You are on page 1of 16

PAPER

CRYSTALLIZATION KINETICS OF GLASS-CERAMICS


BY DIFFERENTIAL THERMAL ANALYSIS
(Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Analisis Biomaterial)

Disusun oleh :
TRI YEKTI U.

[081013097]

FARDATUL AZKIYAH

[081113005]

REZZA RUZUQI

[081113006]

PROGRAM STUDI SI-FISIKA


DEPARTEMEN FISIKA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2014

Abstrak
Proses kristalisasi senyawa fluorphlogopite, glass-ceramics dengan sistem MgOSiO2-Al2O3-K2O-B2O3-F, dipelajari dengan mensubstitusi Li2O pada K2O dalam komposisi
glass. DTA, XRD dan SEM digunakan untuk mengkarakterisasi studi proses kristalisasi,
dimana akan dihasilkan fase dan mikrostruktur dari glass-ceramics tersebut. Kinetika
kristalisasi glass dapat diselidiki dalam kondisi non-isotermal, dengan menggunakan teori
transformasi untuk nukleasi heterogen. Hasil analisis kristalisasi menyatakan bahwa
parameter kinetik merupakan mekanisme kristalisasi yang tepat yakni kristalisasi massal
untuk glass dasar dan sampel dengan penambahan Li2O. Percobaan DTA Non-isotermal
menunjukkan bahwa energi aktivasi kristalisasi gelas berada pada kisaran energy 234246 KJ / mol dan pada penambahan sampel Li2O energy aktivasi berubah menjadi kisaran
energy 317-322 KJ / mol.
Kata Kunci: Kristalisasi kinetic, Energi aktivasi, Glass ceramics, Endoterm, Eksoterm

1. Pendahuluan
Pembuatan teknologi glass-ceramics, meliputi komposisi glass, sifat agen nukleasi
dan history termal, sangat mempengaruhi struktur mikro dan sifat dari bahan tersebut. Mica
glass-ceramic juga dikenal sebagai machinable keramik dan berguna sebagai aplikasi
rekayasa bahan. Dalam sistem terner Li2O-K2O-SiO2, mobilitas ion lithium yang tinggi
menyebabkan pembentukan eutectics dengan titik leleh rendah. Oleh karena itu Li2O
adalah oksida yang cocok untuk meningkatkan laju pencairan dan memudahkan proses
kristalisasi. Beberapa penyelidikan telah dilakukan untuk mengetahui pengaruh aditif yang
berbeda pada perilaku kristalisasi dan jenis fase endapan di machinable glass-ceramics.
Henry dan Hill telah menyelidiki pengaruh penggantian Lithia untuk magnesium pada
nukleasi dan kristalisasi perilaku SiO2 Al2O3 MgO / Li2O MgF2BaO/K2O glass. Selain itu
mereka juga menyelidiki perkembangan struktur mikro, sifat mekanik dan machinability dari
glass-ceramics. Hasil penelitian mereka dalam substitusi lithia untuk magnesium dapat
mengurangi suhu transisi glass, sedangkan koefisien ekspansi termal meningkat seiring
meningkatnya lithia dan potassia content. Mereka telah menemukan bahwa energi aktivasi
untuk kristalisasi tidak berubah secara signifikan dengan Lithia content. Trauta et al.
Persiapan lithium transparan - glass mika -keramik dan pengaruh dari MgF2 sebagai agen
nukleasi untuk kristalisasi pada sistem ini. Mereka menunjukkan pengendapan kristal mika
yang sangat baik pada glass secara kontinu yakni pemisahan fasa spinodal yang membuat
struktur mikro menjadi halus. Akibatnya, pemanasan spesimen menunjukkan bahwa
transmisi yang lebih tinggi untuk cahaya tampak dan menjadi tidak berwarna. Karena
pembentukan kristal mika, yang diendapkan dalam fase glass, spesimen menunjukkan
karakteristik machinability.
1.1 Pengertian Analisa Diferensial Termal (DTA)
Analisa diferensial termal (DTA) yang mengukur perbedaan suhu, T, antara sampel
dengan material referen yang inert sebagai fungsi dari suhu. Suhu sampel dan referen akan
sama apabila tidak terjadi perubahan, namun pada saat terjadinya beberapa peristiwa termal,
seperti pelelehan, dekomposisi atau perubahan struktur kristal pada sampel, suhu dari sampel
dapat berada di bawah (apabila perubahannya bersifat endotermik) ataupun di atas (apabila
perubahan bersifat eksotermik) suhu referen. Bila pada pemanasan adalah endotermik, maka
pada proses kebalikannya yaitu pendinginan haruslah eksotermik. Laju pemanasan dan
pendinginan biasanya berada pada range 1 sampai 500oC/menit. Perbedaan temperatur

sampel dengan temperatur material referensi direkam selama siklus pemanasan dan
pendinginan. DTA melibatkan pemanasan atau pendinginan dari sampel pengujian dan
sampel referensi dibawah kondisi yang identik saat dilakukan perekaman dalam berbagai
perbedaan temperatur antara sampel dan referensi. Pada penggunaan laju yang lebih lambat,
sensitivitas akan berkurang karena T bagi peristiwa termal tertentu akan menurun dengan
menurunnya laju pemanasan. Jadi, suhu antara sampel dan referen di monitor oleh
termokopel, yang nantinya akan dicatat, sehingga akan menghasilkan hubungan grafik antara
perubahan suhu antara sampel dan referen dengan suhu sampel. Grafik yang dihasilkan akan
bervariasi, tergantung sampel apa yang digunakan. Differential temperatur juga dapat
meningkat diantara dua sampel inert saat respon mereka ke perlakuan panas yang diberikan
tidak identik. DTA digunakan untuk studi sifat termal dan perubahan fasa yang tidak
mengakibatkan perubahan entalpi. Hasil pengujian DTA ini merupakan kurva yang
menunjukkan diskontinuitas pada temperatur transisi dan kemiringan kurva pada titik tertentu
akan tergantung pada konstitusi mikrostruktur sampel pada temperatur tersebut.

Gambar 1. Alat DTA


Kurva DTA secara garis besar adalah kurva perbedaan temperatur antara material
sampel dengan material referensi. Kurva DTA dapat digunakan sebagai finger print untuk
tujuan identifikasi. Area dibawah peak kurva DTA dapat diidentifikasi sebagai perubahan
entalpi dan tidak dipengaruhi oleh kapasitas panas sampel. Pada Gambar 1 ditunjukkan
contoh kurva DTA dari perak murni.

Gambar 2. Temperatur sampel dan sampel referensi (a) sinyal DTA berdasarkan temperatur
dan waktu
DTA banyak digunakan untuk mengkarakterisasi sampel yang terbuat dari clay atau
material karbonat. Keterbatasan dari DTA ini adalah sensitivitasnya yang cukup rendah.
Meskipun begitu, kurva DTA dapat merekam transformasi apakah panas didalam chamber itu
diserap atau dikeluarkan. DTA sangat membantu untuk memahami hasil dari XRD, analisis
kimia dan mikroskopi. Keuntungan dari DTA adalah :

Dapat menentukan kondisi eksperimental sampel (baik dengan tekanan tinggi atau
vakum)

Instrument dapat digunakan dalam temperatur tinggi

Karakteristik transisi dan reaksi pada temperatur tertentu dapat dideteksi dengan baik
DTA juga dapat digunakan untuk menghitung ukuran kuantitatif seperti pengukuran

entalpi. DTA dapat mendeteksi perubahan yang instan pada massa sampel. Perhitungan
entalpi oleh DTA adalah dengan menggunakan metode perbedaan massa. Karena DTA
mengijinkan sampel mengalami kehilangan berat saat pengukuran. Berikut faktor-faktor yang
mempengaruhi hasil pengujian DTA :

Berat sampel

Ukuran partikel

Laju pemanasan

Kondisi atmosfir

Kondisi material itu sendiri

1.2 Prinsip Kerja Dta


Alat-alat yang digunakan dari DTA kit adalah sebagai berikut :

Sampel holder beserta thermocouples, sampel containers dan blok keramik atau
logam. Yang banyak digunakan adalah Al2O3

Furnace (dapur): furnace yang digunakan harus stabil pada zona panas yang besar
dan harus mampu merespon perintah dengan cepat dari temperatur programmer

Temperature programmer: penting untuk menjaga laju pemanasan agar tetap konstan

Sistem perekaman (recording)

Sampel holder terdiri dari thermocouple yang masing-masing terdapat pada material
sampel dan reference. Thermocouple ini dikelilingi oleh sebuah blok untuk memastikan tidak
ada kebocoran panas. Sampel ditaruh di kubikel kecil dimana bagian bawahnya dipasangkan
thermocouple. Thermocouple diletakkan langsung berkontakan dengan sampel dan material
referensi. Gambar 3 menunjukkan skematis dari DTA kit yang digunakan untuk
mengkarakterisasi sampel.

Gambar 3. Gambar skematis sel DTA

Blok logam cenderung lebih bagus dibandingkan dengan keramik, karena keramik
mengandung banyak porositas. Namun di lain hal, konduktivitas thermal mereka terlalu
tinggi sehingga peaks yang ditimbulkan oleh kurva DTA lebih rendah.
Pemasangan sampel diisolasi dari pengaruh listrik dapur dengan semacam
pembungkus yang biasanya terbuat dari platinum-coated ceramic material. Selama
eksperimen temperatur yang digunakan sampai 1500C dengan laju pemanasan dan
pendinginan 50 K/menit.[1] DTA dapat mencapai rentang temperatur dari -150-2400C.
Dapur crucible dibuat dari tungsten atau grafit. Sangat penting untuk menggunakan atmosfer
inert untuk mencegah degradasi dari dapur crucible.
Tahap kerja DTA adalah sebagai berikut :

Memanaskan heating block

Ukuran sampel dengan ukuran material referensi sedapat mungkin identik dan
dipasangkan pada sampel holder

Thermocouple harus ditempatkan berkontakan secara langsung dengan sampel dan


material referensi

Temperatur di heating block akan meningkat, diikuti dengan peningkatan temperatur


sampel dan material referensi

Apabila pada thermocouple tidak terdeteksi perbedaan temperatur antara sampel dan
material referensi, maka tidak terjadi perubahan fisika dan kimia pada sampel.
Apabila ada perubahan fisika dan kimia, maka akan terdeteksi adanya T.
DTA adalah alat yang berguna untuk mempelajari kristalisasi-kinetika glass. Terdapat

dua metode, yaitu metode isotermal dan non-isothermal, yang bisa digunakan untuk
diferensial analisis termal pada sampel glass. Persamaan Johnson-Mehl-Avrami (JMA)
umumnya digunakan untuk kinetik analisis data DTA isotermal. Dalam metode JMA, sampel
glass dengan cepat dipanaskan dan direndam pada suhu di atas suhu transisi glass. Pada kasus
ini, kristalisasi terjadi pada suhu tetap. Meskipun demikian, dalam metode non-isotermal,
sampel glass dipanaskan pada tingkat pemanasan tertentu dan mengkristal selama analisis
pemindaian termal. Metode non-isotermal lebih sederhana dan lebih cepat daripada metode
isotermal.
Penggunaan penting dari DTA pada glass adalah untuk mengukur suhu transisi glass,
Tg. Titik ini tidak muncul sebagai puncak yang jelas namun sebagai perluasan anomali dari

baseline pada kurva DTA. Tg menunjukkan suhu dimana suatu glass mengalami transformasi
dari padatan yang rigid menjadi cairan supercooled dan sangat viscous. Titik transisi glass
merupakan sifat penting dari glass karena sifat ini merepresentasikan batas suhu atas dimana
suatu glass dapat digunakan dan juga memberikan suatu parameter yang dapat diukur secara
cepat untuk mempelajari glass. Untuk glass-glass yang sangat stabil secara kinetik, seperti
glass silika, titik transisi glass Tg biasanya merupakan satu-satunya proses termal yang
terdeteksi pada DTA karena kristalisasi terlalu lambat untuk dapat berlangsung
Energi aktivasi dan mekanisme kristalisasi adalah parameter kinetik yang paling
penting untuk kristalisasi glass. Parameter ini dapat diperoleh dari hasil eksperimen DTA
dengan menggunakan persamaan yang diusulkan dalam penafsiran data non-isotermal.
Namun, sebagian besar dari persamaan ini mengasumsikan bahwa variasi puncak kristalisasi
temperatur secara langsung terkait dengan tingkat pemanasan. Persamaan dan asumsi ini
membantu kita untuk memahami sifat dari Mekanisme kristalisasi glass yang berbeda dalam
pembentukan sistem.
Dalam studi ini, pengaruh substitusi Lithia untuk Potassia pada kristalisasi dan
struktur mikro mika glass-ceramics diselidiki. Kissinger, Matusita dan Sakka dan Ozawa
persamaan yang digunakan untuk menentukan mekanisme kristalisasi dan nilai energi
aktivasi untuk kristalisasi.
1.3 Theoretical
Dalam tulisan ini, parameter kinetik dari kristalisasi glass ditentukan di bawah
kondisi non-isotermal yang menerapkan tiga persamaan yang berbeda, yakni Kissinger,
Matusita dan Sakka dan ozawa. Pada persamaan tersebut diasumsikan bahwa variasi puncak
suhu kristalisasi (Tp) secara langsung berkaitan dengan kecepatan pemanasan (a). Misalnya,
dalam metode Kissinger, suhu puncak kristalisasi dianggap sebagai fungsi dari laju
pemanasan dan hubungan persamaan diterapkan sebagai berikut.
ln(/Tp2) = (-Eck/RTp) + Constant. (1)
Dimana Eck adalah energi aktivasi untuk kristalisasi, yang ditentukan dengan metode
Kissinger. Sebuah plot ln (/Tp2) vs 1/Tp harus menjadi garis lurus, yang mana slope dapat
ditentukan dari (Eck). Matusita dan Sakka menyatakan bahwa Persamaan (1) hanya berlaku
ketika pertumbuhan kristal terjadi pada sejumlah inti. Nilai-nilai yang salah untuk energi
aktivasi diperoleh jika mayoritas inti terbentuk selama pengukuran DTA, karena jumlah inti

terus bervariasi dengan . Mereka telah juga mengusulkan suatu bentuk modifikasi dari
persamaan Kissinger seperti yang diberikan di bawah ini:
ln(n/Tp2) = (-mEc/RTp) + Constant. (2)
yang mana Ec adalah energi aktivasi yang termodifikasi untuk kristalisasi dan m adalah
faktor numerik yang bergantung pada dimensi pertumbuhan kristal. Ketika kristalisasi
permukaan mendominasi, m = 1 dan ketika kristalisasi massal predominanted, m = 3 (seperti
yang ditunjukkan pada Tabel 2). Dalam mekanisme yang berbeda, nilai m dan n saling
terkait. Misalnya ketika m = n, maka kristalisasi pada tingkat pemanasan yang berbeda terjadi
pada jumlah inti yang tetap (jumlah inti bernilai konstan selama DTA berjalan pada nilai
yang berbeda dari ) atau m = n-1 yakni ketika nukleasi terjadi selama DTA dan jumlah inti
di glass berbanding terbalik dengan . Selain itu, ketika permukaan kristalisasi mendominasi,
m = n = 1 maka Persamaan (2) tereduksi menjadi persamaan Kissinger dimana Eck menjadi
sama dengan Ec.
Dalam kasus kristalisasi massal, Eck tidak harus sama dengan Ec. Sebaliknya,
pendekatan Persamaan (1) dan (2) menunjukkan bahwa, hubungan berikut bisa diterapkan:
Ec = (n/m) Eck 2 ((n-1)/m) RTp

(3)

Untuk kebanyakan sistem oksida glass, Ec3 20 RTP dan Oleh karena itu, eliminasi dari
2 [(n-1) / m] RTP <2 RTP pada Persamaan (2) akan menghasilkan kesalahan kurang dari 10%
pada nilai Ec. Kesalahan ini adalah dalam rentang kesalahan pengukuran DTA. Kemudian
diperoleh hubungan seperti berikut:
Ec (n/m)Eck

(4)

Untuk kasus m = n yaitu, ketika kristalisasi terjadi pada sejumlah inti yang tetap, yakni Eck =
Ec. Dengan demikian, untuk permukaan kristalisasi atau kristal pertumbuhan yang terjadi
pada sejumlah inti tetap, analisis yang dilakukan oleh data DTA pada model Kissinger
(Persamaan (1)) menghasilkan nilai yang benar dari Ec. Ketika jumlah perubahan inti selama
pengukuran DTA, baik, Persamaan (2) harus digunakan atau Eck ditentukan dari Persamaan
(1) harus dikalikan dengan keadaan (n / m) untuk mendapatkan energi aktivasi yang benar.
Bentuk puncak eksotermik, parameter Arrami, n, dapat diperoleh dengan menggunakan
persamaan berikut yang dimodifikasi oleh persamaan Ozawa:
(

* ,

)-+

dimana x adalah fraksi volume saat fase mengkristal pada suhu T konstan yakni pada tingkat
pemanasan dari . Dengan demikian, x adalah rasio area parsial pada suhu tertentu untuk
total daerah kristalisasi eksoterm.

2. Metode Eksperimen

Komposisi kimia dari specimen A0 diperlihatkan pada Tabel 1. Dua spesimen yang
mengandung 3,78 dan 5,67 wt.% dari Li2O yang menggantikan K2O dalam komposisi glass
masing-masing specimen sebagai A3 dan A5. Campuran meleleh dalam cawan lebur alumina
yakni pada suhu 1450C dalam electric klin selama 2 jam. Kemudian, lelehan glass dari
cetakan dituangkan ke dalam lelehan besi panas dan menghasilkan bulks yang didinginkan
pada suhu 500C untuk menghilangkan ketegangannya. Perlakuan panas dari balok-balok
glass dilakukan dalam sebuah tungku listrik tabung pada suhu kristalisasi puncak dengan
tingkat pemanasan 10C / menit.
Tabel 1. Komposisi kimia dari specimen A0 (wt. %)

Sampel dikarakterisasi dengan analisis termal diferensial (DTA) menggunakan DSC1500 Rheometric Scientific USA. Sampel referensi bagi semua komposisi adalah -Al2O3.
Termogram alumina menunjukkan konstan sampai suhu sekitar 1000C, berarti alumina tidak
mengalami perubahan sampai suhu tersebut. Bubuk silicon digunakan sebagai bahan baku
internal untuk pengukuran semi-kuantitatif. Mesin itu dievaluasi setelah pengeboran
menggunakan bor konvensional 2 mm kekuatan pengeboran 30 kN pada 300 rpm.

3. Hasil Dan Diskusi

Gambar 4. Hasil DTA sampel (A0, A3, A5)


Gambar 4 menunjukkan suhu transisi glass, "Tg" yang bernilai 634C pada base glass
A0. Transisi glass merupakan sifat penting karena menyatakan batas temperature maksimum
dimana glass benar-benar dapat digunakan dan memberikan suatu pengukuran parameter
secara mudah untuk mempelajari struktur glass. Suhu berkurang menjadi 580C setelah
penambahan Li2O, seperti yang ditunjukkan dalam sampel A5. Data menunjukkan bahwa Tg
dan Tp menurun saat penambahan Li2O dibanding sampel A0 tanpa Li2O. Hal ini dikarenakan
ion Li+ modifikasi mampu melemahkan jaringan dan memimpin pereduksian pada keadaan
keduanya mencair (melting) dan kristalisasi onset temperatur dengan hasil sama seperti yang
telah

dilaporkan

sebelumnya.

Keberadaan

Li2O

berfungsi

untuk

meningkatkan

crystallizability glass. Sehingga dapat dikatakan bahwa sampel yang diberi penambahan Li2O
semakin besar fase kristal yang terbentuk. Grafik saat mengalami penurunan dikarenakan
melalui proses melting, proses ini terjadi pada keadaan endotermik. Sebuah endoterm muncul
saat senyawa meleleh. Pada pendinginan, cairan tidak mengalami rekristalisasi namun
menjadi supercooled, seiring dengan menurunnya suhu maka viskositas cairan supercooled
meningkat sampai akhirnya menjadi gelas. Artinya, kristalisasi telah sepenuhnya dihilangkan.
Apabila suhu sampel jauh lebih tinggi dibandingkan suhu pembanding maka perubahan yang
terjadi adalah eksotermik namun apabila sebaliknya perubahan yang terjadi adalah
endotermik. Berdasarkan kurva DTA pada Gambar 4 menunjukkan intensitas puncak

kristalisasi eksotermik yang meningkat pada saat yang sama, ketika bergeser menuju suhu
yang lebih rendah. Studi yang dilakukan oleh J. Henry et al. menunjukkan bahwa energi
aktivasi dari kristalisasi mengalami penurunan untuk isi komposisi lithia. Mereka
menyimpulkan bahwa substitusi lithia untuk magnesium mampu meningkatkan gangguan
jaringan glass dan menurunkan energi aktivasi untuk kristalisasi.

Gambar 5 Hasil DTA perubahan tingkat pemanasan: a) A0, b) A5


Gambar 5 menunjukkan thermogram DTA dari sampel A0 dan A5 untuk tingkat
kenaikan pemanasan 5, 10, 15, 20C/menit. Hal ini dapat dinyatakan bahwa puncak
kristalisasi suhu akan meningkat sesuai dengan laju pemanasan. Kemunculan puncak
eksotermik menunjukkan adanya aktivitas yang terjadi pada suhu yang berbeda. Proses
eksoterm DTA menandakan penurunan entalpi sampel yang mengindikasikan perubahan ke
struktur yang lebih stabil. Berdasarkan tingkat pemanasan pada A0 dan A5 saat kenaikan
20C/menit Tp1 dan Tp2 memiliki suhu yang paling tinggi. Namun pada tingkat
pemanasannya A0 jauh lebih tinggi dibandingkan dengan A5. Dengan fase endoterm pada A5
lebih tajam dibandingkan A0. Kristalisasi kurva eksotermik untuk DTA scan saat =
10C/menit ditunjukkan pada Gambar 6. Berdasarkan kurva yang tertera puncak kristalisasi
sampel A0 jauh lebih tinggi dibandingkan sampel A5 sesuai dengan pertambahan laju
pemanasan yang jauh lebih besar. Dengan area AT yang jauh lebar dibandingkan dengan
sampel A5 terhadap perubahan laju pemanasan.

Gambar 6 Kurva kristalisasi DTA ( = 10C/menit) memperlihatkan area AT diantara Ti dan


Tf untuk: a) A0, b) A5

Gambar 7 Fraksi kristalisasi sebagai fungsi temperature A5


Gambar 7 menunjukkan fraksi kristal, x, pada suhu tertentu, dengan rumus x = AT/A,
di mana A adalah luas total eksotermik antara suhu, Ti, dimana kristalisasi yang baru dimulai,
Tf, di mana kristalisasi telah lengkap, dan AT adalah daerah diantara Ti dan Tf. Grafis dari
fraksi volume kristal untuk kurva eksotermik menunjukkan kurva sigmoid yang khas sebagai
fungsi temperatur. Semakin besar pemanasan maka fraksi kristalnya akan semakin tinggi.

Gambar 8. Plot ln (ln-(1-x)) vs. ln a : a) A0 saat 1050 K, b) A5 saat 955 K


Dengan asumsi bahwa proses nukleasi dan pertumbuhan terjadi secara bersamaan
dalam sampel di quenching selama pengukuran DTA, data untuk quenching glass dianalisis
dengan Model Matusita-Sakka (Persamaan (2)) untuk menentukan nilai Ec. Karena
Persamaan (2) meliputi parameter n dan m, nilai-nilai pertama kali ditentukan dengan
menggunakan model Ozawa (Persamaan (5)). Plot ln (ln-(1-x)) vs ln a untuk sampel A0 dan
A5 ditunjukkan sesuai Gambar 8, dimana nilai-nilai n ditentukan dari slops plot menjadi 3.17
untuk A0 dan 1,55 untuk A5. Nilai ini menandakan bahwa kristalisasi massal yang dominan di
A0 dan A5 sampel. Nilai m untuk A0 dan A5 harus sama dengan n-1, contohnya 2,17 dan 0,55
dari Tabel 2. Nilai-nilai m = 2.17 dan m = 0,55 berarti dua dan satu-dimensi tumbuh, masingmasing.
Tabel 2 Nilai m dan n untuk mekanisme kristalisasi yang berbeda dalam proses pemanasan

Dengan menggantikan nilai-nilai dari n, m dan R (R = 8. 3144 J / Molk) dalam


persamaan Matusita-Sakka (Persamaan (2)), Gambar 9 dapat diperoleh untuk kedua sampel

A0 dan A5. Dari slope ln (an/Tp2) vs 1/Tp plot nilai-nilai Ec diperoleh dengan 246 KJ/mol
untuk A0 dan 322 KJ/mol untuk A5. Namun juga menggunakan Kissinger Model (Persamaan
(1)), nilai Eck quenched glass dapat ditentukan dari kemiringan plot ln (a/Tp2) vs 1/Tp
(Gambar 10). Untuk A5, Eck sama dengan 317 KJ/mol yang dekat dengan nilai Ec ditentukan
oleh pemoodelan Matusita-Sakka. Untuk A0, nilai Eck sama dengan 234 KJ/mol yang dekat
dengan nilai Ec ditentukan dari pemoodelan Matusita-Sakka. Pergantian Li2O untuk K2O
dalam komposisi glass akan memindahkan komposisi glass lebih lanjut dari stoikiometri
pada fase kristal fluorphlogopite dan hal ini mungkin cenderung meningkatkan aktivasi
energi.

Gambar 9. Matusita-Sakka plots: a) a) A0, b) A5

Gambar 10. Matusita-Sakka plots: a) a) A0, b) A5


Machinability dari sampel tidak memuaskan. Tampaknya bagi kita bahwa
machinability rendah yang telah diselidiki, sampel dipengaruhi oleh sejumlah kecil
machinable mika fase, tidak ada struktur yang saling bertautan dan lebih banyak konten dari
fase glass dalam sistem. Tampaknya bahwa penambahan dari Li2O pada base glass akan
melemahkan machinability.

4. Kesimpulan
Kinetika kristalisasi fluorphlogopite glass-ceramic dipelajari dengan menggunakan
DTA. DTA scan ditunjukkan pada pendefinisian dengan baik oleh kristalisasi eksotermik,
yang ditunjukkan oleh tumpang tindih dua kurva kristalisasi eksotermik. Puncak kristalisasi
suhu akan meningkat sesuai dengan laju pemanasan. Sampel yang diberi penambahan Li2O
semakin besar fase kristal yang terbentuk. Pergantian Li2O dengan K2O dalam sampel dapat
mengubah suhu dan ketajaman puncak kristalisasi. Energi aktivasi untuk kristalisasi fase
Kristal pertama dalam sampel dengan Li2O adalah 322 KJ/mol. Parameter Avrami, (n) adalah
1,55 sesuai dengan kristalisasi massal.

5. Daftar Pustaka
Ghasemzadeh M., Nemati A., Nozad A., Hamnabard Z., Baghshahi S., 2011, Crystallization
Kinetics Of Glass-Ceramics By Differential Thermal Analysis, Journal of ceramicssilikaty Vol. 55 (2) pg. 188-194.
Anonim,

http://file.upi.edu/Direktori/FPMIPA/JUR._PEND._KIMIA/196808031992031-

AGUS_SETIABUDI/Bahan_Kuliah_Karakterisasi_Material/Bab_7_Analisa_Termal/,
Tanggal akses 14 Juni 2014.

You might also like