You are on page 1of 16

BAB I

PENDAHULUAN

Asfiksia adalah kumpulan dari pelbagai keadaan dimana terjadi gangguan dalam
pertukaran udara pernafasan yang normal. Gangguan tersebut dapat disebabkan karena adanya
obstruksi pada saluran pernafasan dan gangguan yang diakibatkan karena terhentinya sirkulasi.
Gangguan ini akan menimbulkan suatu keadaan dimana oksigen dalam darah berkurang yang
disertai dengan peningkatan kadar karbondioksida. Keadaan ini jika terus dibiarkan dapat
menyebabkan terjadinya kematian.

Asfiksia merupakan penyebab kematian terbanyak yang ditemukan dalam kasus


kedokteran forensik. Asfiksia yang diakibatkan oleh karena adanya obstruksi pada saluran
pernafasan disebut asfiksia mekanik. Asfiksia jenis inilah yang paling sering dijumpai dalam
kasus tindak pidana yang menyangkut tubuh dan nyawa manusia. Mengetahui gambaran asfiksia,
khususnya pada postmortem serta keadaan apa saja yang dapat menyebabkan asfiksia, khususnya
asfiksia mekanik mempunyai arti penting terutama dikaitkan dengan proses penyidikan.

Dalam penyidikan untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban yang diduga
karena peristiwa tindak pidana, seorang penyidik berwenang mengajukan permintaan keterangan
ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya. Seorang dokter
sebagaimana pasal 179 KUHAP wajib memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan yang
sebenarnya menurut pengetahuan di bidang keahliannya demi keadilan. Untuk itu, sudah
selayaknya seorang dokter perlu mengetahui dengan seksama perihal ilmu forensik, salah
satunya asfiksia. Makalah ini secara garis besar akan membahas mengenai asfiksia, khususnya
asfiksia mekanik

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. ASFIKSIA

2.1.1. Defenisi Asfiksia

Asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya gangguan pertukaran udara
pernapasan, mengakibatkan oksigen darah berkurang (hipoksia) disertai dengan peningkatan
karbon dioksida (hiperkapnea). Dengan demikian organ tubuh mengalami kekurangan oksigen
(hipoksia hipoksik) dan terjadi kematian (Ilmu Kedokteran Forensik, 1997). Secara klinis
keadaan asfiksia sering disebut anoksia atau hipoksia (Amir, 2008).

2.1.2. Etiologi Asfiksia

Dari segi etiologi, asfiksia dapat disebabkan oleh hal berikut (Ilmu Kedokteran Forensik, 1997):
1. Penyebab alamiah, misalnya penyakit yang menyumbat saluran pernapasan seperti laringitis
difteri atau menimbulkan gangguan pergerakan paru seperti fibrosis paru.
2. Trauma mekanik yang menyebabkan asfiksia mekanik, misalnya trauma yang mengakibatkan
emboli udara vena, emboli lemak, pneumotoraks bilateral; sumbatan atau halangan pada saluran
napas dan sebagainya.
3. Keracunan bahan yang menimbulkan depresi pusat pernapasan, misalnya barbiturat dan
narkotika.

Penyebab tersering asfiksia dalam konteks forensik adalah jenis asfiksia mekanik, dibandingkan
dengan penyebab yang lain seperti penyebab alamiah ataupun keracunan (Knight, 1996 ).

2.1.3. Fisiologi

Secara fisiologi dapat dibedakan 4 bentuk anoksia (Amir, 2008), yaitu:


1. Anoksia Anoksik (Anoxic anoxia)
Pada tipe ini O2 tidak dapat masuk ke dalam paru-paru karena:

- Tidak ada atau tidak cukup O2. Bernafas dalam ruangan tertutup, kepala di tutupi kantong
plastik, udara yang kotor atau busuk, udara lembab, bernafas dalam selokan tetutup atau di
pegunungan yang tinggi. Ini di kenal dengan asfiksia murni atau sufokasi.
- Hambatan mekanik dari luar maupun dari dalam jalan nafas seperti pembekapan, gantung diri,
penjeratan, pencekikan, pemitingan atau korpus alienum dalam tenggorokan. Ini di kenal dengan
asfiksia mekanik.

2. Anoksia Anemia (Anemia anoxia)


Di mana tidak cukup hemoglobin untuk membawa oksigen. Ini didapati pada anemia berat dan
perdarahan yang tiba-tiba. Keadaan ini diibaratkan dengan sedikitnya kendaraan yang membawa
bahan bakar ke pabrik.

3. Anoksia Hambatan (Stagnant anoxia)


Tidak lancarnya sirkulasi darah yang membawa oksigen. Ini bisa karena gagal jantung, syok dan
sebagainya. Dalam keadaan ini tekanan oksigen cukup tinggi, tetapi sirkulasi darah tidak lancar.
Keadaan ini diibaratkan lalu lintas macet tersendat jalannya.

4. Anoksia Jaringan (Hystotoxic anoxia)


Gangguan terjadi di dalam jaringan sendiri, sehingga jaringan atau tubuh tidak dapat
menggunakan oksigen secara efektif. Tipe ini dibedakan atas:

- Ekstraseluler
Anoksia yang terjadi karena gangguan di luar sel. Pada keracunan Sianida terjadi perusakan pada
enzim sitokrom oksidase, yang dapat menyebabkan kematian segera. Pada keracunan Barbiturat
dan hipnotik lainnya, sitokrom dihambat secara parsial sehingga kematian berlangsung perlahan.
3

- Intraselular
Di sini oksigen tidak dapat memasuki sel-sel tubuh karena penurunan permeabilitas membran
sel, misalnya pada keracunan zat anastetik yang larut dalam lemak seperti kloform, eter dan
sebagainya.

- Metabolik
Di sini asfiksia terjadi karena hasil metabolik yang mengganggu pemakaian O2 oleh jaringan
seperti pada keadaan uremia.

- Substrat
Dalam hal ini makanan tidak mencukupi untuk metabolisme yang efisien, misalnya pada
keadaan hipoglikemia.

2.1.4. Patologi
Dari pandangan patologi, kematian akibat asfiksia dapat dibagi dalam 2 golongan (Amir, 2008),
yaitu:
1. Primer (akibat langsung dari asfiksia)
Kekurangan oksigen ditemukan di seluruh tubuh, tidak tergantung pada tipe dari asfiksia. Sel-sel
otak sangat sensitif terhadap kekurangan oksigen. Bagian-bagian otak tertentu membutuhkan
lebih banyak oksigen, dengan demikian bagian tersebut lebih rentan terhadap kekurangan
oksigen. Perubahan yang karakteristik terlihat pada sel-sel serebrum, serebellum, dan basal
ganglia.
Di sini sel-sel otak yang mati akan digantikan oleh jaringan glial, sedangkan pada organ tubuh
yang lain yakni jantung, paru-paru, hati, ginjal dan yang lainnya perubahan akibat kekurangan
oksigen langsung atau primer tidak jelas.

2. Sekunder (berhubungan dengan penyebab dan usaha kompensasi dari tubuh)


Jantung berusaha mengkompensasi keadaan tekanan oksigen yang rendah dengan mempertinggi
outputnya, akibatnya tekanan arteri dan vena meninggi. Karena oksigen dalam darah berkurang
terus dan tidak cukup untuk kerja jantung, maka terjadi gagal jantung dan kematian berlangsung
dengan cepat. Keadaan ini didapati pada:
4

- Penutupan mulut dan hidung (pembekapan).


- Obstruksi jalan napas seperti pada mati gantung, penjeratan, pencekikan dan korpus alienum
dalam saluran napas atau pada tenggelam karena cairan menghalangi udara masuk ke paru-paru.
- Gangguan gerakan pernafasan karena terhimpit atau berdesakan (Traumatic asphyxia).
- Penghentian primer dari pernafasan akibat kegagalan pada pusat pernafasan, misalnya pada
luka listrik dan beberapa bentuk keracunan.

2.1.5. Stadium Pada Asfiksia


Pada orang yang mengalami asfiksia akan timbul gejala yang dapat dibedakan dalam 4 stadium
(Amir, 2008), yaitu:

1. Stadium Dispnea
Terjadi karena kekurangan O2 disertai meningkatnya kadar CO2 akan merangsang pusat
pernafasan, gerakan pernafasan (inspirasi dan ekspirasi) bertambah dalam dan cepat disertai
bekerjanya otot-otot pernafasan tambahan. Wajah cemas, bibir mulai kebiruan, mata menonjol,
denyut nadi dan tekanan darah meningkat. Bila keadaan ini berlanjut, maka masuk ke stadium
kejang.

2. Stadium Kejang
Berupa gerakan klonik yang kuat pada hampir seluruh otot tubuh, kesadaran hilang dengan
cepat, spinkter mengalami relaksasi sehingga feses dan urin dapat keluar spontan. Denyut nadi
dan tekanan darah masih tinggi, sianosis makin jelas. Bila kekurangan O2ini terus berlanjut,
maka penderita akan masuk ke stadium apnoe.

3. Stadium Apnea
Korban kehabisan nafas karena depresi pusat pernafasan, otot menjadi lemah, hilangnya refleks,
dilatasi pupil, tekanan darah menurun, pernafasan dangkal dan semakin memanjang, akhirnya
berhenti bersamaan dengan lumpuhnya pusat-pusat kehidupan.

Walaupun nafas telah berhenti dan denyut nadi hampir tidak teraba, pada stadium ini bisa
dijumpai jantung masih berdenyut beberapa saat lagi.
Masa dari saat asfiksia timbul sampai terjadinya kematian sangat bervariasi. Umumnya berkisar
antara 3-5 menit.

2.1.6. Tanda Kardinal Asfiksia


Selama beberapa tahun dilakukan autopsi untuk mendiagnosis kematian akibat asfiksia, telah
ditetapkan beberapa tanda klasik (Knight, 1996), yaitu:
a. Tardieus spot (Petechial hemorrages)
Tardieus spot terjadi karena peningkatan tekanan vena secara akut yang menyebabkan
overdistensi dan rupturnya dinding perifer vena, terutama pada jaringan longgar, seperti kelopak
mata, dibawah kulit dahi, kulit dibagian belakang telinga, circumoral skin, konjungtiva dan
sklera mata. Selain itu juga bisa terdapat dipermukaan jantung, paru dan otak. Bisa juga terdapat
pada lapisan viseral dari pleura, perikardium, peritoneum, timus, mukosa laring dan faring,
jarang pada mesentrium dan intestinum.

b. Kongesti dan Oedema


Ini merupakan tanda yang lebih tidak spesifik dibandingkan dengan ptekie. Kongesti adalah
terbendungnya pembuluh darah, sehingga terjadi akumulasi darah dalam organ yang diakibatkan
adanya gangguan sirkulasi pada pembuluh darah. Pada kondisi vena yang terbendung, terjadi
peningkatan tekanan hidrostatik intravaskular (tekanan yang mendorong darah mengalir di dalam
vaskular oleh kerja pompa jantung) menimbulkan perembesan cairan plasma ke dalam ruang
interstitium. Cairan plasma ini akan mengisi pada sela-sela jaringan ikat longgar dan rongga
badan (terjadi oedema).

c. Sianosis
Merupakan warna kebiru-biruan yang terdapat pada kulit dan selaput lendir yang terjadi akibat
peningkatan jumlah absolut Hb tereduksi (Hb yang tidak berikatan dengan O2). Ini tidak dapat
dinyatakan sebagai anemia, harus ada minimal 5 gram hemoglobin per 100 ml darah yang
berkurang sebelum sianosis menjadi bukti, terlepas dari jumlah total hemoglobin.
6

Pada kebanyakan kasus forensik dengan konstriksi leher, sianosis hampir selalu diikuti dengan
kongesti pada wajah, seperti darah vena yang kandungan hemoglobinnya berkurang setelah
perfusi kepala dan leher dibendung kembali dan menjadi lebih biru karena akumulasi darah.

d. Tetap cairnya darah


Terjadi karena peningkatan fibrinolisin paska kematian. Gambaran tentang tetap cairnya darah
yang dapat terlihat pada saat autopsi pada kematian akibat asfiksia adalah bagian dari mitologi
forensik. Pembekuan yang terdapat pada jantung dan sistem vena setelah kematian adalah sebuah
proses yang tidak pasti, seperti akhirnya pencairan bekuan tersebut diakibatkan oleh enzim
fibrinolitik. Hal ini tidak relevan dalam diagnosis asfiksia

2.1.7. Tanda Khusus Asfiksia


Didapati sesuai dengan jenis asfiksia (Amir, 2007), yaitu:
a. Pada pembekapan, kelainan terdapat disekitar lobang hidung dan mulut. Dapat berupa luka
memar atau lecet. Perhatikan bagian di belakang bibir luka akibat penekanan pada gigi, begitu
pula di belakang kepala atau tengkuk akibat penekanan. Biasanya korban anak-anak atau orang
yang tidak berdaya. Bila dilakukan dengan bahan halus, kadang-kadang sulit mendapatkan
tanda-tanda kekerasan.

b. Mati tergantung. Kematian terjadi akibat tekanan di leher oleh pengaruh berat badan sendiri.
Kesannya leher sedikit memanjang, dengan bekas jeratan di leher. Ada garis ludah di pinggir
salah satu sudut mulut.
Bila korban cukup lama tergantung, maka lebam mayat didapati di kedua kaki dan tangan.
Namun bila segera diturunkan, maka lebam mayat akan didapati pada bagian terendah tubuh.
Muka korban lebih sering pucat, karena peristiwa kematian berlangsung cepat, tidak sempat
terjadi proses pembendungan.

Pada pembukaan kulit di daerah leher, didapati resapan darah setentang jeratan, demikian juga di
pangkal tenggorokan dan oesophagus. Tanda-tanda pembendungan seperti pada keadaan asfiksia
yang lain juga didapati. Yang khas disini adalah adanya perdarahan berupa garis yang letaknya

melintang pada tunika intima dari arteri karotis interna, setentang dengan tekanan tali pada
leher.
Tanda-tanda diatas tidak didapati pada korban yang digantung setelah mati, kecuali bila dibunuh
dengan cara asfiksia. Namun tanda-tanda di leher tetap menjadi petunjuk yang baik.

2.1.8. Pemeriksaan Jenazah

a. Pada pemeriksaan luar jenazah dapat ditemukan (Ilmu Kedokteran Forensik, 1997):

1. Sianosis pada bibir, ujung-ujung jari dan kuku.


2. Pembendungan sistemik maupun pulmoner dan dilatasi jantung kanan merupakan tanda klasik
pada kematian akibat asfiksia.
3. Warna lebam mayat merah-kebiruan gelap dan terbentuk lebih cepat. Distribusi lebam mayat
lebih luas akibat kadar karbondioksida yang tinggi dan aktivitas fibrinolisin dalam darah
sehingga darah sukar membeku dan mudah mengalir.
4. Terdapat busa halus pada hidung dan mulut yang timbul akibat peningkatan aktivitas
pernapasan pada fase 1 yang disertai sekresi selaput lendir saluran napas bagian atas. Keluar
masuknya udara yang cepat dalam saluran sempit akan menimbulkan busa yang kadang-kadang
bercampur darah akibat pecahnya kapiler.
Kapiler yang lebih mudah pecah adalah kapiler pada jaringan ikat longgar, misalnya pada
konjungtiva bulbi, palpebra dan subserosa lain. Kadang-kadang dijumpai pula di kulit wajah.
5. Gambaran pembendungan pada mata berupa pelebaran pembuluh darah konjungtiva bulbi dan
palpebra yang terjadi pada fase 2. Akibatnya tekanan hidrostatik dalam pembuluh darah
meningkat terutama dalam vena, venula dan kapiler. Selain itu, hipoksia dapat merusak endotel
kapiler sehingga dinding kapiler yang terdiri dari selapis sel akan pecah dan timbul bintik-bintik
perdarahan yang dinamakan sebagai Tardieus spot.
Penulis lain mengatakan bahwa Tardieus spot ini timbul karena permeabilitas kapiler yang
meningkat akibat hipoksia.

b. Pada pemeriksaan dalam jenazah dapat ditemukan (Ilmu Kedokteran Forensik, 1997):
1. Darah berwarna lebih gelap dan lebih encer, karena fibrinolisin darah yang meningkat paska
kematian.

2. Busa halus di dalam saluran pernapasan.


3. Pembendungan sirkulasi pada seluruh organ dalam tubuh sehingga menjadi lebih berat,
berwarna lebih gelap dan pada pengirisan banyak mengeluarkan darah.
4. Petekie dapat ditemukan pada mukosa usus halus, epikardium pada bagian belakang jantung
belakang daerah aurikuloventrikular, subpleura viseralis paru terutama di lobus bawah pars
diafragmatika dan fisura interlobaris, kulit kepala sebelah dalam terutama daerah otot temporal,
mukosa epiglotis dan daerah sub-glotis.
5. Edema paru sering terjadi pada kematian yang berhubungan dengan hipoksia.
6. Kelainan-kelainan yang berhubungan dengan kekerasan, seperti fraktur laring langsung atau
tidak langsung, perdarahan faring terutama bagian belakang rawan krikoid (pleksus vena
submukosa dengan dinding tipis).

2.2. ASFIKSIA MEKANIK


Asfiksia mekanik adalah mati lemas yang terjadi bila udara pernapasan terhalang memasuki
saluran pernapasan oleh berbagai kekerasan (yang bersifat mekanik), (Ilmu Kedokteran Forensik,
1997), misalnya:

a. Penutupan lubang saluran pernapasan bagian atas, seperti pembekapan (smothering) dan
penyumbatan (gagging dan choking).
b. Penekanan dinding saluran pernapasan, seperti penjeratan (strangulation), pencekikan
(manual strangulation, throttling) dan gantung (hanging).
c. Penekanan dinding dada dari luar (asfiksia traumatik)

2.3. MATI GANTUNG (HANGING)


2.3.1. Defenisi
Mati gantung (hanging) merupakan suatu bentuk kematian akibat pencekikan dengan alat jerat,
di mana gaya yang bekerja pada leher berasal dari hambatan gravitasi dari berat tubuh atau
bagian tubuh (Knight, 1996).

2.3.2. Etiologi Kematian pada Penggantungan


Ada 6 penyebab kematian pada penggantungan (Modi,1988), yaitu:
a. Asfiksia
Merupakan penyebab kematian yang tersering. Alat penjerat biasanya berada di atas tulang
rawan tiroid yang menyebabkan penekanan pada leher, sehingga saluran pernafasan menjadi
tersumbat.

b. Kongesti Vena
Disebabkan oleh lilitan tali pengikat pada leher sehingga terjadi penekanan pada vena jugularis
oleh alat penjerat sehingga sirkulasi serebral menjadi terhambat.

c. Kombinasi Asfiksia dan Kongesti Vena


Merupakan penyebab kematian yang paling umum, seperi pada kebanyakan kasus dimana
saluran napas tidak seluruhnya dihalangi oleh penjerat yang berada di sekitar leher.

d. Iskemik Otak (anoxia)


Disebabkan oleh penekanan pada arteri besar di leher yang berperan dalam menyuplai darah ke
otak, umunya pada arteri karotis dan arteri vertebralis.

e. Syok Vagal
Menyebabkan serangan jantung mendadak karena terjadinya hambatan pada refleks vaso-vagal
secara tiba-tiba, hal ini terjadi karena adanya tekanan pada saraf vagus atau sinus karotid.

f. Fraktur atau Dislokasi dari Verterbra Servikal 2 dan 3

10

Biasanya terjadi pada kasus judicial hanging, hentakan yang tiba-tiba pada ketinggian 1-2 m oleh
berat badan korban dapat menyebabkan fraktur dan dislokasi dari vertebra servikalis yang
selanjutnya dapat menekan atau merobek spinal cord sehingga terjadi kematian yang tiba-tiba.

2.3.3. Jenis Penggantungan


a. Dari letak tubuh ke lantai dapat dibedakan menjadi 2 tipe (Amir, 2008), yaitu:

1. Tergantung Total (complete), dimana tubuh seluruhnya tergantung di atas lantai.

2. Setengah Tergantung (partial), dimana tidak seluruh bagian tubuh tergantung, misalnya pada
posisi duduk, bertumpu pada kedua lutut, dalam posisi telungkup dan posisi lain.

b. Dari letak jeratan dibedakan menjadi 2 tipe (Amir, 2008), yaitu:

1. Tipikal, dimana letak simpul di belakang leher, jeratan berjalan simetris di samping leher dan
di bagian depan leher di atas jakun. Tekanan pada saluran nafas dan arteri karotis paling besar
pada tipe ini.

2. Atipikal, bila letak simpul di samping, sehingga leher dalam posisi sangat miring (fleksi
lateral) yang akan mengakibatkan hambatan pada arteri karotis dan arteri vetebralis. Saat arteri
terhambat, korban segera tidak sadar.

2.3.4. Tanda Post Mortem

Tanda post mortem sangat berhubungan dengan penyebab kematian atau tekanan di leher. Kalau
kematian terutama akibat sumbatan pada saluran pernafasan maka dijumpai tanda-tanda asfiksia,
respiratory distress, sianose dan fase akhir konvulsi lebih menonjol. Bila kematian karena
tekanan pembuluh darah vena, maka sering didapati tanda-tanda pembendungan dan perdarahan
(ptechial) di konjungtiva bulbi, okuli dan di otak bahkan sampai ke kulit muka. Bila tekanan
lebih besar sehingga dapat menutup arteri, maka tanda-tanda kekurangan darah di otak lebih
menonjol (iskemi otak), yang menyebabkan gangguan pada sentra respirasi dan berakibat gagal
11

nafas. Tekanan pada sinus karotikus menyebabkan jantung tiba-tiba berhenti dengan tanda-tanda
post mortem yang minimal. Tanda- tanda di atas jarang berdiri sendiri, tetapi umumnya akan
didapati tanda-tanda gabungan (Amir, 2008).

2.3.5. Pemeriksaan Jenazah

a. Pemeriksaan Luar
Pada pemeriksaan luar penting diperiksa bekas jeratan di leher (Amir,2008), yaitu:

1. Bekas jeratan (ligature mark) berparit, bentuk oblik seperti V terbalik, tidak bersambung,
terletak di bagian atas leher, berwarna kecoklatan, kering seperti kertas perkamen, kadangkadang disertai luka lecet dan vesikel kecil di pinggir jeratan. Bila lama tergantung, di bagian
atas jeratan warna kulit akan terlihat lebih gelap karena adanya lebam mayat.

2. Kita dapat memastikan letak simpul dengan menelusuri jejas jeratan. Simpul terletak di bagian
yang tidak ada jejas jeratan, kadang di dapati juga jejas tekanan simpul di kulit. Bila bahan
penggantung kecil dan keras (seperti kawat), maka jejas jeratan tampak dalam, sebaliknya bila
bahan lembut dan lebar (seperti selendang), maka jejas jeratan tidak

begitu jelas. Jejas jeratan juga dapat dipengaruhi oleh lamanya korban tergantung, berat badan
korban dan ketatnya jeratan. Pada keadaan lain bisa didapati leher dibeliti beberapa kali secara
horizontal baru kemudian digantung, dalam kasus ini didapati beberapa jejas jeratan yang
lengkap, tetapi pada satu bagian tetap ada bagian yang tidak tersambung yang menunjukkan letak
simpul.
3. Leher bisa didapati sedikit memanjang karena lama tergantung, bila segera diturunkan tanda
memanjang ini tidak ada. Muka pucat atau bisa sembab, bintik perdarahan Tardieus spot tidak
begitu jelas, lidah terjulur dan kadang tergigit, tetesan saliva dipinggir salah satu sudut mulut,
sianose, kadang-kadang ada tetesan urin, feses dan sperma.
4. Bila korban lama diturunkan dari gantungan, lebam mayat didapati di kaki dan tangan bagian
bawah. Bila segera diturunkan, lebam mayat bisa di dapati di bagian depan atau belakng tubuh

12

sesuai dengan letak tubuh sesudah diturunkan. Kadang penis tampak ereksi akibat terkumpulnya
darah.

b. Pemeriksaan Dalam
Pada pemeriksaan dalam perlu diperhatikan (Amir, 2008):

1. Jaringan otot setentang jeratan didapati hematom, saluran pernafasan congested, demikian
juga paru-paru dan organ dalam lainnya. Terdapat Tardieus spot di permukaan paru-paru,
jantung dan otak. Darah berwarna gelap dan encer
2. Patah tulang lidah (os hyoid) sering didapati, sedangkan tulang rawan yang lain jarang
3. Didapati adanya robekan melintang berupa garis berwarna merah (red line) pada tunika intima
dari arteri karotis interna.

Tabel 2.1 : Cara membedakan Bunuh Diri


kematian (pembunuhan atau bunuh
diri) Pembunuhan
Alat penjerat:

Biasanya simpul mati

Simpul hidup

- Simpul

Hanya satu

Satu atau lebih

- Jumlah lilitan

Mendatar

Serong ke atas

- Arah

Dekat

Jauh

Korban:

Berjalan mendatar

Meninggi ke arah simpul

- Jejas jerat

- Luka perlawanan

Ada, sering di daerah Biasanya

- Luka-luka lain

leher

mungkin terdapat luka

Jauh

percobaan lain

- Jarak titik tumpusimpul

- Jarak dari lantai

Dekat,

tidak

tergantung

dapat

13

ada,

tidak

TKP:

Bervariasi

Tersembunyi

- Lokasi

Tidak teratur

Teratur

- Kondisi

Tidak teratur, robek

Rapi dan baik

Dari si pembunuh

Berasal dari yang ada di

- Pakaian

Alat:

TKP
Surat peninggalan:

Ruangan:

Tak teratur, terkunci dari Terkunci dari dalam


luar

14

BAB III
PENUTUP

Asfiksia atau mati lemas adalah suatu keadaan berupa berkurangnya kadar oksigen dan
berlebihnya kadar karbon dioksida secara bersamaan dalam darah dan jaringan tubuh akibat
gangguan pertukaran antara oksigen dalam alveoli paru-paru dengan karbon dioksida dalam
darah kapiler paru-paru. Asfiksia mekanik adalah mati lemas yang terjadi bila udara pernafasan
terhalang memasuki saluran pernafasan oleh berbagai kekerasan (yang bersifat mekanik),
misalnya pada kasus pembekapan (smothering), penyumbatan (gagging dan chocking),
penjeratan (strangulation), pencekikan (manual strangulation), penggantungan (hanging),
external pressure of the chest yaitu penekanan dinding dada dari luar, dan inhalation of
suffocating gasses.

15

DAFTAR PUSTAKA

1. Muhammad Al Fatih II. Asfiksia dalam Forensik Klinik. 2007. Available at


http://www.klinikindonesia.com/forensik.php. Diakses tanggal 17 oktober 2014
2. Abdul Munin Idries. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik Edisi Pertama. Binarupa Aksara.
1997. Hal 170-175
3. Anonim. Tanatologi Dan Identifikasi Kematian Mendadak (Khususnya Pada Kasus
Penggantungan). Available at http://fkuii.org/tiki-download_wiki_attachment.php?attId=14.
Diakses tanggal 20 oktober 2014
4. Budiyanto A. Kematian Akibat Asfiksia Mekanik dalam Ilmu Kedokteran Forensik Edisi I.
Jakarta. Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 1997. Hal 55
70.
5. Surya Putra. Penentuan Standar Asfiksia Sebagai Penyebab Kematian di Instalasi Kedokteran
Forensik RSUD DR.Sardjito. Badan Litbang Kesehatan, Departemen Kesehatan RI. Available at
http://digilib.litbang.depkes.go.id. Diakses tanggal 15 oktober 2014
6. Amy R. Suicidal Ligature Strangulation: Case Report and Review of the Literature. 2000.
Available at http://www.forensikkasus.fkui.com. Diakses tanggal 16 oktober 2014
7. www.repository fkusu.forensikkasus..com. diakses tanggal 16 oktober 2014

16

You might also like