You are on page 1of 26

ANALISIS FILSAFAT FENOMENOLOGI PADA PENDIDIKAN

NASIONAL
Pengampu :
Dr. Siskandar, MA
Dr. Yuli Utanto, M.Si

Oleh :
Masruhil 1102412037

Fakultas Ilmu Pendidikan


Universitas Negeri Semarang
2014

Page 1

ANALISIS FILSAFAT FENOMENOLOGI PADA PENDIDIKAN


NASIONAL
Kehidupan dunia filsafat adalah penuh dengan perdebatan-perdebatan yang
panjang dan tidak pernah selesai dalam mempersoalkan masalah yang sepele.
Hanya masalah satu kata atau pemahaman-pemahaman yang memunculkan
berbagai jawaban-jawaban yang berlandaskan beberapa teori. Justru dengan
perdebatan seperti itulah yang menjadi esensi kehidupan seseorang untuk
berfilsafat yang dikelilingi oleh perasaan skeptis untuk menerima suatu jawaban
yang dilontarkan. Belajar filsafat tidak mengajarkan bagaimana cara membuat nasi
goreng yang baik dan benar. Belajar filsafat tidak dapat menyelesaikan masalah
kehidupan seseorang untuk mencari solusi pemecahan masalahnya, namun
berfilsafat adalah mengajarkan seseorang untuk selalu bijaksana dalam dimensi
kehidupan. Ketika seseorang berfilsafat selalu bersikap skeptis terhadap segala
sesuatu untuk menerima begitu saja. Karena yang dicari adalah kebenaran yang
hakiki. Oleh karena itu, tidak ada kebenaran hakiki, yang ada hanyalah dinamika
mencari kebenaran tersebut. Filsafat menjangkau semua persoalan atau realitas
tentang kehidupan manusia yang radikal, sistematis, komprehensif, dan mendasar
untuk sesuatu permasalahan secara mendalam.
Istilah Fenomenologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu phainomenon dan
logos. Phainomenon berarti tampak dan phainen berarti memperlihatkan.
Sedangkan logos berarti kata, ucapan, rasio, pertimbangan. Dengan demikian,
fenomenologi secara umum dapat diartikan sebagai kajian terhadap fenomena atau
apa-apa yang nampak. Lorens Bagus memberikan dua pengertian terhadap
fenomenologi. Dalam arti luas, fenomenologi berarti ilmu tentang gejala-gejala
atau apa saja yang tampak. Dalam arti sempit, ilmu tentang gejala-gejala yang
menampakkan diri pada kesadaran kita. Fenomenologi menitikberatkan pada
analisis kehidupan sehari-hari dari sudut pandang yang berada didalamnya. Kajian
filsafat fenomenologi.
Setiap kali kita membicarakan seputar tentang pendidikan di Indonesia tidak
akan pernah usai membicarakan berbagai permasalahan yang gencar dibicarakan
dimana-mana, baik ditingkat pusat, provinsi, daerah, bahkan di dese-desa yang
kerap kali menghebohkan telinga kita. Oleh karena itu, kualitas pendidikan di
Indonesia jauh sekali berada di ambang kesempurnaan yang sesuai dengan selera
para stakeholder sebagai konsumen yang akan merasakan dampak secara langsung
terhadap dunia pendidikan. Ditambah lagi dengan prakteknya yang sangat tidak
sesuai dengan ketentuan pendidikan sebagaimana mestinya yang berlaku dan

Page 2

seperti apa yang di amanatkan oleh UU no.20 tentang system pendidikan nasional
yang jauh melenceng dari kisaran itu. Praktek pendidikan diandalkan dapat untuk
memecahkan problem krisis kepercayaan moral, etika, nilai, norma-norma, dan
estetika terhadap laju perkembangan global yang semakin mengerucut tehadap
bangsa Indonesia. Kecemasan banyak pihak yang resah terhadap dunia pendidikan
dewasa ini sungguh sangat memprihatinkan terhadap moral bangsa yang akhirnya
akan membuat perpecahan antar pihak dalam satu lingkup wilayah.
Dengan demikian, kerangka acuan dasar terhadap pemikiran dalam penataan
dan pengembangan system pendidikan yang mampu mengakomodikasikan
berbagai pandangan secara selektif dalam pelaksanaan pendidikan dengan berbagai
sektor yang terintegratif dan berkesinambungan satu sama lainnya. System
pendidikan seharusnya bersama-sama dengan system lain untuk mewujudkan citacita pembangunan bangsa Indonesia. Pendidikan sangat diperlukan oleh umat
manusia untuk keluar dari belenggu yang dapat mematikan daya kreativatas suatu
masyarakat yang disengaja oleh suatu kelompok tertentu untuk melanggengkan
kekuasaannya, sehingga dengan keterbelenggunya seakan-akan tidak dirasakan
oleh para penguasa terhadap orang-orang yang terpinggirkan, nasib mereka bukan
merupakan sebuah takdir yang diterimanya, tetapi disengaja dipinggirkan oleh
kelompok tertentu.
Manusia tidak pernah berhenti memperhatikan dan menjadikan pendidikan
sebagai kompas untuk menerangi jalannya kearah yang lebih baik dan dapat
memberdayakan manusia sebagaimana fitrahnya. Tanpa pendidikan manusia tidak
akan pernah mengenal atau dapat membedakan mana yang benar dan mana yang
salah, tidak akan mengetahui sejarah orang terdahulu sebagaimana perjalan
hidupnya hingga dapat menemukan titik terang yang dapat mengantarkan kearah
jalan yang baik dan benar. Melalui pendidikan kita dapat mengetahui jejak jejak
orang dapat melampaui realitas kehidupan dalam memikirkan perubahan zaman
yang akan terjadi dan yang akan di persiapkan untuk memenuhi berbagai tantangan
yang akan terjadi di berbagai lini kehidupan. Kecemasan banyak pihak terhadap
kehidupan pada era global ini menuntut persaingan yang sangat tinggi pada satu
pihak dan ketangguhan pada pihak lain untuk menghadapi perubahan yang amat
cepat pada pihak lain.
Kualitas suatu bangsa akan tercermin dari bagaimana system pendidikan
yang diterapakan untuk anak-anak bangsa yang nantinya akan menjadi dan
menjalankan roda kepemimpinannya yang lebih baik bahkan menjadi semua
harapan suatu warga negara itu sendiri. Oleh karena itu, bersifatlah sebaik mungkin

Page 3

terhadap pendidikan yang akan mencetak generasi muda bangsa yang akan
memprovokasi kepada masyarakat yang lebih luas. Kunci keberhasilan suatu
bangsa tidak ditentukan oleh aspek ekonomi, dan politik. Akan tetapi, ditentukan
oleh aspek atau bidang pendidikan. Ironisnya, kelihatannya pemerintah bersikap
parsial terhadap dunia pendidikan bahkan diskriminasi dengan aspek atau sector
yang lain dibandingkan dengan pendidikan. Semestinya kita banyak belajar dari
negara tetangga yang dulunya pernah belajar kepada kita justru sekarang malah
berbalik arah, kita yang belajar kepada mereka, Sebut saja Malaysia dan
Singapura, apalagi kalua kita bandingkan dengan Jepang yang hanya sebagaian
kecil daratannya justru menjadi raksasa kedua di dunia, kalau dibandingkan dengan
kita yang datarannya sangat luas, subur, ditambah dengan kekayaan alamnya yang
melimpah justru kita tidak menikmati kekayaan alam yang kita miliki sendiri
malah terbalik yang menikmati justru orang lain yang notabenenya negara kecil.
Sampai kapan kita akan mengalami seperti itu ?
Rasanya sulit sekali untuk menjawab pertanyaan tersebut, jika kita menutup
mata dan tidak menghargai hasil karya kita sendiri yang dipandang sangat rendah
jika dibandingkan dengan karya orang lain (bangsa lain). Bangsa kita sebenarnya
merupakan sebuah bangsa yang sangat kaya akan semua bidang kehidupan jika
kita benar-benar memanfaatkannya dan menjadikan nilai ekonomis yang terjual
dengan harapan yang memuaskan bagi kita. Dewasa ini kita mengalami distorsi
moral, kepercayaan dan ideology yang sangat memalukan dipentas dunia bahkan
kita bisa jadi dikatakan bangsa yang tidak mempunyai komitment terhadap
Ideologi bangsa kita sendiri. Kembali lagi kepada pembicaraan awal kita tentang
pendidikan yang tidak mempunyai tempat dipentas nasional jika dibandingkan
dengan bidang yang lain. Sejatinya pendidikan hanya dipandang sebagai
melanggengkan kekuasaan belaka oleh kepentingan orang-orang dan kelompok
tertentu. Selama ini keterpurukan dalam dunia pendidikan terletak pada system
yang mengaturnya yang menjadi sentral control terhadap dunia pendidikan
dipegang oleh orang-orang yang tidak mempunyai keahlian dalam bidang
pendidikan sebagaimana sejatinya dan substansialnya.
Dengan keberagaman kita akan semakin kuat untuk mempersatukan hal-hal
yang dapat menghancurkan baik dari dalam maupun dari luar. Keberagaman
janganlah dijadikan sebuah alasan untuk ketidak bersatuan diantara kita, justru
dengan keberagaman kita akan semakin kokoh diberbagai segi kehidupan, dalam
mewujudkan semua itu yang menjadi ujung tombak adalah pendidikan yang dapat
mempersatukan keberagaman diantara kita. Sebenarnya bangsa kita sangatlah kuat

Page 4

jika dibandingkan dengan bangsa lain manakala kita menjadi satu padu dalam
segala bidang kehidupan dan menjunjung tinggi hak kebersamaan diantara kita.
Oleh karena itu, kita harus optimis dan yakin setiap melangkah untuk memajukan
dan mengembalikan citra bangsa ini sebagaimana yang telah dirilis oleh para
pendiri bangsa yang telah meninggalkan kita, tetapi namanya tetap harum di
telinga kita.
Kalau kita membicarakan tentang seputar pendidikan tidak akan pernah ada
habis-habisnya diterpa oleh apapun itu karena begitu kompleks permasalahan yang
dihadapi oleh dunia pendidikan. Akan tetapi, pendidikan berusaha melepaskan
semua belenggu yang dapat mengganggu kestabilan dalam memainkan perannya
sebagaimana substansialnya yang tergandung di dalam dunia pendidikan. Oleh
karena itu, banyak akademisi dan praktisi pendidikan mencoba mencari jalan
keluar untuk memecahkan kebuntuan yang ditemukan di dalam tubuh pendidikan
agar terlepas dari semua itu, tapi realita yang terjadi justru malah bertambah
semakin rumit dipecahkan disebabkan oleh latar belakang ideology dan budaya
kebarat-baratan (sekuler) yang menimpa pada peserta didik (siswa) sehingga
masalah sebelumnya belum terselesaikan malah ditambah lagi dengan masalah
yang jauh lebih rumit mencari jalan keluarnya. Hal itu tidak dapat dipungkiri
keberadaannya dan tidak mungkin kita untuk menutup mata tentang hal-hal yang
bernuansa ideology dan budaya yang tersebar diberbagai penjuru Indonesia melalui
berbagai media massa. Hal itu dapat diminimalisir dengan peran pendidikan untuk
lebih selektif dalam mengadopsi budaya dari luar. Maka dari itu senjata yang
paling ampuh dapat digunakan untuk saat ini dengan memprioritaskan dan
mengembalikan fungsi pendidikan yang sebenarnya agar tidak terjadi multitafsir
terhadap ideology dan budaya yang masuk di area kita. Kadang-kadang kita
langsung memvonis yang bernuansa kebarat-baratan tanpa memperhitungkan
konsekuensi yang akan terjadi pada kita. Jika kita yakin dan optimis tentang fungsi
pendidikan dan dijadikan sebagai kompas hidup tentunya tidak akan mengalami
krisis moral yang gencar dibicarakan dimana-mana hingga tak berujung usai
permasalahan itu. Penulis tidak akan mengupas secara detail tentang fungsi,
manfaat, dampak dan peranan pendidikan secara komprehensif dan integral bagi
kehidupan kita.
Di dalam kehidupan kita sering mendapatkan ketidaksesuaian antara teori
dan praktek pendidikan yang bertolak belakang. Hal ini banyak sekali terjadi
disekeliling kita, ketika melihat seperti itu kita bertanya-tanya tentang hal tersebut
sehingga sering kali dikatakan bahwa pendidikan itu gagal untuk memberdayakan

Page 5

peserta didik dan masyarakat justru pendidikan di pandang sebagai alat untuk
memperlakukan orang lain demi kepentingan orang-orang tertentu dan
melanggengkan kekuasaannya. Oleh sebab itu, jangan heran jika ada praktek
pendidikan seperti itu. Akhir-akhir ini pendidikan sudah mulai terkikis substansial
dan esensialnya yang terkandung di dalam pendidikan itu sendiri. Semua
pendidikan tidak ada yang mengajarkan teori yang bertentangan dengan ajaran
agama dan kehidupan masyarakat, jika diantara kita menemukan hal seperti itu di
lapangan jangan sekali-kali memikirkan hasil dari pendidikan hal itu bisa jadi di
sebabkan oleh ideology yang tidak sesuai dengan ideology bangsa yaitu Pancasila.
Praktek semacam itu diselewengkan oleh sekelompok orang untuk kepentingannya
dan tujuan yang ingin di capainya, hal itu sudah acapkali terjadi bahkan kita tidak
asing mendengarnya.
Salah satu fungsi pendidikan adalah mengajarkan kepada kita untuk lebih
selektif dalam mengadopsi kebudayaan bangsa lain dikarenakan agar tidak
multitafsir dan seharusnya kita mengkaji lebih dalam tentang kebudayaan yang
masuk di lingkunga kita. Kebudayaan bangsa Barat masuk kepada kita berbagai
macam jalan yang digunakan baik dari barang impor, politik, pemikiran tokoh
pendidikan, dan life style yang bernuansa suatu ideology bangsa tersebut hal itu
banyak sekali terjadi di bangsa kita sendiri. Dalam kesempatan ini kita lemah
untuk memfilter dan selektif terhadapa budaya yang seringkali masuk bahkan tidak
mengkaji lebih jauh tentang konsekuensi yang akan ditanggung sendiri dan dapat
merugikan banyak pihak serta mengungtungkan bangsa lain daripada bangsa
sendiri. Pada kesempatan penulis mengajak khalayak untuk lebih memahami yang
sebenarnya tentang praktek pendidikan yang menguntungkan dan mengangkat
martabat serta popularitas bangsa lain daripada bangsa sendiri.
Ada tiga pendekatan dalam filsafat yang merupakan kajian kritisnya dalam
menganalisis segala sesuatu dengan cara skeptis, yaitu pendekatan ontologis,
epistemologis, dan aksiologis. Seorang ahli filsafat selalu berpikir kritis melakukan
pemeriksaan tentang setiap pernyataan yang dilontarkan oleh orang-orang awam,
memikirkan problem-problem dalam kehidupan manusia secara radikal, mendasar,
dan komprehensif. Filsafat tidak membatasi diri dalam segala sesuatu yang tampak
maupun yang abstrak. Mendeskripsikan atau melukiskan perenungan filsafat
sesuatu yang mudah, tapi jauh lebih sulit memulai dan melanjutkan perenungan
tersebut.

Page 6

Ontologis : Hakikat pendidikan yang menguntungkan bangsa lain


Ontologi merupakan ilmu yang menjelaskan tentang hakikat sesuatu yang
ada (being). Penyelidikan adanya alam dan bagaimana alam ini ada yang
sebenarnya. Hakikat ontology mempertanyakan adanya realitas secara skeptis
untuk dapat diterima oleh akal sehat manusia.
Perhatian manusia terhadap pendidikan sangat signifikan karena pendidikan
merupakan sebuah institusi yang dijadikan tumpuan atau alat yang dapat
meneruskan kebudayaan sebagai sarana peradaban manusia dan diperlukan sebuah
jembatan untuk keluar dari kesulitan-kesulitan kehidupan yang dikekang oleh
teknologi (informasi) yang mengambil alih praktik pembelajaran (pendidikan)
sebagai motor penggerak yang dianggap efektif dan efisien bagi seorang pendidik
(guru) yang kurang pemahaman tentang pembelajaran di sekolah-sekolah. sejatinya
asumsi praktik pendidikan diandalkan untuk mengatasi krisis global dan dapat
memperbaiki sendi-sendi kehidupan yang rapuh akibat modernisasi yang terlalu
deras tidak dapat dibendung oleh para pakar dan praktisi pendidikan, sehingga
banyak menimbulkan berbagai kontradiksi diantara teoritisi dan praktisi
pendidikan.
Pendidikan nasional akhir-akhir ini sibuk dengan apa yang harus diajarkan
kepada peserta didik dan tidak memikirkan bagaimana cara mengajarkan kepada
peserta didik. Tidak mengherankan program-program atau kurikulum di Fakultas
Ilmu Pendidikan (FIP) semakin jauh dari harapan untuk memenuhi tuntutan pasar
kerja dan berbagai lembaga kepegawaian. Dalam keadaan seperti ini sulit untuk
mempertahankan eksistensi, kurikulum, dan metodik, karena hak hidupnya
ditentukan oleh lowongan kerja di SPG. Sungguh sangat ironis bagi ilmu
pendidikan bahwa pengembangannya semata-mata ditentukan oleh eksistensi SPG.
Problem seperti inilah ilmu kependidikan di Indonesia sedang dalam proses
kematian (Tilaar: 1985).

Epistemology : IPTEK sebagai tutor dan pendidik bagi mahasiswa


Siapakah Mahasiswa itu ?
Dalam setiap masyarakat ada gambaran mengenai siapa dan apa mahasiswa itu.
Di masa kolonial barangkali gambaran manusia yang berpredikat mahasiwa ialah
manusia istimewa yang bisa berbicara bahasa Belanda, yang bisa bersekolah
bersama-sama dengan orang kulit putih, dan kadang-kadang menjadi ahli berpidato

Page 7

dalam menggerakkan rasa nasional pada rakyat. Kemudian gambaran itu berubah
menjadi orang yang memiliki paspor untuk menjadi pegawai tinggi, atau sebagai
calon pemimpin dalam masyarakat. Pada suatu waktu tertentu mahasiswa
mendapat gambaran sebagai eksponen ekstrim dalam mengubah struktur social
masyarakat. Pokoknya dalam situasi social yang bagaimanapun, mahasiswa ruparupanya menyandang suatu misi tertentu dari masyarakat. Kepada mereka
tertumpu suatu harapan kesinambungan dari hidup social budaya dari suatu
masyarakat dan bangsa (Tilaar, 1990: 370).
Setiap kali kita membicarakan tentang pendidikan merupakan satu kata yang
mempunyai beberapa interpretasi yang sangat luas cakupannya, sehingga tidak
akan pernah selesai membicarakan seputar tentang pendidikan. Praktik pendidikan
dewasa banyak menyinggung beberapa pokok permasalahan yang akan di hadapi
oleh pendidikan keguruan. Dalam kehidupan manusia selalu muncul dimensi
perkembangan nilai-nilai baru yang merobek-robek batas kehidupan manusia yang
berjalan dengan cepat. Perkembangan IPTEK dapat merasuki jiwa seseorang untuk
selalu hidup berdampingan dengannya, sehingga peradaban manusia akan diambil
alih oleh kehidupan yang cenderung Materialistik, hedonistik, dan individualistik.
Motor penggerak kemajuan IPTEK tidak berjalan secara otomatis, akan tetapi
berbagai loncatan-loncatan dari inovasi-inovasi manusia yang selalu bergerak
progress ke arah perkembangan ilmu pengetahuan, karena ilmu pengetahuan itu
bersifat tentative. Dalam menghadapi kondisi seperti ini diperlukan seorang
pemikir yang peduli terhadap dunia pendidikan untuk memanusiakan manusia
(humanistik).
Esensi kemajuan IPTEK adalah kebebasan seseorang untuk selalu mencari
sesuatu tanpa batas. Ketika kebebasan sudah didapatkan oleh seseorang, maka
mereka akan membebaskan diri dari cengkraman aturan-aturan yang determinan,
sehingga membiarkan diri berjalan secara otomatis tanpa arah yang jelas dan tanpa
misi hidup. Ketika IPTEK memasuki lorong-lorong kehidupan manusia hakikatnya
akan daya kreativitasnya. Oleh sebab itu, fungsi pendidikan akan diambil alih
dengan sendirinya. Perubahan fungsi pendidikan tidak berjalan secara otomatis,
tetapi sedikit orang yang memikirkan tentang esensi pendidikan yang
sesungguhnya. Apabila misi suatu perguruan tinggi utuk mengembangkan
kepeduliannya terhadap lembaga pendidikan yang berada di bawahnya untuk
menciptakan sumber daya manusia tenaga pendidik yang memiliki berbagai variasi
gaya mengajar untuk dapat mengkonstruksi peserta didik pengetahuannya sendiri
untuk di bangun.

Page 8

Tugas utama perguruan tinggi adalah untuk menciptakan tenaga pendidik dan
kependidikan atau pemikir yang dapat mengendalikan peradaban manusia dalam
menghadapi dunia IPTEK yang saat ini mengambil alih fungsi pendidik sebagai
pusat informasi yang sangat cepat dan tersedia berbagai ilmu pengetahuan di
dalamnya. Oleh sebab itu, Perguruan Tinggi Kependidikan memikirkan hal yang
demikian itu untuk selalu berinovasi menemukan alternative dalam menjawab
tantangan yang dihadapi, jika menutup mata dan telinga tentang problem seperti
itu, maka tidak ubahnya Perguruan Tinggi Kependidikan, seperti berada di atas
menara gading, tentunya tidak akan di kenal lagi. Hal ini dapat di analisis dengan
ungkapan seorang filsuf yaitu, Rene Descarters cogito ergo sum aku berpikir,
maka aku ada. Perguruan Tinggi Kependidikan menyandang fungsi sebagai
perguruan tinggi pendidikan merupakan tanggung jawab moral yang sangat berat
dan harus dijawab dengan menciptakan sumber daya manusia pendidik dan
kependidikan yang mampu mewarnai dunia pendidikan dengan fungsi yang
sebenarnya. Paling tidak perguruan tinggi meliputi lima hal : (1) terbuka untuk
menerima ide-ide baru, (2) mengetahui kekurangannya, (3) apa yang harus
dilakukan atau diajarkan kepada peserta didik/mahasiswa (kesadaran untuk
berbenah diri), (4) bagaimana caranya untuk mempelajarinya, dan (5) membuat
jejaring.
Sebagai perguruan tinggi yang akan menciptakan tenaga pendidikan atau
sumber daya manusia (SDM) yang profesional merupakan benteng lambang
kemanusiaan yang mulia. Tidak berlebihan manakala dikatakan bahwa Fakultas
Ilmu Pendidikan (FIP) lemah atau tidaknya dapat ditentukan oleh budaya
akademiknya (civitas akademika). Akan tetapi, dewasa ini sangat rapuh sekali
karena dalam pandangan penulis tidak terdapat tiga budaya akademik, yaitu
membaca, menulis, dan meneliti. Ketiga hal inilah yang menentukan kualitas
sumber daya manusia yang kompeten, apalagi sering menulis dan penelitian bagi
mahasiswa dan dosen. Semakin sering menulis dan meneliti maka semakin
berkualitas orang tersebut, karena kualitas seseorang tergantung seberapa besar
ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Oleh sebab itu, sungguh ironis sekali jika
calon pemikir besar dan atau ilmuwan (mahasiswa) mengandalkan plagiat sebagai
referensi utama dan yang pertama untuk tugas kuliah.
Demikianlah pandangan penulis tentang citra manusia dalam kondisi
lingkungan yang di ambil alih oleh teknologi (informasi), namun manusia tetap
memiliki kebebasan untuk selalu bertindak tanpa batas yang tidak dimiliki oleh
mesin secanggih apapun itu karena terciptanya mesin tersebut merupakan hasil

Page 9

rekayasa otak manusia sendiri. Pada bagian yang terakhir ini, ada ungkapan
filosofis yang menggambarkan tentang penggunaan IPTEK berlebihan ketika
subjek membentuk objek, pengaruh timbal balik pun akan terjadi dalam arti objek
membentuk subjek (Rubenstein, 1981: 10).
Ciri-ciri IPTEK sebagai tutor dan pendidik bagi mahasiswa, yaitu :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Google sebagai referensi pertama dan utama bagi peserta didik


Males untuk berpikir
Tidak percaya terhadap kemampuan sendiri
Kurangnya kesadaran untuk belajar mandiri
Ketika presentasi di depan kelas terlalu focus pada teks
Berwawasan sempit
Tidak mempunyai daya kreativitas

Dari deskripsi diatas dapat ditarik benang merahnya, bahwa kegagalan


perguruan tinggi terdapat tiga hal yang sangat fundamental, yaitu :
1. Untuk melatih kemampuan bergaul, bertintegrasi dengan kelompok, mampu
menyesuaikan diri dengan masyarakat dan dapat memenuhi tuntutan industri
(pekerjaan). Sesungguhnya, semua ini hanyalah bagian yang terkecil dari
tujuan pendidikan tinggi. Jika benar-benar dilihat dari tiga Tridharma
Perguruan Tinggi. Tetapi, di masyarakat awam salah persepsi ketika
memasuki Perguruan Tinggi sekali pun, adalah mereka bisa segalanya.
Padahal kenyataannya tidak seperti apa yang di katakana oleh masyarakat
bahwa mereka bisa segalanya. Di samping itu, ada tujuan yang lebih
penting lagi, yaitu melatih pemikiran individu seintensif mungkin dan
mendorongnya ke arah pemikiran yang kompleks tentang konteks
kehidupan.
2. Proses Perguruan Tinggi memperlihatkan hasil yang segera untuk dapat
membawa keuntungan dan keberhasil yang menjadi barometernya adalah
materi atau mendapatkan pekerjaan yang lebih baik jika dibandingkan
dengan sekolah menengah.
3. Praktik pendidikan gagal membentuk manusia yang mempunyai karakter
kebangsaan, yaitu manusia pancasila yang dan benar sesuai dengan filosofis
yang terkandung dan termanifestasi dalam diri pancasila.
Dari deskripsi di atas, penulis menyimpulkan bahwa perguruan tinggi saat
ini mempersiapkan apa yang harus diajarkan, tapi bukan bagaimana cara

Page 10

mengajarkan. Hal demikian adalah sesuatu yang salah persepsi dalam


pengembangkan dan menghasilkan para calon pemikir yang dapat memperbaharui
praktik pendidikan atau pembelajaran aktif, inovatif, kreatif, efektif,
menyenangkan (PAIKEM).
Pembelajaran yang menekankan penggunaan media social
Pada kesempatan ini penulis tidak menjelaskan secara spesifik tentang
pengertian pembelajaran dan penggunaan media social karena hal itu akan
membuat daya pikir dan kritis peserta didik akan terhambat hanya dengan lingkup
pengertian tentang suatu makna dari kata-kata belaka, sehingga mereka sulit untuk
menganalisis tentang interpretasi konteks social sebagai teks kehidupan peserta
didik. Konsep pendidikan bertolak dari asumsi bahwa seluruh kegiatan
pembelajaran melalui ide-ide baru yang akan mengembangkan pengalaman peserta
didik untuk berpikir lebih dewasa dalam konteks peradaban manusia. Manusia
dewasa ini banyak mendewakan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK)
sebagai cara yang sangat ampuh untuk melakukan komunikasi jarak jauh antar
masyarakat, sehingga akan mengakibatkan pandangan bahwa dunia ini seakanakan sempit dalam melakukan berbagai aktivitas untuk kelangsungan hidupnya.
Pengguaan media social merupakan prioritas utama bagi guru dan dosen yang
memberi tugas kepada (maha)siswa dalam pembelajaran untuk dituntut mengikuti
perintah seorang guru dan dosen. Oleh karena itu, pemahaman guru dan dosen
tentang penggunaan media pembelajaran kurang memadai untuk dapat
mengkonstruksi pemahaman maha(siswa) dalam membangun pengetahuannya
sendiri untuk selalu menumbuhkan keingintahuan terhadap sesuatu yang bersifat
abstrak dan konkrit dalam benak pikiran mereka.
Pandangan tentang praktik pembelajaran saat ini di dalam dunia pendidikan
yang berasumsi bahwa transfer of knowledge kepada peserta didik dengan
menggunakan salah satu cara yang dianggap modern oleh guru adalah media social
yang dapat mengatasi keterbatasan ruang dan waktu yang lebih efektif dan
efesiensi dalam penggunaannya. Bagaimana pun juga media social berfungsi
sebagai education yang menampilkan berbagai informasi untuk memperkaya
pengetahuan seseorang, akan tetapi esensi yang sesungguhnya ketika seseorang
menggunakan media sosial sebagai sarana untuk alat komunikasi dan transaksi
bahkan dalam pembelajaran itu dapat menguntungkan pihak lain, mungkin hal ini
tidak disadari oleh pengguna jasa media social tersebut. Jika seorang pendidik
berkeinginan untuk melakukan transformasi mendewasakan tingkat berpikirnya

Page 11

peserta didik dalam menganalisis konteks kehidupan yang realistik yaitu dengan
cara menggunakan model pembelajaran kontekstual. Pembelajaran kontekstual
membantu peserta didik dalam memahami materi pelajaran dengan konteks
kehidupan nyata sehari-hari dalam masyarakat luas. Apabila hanya menekankan
pada penggunaan sumber pembelajaran berpusat pada media social yang akan
berdampak pada terhambatnya daya kritis, kreatif, dan solutif terhadap peserta
didik selalu ingin berhadapan dengan problem kehidupan secara kontinue.
Menciptakan pembelajaran mandiri merupakan sebuah ide besar untuk
mengembangkan potensi peserta didik yang harus diarahkan dan dikondisikan oleh
setiap guru. Seorang guru dalam pembelajaran sebagi mediator dan fasilitator bagi
peserta didik untuk selalu mencari tahu tentang pengetahuannya sendiri yang akan
dikonstruksikan dan diintegrasikan dalam konteks kehidupan. Pembelajaran
didalam kelas merupakan sebuah laboratorium bagi peserta didik untuk
pengentasan masalah yang ada dalam kehidupan nyata, sehingga pembelajaran itu
bermakna dan menyenangkan bagi peserta didik. Apabila pembelajaran bertolak
pada penggunaan media social akan membuat peserta didik bersikap pasif terhadap
fenomena yang terjadi di kehidupannya, meskipun kondisi saat ini diguyur dengan
penggunaan social media yang terhubung oleh jaringan internet yang super
canggih dan modern sekali, sehingga segala sesuatunya bersifat instan tanpa harus
melalui berbagai proses yang panjang, maka dengan demikian akan terbentuk
karakter peserta didik yang bermental kuli dan kurang menghargai hasil karya
sendiri.
Bahasa Asing Sebagai Pengantar Pembelajaran
Bahasa merupakan suatu alat komunikasi dalam kehidupan masyarakat yang
dianggap paling efektif dalam penyampaian pesan. Jadi dalam konteks kehidupan
bahasa sebagai symbol, makna, dan sebagai suatu alat untuk menjembatani jurang
keisolasian sesorang terhadap kebudayaan dan lingkungan baik social maupun
alam. Bahasa sebagai alat berpikir manusia untuk menyelesaikan problem dalam
konteks kehidupan masyarakat karena bahasa merupakan jantungnya seseorang
untuk hidup, tanpa bahasa sulit untuk melakukan komunikasi dan interaksi dengan
sesama manusia yang menjadi partner hidupnya. Oleh karena itu, penggunaan
bahasa yang baik dan sopan sangat dianjurkan, tetapi tidak dapat merugikan orang
lain, bangsa dan Negara sendiri. Tetapi, hermeneutika menekankan pemahaman
dan komunikasi melalui bahasa sebagai pengantar untuk memahami problem
dalam konteks kehidupan masa kini dan masa yang akan datang untuk mencapai
tataran yang klimaks dalam hidup.

Page 12

Franz Magnis-Suseno berpendapat bahwa kerancuan dalam berbahasa


Indonesia di kalangan para pejabat atau pelajar merupakan salah satu akibat untuk
malas berpikir (2003). Sementara dalam pengamatan Kleden, perkembangan
semantik (kosa kata) Indonesia sangat kaya jika dibandingkan dengan bahasa lain
yang ada di dunia, namun secara sintaksis sangat kacau. Yang harus ditempuh
adalah membangun keseimbangan semantik dengan sintaksis yang memadai. Juga
pentingnya penguasaan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Lemahnya
kemampuan berbahasa di kalangan terdidik yang amburadul, hal ini tercermin dari
pola pikir yang tidak berlandasan pada tata kebahasaan bahasa Indonesia yang baik
dan benar.
Dengan diberlakukannya Undang-undang Otonomi Daerah (UU Otda) 1999,
muncul masalah: Apakah yang akan dilakukan Pemda terhadap bahasa daerah ?
bahasa merupakan kekayaan kultural (spiritual, mental, perasaan, dan adat) yang
ternilai harganya. Politik kebudayaan rezim Orde Baru selama lebih dari 30 tahun
telah meminggirkan bahasa daerah sehingga kehabisan vitalitas dan kehilangan
kepemilikan dan kebanggaan pada penutur sejatinya. Dibawah tekanan globalisasi
dan modernisme (Chaedar 2010: 37).

Aksiologis : KURIKULUM SEBAGAI PROSES KEHIDUPAN


Mungkin orang mengatakan bahwa hidup itu adalah sebuah pilihan yang
harus kita pilih. Pernyataan seperti itu benar, tetapi pilihan itu tidak akan
membuahkan hasil tanpa adanya proses yang berliku-liku untuk dilalui oleh
seseorang. Proses saja juga tidak cukup tanpa di barengi dengan perjuangan dan
pengorbanan. Oleh sebab itu, kehidupan akan berjalan sesuai dengan rencana jika
telah menyusun sebuah kurikulum hidup untuk mencapai konteks kehidupan yang
sesungguhnya. Jika seseorang menginginkan kehidupan yang baik dalam
artiannya, sejahtera, aman, bebas dari tekanan, fleksibel, dan terpenuhi semua
kebutuhan untuk hidupnya, maka harus melalui proses pendidikan yang kurikulum
tepat guna dengan kehidupan seseorang. Prof. Proopert Lodge mengatakan bahwa
Live is education (curriculum) and education (curriculum) is Live.1 Istilah
kurikulum (curriculum) berasal dari pahasa Yunani, yaitu curir berarti pelari dan
curere berarti tempat berpacu. Istilah kurikulum berasal dari dunia olah raga,
terutama dalam bidang atletik pada zaman Romawi Kuno di Yunani. Kurikulum
berarti jarak yang di tempuh oleh seorang pelari yang dimulai dari start sampai
dengan finish untuk mendapatkan sebuah penghargaan atas perjuangan dan
1

Di dalam kurung, penulis tambahi sendiri untuk lebih memperjelas, bahwa kehidupan sama dengan proses
pendidikan dari sudut pandang filosofis

Page 13

pengorbanan yang dilakukan. Kemudian, pengertian tersebut diterapkan dalam


dunia pendidikan menjadi sejumlah mata pelajaran (subject) yang harus ditempuh
oleh peserta didik (siswa) untuk mendapatkan selembar ijazah sebagai tanda bukti
bahwa mereka telah menyelesaikan pendidikan yang didalamnya terdapat
kurikulum.
Kurikulum merupakan sebuah konteks yang integral dengan kehidupan
masyarakat yang homogen. Kehidupan tanpa kurikulum bagaikan seseorang
memakai baju, tapi tanpa memakai jelana untuk menutupi area kemaluannya.
Dengan ilustrasi seperti itu, konteks kehidupan manusia merupakan sesuatu yang
signifikan dengan kurikulum sebagai problem solving dengan menggunakan
pendekatan penyesuaian dan pendekatan konflik. Dalam masyarakat senantiasa
selalu berubah diberbagai lini kehidupan pada tingkat kompleksitas internal dan
eksternal. Jadi, kurikulum sebagai acuan dasar dalam hidup karena kurikulum
sebagai ide untuk menata dan ingin mencapai tujuan hidup yang sesungguhnya
bagi manusia, meskipun tujuan hidup seseorang itu berbeda sesuai dengan
kebutuhan dan kemampuan yang dimiliki olehnya. Mekanisme kurikulum dapat
menyesuaikan dengan masa lalu memasuki masa kini, dan membuat rute yang baru
untuk menempuh masa yang akan dating bagi individu maupun kelompok.
Kurikulum mampu memecahkan problem social yang mutakhir dan relevan dengan
perkembangan masyarakat dewasa ini yang menuntut keterbukaan diberbagai
dimensi bidang kehidupan yang sangat fundamental pun dapat terpecahkan tanpa
harus mengorbankan salah satu dimensi baik yang abstrak maupun yang konkret.
A. Diskriminasi Gender
Arah perubahan peradaban manusia (masyarakat) yang memicu persepsi
tentang marginal perempuan yang menuntut ketidakadilan gender dalam bidang
pekerjaan yang memberikan gaji lebih besar daripada laki-laki. Ketidakadilan
gender termanifestasi dalam berbagai bentuk (Fakih, 1996), antara lain : (1)
marginalisasi (pemiskinan ekonomi), (2) subordinasi (anggapan tidak
penting/peminggiran bagi perempuan dalam rumah tangga atau politik), (3)
pemebentukan stereotip atau pelabelan negative terhadap perempuan, (4)
kekerasan (violence), baik dalam rumah tangga maupun di luar rumah tangga, (5)
beban kerja yang lebih banyak dan lebih panjang, (6) diskriminasi (perbedaan
peran dan kedudukan), dan represi (pengucilan)2.

Dalam Yoce Aliah Darma : Analisi Wacana Kritis, Bandung : Yrama Widya, 2009. hlm 177.

Page 14

Dari deskripsi di atas, manifestasi ketidakadilan terhadap gender tidak dapat


dipisahkan satu sama lainnya, karena masih dalam satu lingkaran yang saling
berkaitan dan berhubungan sebagai instrument untuk memperjuangkan secara hak
dan kewajiban atas gender terhadap perlakuan ketidakadilan yang di dapatkan
oleh individu baik dalam rumah tangga maupun di luar rumah tangga.
Marginalisasi dan peminggiran perempuan di dalam bidang suatu pekerjaan
menuntut untuk mendapatkan hak yang sama terhadap kaum laki-laki yang di
anggap bahwa kaum perempuan bersifat lemah, sehingga dalam bekerja sering
mendapatkan cuti jika di bandingkan dengan kaum laki-laki tanpa harus cuti untuk
tetap bekerja dengan konsisten dan professional. Esensi sifat perempuan adalah
emosional, lemah, irasional, dan keibuan, pernyataan seperti ini benar. Akan
tetapi, ada perempuan yang sifatnya kuat, rasional, dan perkasa dll.
Latar belakang yang membedakan antara laki-laki dan perempuan dibentuk
oleh beberapa teori yang mendasarinya, antara lain : (1) teori nature atau kodrat,
(2) teori nurture, (3) teori psikoanalisis, (4) teori konflik, dan (5) teori fungsional
structural.
Pertama, teori nature atau kodrat, teori berpandangang bahwa yang melatar
belakangi perbedaan antara laki-laki dan perempuan adalah fisiologi dan biologis,
laki-laki mempunyai penis, jakun, dan memproduksi sperma, sedangkan
perempuan memiliki rahim, kelenjar susu, dan sel telur. Kodrat fisiologis dan
biologis berpengaruh pada perbedaan kondisi psikis seseorang. Kedua,teori nurture
atau kebudayaan, teori ini berasumsi bahwa pemindahan posisi dan peran laki-laki
dan perempuan merupakan kodrat alam, factor biologis menunjukkan bahwa lakilaki lebih unggul daripada perempuan, karena elaborasi kebudayaan biologis
masing-masing (Sanderson, 1995: 409). Perbedaan laki-laki dan perempuan dalam
masyarakat lebih bersifat politis. Ketiga, teori psikoanalisis atau identifikasi. Teori
ini dikenalkan oleh Sigmund Freud, teori ini berasumsi bahwa seumur hidup
perempuan akan dihinggapi histeris dan neurosis karena mereka memendam rasa
iri terhadap laki-laki. Teori feminis membantah bahwa perempuan iri akan status
social laki-laki dan kebebasan bukanlah ciri biologis laki-laki. Keempat, teori
konflik. Teori ini berangkat dari asumsi bahwa di dalam susunan suatu masyarakat
terdapat beberapa kelas yang saling memperebutkan pengaruh dan kekuasaan.
Oleh sebab itu, perbedaan posisi dan peran antara laki-laki dan perempuan tidak
disebabkan oleh perbedaan factor biologis, tetapi merupakan penindasan dari kelas
yang berkuasa dalam relasi produksi yang diterapkan dalam konsep keluarga.
Kelima, teori Funsionalis structural. Teori ini dipelopori oleh Talcott Parson
(Yulianeta, 2002: 17) yang berasumsi bahwa masyarakat terdiri atas berbagai

Page 15

bagian yang relative seyaling mempengaruhi. Teori ini menitikberatkan pada


kestabilan bagi keseluruhan. Dengan kata lain status quo harus dipertahankan
untuk mennghindari persaingan antara laki-laki dan perempuan serta menciptakan
ketenangan rumah tangga.3
Konvensi CEDAW (Committee on the Elimination of Discrimination
Against Women) dinyatakan berlaku mulai tanggal 3 September 1981 setelah 20
negara meratifikasinya. Kini hampir 90% Negara anggota PBB telah menyetujui
konvensi tersebut. Prinsip-prinsip konvensi CEDAW, antara lain: 1) Prinsip
persamaan substantive yaitu persamaan hak, kesempatan, akses dan penikmatan
manfaat. 2) Prinsip non-diskriminasi. 3) Prinsip kewajiban Negara (Negara bukan
hanya menjamin hak perempuan melalui hukum dan kebijakan serta menjamin
hasilnya dan Negara merealisasikan). Indonesia sendiri telah meratifikasi konvensi
tersebut dalam Undang-Undang No.7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi
Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita. UndangUndang itu disahkan pada 24 Juli 1984.4
Konferensi Dunia IV tentang wanita di Bejing tahun 1995. Konferensi
Bejing menghasilkan deklarasi dan rencana aksi (Bejing Platform of Action) yang
berisi rencana kerja yang harus dilaksanakan oleh pemerintah, dan lembaga PBB
serta donor untuk memajukan perempuan. Rencana Bejing mengeidentifikasikan
12 bidang kritis yang merupakanprihatinan dunia, yaitu : 1) perempuan dan
kemiskinan, 2) pendidikan dan pelatihan bagi perempuan, 3) perempuan dan
kesehatan, 4) kekerasan terhadap perempuan, 5) perempuan dan konflik bersenjata,
6) perempuan dan ekonomi, 7) perempuan dan kekuasaan serta pengambilan
keputusan, 8) mekanisme kelembagaan untuk memajukan perempuan, 9) hak asasi
perempuan, 10) perempuan dan media massa, 11) perempuan dan lingkungan
hidup, 12) anak perempuan.5
Dari deskripsi diatas dapat di tarik kesimpulan bahwa, lembaga pemerintah
menjamin hak asasi perempuan melalui payung hukum yang sah dan di akui oleh
semua warga Negara, agar tidak terjadi kekerasan terhadap perempuan baik dalam
rumah tangga maupun di luar rumah tangga serta pelecehan seksual, pemerkosaan,
dan penganiayaan. Oleh sebab itu, ketidakadilan ini yang dirasakan oleh
perempuan karena adanya asumsi bahwa perempuan merugikan terhadap laki-laki.
Tetapi, sebenarnya yang di istimewakan terhadap institusi manapun itu adalah
perempuan, contohnya, di institusi mana pun perempuan mendapatkan cuti hamil,
3

Ibid. 168-170.
Dalam Tilaar & Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan (2008). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hlm. 159-160
5
Ibid., hlm 160
4

Page 16

melahirkan, dan menyusui, sedangkan laki-laki tidak ada cuti untuk menghamili.
Di sinilah ketidakadilan yang di terima oleh laki-laki terhadap perempuan yang
selalu di prioritaskan dalam bidang pekerjaan.
B. Kurikulum Sebagai Oposisi Moral6
Secara bahasa, moral berasal dari bahasa Latin, yaitu mores berarti adat
kebiasaa. Sedangkan secara Istilah, sebagai aktivitas manusia terhadap nilai baik
atau buruk, benar atau salah. Membicarakan tentang moral berarti membahas
tentang kehidupan manusia di lihat dari sudut pandang prilaku yang menentukan
kualitas manusia sebagai individu yang bermoral. Memahami prilaku manusia
(individu) sebagai makhluk social dan rasional selalu menjadi anggapan bahwa
manusia dikatakan bermoral jika bertingkah laku sesuai dengan ajaran agama,
budaya, dan lingkungan masyarakat.
Suatu era dengan spesifik tertentu sangat besar dampaknya terhadap dunia
pendidikan yang akan mempengaruhi pola pikir, etika, dan moral para generasi
muda (remaja) bangsa yang akan menjadi pemimpin harapan bangsa. Dalam era
globalisasi saat ini nyaris tak ada satu remaja yang mampu mengelak dari
kecenderungan arus global yang bersifat westernisasi, sekulerisasi, dan hedonisme
dikalangan kehidupan kita, terutama yang terjadi pada kalangan remaja yang
menjadi sumber kerancauan dan perusak fasilitas dan infrastruktur jalan yang
menjadi jalannya arus perekonomian suatu masyarakat untuk menyambung
hidupnya. Namun, hal itu dirusak oleh para pelajar yang memakai seragam
sekolah, meskipun tidak semua pelajar ikut dalam tawuran antar pelajar, tapi hal
demikian akan tercoreng identitas lembaga pendidikan, padahal ketika disekolah
terutama di dalam kelas seorang guru tidak mengajarkan untuk tawuran antar
pelajar yang dapat merugikan semua pihak. Esensi
tawuran
antar
pelajar
(kenakalan remaja) terjadinya distorsi etika, moral dan nilai-nilai religius
(pendidikan) yang tidak lagi menjadi rujukan untuk kembalinya suatu
permasalahan dan ketimpangan yang terjadi manakala dilihat hanya sebelah mata
tanpa memikirkan konsekuensi yang akan ditanggung oleh dirinya sendiri dan juga
orang lain yang menjadi korban hanya dengan sekelompok orang-orang tertentu
hanya untuk mendapatkan sanjungan dari orang lain. Hal demikian, tidaklah sesuai
dengan ideologi dan dasar negara yang menjadi pedoman dalam kehidupan
bermsyarakat, manakala ideologi dan dasar negara kita implementasikan sesuai
dengan eksistensi dan esensi maka tidak akan terjadi tawuran antar pelajar
6

Maksud dari kurikulum sebagai Oposisi Moral adalah krisis moral yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat
yang sangat memprihatikan manakala tanpa penanganan terhadap moral bangsa ini.

Page 17

kenakalan remaja yang mengakibatkan pertumpahan darah dan korban jiwa yang
berjatuhan disana sini. Kalau kita kembali lagi kepada esensi tawuran antar pelajar
tidaklah mencerminkan seorang yang berpendidikan yang memakai seragam
sekolah, akan tetapi hal demikian tercermin seperti binatang yang memakai
seragam karena tidak ada bedanya dengan binatang. Manusia dibekali dengan
otak untuk dapat membedakan mana yang tidak baik dan mana yang baik dan halhal yang merugikan orang lain. Hal ini sejalan dengan ungkapan seorang filsuf
Yunani yaitu Rene Descarters cogito ergo sum aku berpikir maka aku ada.
Distorsi moral terhadap kaula muda (para pelajar) disebabkan oleh beberapa
faktor yang signifikan, dalam kesempatan ini penulis menganalisis mengenai
penyebab kenakalan remaja (tawuran) di antaranya adalah : 1) Terbukanya
Liberalisasi, 2) Determinasi Kekuasaan, dan 3) Hiper Moralitas.
a. Terbukanya liberalisasi
Dengan adanya keterbukaan liberalisasi akan mengakibatkan terhadap
perdagangan melalui WTO dan AFTA, maka batas geografis suatu negara menjadi
sirna. Barang yang diproduksi di negara nan jauh disana kian dapat dengan leluasa
masuk ke dalam negeri dengan mudah didapat. Negara yang melakukan proteksi
terhadap barang impor akan mendapatkan konsekuensi embargo dari negara lain
yang dapat menyebabkan kelangkaan barang kebutuhan tertentu, terutama barang
yang belum dapat diproduksi didalam negeri. Di antara sekian banyak produk luar
negeri yang masuk dinegeri kita itu di dalamnya terkandung muatan nilai-nilai, dan
ideologis tertentu, sehingga mengakibatkan dari sudut pandang hidup, selera,
referensi terhadap sesuatu itu sangat di pengaruhi oleh nilai-nilai dan ideologis dari
negara luar (barat) yang masuk ke dalam negeri kita, sehingga salah satu
konsekuensi yang di tanggung oleh para remaja yang tidak selektif menerima
semua itu. Padahal tidak semua nilai-nilai dari luar relevan dengan kepribadian
bangsa kita. Akibatnya banyak kontradiksi dalam perilaku sosial, terjadi
kerancauan dalam berpikir. Hal inilah dapat di analogikan bahwa, bagian bawah
memakai celana jean, sedangkan bagian atas memakai baju koko, surban dan
kopiah.
Dalam hal ini dapat mengambil contoh, soal pergaulan bebas dikalangan
para remaja khususnya maupun di masyarakat luas pada umumnya yang
merupakan produk dari internalisasi nilai-nilai kebebasan yang terdapat dari
transformasi kultural yang yang ada di Indonesia. Pada tahapan ini nyaris
masyarakat tidak mempunyai filter yang kuat untuk membentung penetrasi life
style bebas yang bertebaran dikalangan kehidupan masyarakat kita dewasa ini.

Page 18

Pada akhir dekade ini peran media massa ikut serta dalam krisis moral yang terjadi
dikalangan kita bahkan media massa menganggap pola-pola seperti itu mempunyai
daya jual tinggi untuksebagai investasi perekonomian masyarakat. Karena itu,
dengan mudah kita menemukan majalah-majalah yang menjual selera rendah yang
dapat berdampak salah persepsi terhadap para konsumennya. Bahkan di
perempatan jalan-jalan banyak yang menjual gambar-gambar yang tidak
seharusnya diperlihatkan kepada para konsumen (remaja) karena akan menjadi
bumerang bagi dirinya. Hal demikian sangat tidak etis untuk dijakan sebuah
investasi para pemilik modal akan tetapi kita tidak punya undang-undang untuk
membendung arus informasi untuk hal itu sehingga dengan mudah mengakses
gambar-gambar pornografi melalui jaringan internet bahkan tak ada lembaga sosial
negara yang mampu membendung internet masuk kerumah tangga. Satu-satunya
proteksi yang ada dan paling efektif adalah diri kita sendiri.
Kita tidak perlu meniru gerakan Swadesi di India itu, karena ketergantungan
kita terhadap barang produk luar negari sangat besar sekali jika dibandingkan
dengan produk domestik, hal itulah yang akan menjadi salah satu masuknya
serbuan budaya asing yang sulit difilter oleh masyarakat kita. Ada juga yang sangat
ironis sekali karena rasa percaya diri sebagai suatu bangsa belum menempatkan
titik yang utuh, sehingga masih mengagungkan produk impor yang masuk dalam
negeri ini. Kita dapat bayangkan bagaimana inferiornya jika berbahasa saja sudah
tidak percaya diri terhadap bangsa Indonesia. Sungguh ironis sekali manakala
menyambut tamu yang datang dari luar negeri menggunakan bahasa inggris
padahal kita sebagai tuan rumah harusnya memperkenalakan apa yang ada di
rumahnya, hal demikian tercermin salah satu bentuk rasa tidak percaya diri dengan
bahasa kita, seharusnya biarlah mereka yang menyesuaikan dengan kekayaan
budaya kita.
b. Determinasi Kekuasaan
Manusia mengetahui bahwa kehidupan di dunia berlalu dan berakhir sangat
cepat. Anehnya, masih saja mereka bertingkah laku seolah-olah mereka tidak akan
pernah meninggalkan dunia. Mereka melakukan pekerjaan seakan-akan di dunia
tidak ada kematian. Sungguh, ini adalah sebuah bentuk sihir atau mantra yang
terwariskan secara turun-temurun. Keadaan ini berpengaruh sedemikian besarnya
sehingga ketika ada yang berbicara tentang kematian, orang-orang dengan segera
menghentikan topik tersebut karena takut kehilangan sihir yang selama ini
membelenggu mereka dan tidak berani menghadapi kenyataan tersebut. Orang
yang mengabiskan seluruh hidupnya untuk membeli rumah yang bagus,

Page 19

penginapan musim panas, mobil dan kemudian menyekolahkan anak-anak mereka


kesekolah yang bagus, tidak ingin berpikir bahwa pada suatu hari mereka akan
mati dan tidak akan dapat membawa mobil, rumah, ataupun anak-anak beserta
mereka. Akibatnya, daripada melakukan sesuatu untuk kehidupan yang hakiki
setelah mati, mereka memilih untuk tidak berpikir tentang kematian.(harunyahya)
Akhir-akhir ini kekuasaan merupakan sesuatu yang signifikan banyak
dikejar oleh manusia, karena melalui kekuasaan seseorang dapat mengatur orang
lain. Demi meraih kekuasaan seseorang banyak mengorbankan hak orang lain
untuk tujuan yang ingin didapatkan serta menghembuskan fitnah sesama manusia.
Hal demikian tidak heran manakala banyak terjadi hal yang seperti itu karena
merupakan sebuah tradisi yang tidak baik dilakukan oleh para sekelompok orangorang tertentu hanya dengan semata-mata mencari popularitas semata. Dewasa ini
banyak terjadi fenomena yang ekstrim yang tampak didepan mata telanjang kita
bahkan terjadinya tawuran antar pelajar baik SMA maupun perguruan tingga yang
seharusnya tidak terjadi di kalangan kita. Kekuasaan saat ini berhungan dengan
terjadinya kenakalan remaja yang sedang gencar diberbagai media massa untuk
mengungkapkan keeksentrisan para pemegang kebijakan tidak memperhatikan
masyarakat lemah yang seharusnya mendapatkan konpensasi sebagaimana
layaknya. Maka hal itu mendatangkan mala petaka terhadap para kaula muda yang
menganggap diskriminasi antar warga negara satu sama lainnya sehingga mereka
melampiaskan kemarahan dan bentuk protes dengan cara tawuran antar pelajar,
mahasiswa dengan polisi dan lain sebagainya.
Salah satu terjadinya distorsi moral disebabkan oleh kebijakan yang tidak
konsisten dengan realitas dan tidak punya mental yang berani untuk memutuskan
kebijakan yang seharusnya diambil justru mereka takut untuk ketahuan manakala
kebusukan terungkap di media massa sehingga dapat mencoreng popularitas.
Dalam konteks determinasi kekuasaan tidak hanya dinobatkan pada pemerintah
saja akan tetapi kelompok masyarakat yang mempunyai kekuatan dalam
mempengaruhi orang lain maupun kelompok yang tidak mempunya daya pikir
yang kritis dan selektif terhadap apa yang dikatakan oleh orang lain sehingga
mereka mudah terbuai dengan kata-kata manis yang keluar dari mulutnya dan
akhirnya terjadilah fenomena yang merugikan orang lain.
Manusia pada umumnya ingin diakui eksistensinya di lingkugan sekitar
untuk dapat terangkat martabat dan popularitas yang lebih baik. Oleh karenaitu,
mereka bembentuk suatu ikatan yang dapat membuat popularitasnya terangkat
dikalanngan masyarakat awam. Kekuasaan dengan mudahnya didapatkan hanya
dengan modal materi (kekayaan) yang menjadi barometernya, padahal kekuasaan

Page 20

akan mendekatkan diri kepada orang yang mempuyai ilmu pengetahuan dengan
melewati proses pendidikan yang baik, maka kekuasaan akan digunakan dengan
baik pula manakala orang yang memegang kekuasaan tersebut dapat disinyalir oleh
eksistensi cahaya ilmu pengetahuan yang dapat mengarahkan kejalan yang sesuai
dengan ilmu pengetahuannya.
c. Hiper Moralitas
Manusia merupakan makhluk yang unik untuk diprediksi dan ditafsirkan
pola pikirnya, tata bicara, dan prilaku dalam hidupnya. Manusia idealnya
menjunjung tinggi nilai-nilai moral dalam kehidupannya sehingga menjadi totalitas
pribadi yang bermoral, namun manakala sikap itu disertai dengan arogansi dan
egois dalam bertindak akan tidak menjadi pribadi yang bermoral sebagaimana
idealnya. Kalau kita melihat fenomina yang disorot oleh media massa yang tampak
amoral yang tidak seharusnya diperlihatkan dimuka publik sehingga akan
berdampak pada krisis moral terhadap masyarakat (remaja) kita akibat salah tafsir
yang berdampak pada komotasi buruk maka dengan pendek kata disebut moralitas
formal. Moralitas yang diformalkan akan membentuk predikat tertentu untuk
mendapatkan penghargaan dari pihak lain yang berada dalam lingkungan
terdekatnya.
Esensi manusia pada dasarnya adalah baik manakala hal itu berada pada
lingkungan yang baik begitu juga sebaliknya. Manusia itu tidak baik jika berada
pada tangan manusia lain yang tidak akuntabel. Bila diri sendiri merasa dirinya
paling baik dibandingkan dengan orang lain, telah menjalankan ajaran moral
dengan baik, maka godaan yang akan terjadi pada dirinya tidak akan tergoyah
dengan sedikitpun kecenderungan menganggap orang laintidak sama dalam hal ini
adalah prinsip, karakter, tujuan dan motorik. Jangan heran jika ada orang yang
berbuat anarkis yang dilakukan oleh orang-orang yang merasa dirinya bermoral.
Anarkisme hiper-moralitas ini mampu melampaui batas-batas kekuasaan hukum
yang positif. Pada realitasnya, banyak fenomena dimana hukum tidak mampu
menahan arus di tengah mobilisasi massa dengan menggunakan berbagai atribut
moralitas. Orang yang merasa dirinya bermoral yang sempurna akan menganggap
orang lain tidak bermoral munurut pandangannya sehingga hal ini akan
menimbulkan kontroversi yang berujung pada perbuatan yang tak
bermoral(anarkis). Persoalan manusia itu baik atau tidak sangat menjadi rahasia
tuhan yang maha mengetahui segala sesuatu. Olehka renanya, bersikaplah
sebagaimana jalannya arus kehidupan yang terjadi di masyarakat karena disitulah

Page 21

terdapat cermin untuk orang lain agar dapat memperbaiki kesalahan yang tidak
sesuai dengan norma, nilai, dan budaya masyarakat.
Demikianlah pandangan penulis tentang oposisi moral, secara garis besar
disebabkan oleh tiga factor diatas yang kurang di sadari oleh masyarakat kita,
sehingga masyarakat kita terbuai dengan kesenangan sesaat yang berakibat fatal
sekali. Oleh sebab itu, ketiga factor diatas mengambil alih terhadap nilai-nilai,
norma, dan ajaran agama dari masing-masing individu.
SEEKOR BURUNG DI PAKSA UNTUK MENJADI SEEKOR KUCING
BAHKAN DIPAKSA UNTUK MENJADI SERIGALA
Dewasa ini praktik dunia pendidikan sangat tidak wajar sekali untuk
mengembangkan, mencerdaskan, memandirikan, membentuk karakter, dan
menghasilkan output yang berkualitas serta menjadi sumber daya manusia (SDM)
yang mempuyai integritas dan kapabilitas yang kompeten, melatih pemikiran
individu seintensif mungkin dan mendorongnya ke arah pemikiran yang kompleks
tentang konteks kehidupan untuk hidup di masyarakat merupakan sesuatu yang
sangat penting sekali ketika kita melihat kondisi saat ini yang sangat
memprihatinkan bagi para teoritis dan praktisi pendidikan. Peserta didik (individu)
berhak memdapatkan kebebasan untuk mengungkapkan pendapat, kebebasan
untuk berpikir, kebebasan untuk berkreativitas, dan kebebasan dari belenggu,
dogma, dan nilai-nilai dari pendidik. Peserta didik bukanlah sebuah gelas yang
kosong harus diisi atau hanya dituangkan air untuk menempati kekosongan gelas
tersebut, tetapi harus dijaga, dirawat, dipupuk dan dihindarkan dari berbagai
ancaman yang akan membahayakan dirinya. Dengan dorongan dan motivasi yang
kuat akan berkembang kemampuan potensial dan aktualnya. Oleh karena itu,
peserta didik jangan di paksakan untuk menerima segala sesuatu yang tidak sesuai
dengan tingkat perkembangan, kemampuan dalam salah satu bidang yang tidak
mereka sukai karena hanya akan terjadi sebuah kata penolakan yang diucapkan
dari peserta didik. Jika hal demikian terjadi maka akan melahirkan output yang
tidak relevan dengan perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan. Prof. Hargraves

Maksud dari Seekor burung di paksa untuk menjadi seekor kucing bahkan dipaksa untuk menjadi serigala ini
merupakan ilustrasi yang mengkritik terhadap dunia pendidikan yang tidak memandang peserta didik sebagai
manusia yang mempunyai kebebasan untuk berpikir, bertindak, dan memilih sesuai dengan bakat, minat,
keinginannya, dan kemampuan yang dimilikinya serta untuk merealisasikan kreativitasnya. Ketika peserta didik di
paksa harus mengikuti dan menerima apa yang telah dirancang oleh institusi (sekolah) & guru, maka yang akan
terjadi hanyalah sebuah kesengsaraan dan hanya sebuah kata penolakan yang diucapkan.

Page 22

dari London University menyatakan bahwa ilmu pendidikan mandeg dan tidak
berkembang karena tidak mendapatkan input dari praktik pendidikan. Oleh karena
itu, ilmu pendidikan hanya berada pada tataran idealistic tanpa teruji di lapangan.
Proses pendidikan merupakan habitus social manusia. Kebijakan pendidikan
dijabarkan dari visi dan misi yang berasal dari filsafat manusia. Marilah kita lihat
lebih dekat lagi kaitan antara visi, misi pendidikan dengan kebijakan pendidikan.
Kebijakan pendidikan dirumuskan dan dilaksanakan berdasarkan visi dan misi
pendidikan. Selanjutnya, kebijakan pendidikan telah mendapatkan input dari
analisis kebijakan sehingga terjadi evaluasi dan reformulasi kebijakan pendidikan
itu sendiri. Diri kebijakan pendidikan dilahirkan berbagai program dengan tujuantujuannya yang spesifik dalam jangka waktu tertentu. Kebijakan pendidikan yang
demikian bukanlah kebijakan pendidikan intuitif atau berdasarkan selera
perorangan, tetapi hasil deliberasi terus-menerus yang berkesinambungan. Dengan
demikian, kebijakan pendidikan tidak tergantung pada selera seorang Menteri atau
kekuatan politik praktis. Ujung-ujungnya suatu kebijakan pendidikan bersumber
dari filsafat manusia. Dalam masyarakat dan Negara Indonesia filsafat manusia itu
adalah filsafat manusia pancasila (Tilaar & Nugroho, 2008: 173-174).
Hakikat praktik pendidikan dewasa ini tidak berada dalam goa Plato, justru
berada pada tataran banking concept of education atau submerged in the
culture silence, hal demikian tidak termasuk dalam proses pendidikan yang tidak
memcerminkan interaksi serat dialog antara pendidik dengan peserta didik ketika
dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu, peserta didik dalam proses belajar
mengajar hanyalah sebagai obyek dari praktik pendidikan yang tidak sesuai dengan
esensi pendidikan serta tidak sesuai dengan visi, misi, dan tujuan pendidikan
nasional. Ketika kita melihat pendidikan adalah tidak ubahnya sebuah penjara bagi
peserta didik yang dibatasi ruang geraknya dan berbagai aturan yang harus ditaati
dan dilaksanakan dengan senanng hati serta harus menerimanya.
Marilah kita lihat sekarang praktik pendidikan yang tidak memerdekakan
peserta didik (siswa) dalam realitas kehidupan yang dapat di ungkapkan oleh
penulis, yaitu :
1. Peserta didik lebih bebas dan senang ketika berada di luar kelas atau diluar jam
pelajaran, hal ini terlihat jika peserta didik (siswa) mendengar pengumuman
pulang pagi karena ada rapat guru. Mereka sangat senang dan gembira karena
bebas dari berbagai belenggu yang menjeret lehernya. Sementara itu, kualitas
pendidikan berada pada guru sebagai central untuk memajukan pendidikan itu
sendiri. Apa jadinya jika hal ini akan terjadi terus-menerus dialami oleh

Page 23

pendidikan di Indonesia, karena kesuksesan dan keberhasilan Negara itu


ditentukan oleh pendidikan.
2. Pendidikan seharusnya relevansi dengan perkembangan pribadi peserta didik
yang sedang berada pada proses dan ketika keluar dari proses pendidikan. Bagi
perkembangan peserta didik yang tampak dalam pemerdekaan untuk
mengembangkan pribadi, kreativitas, dan pikirannya.
3. Kurikulum pendidikan tidak boleh dimaknai sebagai teks suci yang tidak akan
menimbulkan berbagai kontroversi dalam pengajaran yang monoton oleh guru
yang tidak tahu bagaimana cara mengajar yang tidak teacher center itu,
sehingga sering terjadi munculnya interpretasi dalam memaknai pendidikan
sebagai usaha sadar untuk mencerdaskan, memandirikan, berpikir kritis,
mengembangakan intelektual, berbudi pekerti, taat pada ajaran agama, dan daya
kreativitas peserta didik yang di bugkam oleh pendidik yang tidak memahami
tentang makna pendidikan yang sesungguhnya. Banyak pendidik (guru)
mengajar, tetapi mereka tidak paham tentang apa yang diajarkan
kepada
peserta didik untuk hidup yang berkesinambungan dengan konteks kehidupan
ketika materi di sekolah dengan kehidupannya dimasyarakat. Oleh karena itu,
seorang pendidik harus benar-benar bersikap integritas dalam menganalisis
fenomena yang relevan dengan peserta didik untuk tetap pada tataran konsisten
terhadap kesinambungan antara apa yang dipelajari disekolah dengan
kehidupannya. Institusi lembaga pendidikan (sekolah) merupakan sebuah
laboratorium bagi peserta didik untuk menganalisis permasalahan yang terdapat
di masyarakat dengan cara mencari berbagai alternative untuk memecahkan
masalah tersebut.
Pada diskusi diatas, bahwa pendidikan (sekolah) oleh masyarakat kita di
maknai sebagai sarana yang dapat mengantarkan untuk mendapatkan sebuah
pekerjaan yang menguntungkan bagi para outputnya. Namu, masyarakat kita
belum menelusuri istilah dari kata sekolah itu sendiri. Kata sekolah berasal
dari bahasa Yunani, yaitu skhole, scolae, atau schola memiliki makna waktu luang
atau waktu senggang. Secara history yang terjadi di Yunani pada waktu itu, para
orang tua menitipkan anak-anaknya untuk mendapatkan ilmu pengetahuan kepada
orang yang dianggap paling pintar dan mempunyai banyak tentang ilmu
pengetahuan untuk memperoleh pengetahuan dan pendidikan tentang filsafat, dan
ilmu tentang alam. Ketika itu, sekolah merupakan sebuah aktivitas yang
menyenangkan bagi anak didik dalam pengajaran yang disampaikan oleh para
pendidik ketika itu karena banyak hal yang mereka dapatkan dari sana tentang
berbagai ilmu pengetahuan, namun kegiatan itu bertolak belakang dengan sekolah-

Page 24

sekolah pada saat ini, justru membosankan, membebani, dan mencekek leher anak
didik ketika mereka berada disekolah. Sungguh ironis sekali yang terjadi dalam
praktik pendidikan (sekolah) yang jauh dari latar belakang berdirinya sekolah pada
waktu itu. Memang ilmu pengetahuan itu bersifat tentative, tapi tidak menutup
kemungkinan untuk tetap atau paling tidak dalam lintasan yang tidak keluar dari
jalur yang sudah ditentukan dari sebelumnya. Ketika kita membuat terobosan
untuk menganalisis praktik pendidikan kalau dilihat dari aspek kualitas dan di
bandingkan dengan pendidikan bangsa lain sangat jauh sekali untuk
mengimbanginya. Hal ini perlu terobosan baru untuk membangun sebuah
alternative yang dapat mengangkat eksistensi pendidikan kita ini.
Dibawah ini akan diungkap beberapa bentuk penjajahan terhadap karakter
peserta didik yang beragam latar belakang antara satu sama lainnya. Penjajahan
terhadap karakter lebih menyakitkan daripada penjajahan secara fisik. Namun,
sebagian guru tidak memahami bahwa tindakan yang dilakukan ketika mengajar
dikelas adalah menjajah peserta didik dengan cara tidak menumbuhkan imajinasi,
kreativitas, inovatif, berbeda pendapat dengan guru, berpikir kritis-selektif, dan
solutif.

Daftar Pustaka
Darma, Aliah Yoce. 2009. Analisis Wacana Kritis. Bandung : Yrama Widya
Tilaar, H.A.R Nugraha, Riant. 2008. Kebijakan Pendidikan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Muarif. 2008. Liberalisasi Pendidikan. Yogyakarta : Pinus Book Publisher
Tilaar, H.A.R. 1990. Pendidikan Dalam Pembangunan Nasional Menyongsong Abad XXI.
Jakarta : Balai Pustaka
Alwasilah, A. Chaedar. 2010. Filsafat Bahasa dan Pendidikan. Bandung : Remaja Rosdakarya

Page 25

Page 26

You might also like