).

f) Ekokardiografi Gambaran penyebab gagal jantung : kelainan katup, hipertrofi ventrikel


(hipertensi), Segmental wall motion abnormally (Penyakit Jantung Koroner), dan
umumnya ditemukan dilatasi ventrikel kiri dan atrium kiri.
g) Pengukuran plasma B-type natriuretic peptide (BNP)

Alat-alat diagnostik lain yang digunakan dalam menilai penyebab yang mendasari
dari pulmonary edema termasuk pengukuran dari plasma B-type natriuretic peptide
(BNP) atau N-terminal pro-BNP. Ini adalah penanda protein (hormon) yang akan timbul
dalam darah yang disebabkan oleh peregangan dari kamar-kamar jantung. Peningkatan
dari BNP nanogram (sepermilyar gram) per liter lebih besar dari beberapa ratus (300
atau lebih) adalah sangat tinggi menyarankan cardiac pulmonary edema. Pada sisi lain,
nilai-nilai yang kurang dari 100 pada dasarnya menyampingkan gagal jantung sebagai
penyebabnya.
h) Pulmonary artery catheter (Swan-Ganz)
Pulmonary artery catheter (Swan-Ganz) adalah tabung yang panjang dan tipis
(kateter) yang disisipkan kedalam vena-vena besar dari dada atau leher dan dimajukan
melalui ruang ruang sisi kanan dari jantung dan diletakkan kedalam kapiler-kapiler
paru atau pulmonary capillaries (cabang-cabang yang kecil dari pembuluh-pembuluh
darah dari paru-paru). Alat ini mempunyai kemampuan secara langsung mengukur
tekanan dalam pembuluh-pembuluh paru, disebut pulmonary artery wedge pressure.
Wedge pressure dari 18 mmHg atau lebih tinggi adalah konsisten dengan cardiogenic
pulmonary edema, sementara wedge pressure yang kurang dari 18 mmHg biasanya
menyokong non-cardiogenic cause of pulmonary edema. Penempatan kateter Swan-Ganz
dan interpretasi data dilakukan hanya pada intensive care unit (ICU).
2. ARDS

Pemeriksaan hasil Analisa Gas Darah:


a. Hipoksemia (penurunan PaO2)
b. Hipokapnia (penurunan PCO2) pada tahap awal karena hiperventilasi
c. Hiperkapnia (peningkatan PCO2) menunjukkan gagal ventilasi
d. Alkalosis respiratori (pH > 7,45) pada tahap dini
e. Asidosis respiratori/metabolik terjadi pada tahap lanjut

Pemeriksaan Rontgent Dada:


a. Tahap awal ; sedikit normal, infiltrasi pada perihilir paru
b. Tahap lanjut ; Interstisial bilateral difus pada paru, infiltrate di alveoli

Tes Fungsi paru :


a. Penurunan komplain paru dan volume paru

b. Pirau kanan-kiri meningkat

Sedangkan menurut Doenges, 1999, pemeriksaan penunjang untuk ARDS adalah:


-

LED: meningkat pada hampir semua kasus, jumlah eosinofilnya normal.

Tes fungsi paru : normal atau menunjukan defek restriktik disertai gangguan
pertukaran udara.

BGA : hasil BGA menunjukan adanya hipoksemia.

Bioksi darah : PaO2/FiO2< 200 = ARDSPaO2/FiO2< 300=ALI

Foto thorak dan CT: terdapat infiltrasi jaringan parut lokasi terpusat pada region
perihilir paru yang biasanya multivokal. Pada tahap lanjut, interstisial bilatareral
difus dan alveolar infiltrate menjadi bukti dan dapat melibatkan semua lobus paru.
Ukuran jantung normal, berbeda dari edema paru kardogenik. Gas darah arteri
seri membedakan gambaran kemajuan hipoksemia, hipokapnea dapat terjadi pada
tahap awal sehubungan dengan hiperventilasi. Alkalosis respiratorik dapat terjadi
pada tahap dini dan pada tahap lanjut terjadi asidosis metabolik. Tes fungsi paru,
Pengukuran pirau, dan kadar asam laktat meningkat

H. PENATALAKSANAAN
1. Edema Paru
a) Edema paru kardiogenik akut
Terapai kegagalan jantung kiri adalah pengobatan seumur hidup dengan
memperhatikan faktor dasar penyebab, tetapi keadaan gawat darurat paru harus
harus segera di atasi.
Pengobatan edema paru kardiogenik akut meliputi :

Morfin
Cara pemberian : SC, IM, atau IV
Dosis
Cara kerja

: 3-20 mg
: mengurangi kegelisahan sehingga mngurangi rangsangan

adrenergik vasokontriksi.

Oksigen
Oksigen 100% dengan tekanan positif dengan menggunakan masker
rebreathing.

Diuretik
Cara pemberian : IV
Dosis
Cara kerja

: 40-100 mg
: Cepat memberikan deuresis dapat mengurangi volume

sirkulasi darah dan sembab paru.

Aminofilin
Cara pemberian : IV
Dosis
Cara kerja

: 240-480 mg
: Bekerja dalam bronkodilator, meningkatkan aliran darah

ginjal dan sekresi natrium dan menambah kontraksi otot jantung.

Digitalis
Dapat diberikan digitalisi cepat (misal, dogoksin, lanatoside C) apabila
sebelumya mendapat digitalis.

Posisi penderita
Penderita di usahakan posisi duduk dengan kaki berjuntai sepanjang sisi
tempat tidur sehingga mengurangi venous return ke jantung.

b) Edema paru non kardiogenik


Dalam penatalaksanaan yang penting ialah :

Memperbaiki ventilasi, dengan :


-

Pemberian oksigen sehingga oksigen dalam udara inspirasi mencapai 50100%

Intubasi endotrakeal.

Kalau perlu menggunakan alat bantu pernafasan (ventilator).

Pertahankan sirkulasi, dengan :


Memperbaiki dehidrasi atau mengurangi cairan bila terjadi over hidrasi.

Diperlukan terapi spesifik untuk hal-hal khusus :


-

Tempat tinggi, dengan oksigen dan transportasi ke daerah yang lebih


rendah.

Bila obat atau racun sebagai penyebab, dengan obat antagonis.

Uremia paru, dengan dialisis.

Bila ada sepsis, berikan antimikroba.

Tujuan penatalaksanaan medis pada pasien dengan Edema Paru akut adalah mengurangi
volume sirkulasi total untuk memperbaiki pertukaran gas pernapasan. Tujuan ini dapat
dicapai dengan kombinasi terapi oksigen dan terapi medis.

Oksigenasi. Oksigen diberikan dengan konsetrasi yang adekuat untuk mengurangi


hipoksia dan dispnea. Bila tanda-tanda hipoksia menetap, oksigen harus diberikan
dengan tekanan positif intermiten atau kontinu. Bila terjadi gagal napas, meskipun
penatalaksanaan telah optimal, perlu diberikan intubasi endotrakea dan ventilasi
mekanis. Penggunaan tekanan positif akhir ekspirasi sangat efektif mengurangi aliran
balik vena, menurunkan tekanan kapiler paru, dan memeperbaiki oksigenasi.
Oksigenasi dipantau melalui pulse oksimetri dan pengukuran AGD.

Farmakologi. Dilakukan pemberian Morfin secara intravena dalam dosis kecil untuk
mengurangi kecemasan dan dispnea serta menurunkan tekanan perifer sehingga darah
dapat didistribusikan dari paru ke bagaian tubuh lain. Hal tersebut akan menurunkan
tekanan dalam kapiler paru dan mengurangi perembesan cairan ke jaringan paru.
Morfin juga bermanfaan dalam menurunkan kecepatan napas.

Morfin tidak boleh diberikan bila edema paru disebapkan oleh cedera vaskuer otak,
penyakit paru kronis, atau syok kardiogenik. Pasien harus diawasi bila terjadi depresi
pernapasan berat.

Diuretik. Furosemide diberikan secara intravena untuk memberi efek diuretik yang
cepat. Furosemide juga mengakibatkan vasodilatasi dan penimbunan darah di
pembuluh darah perifer yang pada gilirannya mengurangi jumlah darah yang kembali
ke jantung, bahkan sebelum terjadi efek diuretik.

Digitalis. Diberikan untuk meningkatkan kontrakitilitas jantung dan curah ventrikel


kiri. Perbaikan kotrakitilitas jantung akan meningkatakan curah jantung, memeperbaiki
diuresis dan menurunkan tekanan diastole. Jadi tekanan kapiler paru dan trasnudasi atau
perembesan cairan ke alveoli akan berkuarang.

Aminofilin. Bila pasien mengalami wheezing dan terjadi bronkospasme yang berarti,
maka perlu diberikan aminofilin untuk merelaksasi bronkospasme. Aminofilin
diberikan melalui intravena secara terus menerus dengan dosis sesuai berat badan.

c) ARDS

Tujuan Terapi :

Support pernapasan

Mengobati penyebab jika mungkin

Mencegah komplikasi.

TERAPI :

Intubasi untuk pemasangan ETT

Pemasangan Ventilator mekanik (Positive end expiratory pressure) untuk


mempertahankan keadekuatan level O2 darah.

Sedasi untuk mengurangi kecemasan dan kelelahan akibat pemasangan ventilator

Pengobatan tergantung klien dan proses penyakitnya :


-

Inotropik agent (Dopamine ) untuk meningkatkan curah jantung & tekanan darah.

Antibiotik untuk mengatasi infeksi

Kortikosteroid dosis besar (kontroversial) untuk mengurangi respon inflamasi dan


mempertahankan stabilitas membran paru.

Penderita sindroma gawat pernafasan akut dirawat di unit perawatan intensif. Terapi oksigen
sangat penting untuk mengoreksi kadar oksigen darah, seringkali diberikan oksigen dalam
konsentrasi tinggi (mungkin diperlukan oksigen 100%). Bila pemberian oksigen dengan
sungkup muka tidak berhasil mengatasi masalah, perlu digunakan alat bantu pernafasan
(ventilator). Ventilator menyalurkan oksigen dengan menggunakan tekanan melalui pipa yang
dimasukkan ke hidung, mulut atautrakea; tekanan ini membantu memasukkan oksigen ke
dalam darah. Tekanan yang diberikan dapat disesuaikan untuk membantu tetap terbukanya
saluran napas yang kecil dan alveoli, dan untuk memastikan agar paru-paru tidak menerima
konsentrasi yang berlebihan karena konsentrasi yang berlebihan dapat merusak paru-paru dan
memperberat sindroma ini.
Pengobatan suportif lainnya seperti pemberian cairan atau makananintravena (melalui
infus) juga penting karena dapat terjadi dehidrasi ataumalnutrisi yang bisa menyebabkan
berhentinya fungsi organ tubuh (keadaan yang disebut sebagai kegagalan organ
multipel). Obat-obatan khusus diberikan untuk mengobati infeksi, mengurangi peradangan dan
membuang cairan dari dalam paru-paru. Misalnya pada infeksi diberikan antibiotik.

I. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


1. Edema Paru
Pengkajian
a) Identitas

b) Umur

: Klien dewasa dan bayi cenderung mengalami dibandingkan

remaja/dewasa muda
c) Riwayat Masuk
Klien biasanya dibawa ke rumah sakit setelah sesak nafas, cyanosis atau batukbatuk disertai dengan demam tinggi/tidak. Kesadaran kadang sudah menurun dan
dapat terjadi dengan tiba-tiba pada trauma. Berbagai etiologi yang mendasar dengan
masing-masik tanda klinik mungkin menyertai klien
d) Riwayat Penyakit Dahulu
Predileksi penyakit sistemik atau berdampak sistemik seperti sepsis,
pancreatitis, Penyakit paru, jantung serta kelainan organ vital bawaan serta penyakit
ginjal mungkin ditemui pada klien
e) Pemeriksaan fisik
1) Sistem Integumen
Subyektif

:-

Obyektif

: kulit pucat, cyanosis, turgor menurun (akibat dehidrasi

sekunder), banyak keringat , suhu kulit meningkat, kemerahan


2) Sistem Pulmonal
Subyektif

: sesak nafas, dada tertekan

Obyektif

: Pernafasan cuping hidung, hiperventilasi, batuk

(produktif/nonproduktif), sputum banyak, penggunaan otot bantu pernafasan,


pernafasan diafragma dan perut meningkat, Laju pernafasan meningkat,
terdengar stridor, ronchii pada lapang paru,
3) Sistem Cardiovaskuler
Subyektif

: sakit dada

Obyektif

: Denyut nadi meningkat, pembuluh darah vasokontriksi, kualitas

darah menurun, Denyut jantung tidak teratur, suara jantung tambahan


4) Sistem Neurosensori

Subyektif

: gelisah, penurunan kesadaran, kejang

Obyektif

: GCS menurun, refleks menurun/normal, letargi

5) Sistem Musculoskeletal
Subyektif

: lemah, cepat lelah

Obyektif

: tonus otot menurun, nyeri otot/normal, retraksi paru dan

penggunaan otot aksesoris pernafasan


6) Sistem genitourinaria
Subyektif

:-

Obyektif

: produksi urine menurun,

7) Sistem digestif
Subyektif

: mual, kadang muntah

Obyektif

: konsistensi feses normal/diare

f) Pemeriksaan Penunjang :
1) Hb : menurun/normal
2) Analisa Gas Darah : acidosis respiratorik, penurunan kadar oksigen darah,
kadar karbon darah meningkat/normal
3) Elektrolit : Natrium/kalsium menurun/normal
Diagnosa yang mungkin muncul
1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kelelahan dan pemasangan alat bantu
nafas
2. Gangguan pertukaran Gas berhubungan dengan distensi kapiler pulmonary
3. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan area invasi mikroorganisme sekunder terhadap
pemasangan selang endotrakeal

Rencana Tindakan:
Intervensi
No
1

Diagnosa

Tujuan & KH

Ketidakefektifan Pola nafas


pola

nafas kembali efektif

berhubungan

setelah

Intervensi
1. Berikan penjelasan

1. Informasi yang adekuat

pada pasien tentang

dapat membawa pasien

penyakitnya

lebih kooperatif dalam

dengan keadaan dilakukan

2. Atur posisi semi fowler

tubuh

3. Observasi tanda dan

lemah

yang tindakan
keperawatan

gejala sianosis

selama 24

4. Berikan terapi

jam, dengan
kriteria hasil:
- Tidak terjadi
hipoksia atau
hipoksemia
- Tidak sesak

Rasional

oksigenasi
5. Observasi tanda-tanda

vital
6. Observasi timbulnya

gagal nafas.
7. Kolaborasi dengan tim

memberikan terapi
2. Jalan nafas yang

longgar dan tidak ada


sumbatan proses
respirasi dapat berjalan
dengan lancar.
3. Sianosis merupakan

salah satu tanda


manifestasi
ketidakadekuatan suply

- RR normal

medis dalam

O2 pada jaringan tubuh

(16-20 /

memberikan

perifer .

menit)

pengobatan

- Tidak terdapat

4. Pemberian oksigen

secara adequat dapat

kontraksi otot

mensuplai dan

bantu nafas

memberikan cadangan

- Tidak terdapat
sianosis

oksigen, sehingga
mencegah terjadinya
hipoksia.
5. Dyspneu, sianosis

merupakan tanda
terjadinya gangguan
nafas disertai dengan
kerja jantung yang
menurun timbul

takikardia dan capilary


refill time yang
memanjang/lama.
6. Ketidakmampuan

tubuh dalam proses


respirasi diperlukan
intervensi yang kritis
dengan menggunakan
alat bantu pernafasan
(mekanical
ventilation).
7. Pengobatan yang

diberikan berdasar
indikasi sangat
membantu dalam
proses terapi
keperawatan
2

Gangguan

Fungsi

1. Berikan HE pada

1. Informasi yang adekuat

pertukaran Gas pertukaran gas

pasien tentang

dapat membawa pasien

berhubungan

penyakitnya

lebih kooperatif dalam

dapat maksimal

dengan distensi setelah


kapiler

dilakukan

pulmonar

tindakan

2. Atur posisi pasien


semi fowler
3. Bantu pasien untuk

memberikan terapi
2. Jalan nafas yang

longgar dan tidak ada

keperawatan

melakukan reposisi

sumbatan proses

selama 24 jam

secara sering

respirasi dapat berjalan

dengan kriteria
hasil:
- Tidak terjadi
sianosis
- Tidak sesak
- RR normal

4. Berikan terapi
oksigenasi
5. Observasi tanda
tanda vital
6. Kolaborasi dengan
tim medis dalam

dengan lancer
3. Posisi yang berbeda

menurunkan resiko
perlukaan akibat
imobilisasi
4. Pemberian oksigen

(16-20 /

memberikan

secara adequat dapat

menit)

pengobatan

mensuplai dan

- BGA normal:

memberikan cadangan

partial

oksigen, sehingga

pressure of

mencegah terjadinya

oxygen

hipoksia

(PaO2): 75-

5. Dyspneu, sianosis

100 mm Hg

merupakan tanda

partial

terjadinya gangguan

pressure of

nafas disertai dengan

carbon

kerja jantung yang

dioxide

menurun timbul

(PaCO2): 35-

takikardia dan capilary

45 mm Hg

refill time yang

oxygen

memanjang/lama.

content

6. Pengobatan yang

(O2CT): 15-

diberikan berdasar

23%

indikasi sangat

oxygen

membantu dalam

saturation

proses terapi

(SaO2): 94-

keperawatan

100%
bicarbonate
(HCO3): 2226 mEq/liter
pH: 7.357.45

1. Berikan penjelasan

1. Informasi yang adekuat

terjadi setelah

pada pasien tentang

dapat membawa pasien

dilakukan

kondisi yang

lebih kooperatif dalam

Resiko tinggi

Infeksi tidak

infeksi
berhubungan

dengan area

tindakan

invasi

keperawatan

mikroorganisme

selama 24

sekunder

jam, dengan

terhadap

kriteria hasil:

pemasangan selang

pemasangan

- Pasien mampu

endotrakheal

selang

mengurangi

4. Lakukan tehnik

endotrakeal

kontak dengan

perawatan secara

menjadi factor resiko

area

aseptik

masuknya

pemasangan

dialaminya
2. Observasi tanda-tanda

vital
3. Observasi daerah

5. Kolaborasi dengan tim

memberikan terapi
2. Meningkatnya suhu

tubuh dpat dijadikan


sebagai indicator
terjadinya infeksi
3. Kebersihan area

pemasangan selang

mikroorganisme
4. Meminimalkan

selang

medis dalam

endotrakeal

memberikan

organisme yang kontak

- Suhu normal

pengobatan

dengan pasien dapat

(36,5oC)

menurunkan resiko
terjadinya infeksi
5. Pengobatan yang

diberikan berdasar
indikasi sangat
membantu dalam
proses terapi
keperawatan

4. Implementasi
Didasarkan pada diagnosa yang muncul baik secara aktual, resiko, atau potensial. Kemudian
dilakukan tindakan keperawatan yang sesuai berdasarkan NCP.
5. Evaluasi:

Disimpulkan berdasarkan pada sejauh mana keberhasilan mencapai kriteria hasil, sehingga dapat
diputuskan apakah intervensi tetap dilanjutkan, dihentikan, atau diganti jika tindakan yang
sebelumnya tidak berhasil
2. ARDS
Asuhan Keperawatan pada kasus Gawat Darurat dengan pasien yang mengalami ARDS,
berbeda dengan pemberian ASKEP pada Konsep Medikal Bedah. Dalam mengkaji pasien Gawat
Darurat dengan kasus ARDS, harus dilakukan dengan sistematis mulai dari:

A: Airway ( Jalan Napas)


Pengkajian:
Pada pasien yang mengalami ARDS, jalan napasnya akan mengalami gangguan/obstruksi. Ini
biasa diakibatkan / disebabkan karena adanya penumpukan secret yang diakibatkan oleh
peningkatan secret pulmonal. Perhatikan tanda-tanda medis yang mungkin muncul seperti
dispneu, dan adanya batuk dengan atau tanpa sputum.
Diagnosa:
a) Ketidakefektifan bersihan jalan napas b/d peningkatan secret pulmonal.

Intervensi :
1) Kaji kesadaran pasien dengan menyentuh, menggoyang dan memanggil namanya.

R/ mengetahui tingkat kesadaran pasien, pakah masih dalam tahap unrespon, pain,
voice, dan alert.
2) Lakukan panggilan untuk pertolongan darurat

R/ bantuan segera dapat membantu mempercepat pertolongan.


3) Beri posisi terlentang pada permukaan rata yang tidak keras, kedua lengan pasien

disamping tubuhnya.
R/ mengantisipasi trauma servikal, posisi yang tepat dan lingkungan yang nyaman
dapat penolong dan korban dalam melakukan tindakan.
4) Berikan pertolongan dengan nafas bantuan dengan cara berlutut sejajar dengan bahu

pasien.
R/ posisi yang nyaman bagi penolong dapat mempermudah dalam memberikan
tindakan.

5) Buka jalan napas dengan teknik tengadahkan kepala, topang dagu untuk membuka

jalan napas, jari tengah, jari manis dan kelengking bias digunakan untuk menopang
dagu sedangkan jari telunjuk untuk mengeluarkan benda asing yang ada dalam mulut.
R/ memastikan tidak ada obstruksi pada jalan napas sehingga pasien dapat bernapas
dengan baik.
Evaluasi:

Tampak Tidak ada sumbatan(secret) pada jalan napas.

Pasien mampu mempertahankan kepatenan jalan napas.

B: Breathing (Pernapasan)
Pengkajian:
Dalam mengkaji breathing/pernapasan pasien gawat darurat dengan ARDS, kita
akan menjumpai pasien mengalami sesak dan irama pernapasannya tidak teratur. Ini
dikarenakan karena adanya peningkatan secret pada organ paru. Akan kita jumpai pula
takipneu, penggunaan otot-otot bantu pernapasan dan suara napas tambahan (ronchi).

Diagnosa:
1) Gangguan perukaran gas b/d penumpukan cairan di alveoli, alveolar hipoventilasi.
2) Ketidak efektifan pola napas b/d pertukaran gas tidak adekuat, penurunan
kemampuan

untuk oksigenasi.

Intervensi :
a) Kaji pernapasan pasien dengan mendekatkan telinga diatas mulut/ hidung pasien
sambil memepertahankan pembukaan jalan napas.
R/ mengetahui ada tidaknya pernapasan.
b) Perhatikan dada pasien dengan melihat gerakan naik turunnya dada pasien
R/ mengetahui apakah masih terjadi pengembangan paru.
c) Auskultasi udara yang keluar waktu ekspirasi, merasakan adanya aliran udara.
R/ mendengarkan apakah terdapat suara tambahan atau tidak.

d) Berikan napas bantuan dengan cara :


-

Mulut ke mulut; penolong memijat hidung pasien dengan ibu jari dan jari
telunjuk, penolong memberikan nafas penuh.
R/ memastikan udara yang diberikan dapat masuk secara maksimal.

Mulut ke hidung; pada pasien yang tidak mungkin dilakukan ventilasi melalui
mulut, penolong manarik napas dalam, menutup hidung pasien dengan bibir
penolong dan menghembuskan kedalam hidung.
R/ memberikan bantuan pernapasan, agar kebutuhan oksigennya terpenuhi.

Setelah itu observasi kembali naik turunnya dada, mendengar dan merasakan
udara yang keluar pada waktu ekshalasi.
R/ mengetahui keberhasilan dari tindakan yang telah dilakukan.

Untuk pertolongan awal pernapasan/ ventilasi awal 2 kali.


Evaluasi :
1. Tampak Pasien tidak lagi mengalami sesak.
2. Tampak irama pernapasan pasien kembali teratur.
3. Tampak pasien tidak lagi menggunakan otot bantu pernapasan.
4. Terdengar tidak adanya suara tambahan.

C: Circulation (Sirkulasi)
Pengkajian:
Karena adanya gangguan / masalah pada organ paru, maka akan terjadi penurunan balik
vena (cardio-pulmoner). Yang kemudian akan menyebabkan penurunan curah jantung.
Sehingga dalam mengobservasi Tekanan Darah, akan didapatkan hasil pasien mengalami
hipotensi (tekanan darah rendah). Tekanan darah yang rendah ini, akan menyebabkan
darah sulit sampai pada pembuluh darah/jaringan-jaringan perifer. Sehingga tidak jarang
kita akan mendapati pasien yang mengalami cianosis. Tidak jarang pula, kita akan
mendapati pasien mengalami edema.
Diagnosa:

Resiko

Gangguan perfusi jaringan cerebral b/d penurunan aliran balik vena,

penurunan curah jantung.


Intervensi:
a) Tentukan ada tidaknya denyut nadi yang dilakukan pada arteri carotis.
R/ Perabaan dilakukan untuk mengetahui apakah jantung masih berkontraksi atau
sudah terjadi henti jantung. Bila denyut nadi ada dan pernapasan tidak ada maka
pertolongan pernapasan dilakukan 2 x nafas awal (1,5 2 detik setiap nafas)
kemudian 12 x/ mnt pertolongan pernapasan, bila pernapasan tetap tidak ada
maka lakukan kompresi dada luar.
b) Hubungi system darurat dengan memberikan informasi tentang hal- hal yang
terjadi dan peralatan yang di butuhkan.
R/

informasi yang diperoleh akan membantu dalam menentukan tindakan

selanjutnya sehingga pertolongannya akan lebih mudah.

c) Kompresi dada luar akan menyebabkan sirkulasi ke paru- paru dan di ikuti dengan
ventilasi.
R/ kompresi dada luar akan menstimulus jantung untuk berkontraksi.
Evaluasi :

Tekanan darah kembali pada nilai 120/80 mmHg.

Tampak tidak adanya sianosis..

D: Disability (Kesadaran)
Pada pasien ARDS, biasanya akan mengalami penurunan kesadaran. Ini mungkin
diakibatkan transport oksigen ke otak yang kurang/tidak mencukupi (menurunnya curah
jantung menyebabkan terjadinya hipotensi). Yang akhirnya darah akan sulit mencapai
jarinagn otak. Pada pasien ARDS kesadaran memang mungkin akan menurun tetapi
GCSnya masih sekitar 12-14. Sehingga kita lebih memprioritaskan pernapasan dan
pemompaan jantungnya. Karena apabila pernapsan dan pemompaan jantungnya sudah
tertangani dengan baik maka secara otomatis kesadarannya akan membaik (GCS 15).

E: Exposure (Pengkajian Secara Menyeluruh)


Setelah kita mengkaji secara menyeluruh dan sistematis mulai dari airway,
breathing, circulation, dan disability, sekarang kita mengkaji secara menyeluruh untuk
melihat apakah ada organ lain yang mengalami gangguan. Sehingga kita dapat cepat
memberikan perawatan.

DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, Lynda Juall. 2006. Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC
Simon, G. 1981. Diagnostik Rontgen untuk Mahasiswa Klinik dan Dokter Umum. Edisi kedua.
Jakarta: Penerbit Erlangga
Harrison. 1995. Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume3. Yogyakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC

You might also like