Professional Documents
Culture Documents
: ALI MURTONO
NIM
: 04212092
Prodi
: SISTEM INFORMASI
Kelas
: C (SORE)
ratusan
nyawa
melayang
sia-sia
selama
sepuluh
tahun
terakhir.
Beberapa tahun lalu beberapa siswa dari sebuah sekolah swasta ditangkap polisi karena
membacok siswa SMK 5 Semarang. Mereka terancam dikeluarkan dari sekolah dan
dihukum penjara. Wali Kota Sukawi Sutarip mendukung bila s
ekolah mengeluarkan siswa yang terlibat tawuran. Bahkan ia mengatakan, semua
sekolah di Semarang tidak boleh menerima siswa itu lagi. Akankah tindakan represif
semacam itu akan menyelesaikan masalah?
Maraknya tawuran pelajar dipicu oleh banyak faktor. Pada tingkat mikro,
rendahnya kualitas pribadi dan sosial siswa mendorong mereka berprilaku yang tidak
pronorma. Pada tingkat messo, buruknya kualitas dan manajemen pendidikan mendorong
rasa frustasi anak yang dilampiaskan pada tindakan negatif, termasuk tawuran. Di tingkat
makro, persoalan pengangguran, kemiskinan, dan kesulitan hidup memberi sumbangan
tinggi bagi terbentuknya masyarakat (termasuk siswa) yang merasa kehilangan harapan
untuk hidup layak. Pembahasan pada artikel ini dibatasi pada bidang pendidikan.
Sekolah sebagai Pembunuh Siswa
Beragam prestasi buruk selama ini menghadapkan pendidikan pada pertanyaan mendasar
tetapi sangat fundamental: sejauhmana efektivitas pendidikan bagi peningkatan kualitas
siswa. Pertanyaan mendasar tersebut layak dikedepankan mengingat sumbangsih
pendidikan bagi masyarakat belum terlihat secara kasat mata. Padahal investasi yang
diserap dunia pendidikan sangat besar. Pendidikan belum berhasil menjadi solusi bagi
kesejahteraan hidup manusia, tetapi sebaliknya: menciptakan masalah bagi masyarakat.
Salah satu masalah yang dihadapi pendidikan adalah kurikulum yang dianggap
terlalu berat dan membebani siswa. Kuatnya campur tangan pemerintah dalam dunia
pendidikan ditengarai pada dominannya pemerintah dalam penyusunan kurikulum. Di
samping itu, banyak pihak yang ingin memasukan kepentingannya dalam kurikulum
pendidikan. Departemen Koperasi ingin ada pelajaran tentang koperasi, pengusaha industri
ingin ada pelajaran teknis kerja, serikat buruh ingin ada pelajaran tentang buruh. Akibatnya
batok
kepala
siswa
menjadi
keranjang
sampah
bagi
beragam
kepentingan.
Banyaknya bidang kajian menjadikan substansi pengetahuan menjadi sedikit, tetapi terlalu
montok. Akhirnya kita lupa, bahwa apa yang dipelajari siswa tidak bermanfaat. Sudah
sumpeg, metode pembelajarannya pun represif. Modus pembelajaran yang monolog oleh
guru terasa benar miskin makna. Yang dimaksud cerdas oleh guru adalah besarnya daya
ingat siswa terhadap segudang informasi, seperti halnya ketangkasan cerdas cermat.
Pendidikan juga terlalu science minded. Ada siswa SMU yang setiap minggunya harus
belajar matematika 10 jam dan fisika masing-masing 10 jam pelajaran. Seolah-olah
matematika dan fisika merupakan satu-satunya jawaban dari persoalan hidup manusia.
Jarang sekali ada sekolah yang mengembangkan pembelajaran sesuai potensi, minat, dan
bakat
siswa
seperti
olah
raga
atau
musik,
misalnya.
Akibat kurikulum yang terlalu berat menjadikan sekolah sebagai stressorbaru sebagai
siswa. Disebut baru karena siswa sebenarnya sudah sangat tertekan akibat berbagai
persoalan keluarga dan masyarakat (termasuk pengangguran dan kemiskinan). Akibatnya,
siswa ke sekolah tidak enjoytetapi malah stress. Siswa tidak menganggap sekolah sebagai
aktivitas yang menyenangkan tetapi sebaliknya: membebani atau bahkan menakutkan.
Akibatnya, siswa lebih senang keluyuran dan kongkow-kongkow di jalan-jalan daripada
mengikuti pelajaran di sekolah. Ada joke yang akrab di masyarakat, sekolah sudah menjadi
pembunuh
nomor
satu
di
atas
penyakit
jantung.
Siswa bukan hanya terbunuh secara fisik karena tawuran, tetapi juga terbunuh bakat dan
potensinya. Banyak talenta siswa yang semestinya bisa dikembangkan dalam bidang
olahraga, seni, bahasa, atau jurnalistik, hilang sia-sia akibat mabuk belajar fisika dan
matematika.
mereka tidak mau mempertaruhkan kenaikan pangkatnya. Lebih baik adem ayem
kenaikan pangkat lancar daripada kritis tetapi terancam.
Sekolah yang Menyenangkan Saat ini mulai berkembang paradigma baru tentang
pendidikan yang menyenangkan, seperti model quantum learning. Dalam quantum
learning pelajaran sekolah tidak menjadi beban bagi siswa. Pendidikan disesuaikan dengan
ranah berpikir siswa. Jadi bukannya siswa yang dipaksa mengikuti pelajaran sesuai
kemauan guru, termasuk dalam hal penilaian benar-salah. Guru yang harus masuk ke
dalam ranah berpikir siswa, menyelami apa pemikiran, kehendak, dan jiwa siswa.
Dalam quantum learning, guru tidak bisa dengan otoriter memaksakan pendapatnya paling
benar. Tetapi siswa dilibatkan untuk mengkaji kebenaran nilai-nilai itu dan perbedaan
pendapat tidak dilarang. Selama ini kan tidak. Aturan yang dibuat sekolah bernilai mutlak.
Siswa tidak punya kewajiban lain selain patuh. Kalau tidak patuh maka dianggap
melanggar peraturan sehingga wajib diberi sanksi. Tidak ada hak bagi siswa untuk
mengemukakan pendapat bahwa setiap aturan mesti tergantung pada konteksnya, termasuk
konteks
pemikiran
siswa.
Akibatnya,
siswa
patuh
karena
pura-pura.
Selain quantum learning, dipelopori David Golemen, para pemerhati pendidikan di Barat
mulai menyadari bahwa kecerdasan emosional (EQ) tidak kalah penting dibanding
kecerdasan intelektual (IQ). Bahkan menurut penelitian David Goleman, siswa yang
memiliki kecerdasan emosional tinggi, setelah dewasa justru lebih banyak yang berhasil
dibanding siswa yang memiliki IQ tinggi. Paradigma baru ini hendaknya juga mulai
diadopsi di Indonesia. Kecerdasan emosional siswa meliputi kemampuan mengembangkan
potensi diri dan melakukan hubungan sosial dengan manusia lain. Beberapa tolok ukurnya
adalah: memiliki pengendalian diri, bisa menjalin relasi, memiliki sifat kepemimpinan, bisa
melobi, dan bisa mempengaruhi manusia lain. Siswa yang kecerdasan emosionalnya tinggi
memiliki beragam alternatif bahasa untuk berkomunikasi dan bernegosiasi dengan
manusia lain, termasuk dengan seseorang yang dianggap musuh. Sebaliknya, siswa yang
kecerdasan emosionalnya rendah hanya memiliki satu bahasa: takut atau justru sebaliknya,
tawur. Mereka juga tidak bisa membedakan musuh. Tolok ukur seseorang dianggap
kawan atau musuh adalah seragamnya. Siapapun dia, asalnya darimana, kalau
memakai seragam sekolah lawan harus dimusuhi. Seragam sekolah menjadi sumber
masalah. Meski tujuannya baik yakni untuk melatih kedisplinan, tetapi juga membawa
I.
KONSEP
Maraknya tingkah laku agresif akhir-akhir ini yang dilakukan kelompok remaja kota
merupakan sebuah kajian yang menarik untuk dibahas. Perkelahian antar pelajar yang pada
umumnya masih remaja sangat merugikan dan perlu upaya untuk mencari jalan keluar dari
masalah ini atau setidaknya mengurangi. Perkembangan teknologi yang terpusat pada kotakota besar mempunyai korelasi yang erat dengan meningkatnya perilaku agresif yang
dilakukan oleh remaja kota.
Tujuan pembahasan ini adalah mengetahui rangsangan atau pengaruh terhadap
agresivitas yang dilakukan oleh remaja kota, membahas pengaruh identitas kelompok yang
sangat kuat yang menyebabkan timbul sikap negatif dan mengeksklusifkan kelompok lain,
mengetahui faktor-faktor apa sajakah yang memicu perilaku remaja kota serta mencari
penanggulangan yang tepat dalam menyikapi kenakalan remaja kota.
Manfaat dari pembahasan ini adalah membuka cakrawala bagi semua kalangan baik
pemerintah, masyarakat maupun keluarga untuk dapat bekerja sama dalam menyiapkan
kader-kader dan generasi bangsa, untuk mengurangi tingkat agresivitas maupun kenakalan
remaja khususnya perkelahian massal yang kerap kali dilakukan oleh remaja kota.
II.
FENOMENA
Banyaknya tawuran antar pelajar di kota-kota besar di Indonesia merupakan
fenomena menarik untuk dibahas. Di sini penulis akan memberi beberapa contoh dari
berita-berita yang ada. Di Palembang pada tanggal 23 September 2006 terjadi tawuran
antar pelajar yang melibatkan setidaknya lebih dari tiga sekolah, di antaranya adalah SMK
PGRI 2, SMK GAJAH MADA KERTAPATI dan SMKN 4 (harian pagi Sumatra ekspres
Palembang). Di Subang pada tanggal 26 Januari 2006 terjadi tawuran antara pelajar SMK
YPK Purwakarta dan SMK Sukamandi (harian pikiran rakyat). Di Makasar pada tanggal
19 September 2006 terjadi tawuran antara pelajar SMA 5 dan SMA 3 (karebosi.com).
Tidak hanya pelajar tingkat sekolah menengah saja yang terlibat tawuran, di Makasar
pada tanggal 12 Juli 2006 mahasiswa Universitas Negeri Makasar terlibat tawuran dengan
sesama
rekannya
disebabkan
pro
dan
kontra
atas
kenaikan
biaya
kuliah
baik buruknya rumah tangga atau berantakan dan tidaknya sebuah rumah tangga
b.
c.
penolakan orang tua, ada pasangan suami istri yang tidak pernah bisa memikul
tanggung jawab sebagai ayah dan ibu
d.
pengaruh buruk dari orang tua, tingkah laku kriminal dan tindakan asusila
2. faktor lingkungan sekolah lingkungan sekolah yang tidak menguntungkan bisa berupa
bangunan sekolah yang tidak memenuhi persyaratan, tanpa halaman bermain yang
cukup luas, tanpa ruangan olah raga, minimnya fasilitas ruang belajar, jumlah murid di
dalam kelas yang terlalu banyak dan padat, ventilasi dan sanitasi yang buruk dan lain
sebagainya.
3. faktor miliu/lingkungan lingkungan sekitar yang tidak selalu baik dan menguntungkan
bagi pendidikan dan perkembangan remaja.
IV
METODE
Dalam membahas makalah ini penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan.
V.
SOLUSI
Untuk mengatasi masalah tawuran antar pelajar, di sini penulis akan mengambil dua
teori. Yang pertama adalah dari Kartini Kartono. Dia menyebutkan bahwa untuk mengatasi
tawuran antar pelajar atau kenakalan remaja pada umumnya adalah:
a. Banyak mawas diri, melihat kelemahan dan kekurangan sendiri, dan melakukan
koreksi terhadap kekeliruan yang sifatnya tidak mendidik dan tidak menuntun
b. Memberi kesempatan kepada remaja untuk beremansipasi dengan cara yang baik dan
sehat
c. Memberikan bentuk kegiatan dan pendidikan yang relevan dengan kebutuhan remaja
zaman sekarang serta kaitannya dengan pengembangan bakat dan potensi remaja.
Teori yang kedua adalah dari Dryfoos, dia menyebutkan untuk mengatasi tawuran
pelajar atau kenakalan remaja pada umumnya harus diadakan program yang meliputi
unsure-unsur berikut:
a.
Program harus lebih luas cakupannya daripada hanya sekedar berfokus pada
kenakalan
b.
Program harus memiliki komponen-komponen ganda, karena tidak ada satu pun
komponen yang berdiri sendiri sebagai peluru ajaib yang dapat memerangi kenakalan
c.
Program harus sudah dimulai sejak awal masa perkembangan anak untuk mencegah
masalah belajar dan berperilaku
d.
e.
f.
Memberi perhatian kepada individu secara intensif dan merancang program unik bagi
setiap anak merupakan faktor yang penting dalam menangani anak-anak yang
berisiko tinggi untuk menjadi nakal
g.
Manfaat yang didapatkan dari suatu program sering kali hilang saat program tersebut
dihentikan,
oleh
karenanya
perlu
dikembangkan
program
yang
sifatnya
berkesinambungan
b. Pendirian suatu sekolah baru perlu dipersyaratkan adanya ruang untuk kegiatan
olah raga, karena tempat tersebut perlu untuk penyaluran agresivitas remaja.
c. Sekolah yang siswanya terlibat tawuran perlu menjalin komunikasi dan koordinasi
yang terpadu untuk bersama-sama mengembangkan pola penanggulangan dan
penanganan kasus. Ada baiknya diadakan pertandingan atau acara kesenian
bersama di antara sekolah-sekolah yang secara "tradisional bermusuhan" itu.
4. LSM dan Aparat Kepolisian
LSM disini dapat melakukan kegiatan penyuluhan di sekolah-sekolah mengenai
dampak dan upaya yang perlu dilakukan agar dapat menanggulangi tawuran. Aparat
kepolisian juga memiliki andil dalam menngulangi tawuran dengan cara menempatkan
petugas di daerah rawan dan melakukan razia terhadap siswa yang membawa senjata
tajam.
DAFTAR PUSTAKA
http://skkelompok13.blogspot.com/2010/09/tawuran-antar-pelajar.html
http://www.masbow.com/2008/05/tawuran-pelajar-ditinjau-dengan.html