You are on page 1of 9

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENYUSUNAN

PERATURAN DAERAH DI KABUPATEN SRAGEN PROVINSI JAWA


TENGAH

Disusun oleh :
AYU KRISNA DARMASTUTI
C 100120131

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2013

A.

Latar Belakang Masalah

Partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan (daerah) merupakan salah satu


syarat mutlak dalam era kebebasan dan keterbukaan ini. Pengabaian terhadap faktor ini, telah
menyebabkan terjadinya deviasi yang cukup signifikan terhadap tujuan pembangunan itu
sendiri yaitu keseluruhan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Contoh kasus, dari
sekian banyak program pembangunan bidang hukum di Kabupaten Sragen yang menyangkut
isu sentral: penyusunan produk-produk hukum daerah, sosialisasi produk-produk hukum
daerah, serta penegakkan produk-produk hukum daerah ternyata implementasinya di
lapangan dianggap gagal (Pakuan, 2002).
Sedikit sekali keberhasilan yang dinikmati warga masyarakat, kecuali hanya sebatas
dalam bentuk fisik produk-produk hukum daerah belaka. Pembangunan hukum daerah dalam
implementasinya ternyata telah dilakukan tanpa mengubah secara signifikan hal-hal
substansial peningkatan derajat penghargaan masyarakat terhadap produk-produk hukum
daerah, dalam hal ini peraturan-peraturan daerah. Terlihat sangat ironis, dan contoh kasus ini
sekaligus menunjukkan sangat dominannya top-down policy pemerintah (daerah) dalam
pembangunan di bidang hukum. Jika saja partisipasi masyarakat dioptimalkan
keterlibatannya sejak awal perencanaan dan pelaksanaan program, serta institusi pemerintah
daerah terkait dilibatkan secara benar, maka hampir dapat dipastikan upaya-upaya tersebut
akan membuahkan hasil yang lebih baik serta mendekati sasaran yang diharapkan.
Proses pelibatan partisipasi masyarakat lokal dalam implementasi program pembangunan
(hukum) di tingkat daerah (local), terbukti telah berhasil membawa perubahan-perubahan
mendasar dalam peningkatan kesadaran (hukum) masyarakat (Clark,1995: 595; Friedmann,
1992: 161). Pembangunan hukum yang lebih berorientasi kepada masyarakat, yang tercermin
melalui pengoptimalan keterlibatan masyarakat dalam rangkaian penyusunan peraturan
daerah tertentu, perlu diyakini oleh aparatur pemerintah (daerah) sebagai strategi yang tepat
untuk menggalang militansi kesadaran masyarakat terhadap ketaatan pelaksanaan ketentuanketentuan hukum. Pada gilirannya nanti, strategi ini mampu berperan secara nyata dalam
meningkatkan kepatuhan masyarakat terhadap pelaksanaan peraturan-peraturan daerah.
Keyakinan itu perlu terus ditanamkan, terutama dalam diri aparatur yang secara fungsional
menangani proses-proses penyusunan peraturan-peraturan daerah pada pemerintah
kabupaten/kota.
Selanjutnya, hal terpenting dan menjadi tantangan utama adalah bagaimana
menerjemahkannya dalam usaha-usaha yang nyata. Upaya-upaya ke arah tersebut tentu tidak
secara serta merta dapat terwujud dan tidak semudah seperti membalikkan telapak tangan,
melainkan harus melalui proses berliku-liku yang akan menghabiskan banyak waktu serta
tenaga, dan tampaknya harus dilakukan oleh aparatur yang memiliki integritas dan hati nurani

yang jernih. Karena dalam pelaksanaannya di masyarakat, aparatur akan sangat banyak
dituntut menggunakan mekanisme komunikasi timbal balik, mendengar dan menampung
dengan penuh kesabaran, dan sikap toleransi dalam menghadapi pandangan yang berbeda.
Di masa depan, masyarakat sendirilah yang akan memainkan peran utama dalam
perencanaan hingga pengimplementasian program pembangunan hukum didaerahnya,
sedangkan kelompok luar yaitu NGO hanya akan bertindak sebagai fasilitator, dinamisator,
katalisator, mediator dan komunikator, serta peran pemerintah (daerah) lebih merupakan
pelengkap dan penunjang termasuk menentukan aturan dasar permainannya
(Friedmann,1992:161). Bagi aparatur pemerintah, NGO maupun masyarakat, implementasi
program-program pembangunan harus dianggap sebagai suatu proses pembelajaran
(hukum)(Clark,1995: 595), melalui proses evaluasi terhadap segala hal yang telah dicapai
dalam implementasi peraturan-peraturan daerah, serta mempelajari berbagai kendala yang
dihadapi. Perubahan mendasar tampaknya sangat perlu dilakukan disini, oleh karena keadaan
nyata (existing condition) yang terjadi pada hampir seluruh pemerintah daerah, seperti peranperan kontributor, fasilitator, dinamisator, katalisator, mediator dan komunikator penyusunan
konsep-konsep dan ide-ide pembangunan seperti yang kerap kita baca pada media-massa,
seringkali dominan berada pada pemerintah (daerah). Proses pembelajaran yang seyogyanya
terjadi pada implementasi program pembangunan hukum daerah tidak pernah terjadi, bahkan
yang terjadi adalah secara tidak sadar pemerintah telah melakukan hal-hal sebaliknya,
yaitu upaya-upaya sistematis pembodohan masyarakat yang dilakukan melalui peraturanperaturan daerah yang telah disusun bersama-sama dengan legislatif daerah.
Jika diperhatikan dengan seksama, prosedur penyusunan program pembangunan bidang
hukum yang dilakukan selama ini sesungguhnya merupakan mekanisme ideal, artinya berniat
mengakomodasikan sebesar-besarnya aspirasi masyarakat. Proses tersebut dilakukan melalui
tahapan-tahapan logik yang dimulai dari tingkat desa/kelurahan yaitu kegiatan musyawarah
pembangunan desa/kelurahan, kemudian dibawa ke tingkat kecamatan melalui diskusi unit
daerah kerja pembangunan, demikian seterusnya hingga disalurkan di tingkat kabupaten/kota
yang melibatkan lintas unit-unit kerja kabupaten/kota. Namun mekanisme yang cukup baik
tersebut tetap dinilai kurang dapat mengakomodasikan hal-hal yang sesungguhnya diinginkan
masyarakat.
Seperti yang telah dikemukakan di atas, kesalahan utama tentu akan dialamatkan kepada
tidak dilakukannya secara sungguh-sungguh metode-metode partisipatif oleh aparatur yang
terlibat secara fungsional dalam proses penyusunan program pembangunan hukum kepada
masyarakat. Jika dilakukan secara benar, penerapan mekanisme tersebut memastikan
terjadinya identifikasi yang menyeluruh dan mendalam hingga ke tingkat akar rumput
(grassroots)terhadap produk-produk hukum yang sesungguhnya dibutuhkan masyarakat,

walaupun upaya ini harus dilakukan setelah terlebih dulu melalui proses-proses yang
menghabiskan banyak waktu dan tenaga.
Lebih jauh, Korten (1988: 64) mengidentifikasikan banyaknya faktor yang ditemukan
dan turut memperburuk citra kinerja penyusunan program pembangunan (dalam hal ini
bidang hukum) antara lain yang dianggap dominan adalah faktor kekurangketerbukaan aparatur pemerintah (daerah) terhadap masyarakat dalam proses tersebut.
Akumulasi kondisi seperti ini selama berpuluh-puluh tahun telah menyebabkan
perasaan apriori masyarakat menumpuk, sehingga seperti yang sering kita lihat, telah
mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung kepada kurangnya intensitas
partisipasi masyarakat dalam program pembangunan.
Jika kita tidak mau belajar dan tidak mengantisipasi keadaan ini sedini mungkin, maka
setelah mencapai titik jenuh, pada saatnya keadaan ini berpotensi menjadi gerakan
yang destruktif sebagai reaksi terhadap dominasi yang berlebihan dari pemerintah (daerah),
serta
dianggap
merupakan pemaksaanprogram-program
pembangunan
kepada
masyarakat. Adanya kekhawatiran pemerintah (daerah) dengan alasan akan sulitnya
mengakomodasikan keinginan masyarakat yang begitu banyak jika dilakukan transparansi
seluas mungkin kepada masyarakat, harus sudah mulai ditinggalkan dan harus dianggap
sebagai suatu konsekuensi logis dan buah dari kekurangtepatan orientasi program
pembangunan yang dilakukan selama ini. Langkah bijaksana yang dilakukan oleh aparatur
pemerintah terhadap kondisi-kondisi yang telah terlanjur terjadi tersebut, pertama-tama tentu
harus dimaknai sebagai suatu rangkaian dari keseluruhan proses pembelajaran.
Proses partisipasi masyarakat dalam rangkaian penyusunan program pembangunan
hukum, secara implisit mengandung makna terdapatnya faktor inisiatif yang berasal dan
berkembang dari masyarakat sendiri, sedangkan peranan pemerintah hanya bertindak sebagai
penampung dan mempertimbangkan keluhan masyarakat. Dalam hal ini aparatur pemerintah
(daerah) sangat dituntut agar memiliki kepekaan serta kemampuan untuk dapat memberi
respon terhadap inisiatif dan keluhan yang berasal dari tingkat bawah, daripada menonjolkan
kepentingan mereka sendiri atau berdalih demi menjaga kewibawaan pemerintah (daerah).
Dalam kenyataan, inisiatif dan keluhan masyarakat bawah seringkali diabaikan, dan
untuk memperoleh perhatian dan tanggapan, mereka terpaksa mengambil jalan pintas
walaupun kadang-kadang merupakan pelanggaran hukum, misalnya dengan melakukan
pengrusakan ataupun pembakaran.
Pada hakikatnya partisipasi masyarakat di bidang pembangunan hukum mengandung
makna agar masyarakat lebih berperan dalam proses tersebut, mengusahakan penyusunan
program-program pembangunan melalui mekanisme dari bawah ke atas (bottom up), dengan

pendekatan memperlakukan manusia sebagai subyek dan bukan obyek pembangunan. Hal ini
dipertegas oleh Eldridge (1995:17) participation means a shift in decision making power
from more powerful to poor, disadvantages, and less influential groups. Keberdayaan rakyat
merupakan kemampuan dan kebebasan untuk membuat pilihan-pilihan, baik yang
menyangkut penentuan nasib sendiri maupun perubahan diri sendiri atas dasar kekuatan
sendiri sebagai faktor penentu.
Partisipasi masyarakat dalam pembangunan sering hanya dipandang sebagai suatu
pendekatan (approach) dan bukan sebagai tujuan (objective) (Rifkin,1988:931-940). Sebagai
pendekatan maka partisipasi masyarakat hanya dijadikan sarana untuk mencapai tujuan
tertentu (as a means), sehingga studi-studi yang dilakukan acapkali berputar-putar
disekitar bagaimana menumbuhkan dan melaksanakan partisipasi tersebut daripada studi
mengenai bagaimana menganalisis partisipasi masyarakat itu sendiri, yaitu dengan cara
melihat atau menelaah partisipasi masyarakat sebagai tujuannya sendiri (as an end in it self).
Namun demikian cara pandang atau konsepsi analisis partisipasi masyarakat sebagai
sebuah tujuan, masih tetap menyisakan kelemahan. Indikator dan pengukuran yang
digunakan dalam telaah partisipasi masyarakat seringkali tidak mampu menunjukkan sosok
partisipasi itu sendiri. Keadaan ini menyebabkan partisipasi masyarakat acapkali
diterjemahkan hanya sebagai kontribusi tenaga dan finansial masyarakat dalam program
pembangunan, sehingga keterlibatan masyarakat dianggap terbatas hanya dalam tahap
implementasi/pelaksanaan program saja. Segala bentuk perencanaan dan pengambilan
keputusan awal telah dilakukan di tingkat yang lebih atas, sehingga masyarakat hanya tinggal
melaksanakannya saja. Dengan demikian, kesempatan masyarakat untuk dapat berkontribusi
pada program tersebut hanya tersisa pada bentuk kontribusi finansial dan tenaga kerja pada
tataran implementasi.
Permasalahan partisipasi masyarakat pada akhirnya bukan hanya sekedar bagaimana
pentingnya partisipasi masyarakat dalam program pembangunan, tetapi juga pada telaah
mengenai partisipasi itu sendiri melalui pembuatan model atau construct partisipasi. Jika
terjadi suatu persamaan persepsi mengenai partisipasi masyarakat, maka dapat diususun
indikator-indikator yang relatif ideal, yang dapat dipergunakan sebagai sarana pemantauan
dan penilaian perkembangan partisipasi masyarakat dalam berbagai program pembangunan
hukum daerah. Analisis dan pengukurannya tidak cukup hanya dengan melihat ada atau
tidaknya partisipasi tersebut, namun perlu pula dilihat derajat atau tingkat partisipasi
masyarakat, kelompok individu atau perorangan di dalam masyarakat tersebut (Eng, et. Al,
1986).

B.

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam
penelitian ini, yaitu sebagai berikut :
1.

Bagaimana partisipasi masyarakat dalam program pembangunan di bidang hukum,


khususnya dalam penyusunan peraturan-peraturan daerah?
2. Apa saja upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam melakukan peningkatan partisipasi
masyarakat dalam penyusunan peraturan-peraturan daerah?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengidentifikasikan bentuk-bentuk partisipasi masyarakat dalam penyusunan
peraturan daerah dan faktor-faktor yang mempengaruhinya; dan
2. Mengidentifikasikan upaya-upaya
penyusunan peraturan daerah.

peningkatan

partisipasi

masyarakat

dalam

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Mendorong penelitian lebih lanjut mengenai masalah yang sama maupun masalah lain
yang ada pada kabupaten/kota dan hasil penelitian diharapkan dapat memberikan
sumbangan pengetahuan tentang partisipasi masyarakat kabupaten/kota dalam proses
penyusunan peraturan-peraturan daerah.
2. Manfaat Praktis
Bagi para pembuat kebijakan, penelitian ini berguna untuk :
Membuat perencanaan penyusunan peraturan-peraturan daerah yang lebih berorientasi
kepada optimalisasi partisipasi masyarakat;
Menganalisis maupun mengevaluasi partisipasi masyarakat yang tumbuh dalam
masyarakat pada penyusunan peraturan-peraturan daerah yang telah berjalan; dan
Mengetahui kelemahan-kelemahan yang ada sehingga dapat dipakai sebagai dasar untuk
pengembangan maupun perbaikan pada tahap selanjutnya.

E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Guna memenuhi tujuan penelitian yang telah dikemukakan, penelitian ini dirancang
sebagai penelitian dengan pendekatan cross-sectional. Penelitian ini dilakukan dilakukan
melalui suatu tahapan eksploratif, yang bertujuan mengidentifikasi indikator partisipasi
masyarakat pada penyusunan peraturan-peraturan daerah yang mencakup dua
kegiatan utama, yaitu :
a. Telaah dokumen dan kepustakaan, untuk mendapatkan gambaran mengenai penyusunan
peraturan daerah dan menentukan variabel-variabel tentatif yang dapat dipakai sebagai
indikator dari partisipasi masyarakat; dan
b. Studi di lapangan, yang bertujuan untuk mengidentifikasikan apakah indikator tentatif
telaah kepustakaan tersebut memang terdapat dalam penyusunan peraturan daerah yang
dilaksanakan oleh masyarakat. Bila kegiatan tersebut dilakukan, dalam bentuk apakah wujud
kegiatan tersebut. Dari melihat wujud kegiatan, kemudian dapat ditentukan karakteristik dan
dimensi tiap indikator.
2. Identifikasi Variabel variabel
Sebagai hasil akhir penelaahan kepustakaan dan studi di lapangan, teridentifikasikan
variabel-variabel utama yang akan dilibatkan dalam penelitian (Suryabrata: 1992). Dalam
penelitian ini, variabel-variabel itu merupakan variabel komposit yang dapat diamati dan
diukur yaitu dalam bentuk komponen-komponen partisipasi yang dipergunakan juga dipakai
sebagai indikator. Komponen-komponen tersebut adalah kegiatan-kegiatan yang dilakukan
anggota masyarakat pada tiap tahapan kegiatan penyusunan peraturan daerah.
3. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian adalah Pemerintah Kabupaten Sragen, Propinsi Jawa Tengah.
Pemilihan lokasi ini didasarkan pada pertimbangan terdapatnya variasi pada status sosial
ekonomi masyarakat di lokasi penelitian, oleh karena lokasi penelitian merupakan daerah
yang baru berkembang (urbanizedtransisi dari masyarakat pedesaan menjadi masyarakat
perkotaan), sehingga pada akhirnya dari hasil penelitian diharapkan diperoleh gambaran
tingkat partisipasi masyarakat pada penyusunan peraturan-peraturan daerah (khususnya
program posyandu) di Kelurahan Slogo.

4. Pengumpulan data
Pada dasarnya, pengolahan, analisis dan konstruksi data dapat dilakukan secara
kualitatif dan atau secara kuantitatif dan merupakan dua cara yang saling melengkapi, oleh
karena kedua cara tersebut mempunyai keuntungan dan kelemahan masing-masing.
(Soekanto: 1986)
Peneliti kuantitatif biasanya tidak puas dengan hasil analisis statistik, misalnya oleh
karena ternyata hasilnya tidak memuaskan karena tidak terdapat hubungan. Untuk itu ia lalu
mengadakan wawancara mendalam (in-depth interview) untuk melengkapi penelitiannya.
Dengan kata lain, peneliti kuantitatif tersebut menggunakannya secara bersama-sama.
Sehingga dapat dikatakan bahwa kedua pendekatan tersebut dapat digunakan apabila
desainnya memanfaatkan satu paradigma sedangkan paradigma lainnya hanya sebagai
pelengkap saja. Pendapat ini dikemukakan oleh Glaser dan Strauss dalam Moleong (2001:
22), yaitu dalam banyak hal, kedua bentuk data tersebut diperlukan, bukan kuantitatif
menguji kualitatif, melainkan kedua bentuk tersebut digunakan bersama dan apabila
dibandingkan masing-masing dapat digunakan untuk keperluan menyusun teori.
DAFTAR PUSTAKA
Arnstein, Sherry R. (1969) A Ladder of Citizen Participation, American Institute of Planners
Journal.
Askew, I (1989) Organizing Community Participation in Family Planning Projects in South
Asia. Study on Family Planning.
Bates, Alan P. and Julian, J. (1975) Sociology. Understanding Social Behavior. Boston:
Houghton Mufflin Co.
Clark, John. (1995) The State, Popular Participation, and the Voluntary Sector. World
Development 23, No. 4.
Cohen, John M. dan Norman T. Uphoff dalam Ibnu Syamsi. (1986) Pokok-pokok
Kebijaksanaan, Perencanaan, Pemrograman dan Penganggaran Pembangunan Tingkat
Nasional dan Regional. Jakarta: Rajawali.
Cohen, John M. dan Norman T. Uphoff. (1980) Participations Place in Rural
Development: Seeking Clarity Through Specificity. Dalam World Development
Clelland, Donal A. (1974) Social Stratification. In The Study of Society. Whitten and
OConnel (eds). Guildford Connecticut: The Dushkin Publishing Group, Inc.
Friedmann, John. (1992) EmpowermentThe Politics Alternative Development. Cambridge:
Blackwell Publishers.

Greenblat, C.S. (1981) Social Structure. Chapter IV. In An Introduction to Sociology. New
York: Alfred A. Konpf. Inc
Korten, David C. (1984), People Centered Development Contributions Toward Theory and
Planning Frameworks, terjemahan A. Setiawan Abadi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Moleong, Lexy J. (1999) Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakadya.
Oakley, Peter dan David Marsden. (1984) Approaches to Participation in Rural
Development. Geneva: ILO.
Peters, A.A.G; Siswosoebroto, Koesriani. (1990), Hukum dan Perkembangan Sosial Buku I,
II dan III. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Rahardjo, Satjipto. (2000). Ilmu Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Ranawijaya, Usep. (1983) Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Rifkin, SB; F. Muller; W. Bichman. (1988) Primary Health Care: on Measuring
Participation. Social Science and Medicine. 26(9): 931-940
Sekretariat Negara (1999) Garis-garis Besar Haluan Negara. Jakarta: Sekretariat Negara
Publishing.
Soekanto, Soerjono. (1986) Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia
Press.
Soekanto, Soerjono; Mamudji, Sri. (2001), Penelitian Hukum Normatif-Suatu Tinjauan
Singkat. Jakarta: PT. Raja Grafindo Perkasa.
Suryabrata, Sumadi. (1992) Metodologi Penelitian. Jakarta: CV. Rajawali.

You might also like