Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Asfiksia adalah kumpulan dari pelbagai keadaan dimana terjadi gangguan dalam
pertukaran udara pernafasan yang normal. Gangguan tersebut dapat disebabkan karena adanya
obstruksi pada saluran pernafasan dan gangguan yang diakibatkan karena terhentinya sirkulasi.
Gangguan ini akan menimbulkan suatu keadaan dimana oksigen dalam darah berkurang yang
disertai dengan peningkatan kadar karbondioksida. Keadaan ini jika terus dibiarkan dapat
menyebabkan terjadinya kematian.
Dalam penyidikan untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban yang diduga
karena peristiwa tindak pidana, seorang penyidik berwenang mengajukan permintaan keterangan
ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya. Seorang dokter
sebagaimana pasal 179 KUHAP wajib memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan yang
sebenarnya menurut pengetahuan di bidang keahliannya demi keadilan. Untuk itu, sudah
selayaknya seorang dokter perlu mengetahui dengan seksama perihal ilmu forensik, salah
satunya asfiksia. Makalah ini secara garis besar akan membahas mengenai asfiksia, khususnya
asfiksia mekanik
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. ASFIKSIA
Asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya gangguan pertukaran udara
pernapasan, mengakibatkan oksigen darah berkurang (hipoksia) disertai dengan peningkatan
karbon dioksida (hiperkapnea). Dengan demikian organ tubuh mengalami kekurangan oksigen
(hipoksia hipoksik) dan terjadi kematian (Ilmu Kedokteran Forensik, 1997). Secara klinis
keadaan asfiksia sering disebut anoksia atau hipoksia (Amir, 2008).
Dari segi etiologi, asfiksia dapat disebabkan oleh hal berikut (Ilmu Kedokteran Forensik, 1997):
1. Penyebab alamiah, misalnya penyakit yang menyumbat saluran pernapasan seperti laringitis
difteri atau menimbulkan gangguan pergerakan paru seperti fibrosis paru.
2. Trauma mekanik yang menyebabkan asfiksia mekanik, misalnya trauma yang mengakibatkan
emboli udara vena, emboli lemak, pneumotoraks bilateral; sumbatan atau halangan pada saluran
napas dan sebagainya.
3. Keracunan bahan yang menimbulkan depresi pusat pernapasan, misalnya barbiturat dan
narkotika.
Penyebab tersering asfiksia dalam konteks forensik adalah jenis asfiksia mekanik, dibandingkan
dengan penyebab yang lain seperti penyebab alamiah ataupun keracunan (Knight, 1996 ).
2.1.3. Fisiologi
- Tidak ada atau tidak cukup O2. Bernafas dalam ruangan tertutup, kepala di tutupi kantong
plastik, udara yang kotor atau busuk, udara lembab, bernafas dalam selokan tetutup atau di
pegunungan yang tinggi. Ini di kenal dengan asfiksia murni atau sufokasi.
- Hambatan mekanik dari luar maupun dari dalam jalan nafas seperti pembekapan, gantung diri,
penjeratan, pencekikan, pemitingan atau korpus alienum dalam tenggorokan. Ini di kenal dengan
asfiksia mekanik.
- Ekstraseluler
Anoksia yang terjadi karena gangguan di luar sel. Pada keracunan Sianida terjadi perusakan pada
enzim sitokrom oksidase, yang dapat menyebabkan kematian segera. Pada keracunan Barbiturat
dan hipnotik lainnya, sitokrom dihambat secara parsial sehingga kematian berlangsung perlahan.
3
- Intraselular
Di sini oksigen tidak dapat memasuki sel-sel tubuh karena penurunan permeabilitas membran
sel, misalnya pada keracunan zat anastetik yang larut dalam lemak seperti kloform, eter dan
sebagainya.
- Metabolik
Di sini asfiksia terjadi karena hasil metabolik yang mengganggu pemakaian O2 oleh jaringan
seperti pada keadaan uremia.
- Substrat
Dalam hal ini makanan tidak mencukupi untuk metabolisme yang efisien, misalnya pada
keadaan hipoglikemia.
2.1.4. Patologi
Dari pandangan patologi, kematian akibat asfiksia dapat dibagi dalam 2 golongan (Amir, 2008),
yaitu:
1. Primer (akibat langsung dari asfiksia)
Kekurangan oksigen ditemukan di seluruh tubuh, tidak tergantung pada tipe dari asfiksia. Sel-sel
otak sangat sensitif terhadap kekurangan oksigen. Bagian-bagian otak tertentu membutuhkan
lebih banyak oksigen, dengan demikian bagian tersebut lebih rentan terhadap kekurangan
oksigen. Perubahan yang karakteristik terlihat pada sel-sel serebrum, serebellum, dan basal
ganglia.
Di sini sel-sel otak yang mati akan digantikan oleh jaringan glial, sedangkan pada organ tubuh
yang lain yakni jantung, paru-paru, hati, ginjal dan yang lainnya perubahan akibat kekurangan
oksigen langsung atau primer tidak jelas.
1. Stadium Dispnea
Terjadi karena kekurangan O2 disertai meningkatnya kadar CO2 akan merangsang pusat
pernafasan, gerakan pernafasan (inspirasi dan ekspirasi) bertambah dalam dan cepat disertai
bekerjanya otot-otot pernafasan tambahan. Wajah cemas, bibir mulai kebiruan, mata menonjol,
denyut nadi dan tekanan darah meningkat. Bila keadaan ini berlanjut, maka masuk ke stadium
kejang.
2. Stadium Kejang
Berupa gerakan klonik yang kuat pada hampir seluruh otot tubuh, kesadaran hilang dengan
cepat, spinkter mengalami relaksasi sehingga feses dan urin dapat keluar spontan. Denyut nadi
dan tekanan darah masih tinggi, sianosis makin jelas. Bila kekurangan O2ini terus berlanjut,
maka penderita akan masuk ke stadium apnoe.
3. Stadium Apnea
Korban kehabisan nafas karena depresi pusat pernafasan, otot menjadi lemah, hilangnya refleks,
dilatasi pupil, tekanan darah menurun, pernafasan dangkal dan semakin memanjang, akhirnya
berhenti bersamaan dengan lumpuhnya pusat-pusat kehidupan.
Walaupun nafas telah berhenti dan denyut nadi hampir tidak teraba, pada stadium ini bisa
dijumpai jantung masih berdenyut beberapa saat lagi.
Masa dari saat asfiksia timbul sampai terjadinya kematian sangat bervariasi. Umumnya berkisar
antara 3-5 menit.
c. Sianosis
Merupakan warna kebiru-biruan yang terdapat pada kulit dan selaput lendir yang terjadi akibat
peningkatan jumlah absolut Hb tereduksi (Hb yang tidak berikatan dengan O2). Ini tidak dapat
dinyatakan sebagai anemia, harus ada minimal 5 gram hemoglobin per 100 ml darah yang
berkurang sebelum sianosis menjadi bukti, terlepas dari jumlah total hemoglobin.
6
Pada kebanyakan kasus forensik dengan konstriksi leher, sianosis hampir selalu diikuti dengan
kongesti pada wajah, seperti darah vena yang kandungan hemoglobinnya berkurang setelah
perfusi kepala dan leher dibendung kembali dan menjadi lebih biru karena akumulasi darah.
b. Mati tergantung. Kematian terjadi akibat tekanan di leher oleh pengaruh berat badan sendiri.
Kesannya leher sedikit memanjang, dengan bekas jeratan di leher. Ada garis ludah di pinggir
salah satu sudut mulut.
Bila korban cukup lama tergantung, maka lebam mayat didapati di kedua kaki dan tangan.
Namun bila segera diturunkan, maka lebam mayat akan didapati pada bagian terendah tubuh.
Muka korban lebih sering pucat, karena peristiwa kematian berlangsung cepat, tidak sempat
terjadi proses pembendungan.
Pada pembukaan kulit di daerah leher, didapati resapan darah setentang jeratan, demikian juga di
pangkal tenggorokan dan oesophagus. Tanda-tanda pembendungan seperti pada keadaan asfiksia
yang lain juga didapati. Yang khas disini adalah adanya perdarahan berupa garis yang letaknya
melintang pada tunika intima dari arteri karotis interna, setentang dengan tekanan tali pada
leher.
Tanda-tanda diatas tidak didapati pada korban yang digantung setelah mati, kecuali bila dibunuh
dengan cara asfiksia. Namun tanda-tanda di leher tetap menjadi petunjuk yang baik.
a. Pada pemeriksaan luar jenazah dapat ditemukan (Ilmu Kedokteran Forensik, 1997):
b. Pada pemeriksaan dalam jenazah dapat ditemukan (Ilmu Kedokteran Forensik, 1997):
1. Darah berwarna lebih gelap dan lebih encer, karena fibrinolisin darah yang meningkat paska
kematian.
a. Penutupan lubang saluran pernapasan bagian atas, seperti pembekapan (smothering) dan
penyumbatan (gagging dan choking).
b. Penekanan dinding saluran pernapasan, seperti penjeratan (strangulation), pencekikan
(manual strangulation, throttling) dan gantung (hanging).
c. Penekanan dinding dada dari luar (asfiksia traumatik)
b. Kongesti Vena
Disebabkan oleh lilitan tali pengikat pada leher sehingga terjadi penekanan pada vena jugularis
oleh alat penjerat sehingga sirkulasi serebral menjadi terhambat.
e. Syok Vagal
Menyebabkan serangan jantung mendadak karena terjadinya hambatan pada refleks vaso-vagal
secara tiba-tiba, hal ini terjadi karena adanya tekanan pada saraf vagus atau sinus karotid.
10
Biasanya terjadi pada kasus judicial hanging, hentakan yang tiba-tiba pada ketinggian 1-2 m oleh
berat badan korban dapat menyebabkan fraktur dan dislokasi dari vertebra servikalis yang
selanjutnya dapat menekan atau merobek spinal cord sehingga terjadi kematian yang tiba-tiba.
2. Setengah Tergantung (partial), dimana tidak seluruh bagian tubuh tergantung, misalnya pada
posisi duduk, bertumpu pada kedua lutut, dalam posisi telungkup dan posisi lain.
1. Tipikal, dimana letak simpul di belakang leher, jeratan berjalan simetris di samping leher dan
di bagian depan leher di atas jakun. Tekanan pada saluran nafas dan arteri karotis paling besar
pada tipe ini.
2. Atipikal, bila letak simpul di samping, sehingga leher dalam posisi sangat miring (fleksi
lateral) yang akan mengakibatkan hambatan pada arteri karotis dan arteri vetebralis. Saat arteri
terhambat, korban segera tidak sadar.
Tanda post mortem sangat berhubungan dengan penyebab kematian atau tekanan di leher. Kalau
kematian terutama akibat sumbatan pada saluran pernafasan maka dijumpai tanda-tanda asfiksia,
respiratory distress, sianose dan fase akhir konvulsi lebih menonjol. Bila kematian karena
tekanan pembuluh darah vena, maka sering didapati tanda-tanda pembendungan dan perdarahan
(ptechial) di konjungtiva bulbi, okuli dan di otak bahkan sampai ke kulit muka. Bila tekanan
lebih besar sehingga dapat menutup arteri, maka tanda-tanda kekurangan darah di otak lebih
menonjol (iskemi otak), yang menyebabkan gangguan pada sentra respirasi dan berakibat gagal
11
nafas. Tekanan pada sinus karotikus menyebabkan jantung tiba-tiba berhenti dengan tanda-tanda
post mortem yang minimal. Tanda- tanda di atas jarang berdiri sendiri, tetapi umumnya akan
didapati tanda-tanda gabungan (Amir, 2008).
a. Pemeriksaan Luar
Pada pemeriksaan luar penting diperiksa bekas jeratan di leher (Amir,2008), yaitu:
1. Bekas jeratan (ligature mark) berparit, bentuk oblik seperti V terbalik, tidak bersambung,
terletak di bagian atas leher, berwarna kecoklatan, kering seperti kertas perkamen, kadangkadang disertai luka lecet dan vesikel kecil di pinggir jeratan. Bila lama tergantung, di bagian
atas jeratan warna kulit akan terlihat lebih gelap karena adanya lebam mayat.
2. Kita dapat memastikan letak simpul dengan menelusuri jejas jeratan. Simpul terletak di bagian
yang tidak ada jejas jeratan, kadang di dapati juga jejas tekanan simpul di kulit. Bila bahan
penggantung kecil dan keras (seperti kawat), maka jejas jeratan tampak dalam, sebaliknya bila
bahan lembut dan lebar (seperti selendang), maka jejas jeratan tidak
begitu jelas. Jejas jeratan juga dapat dipengaruhi oleh lamanya korban tergantung, berat badan
korban dan ketatnya jeratan. Pada keadaan lain bisa didapati leher dibeliti beberapa kali secara
horizontal baru kemudian digantung, dalam kasus ini didapati beberapa jejas jeratan yang
lengkap, tetapi pada satu bagian tetap ada bagian yang tidak tersambung yang menunjukkan letak
simpul.
3. Leher bisa didapati sedikit memanjang karena lama tergantung, bila segera diturunkan tanda
memanjang ini tidak ada. Muka pucat atau bisa sembab, bintik perdarahan Tardieus spot tidak
begitu jelas, lidah terjulur dan kadang tergigit, tetesan saliva dipinggir salah satu sudut mulut,
sianose, kadang-kadang ada tetesan urin, feses dan sperma.
4. Bila korban lama diturunkan dari gantungan, lebam mayat didapati di kaki dan tangan bagian
bawah. Bila segera diturunkan, lebam mayat bisa di dapati di bagian depan atau belakng tubuh
12
sesuai dengan letak tubuh sesudah diturunkan. Kadang penis tampak ereksi akibat terkumpulnya
darah.
b. Pemeriksaan Dalam
Pada pemeriksaan dalam perlu diperhatikan (Amir, 2008):
1. Jaringan otot setentang jeratan didapati hematom, saluran pernafasan congested, demikian
juga paru-paru dan organ dalam lainnya. Terdapat Tardieus spot di permukaan paru-paru,
jantung dan otak. Darah berwarna gelap dan encer
2. Patah tulang lidah (os hyoid) sering didapati, sedangkan tulang rawan yang lain jarang
3. Didapati adanya robekan melintang berupa garis berwarna merah (red line) pada tunika intima
dari arteri karotis interna.
Simpul hidup
- Simpul
Hanya satu
- Jumlah lilitan
Mendatar
Serong ke atas
- Arah
Dekat
Jauh
Korban:
Berjalan mendatar
- Jejas jerat
- Luka perlawanan
- Luka-luka lain
leher
Jauh
percobaan lain
Dekat,
tidak
tergantung
dapat
13
ada,
tidak
TKP:
Bervariasi
Tersembunyi
- Lokasi
Tidak teratur
Teratur
- Kondisi
Dari si pembunuh
- Pakaian
Alat:
TKP
Surat peninggalan:
Ruangan:
14
BAB III
PENUTUP
Asfiksia atau mati lemas adalah suatu keadaan berupa berkurangnya kadar oksigen dan
berlebihnya kadar karbon dioksida secara bersamaan dalam darah dan jaringan tubuh akibat
gangguan pertukaran antara oksigen dalam alveoli paru-paru dengan karbon dioksida dalam
darah kapiler paru-paru. Asfiksia mekanik adalah mati lemas yang terjadi bila udara pernafasan
terhalang memasuki saluran pernafasan oleh berbagai kekerasan (yang bersifat mekanik),
misalnya pada kasus pembekapan (smothering), penyumbatan (gagging dan chocking),
penjeratan (strangulation), pencekikan (manual strangulation), penggantungan (hanging),
external pressure of the chest yaitu penekanan dinding dada dari luar, dan inhalation of
suffocating gasses.
15
DAFTAR PUSTAKA
16