You are on page 1of 4

Mistik dan mitos di seputar batik

Motif parangkusumo
Mitos seputar keris dan wayang pasti sudah sering kita dengar, tapi bagaimana dengan mitos
dibalik pembuatan sebuah batik? Pasti masih banyak dari sobat Fashionesia yang belum tau
atau bahkan mendengar mitos mengenai batik ini.
Pernah dengar mitos tentang penciptaan motif batik sidoluhur yang menuntut pencipta
awalnya untuk menahan nafas berlama-lama? Atau tentang batik parang yang tercipta karena
kekaguman seorang Panembahan Senopati kepada alam sekitarnya? Atau juga tentang
truntum yang konon tercipta karena dorongan sebuah pengharapan seorang garwa ampil
kepada rajanya? Pasti penasaran kan? Ini dia info menarik seputar mitos batik di Indonesia.
Parangkusumo
Motif ini dibuat oleh Panembahan Senopati, raja pertama kerajaan Mataram Islam yang
bertahta 1530-1543. Panembahan mendapat inspirasi semasa ia melakukan teteki (menyepi
dan bersemadi) sebelum menjadi raja, di goa pinggir Laut Selatan (sekarang dikenal sebagai
pantai Parangkusumo, salah satu obyek wisata di Yogyakarta). Ia begitu kagum terhadap
stalagmit dan stalaktit yang ada di dalam goa yang dalam pandangan Panembahan sangat
khas, khususnya pada saat gelap. Setelah menjadi Raja Mataram, ia pun memerintahkan para
putri kraton untuk mencanting motif tersebut.

Truntum Garuda

Truntum Garuda
Biasanya motif batik dianggit (dicipta) oleh kaum lelaki, sedang motif truntum adalah salah
satu bentuk pengecualian. Motif ini dibuat oleh Kanjeng Ratu Beruk, selir dari Paku Buwono
III (bertahta 1749-1788) di kraton Surakarta. Kanjeng Ratu Beruk bukan dari kalangan
bangsawan tetapi anak dari seorang abdi dalem kraton bernama Mbok Wirareja. Persoalan
status ini menjadikan Kanjeng Ratu Beruk selalu gundah. Ia mendamba jadi permaisuri
kerajaan, sebuah status yang begitu dihormati dan dipuja. Tapi lebih dari semua itu, Kanjeng
Ratu Beruk ingin selalu berada di samping sang raja agar malam-malam sunyi tidak ia lewati
sendirian.
Pada suatu malam, perhatian Kanjeng Ratu Beruk tertuju pada indahnya bunga tanjung yang
jatuh berguguran di halaman keraton yang berpasir pantai. Seketika itu juga ia mencanting
motif truntum dengan latar ireng (hitam). Ini refleksi dari sebuah harapan, walaupun langit
malam tiada bulan, masih ada bintang sebagai penerang. Selalu ada kemudahan di setiap
kesulitan. Sekecil apa pun kesempatan, ia tetap bernama kesempatan.

Motif Sidoluhur

batik motif sidoluhur


ertama kali motif ini dibuat oleh Ki Ageng Henis, kakek dari Panembahan Senopati (pendiri
kerajaan Mataram Islam di Kota Gedhe, Yogyakarta). Motif ini dibuat khusus untuk anakketurunannya dengan harapan agar si pemakainya memiliki hati dan pikiran luhur sehingga
hidupnya bermanfaat bagi masyarakat banyak. Motif ini kemudian dimanifestasikan oleh Nyi
Ageng Henis ke dalam lembaran kain (dicanting).
Mitosnya, Nyi Ageng selalu megeng (menahan) nafas dalam mencanting sampai habisnya
malam (lilin yang digunakan untuk membatik berbahan baku dari sarang lebah) dalam
canting tersebut. Hal itu dimaksudkan agar konsentrasi terjaga dan seluruh doa dan harapan
dapat tercurah secara penuh ke kain batik tersebut. Sampai saat inipun secara umum proses
penciptaan batik masih sama seperti jaman dulu. Tugas membuat motif /patron (disebut
nyorek dalam bahasa Jawa) dikerjakan laki-laki, sedang wanita yang mencanting.
Motif Udan Riris

batik motif udan riris


Paku Buwono III juga dikenal sebagai kreator motif batik. Beliau memegang tahta saat kraton
Surakarta (Solo) banyak mengalami guncangan perpecahan pasca perjanjian Giyanti (1755).
Mengacu pada hasil perjanjian Giyanti yang membagi wilayah dan isi keraton Kasunanan
Surakarta, sebagian pusaka dan batik kraton pun telah dibawa ke Jogja oleh Pangeran

Mangkubumi yang kemudian jumeneng (bertahta) sebagai raja pertama kerajaan Jogjakarta
(Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat). Dimulailah perang dingin antara Solo dan Jogja pada
masa itu (perhatikan yg dicetak tebal!). Kerap terjadi saling ejek antara orang Solo dan Jogja.
Batik Solo motif Krambil Sesungkil dan Slobok yang dipakai para isteri bangsawan untuk
melayat, di Jogja dipakai untuk para punakawan (batur=pembantu) dalam kisah pewayangan.
Begitu juga sebaliknya, batik Jogja motif Kawung yang dipakai bangsawan untuk melayat,
di Solo dipakai oleh para punakawan. Saling ejek yang dirasa sangat menghina ini membuat
Paku Buwono terguncang batinnya. Untuk meredam kegundahan hatinya, beliau melalukan
teteki (menyepi atau semedi) dengan cara kungkum (berendam) di kali (sungai) Kebanaran.
Lokasinya dekat dengan makam leluhurnya yaitu Ki Ageng Henis. Kungkum dilakukan pada
malam hari dan hanya ditemani sebuah teplok sebagai lampu penerangan. Waktu dini hari,
hujan gerimis mulai turun seakan turut sedih melihat kondisi saat itu. Bayangan hujan gerimis
yang tertangkap oleh cahaya lampu teplok itulah yang di kemudian hari menjadi inspirasi
motif udan riris (hujan gerimis).

Sumber : Berbagai sumber

You might also like