You are on page 1of 11

TINJAUAN PUSTAKA

Potensi Sekam Padi Sebagai Pakan Ternak


Sekam padi merupakan salah satu limbah pertanian yang dihasilkan dari
penggilingan padi, dengan jumlah yang melimpah sehingga sering dibiarkan
membusuk (Belewu, 1998). Sekam padi adalah kulit biji padi (Oryza sativa) yang
sudah digiling. Sekam padi biasanya dijadikan sebagai media tanam, yang berperan
penting dalam perbaikan struktur tanah sehingga sistem aerasi dan drainase di media
tanam menjadi lebih baik. Kelebihan sekam sebagai media tanam yaitu mudah
mengikat air, tidak mudah lapuk, merupakan sumber kalium (K) yang dibutuhkan
tanaman, dan tidak mudah menggumpal atau memadat sehingga akar tanaman dapat
tumbuh dengan sempurna (Fara, 2010).

Gambar 1. Sekam Padi (Sumber : Harkel, 2012).


Kulit gabah adalah lapisan keras yang meliputi kariopsis, terdiri dari dua
belahan yang disebut lemma dan palea yang saling bertautan. Kulit gabah yang
dihasilkan oleh penggilingan tipe Engelberg padi berwujud hancuran sekam
bercampur dengan dedak dan bekatul, sedangkan kulit gabah atau sekam yang keluar

dari mesin pengupas sekam tipe rol karet, tipe banting (flash type) dan tipe
penggilingan batu (disc husker) tidak hancur seperti yang keluar dari penggilingan
padi Engelberg sekitar 17% dari berat total gabah adalah kulit gabah atau sekam.
Kulit gabah dapat digunakan untuk berbagai keperluan, antara lain bahan energi
alternatif, bahan baku industri kimia, bahan baku industri bangunan, dan bahan
pakan. Kulit gabah termasuk bahan pakan berkualitas rendah (Murni dkk, 2008).
Menurut BPS (2004), produksi sekam padi di Sulawesi Selatan mencapai
1.959.731 ton. Saat ini sekam padi tidak memiliki nilai nutrisi langsung dan pada
pada kebanyakan penggilingan padi, sekam padi hanya dibiarkan membusuk atau
digunakan sebagai bahan bakar. Terbatasnya manfaat sekam padi khususnya sebagai
pakan, karena sekam padi pada ternak menghasilkan pertumbuhan yang lambat
sebagai hasil dari rendahnya kualitas nutrisi, tingginya serat kasar, dan kandungan
lignin (Aderolu dan Iyayi, 2002).
Tabel 1. Komposisi Kimia Sekam Padi (%)
Komposisi
Kadar air

Jumlah (%)
9,02

Protein kasar

3.03

Lemak

1.18

Serat kasar

35.68

Abu

17.17

Karbohidrat dasar

33.71

Sumber : Thiara, 2009.

Pemanfaatan Jamur Pelapuk Putih dalam Pengolahan Bahan Pakan


Jamur pelapuk kayu dibedakan atas jamur pelapuk putih, pelapuk coklat,
pelapuk lunak. Jamur pelapuk putih menyerang lignin maupun polisakarida. Kayu
yang terdegradasi menjadi putih dan lunak. Berbeda dengan jamur pelapuk putih,
jamur pelapuk coklat mendegradasi polisakarida kayu dan mendegradasi sedikit
lignin sehingga kayu menjadi coklat dan rapuh, sedangkan jamur pelapuk lunak
mampu mendegradasi selulosa dan komponen penyusun dinding sel sehingga lebih
lunak (Fengel dan Wegener, 1995).
Jamur

pelapuk

putih

menguraikan

lignin

melalui

proses

oksidasi

menggunakan enzim phenol oksidase menjadi senyawa yang lebih sederhana


sehingga dapat diserap oleh mikroorganisme (Sanchez, 2009). Jamur pelapuk putih
memiliki keistimewaan yang unik, yaitu kemampuannya untuk mendegradasi lignin.
Jamur pelapuk putih sanggup menguraikan lignin secara sempurna menjadi air dan
karbondioksida (Isroy, 2010).

Jamur mendegradasi lignin secara keseluruhan

menjadi karbon dioksida untuk masuk ke polisakarida kayu yang dilindungi oleh
lignin-karbohidrat kompleks (Wilson dan Walter 2002).

Jamur pelapuk putih

mendepolimerisasi oksidatif lignin dengan mensekresi beberapa enzim, seperti lignin


peroxidase, manganese peroxidase, lakase (Acunzo et al., 2002). Jamur ligninolitik

tidak hanya menggunakan lignin sebagai satu-satunya sumber energi dan karbon bagi
pertumbuhannya, tetapi juga beberapa polisakarida yang ada pada substrat
lignoselulosik, dan fungsi utama ligninolisis adalah untuk membuka polisakarida
sehingga polisakaridanya (selulosa dan hemiselulosa) dapat dipecahkan oleh jamur
(Hammel, 1997).

Gambar 2. Hemiselulosa, Selulosa, dan Lignin (Sumber : Smith, 2009)


Ada ribuan spesies jamur pelapuk putih telah diketahui utamanya berasal dari
kelompok basidiomisetes dan askomisetes.

Contoh basidiomisetes adalah

Phanerochataete

versicolor

chrysosprium

dan

Coriolus

askomisetes adalah Xylaria, Libertella dan Hypoxylon.

sedangkan

contoh

Jamur pelapuk putih

memproduksi enzim lignolitik yang mampu bekerja mengoksidasi pelepasan unit


fenilpropanoid, demetilasi, mengubah gugus aldehid (R-CHO) menjadi gugus
karboksil (R-COOH), dan membuka cincin aromatik sehingga secara sempurna

merombak lignin menjadi CO2 dan H2O. Jamur pelapuk putih menghasilkan tiga
kelas enzim ektraseluler perombak lignin yaitu lakase pengoksidasi fenol,
peroksidase lignin, dan oksidase mangan, sehingga mampu menguraikan semua
polimer-polimer utama seperti selulosa dan hemiselulosa (Soeparjo, 2004).
Jamur pelapuk putih merupakan jamur yang ada pada kayu yang dipakai
untuk meningkatkan kualitas bahan pakan yang sulit dicerna. Jamur pelapuk ini dapat
memecah ikatan lignoselulosa karena jamur ini mengeluarkan. enzirn fenoloxidase,
laccase dan manganoxidase yang termasuk enzim-enzim pemecah lignin (Chang et
al., 1980).
Jamur pelapuk putih memproduksi enzim oksidatif ekstraselular yang unik
yang digunakan pada proses degradasi lignin. Sistem enzim hasil sekresi
mikroorganisme inilah yang berfungsi sebagai agen biodegradasi yang mampu
memecah bahan berlignoselulosa menjadi molekul-molekul yang lebih sederhana
(Djarwanto 1997).
Jamur pelapuk putih ini dapat menguraikan lignin, selulosa dan hemiselulosa
yang terdapat dalam limbah padat seperti tandan kosong kelapa sawit. (Moriya et al.,
2001). Secara garis besar selulosa terdiri dari 3 komponen utama,

yaitu lignin,

selulosa, dan hemiselulosa. Selulosa berbentuk serat panjang, rantai selulosa menyatu
dengan ikatan hidrogen membentuk serat selulosa. Serat-serat ini diikat menjadi satu
oleh hemiselulosa membentuk benang halus. Beberapa serat diikat dan diselubungi
oleh lignin (Isroy, 2010).

Teknologi Fermentasi dalam Bidang Peternakan


Fermentasi secara teknik dapat didefinisikan sebagai suatu proses oksidasi
anaerobik atau partial anaerobik karbohidrat yang menghasilkan alkohol serta
beberapa asam, namun banyak proses fermentasi yang menggunakan substrat protein
dan lemak (Muchtadi dan Ayustaningwarno, 2010). Fermentasi dapat diartikan
sebagai suatu disimilasi senyawa-senyawa organik yang disebabkan oleh aktivitas
mikroorganisme (Sulistyaningrum, 2008), atau ekstrak dari sel-sel tersebut dengan
kata lain fermentasi merupakan suatu reaksi oksidasi di dalam sistem biologi yang
menghasilkan energi, dimana sebagai akseptor dan devior elektron digunakan
senyawa organik. Senyawa organik tersebut biasanya adalah karbohidrat dalam
bentuk disakarida atau monosakarida. Senyawa-senyawa akan diubah oleh katalis
enzim menjadi suatu bentuk lain, misalnya alkohol yang dapat dioksidasi menjadi
asam.

Terjadinya fermentasi ini menyebabkan perubahan sifat pangan tersebut

seperti timbul rasa dan bau alkohol dari bahan tersebut (Norman, 1988).
Fermentasi merupakan suatu cara untuk mengubah substrat menjadi produk
tertentu yang dikehendaki dengan menggunakan bantuan mikroba. Produk-produk
tersebut biasanya dimanfatkan sebagai minuman atau makanan. Fermentasi suatu cara
telah dikenal dan digunakan sejak lama sejak jaman kuno. Sebagai suatu proses
fermentasi memerlukan mikroba sebagai inokulum, tempat (wadah) untuk menjamin
proses fermentasi berlangsung dengan optimal, substrat sebagai tempat tumbuh
(medium) dan sumber nutrisi bagi mikroba (Waites et al., 2001).

Proses

fermentasi

bahan pakan oleh mikroorganisme menyebabkan

perubahan-perubahan yang menguntungkan seperti memperbaiki mutu bahan pakan


baik dari aspek gizi maupun daya cerna serta meningkatkan daya simpannya.
Penambahan bahan-bahan nutrient kedalam media fermentasi dapat menyokong dan
merangsang pertumbuhan mikroorganisme (Fardiaz, 1989).
Fermentasi terbagi menjadi dua, yaitu fermentasi spontan dan tidak spontan
(membutuhkan starter). Fermentasi spontan adalah fermentasi yang biasa dilakukan
menggunakan media penyeleksi, seperti garam, asam organik, asam mineral, nasi
atau pati. Fermentasi tidak spontan adalah fermentasi yang dilakukan dengan
penambahan kultur organisme bersama media penyeleksi sehingga proses fermentasi
dapat berlangsung lebih cepat (Rahayu dkk, 1992).

Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik In Vitro


Kecernaan adalah zat-zat makanan dari konsumsi pakan yang tidak
diekskresikan ke dalam feses, selisih antara zat makanan yang dikonsumsi dengan
yang dieksresikan dalam feses merupakan jumlah zat makanan yang dapat dicerna.
Jadi kecernaan merupakan pencerminan dari kemampuan suatu bahan pakan yang
dapat dimanfaatkan oleh ternak.

Tinggi

rendahnya

kecernaan bahan pakan

memberikan arti seberapa besar bahan pakan itu mengandung zat-zat makanan dalam
bentuk yang dapat dicernakan ke dalam saluran pencernaan (Ismail, 2011).

10

Evaluasi

degradasi

bahan pakan dalam

rumen dapat

dilaksanakan

menggunakan metode in vitro, in sacco, dan in vivo (Tillman, dkk., 1998). Dalam
menentukan nilai kecernaan dan pakan ruminansia ada tiga teknik utama yang dapat
digunakan saat ini, yaitu ; a) pencernaan dengan mikroorganisme rumen, b)
menggunakan enzim selulase, dan c) inkubasi sampel-sampel in situ menggunakan
nylon bag dalam rumen dengan menggunakan ternak fistula (Getachew et al., 2004).
Kecernaan in vitro adalah teknik pengukuran degradabilitas dan kecernaan
evaluasi ransum secara biologis dapat dilakukan secara laboratorium dengan meniru
seperti kondisi sebenarnya (Mulyawati, 2009). Pada dasarnya teknik In vitro adalah
meniru kondisi rumen. Kondisi yang dimodifikasi dalam hal ini antara lain larutan
penyangga, bejana fermentasi, pengadukan dan fase gas, suhu fermentasi, pH
optimum, sumber inokulum, kondisi anaerob, periode fermentasi serta akhir
fermentasi.

Larutan

penyangga

sebagai

unsur

buffer

berfungsi

untuk

mempertahankan pH rumen sehingga tidak mudah turun oleh asam-asam organik


yang dihasilkan selama proses fermentasi (Sutardi dkk, 1983).
Kelestarian proses fermentasi dalam rumen dipengaruhi oleh kondisi rumen
yang anaerob, tekanan osmose pada rumen mirip dengan tekanan aliran darah,
temperatur konstan, pH dipertahankan 6,8 oleh adanya absorbsi asam lemak, amonia
serta saliva yang berfungsi sebagai buffer. pH dalam rumen dapat mempengaruhi
keadaan fermentasi, khususnya pakan dengan kandungan pati dan gula terlarut yang
tinggi (Adri, 2011).

11

Kelebihan dari teknik in vitro adalah degradasi dan fermentasi pakan terjadi di
dalam rumen dapat diukur secara cepat dalam waktu relatif singkat, biaya murah,
pengaruh terhadap ternak sedikit serta dapat dikerjakan dengan menggunakan
banyak sampel.

Penentuan kecernaan bahan pakan secara in vitro memiliki

beberapa keuntungan, yaitu (1) dapat digunakan untuk menentukan nilai kecernaan
pakan dalam waktu yang relatif singkat, (2) mengurangi resiko kematian ternak, (3)
lebih ekonomis dan (4) mewakili penampilan ternak (Ismail, 2011).
Kecernaan in vitro dipengaruhi beberapa hal yaitu pencampuran pakan, cairan
rumen dan inokulan, pH kondisi fermentasi, pengaturan suhu fermentasi, lamanya
waktu inkubasi, ukuran partikel sampel dan buffer. Faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap nilai kecernaan yaitu pakan, ternak dan lingkungan (pH, suhu dan udara baik
secara aerob maupun anaerob) (Mulyawati, 2009).
Teknik in vitro dapat dilakukan dengan penambahan enzim seperti enzim
pepsin dan selulosa. Pepsin adalah enzim yang terdapat dalam perut yang akan mulai
mencerna protein dengan memecah protein menjadi bagianbagian yang lebih kecil.
Enzim ini termasuk protease, pepsin disekresi dalam bentuk inaktif, pepsinogen, yang
akan diaktifkan oleh asam lambung (Rahima, 2010).
Kecernaan BK yang tinggi pada ternak ruminansia menunjukkan tingginya zat
nutrisi yang dicerna oleh mikroba rumen. Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai
kecernaan BK ransum adalah tingkat proporsi bahan pakan dalam ransum, komposisi
kimia, tingkat protein, persentase lemak dan mineral (Anggorodi, 1994).

12

Suhu fermentasi diusahakan sama dengan suhu fermentasi dalam rumen yaitu
berkisar 36-39oC. Suhu tersebut harus stabil selama proses fermentasi berlangsung,
hal ini dimaksud agar mikroba dapat berkembang sesuai dengan kondisi asal.
Aktifitas mikroba rumen tetap berlangsung normal apabila pH rumen berkisar antara
6,0-6,7.

Pemberian gas CO2 secepatnya bersamaan dengan pengadukan secara

mekanik dilakukan dalam fermentasi in vitro dengan meniru prinsip pengadukan


dalam rumen sesungguhnya yang selalu bergerak secara teratur. Gerakan rumen
juga ditiru dengan penempatan bejana fermentasi dalam shakerbath (Makkar et al.,
1995). Faktor-faktor yang mempengaruhi kecernaan in vitro diantaranya adalah
pencampuran pakan, cairan rumen, pengontrolan temperatur, variasi waktu, dan
metode analisis (Yunus, 1997).
Bahan organik terdiri dari protein, kabohidrat, lemak dan vitamin. Bahan
kering terdiri dari bahan makanan anorganik yaitu mineral yang dibutuhkan tubuh
dalam jumlah cukup untuk pembentukan tulang dan berfungsi sebagai bagian enzim
dari hormon, serta bahan organik yang terdiri dari karbohidrat, protein, vitamin dan
lemak. Bahan kering merupakan bagian terbesar nutrient yang dibutuhkan oleh
ternak. Kualitas bahan kering yang dimakan ternak tidak saja tergantung dari mutu
bahan makanan yang dimakan, tapi juga ukuran ternak yang memakan bahan
makanan tersebut.

Bahan organik terdiri dari protein, karbohidrat, lemak, dan

vitamin (Tillman, dkk., 1998).

13

Bahan organik merupakan bahan kering yang telah dikurangi abu, komponen
bahan keringnya bila difermentasi di dalam rumen akan menghasilkan asam lemak
terbang yang merupakan sumber energi bagi ternak. Kecernaan BO sangat erat
kaitannya dengan kecernaan BK karena sebagian bahan kering terdiri dari bahan
organik. Penurunan kecernaan BK akan mengakibatkan kecernaan BO yang ikut
menurun atau sebaliknya (Ismail, 2011).
Sekam padi adalah kulit biji padi yang sudah digiling dan biasanya dijadikan
sebagai media pertumbuhan jamur. Tahun 2004, produksi sekam padi memcapai
1.959,731 ton, namun terbatasnya sekam padi sebagai pakan dikarenakan sekam padi
memiliki kandungan serat kasar dan lignin yang tinggi. Salah satu cara yang dapat
dilakukan untuk meningkatkan kandungan nutrisi sekam padi sebagai pakan adalah
fermentasi menggunakan jamur pelapuk putih.
Jamur pelapuk putih adalah jamur yang memiliki kemampuan mendegradasi
lignin sehingga yang difermentasi dengan jamur pelapuk putih belum diketahui nilai
kecernaan bahan kering dan bahan organiknya, salah satu cara yang dapat dilakukan
untuk mengetahui nilai kecernaan bahan kering dan bahan organik sekam padi adalah
dengan menggunakan metode in vitro.

14

You might also like