You are on page 1of 18

Beranda Cerita Rakyat Nusantara Si Pitung

Si Pitung
DKI Jakarta - Indonesia

Si Pitung adalah tokoh legendaris dan pahlawan dalam masyarakat Betawi di Jakarta. Ia dipercaya
sebagai pesilat unggul yang saleh dan rendah hati. Dengan keahliannya itu, ia membela rakyat kecil di
daerah Jakarta yang tertindas oleh penjajahan Belanda. Ia merampok orang-orang yang menjadi kaya
karena menjadi kaki tangan Belanda, lalu membagi-bagikan hasil rampasannya kepada rakyat jelata.
Sehingga, ia dikenal juga sebagai Robin Hood dari Betawi.
Hingga kini, orang Betawi percaya bahwa si Pitung memang pernah ada, berjuang, dan setelah gugur
dimakamkan di Marunda, Jakarta Utara. Berikut ini kisah pesilat legendaris tersebut.
***
Pada suatu sore, Pak Piun duduk-duduk di depan rumahnya. Seharian ia bekerja di sawah, dan sore
itu ia ingin melepas lelah bersama keluarganya. Bu Pinah, istrinya, duduk di balai-balai bambu sambil
memegangi perutnya yang membuncit. Beberapa hari lagi Bu Pinah akan melahirkan. Pak Piun
tersenyum bahagia, sembari menggumamkan doa, semoga anak yang lahir kelak akan menjadi anak
yang berguna.
Tiba-tiba salah satu dari ketiga anaknya yang duduk di dekat Bu Pinah bertanya kepada Pak Piun.
Pak, kenapa padi yang baru saja dipanen dirampas oleh centeng-centeng[1] Babah Liem?
Pak Piun terdiam sejenak, lalu menjawab dengan pelan.
Biarlah, Nak. Lagipula kita masih punya padi.
Sebenarnya, hati Pak Piun sedih bukan kepalang. Ia pun risau karena padi yang baru saja dipanen
tiba-tiba saja dirampas oleh centeng-centeng Babah. Namun, di daerah itu, rakyat jelata seperti dia
tidak bisa melawan perampasan itu.
Kampung Rawabelong, kampungnya, adalah bagian dari partikelir[2] Kebayoran. Tuan Tanah yang
berkuasa di sana adalah Liem Tjeng Soen. Tanah partikelir itu diperoleh dari pemerintahan Belanda
melalui pembelian dokumen tanah, serta kesediaan untuk membayar pajak kepada Belanda.
Untuk menjaga tanah itu, Babah Liem mengangkat centeng-centeng dari kalangan pribumi. Mereka
bertugas menagih pajak kepada penduduk. Para penduduk tidak berani melawan centeng-centeng
yang pandai bersilat dan mahir memainkan senjata itu. Maka, mereka hanya terdiam ketika centengcenteng mengambili ayam, kambing, padi, dan apa saja yang bisa dibawa.
Beberapa hari kemudian, Bu Pinah melahirkan. Pak Piun menamai anak yang baru lahir itu Pitung, dan
memanggilnya dengan nama si Pitung. Sebagaimana anak-anak Betawi umumnya, Pitung dibesarkan
dalam keluarganya sendiri. Ia diajari tata krama, belajar mengaji, membantu ayahnya menanam padi,
memetik kelapa, dan mencari rumput untuk pakan kambing. Adakalanya Pitung membantu tetanggatetangganya tanpa diminta.

Pitung pun rajin menunaikan perintah Allah, sholat dan puasa, serta selalu bertutur kata dengan
santun dan patuh kepada kedua orangtuanya.
Pitung belajar pengetahuan agama dan silat serta ilmu bela diri lainnya dari Haji Naipin, seorang
ulama yang dihormati di kampung Rawabelong. Karena Pitung patuh dan rajin berlatih, ia menjadi
murid kesayangan Haji Naipin. Kepadanya seluruh ilmu Haji Naipin dicurahkan, dengan harapan kelak
ia menjadi murid yang berguna bagi masyarakat. Haji Naipin bahkan memberikan ilmu Pancasona,
sebuah ilmu kebal senjata, kepada Pitung. Kata Haji Naipin, Ilmu ini buat membela yang lemah dari
kezaliman, bukan untuk menzalimi orang.
Meski menjadi murid kesayangan Haji Naipin, tetapi Pitung selalu rendah hati. Kepada orang lain ia
selalu bersikap santun dan terpuji. Ia pun tak luput dari gejolak masa muda. Ia menjalin hubungan
dengan Aisyah, dan berjanji akan menikah bila kelak usia mereka sudah pantas untuk menikah.
Pada suatu hari, Pitung menyaksikan sendiri kesewenang-wenangan centeng-centeng Babah Liem.
Centeng-centeng itu mendatangi rumah tetangganya dan merampas ayam, kambing, kelapa, dan
simpanan padi di lumbung. Sebagai pemuda, darahnya mendidih. Ia ingin menghajar mereka.
Namun, ibunya mencegah Pitung.
Jangan, Tung. Mereka punya kuasa. Nanti juga mereka mendapatkan hukuman sendiri.
Karena ingin mematuhi nasehat ibunya, Pitung mengurungkan niatnya untuk menghajar centengcenteng itu. Namun, di hari lain, ketika ia sedang berkunjung di kampung tetangga, ia melihat lagi
centeng-centeng itu bertindak sewenang-wenang.
Pitung tak dapat menahan diri lagi. Dihampirinya centeng-centeng yang sedang sibuk merampasi
barang keluarga yang malang itu.
Hei, para pengecut! seru Pitung. Kenapa kalian merampas harta orang lain? Pakai keroyokan lagi.
Sendiri-sendiri kalau berani!
Pemimpin centeng menoleh kepada Pitung dan tersenyum merendahkan.
Hai, kamu tidak tahu siapa kami ini ya? Pantas saja kamu berani membentak-bentak seperti itu.
Cuih! Pitung meludah dengan marah. Kalian hanya berani mengeroyok orang yang lemah. Sini,
kalau berani bertarung melawanku.
Pemimpin centeng itu menjadi geram. Ia menyerang Pitung sekenanya saja, mengira bahwa Pitung
akan mudah dirobohkan. Namun, di luar dugaannya, Pitung malah mencekal lengannya dan
membantingnya ke tanah hingga pingsan. Centeng-centeng yang lain menghentikan kesibukan
mereka dan mengepung Pitung. Dengan sigap Pitung menyerang lebih dulu. Ada lima centeng yang
mengeroyoknya. Satu demi satu ia hajar pelipis atau tulang kering mereka hingga mereka mengaduh
kesakitan. Lalu mereka menggotong pimpinan centeng yang masih pingsan dan melarikan diri.
Sebelum pergi, mereka mengancam: Awas, nanti kami laporkan Demang.
Beberapa hari setelah peristiwa itu, nama Pitung menjadi buah bibir di seluruh Kebayoran. Namun,
Pitung tak mau congkak. Ia bahkan menghindar kalau ada orang yang bertanya kepadanya tentang
kejadian itu.
Suatu hari, Pak Piun menyuruh Pitung menjual kambing ke Pasar Tanah Abang. Pak Piun sedang
membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Pitung pun mengeluarkan dua ekor
kambing dari kandang dan menuju ke Pasar Tanah Abang. Tanpa sepengetahuannya, ada seorang

centeng yang membuntutinya. Centeng itu terus mengawasi Pitung ketika Pitung mengantongi uang
hasil penjualan kambing. Bahkan ketika Pitung berjalan pulang dan singgah di sebuah mushola, orang
itu tetap membuntutinya. Ketika Pitung melepas bajunya untuk mandi di sungai dan berwudhu, orang
itu mencuri uang di saku baju Pitung.
Pitung sampai di rumah dan dimarahi ayahnya karena uang itu hilang. Dengan geram ia kembali ke
Pasar Tanah Abang dan mencari orang yang telah mencuri uangnya. Setelah melakukan penyelidikan,
ia menemukan orang itu. Orang itu sedang berkumpul dengan centeng-centeng lainnya di sebuah
kedai kopi.
Pitung mendatanginya dan menghardik, Kembalikan uangku!
Para centeng itu tertawa.
Salah seorang berkata, Kamu boleh ambil uang ini, tapi kamu harus menjadi anggota kami.
Cuh! Tak sudi aku jadi maling, jawab Pitung dengan kasar.
Para centeng itu marah mendengar jawaban Pitung. Serentak mereka menyerbu Pitung. Namun, yang
mereka hadapi adalah Si Pitung dari Kampung Rawabelong yang pernah menghajar enam orang
centeng Babah Liem sendirian. Akibatnya, satu demi satu mereka kena tinju Si Pitung. Yang berani
menggunakan senjata malah dimakan sendiri oleh senjata mereka.
Sejak hari itu, Si Pitung memutuskan untuk membela orang-orang yang lemah. Ia tak tahan lagi
melihat penderitaan rakyat jelata, yang ditindas centeng-centeng tuan tanah dan dihisap oleh
penjajah Belanda. Beberapa centeng yang pernah dihajarnya ada yang insyaf dan ia mengajak
mereka untuk membentuk suatu kelompok. Bersama kelompoknya, ia merampoki rumah-rumah
orang kaya dan membagi-bagikan harta rampasannya kepada orang-orang miskin dan lemah.
Nama Pitung menjadi harum di kalangan rakyat jelata. Namun, pada saat yang bersamaan, muncul
juga kelompok-kelompok lain yang ikut-ikutan merampok atas nama Si Pitung. Para tuan tanah dan
orang-orang yang mengambil keuntungan dengan cara memihak Belanda menjadi tidak tenteram.
Mereka mengadukan persoalan itu kepada pemerintah Belanda.
Penguasa penjajah di Batavia pun memerintahkan aparat-aparatnya untuk menangkap Si Pitung.
Schout Heyne, kontrolir[3] Kebayoran, memerintahkan mantri polisi dan bek untuk mencari tahu di
mana Pitung berada. Schout Heyne menjanjikan uang banyak kepada siapa saja yang mau memberi
tahu keberadaan si Pitung
Mengetahui dirinya menjadi buron, Pitung berpindah-pindah tempat, bahkan pernah sampai ke
Marunda. Selama itu, ia tetap melaksanakan perampasan harta orang-orang kaya, para demang dan
tuan tanah. Harta rampasan selalu ia berikan kepada rakyat yang lemah dan tertindas oleh
penjajahan.
Namun, pada suatu hari, Pitung dan kelompoknya terjebak oleh siasat polisi. Waktu itu mereka akan
merampok rumah seorang demang. Polisi sudah lebih dulu bersembunyi di sekitar rumah demang itu.
Ketika kelompok Pitung tiba, polisi segera mengepung rumah itu. Pitung membiarkan dirinya
tertangkap, sementara teman-temannya berhasil meloloskan diri. Ia dibawa ke penjara Grogol dan
disekap di sana.
Namun, karena selalu memikirkan nasib rakyat, ia meloloskan diri lewat genteng pada suatu malam.
Para penjaga menjadi panik karenanya.
Wah, bagaimana ini? Ke mana si Pitung tanya mereka kepada teman satu sel Pitung.

Saya tak tahu. Pitung kan sakti. Dia bisa menghilang, jawab teman satu sel Pitung.
Kabar bahwa Pitung lolos membuat kontrolir dan orang-orang kaya menjadi tidak tenteram lagi.
Schout Heyne memerintahkan orang untuk menangkap Pak Piun dan Haji Naipin. Kedua orang itu
disiksa agar memberitahukan di mana Si Pitung berada. Namun, keduanya bungkam. Akibatnya,
mereka berdua pun dibui di Grogol.
Sementara itu, Pitung terus menjalankan kegiatannya. Namun, ia menjadi berpikir panjang ketika
mendengar kabar bahwa ayah dan gurunya dibui polisi. Ia mengirim pesan bahwa ia bersedia
menyerahkan diri bila kedua orang itu dibebaskan. Schout Heyne setuju.
Pada hari yang ditentukan, mereka membawa Haji Naipin ke tanah lapang. Pak Piun sudah lebih dulu
dibebaskan. Di tanah lapang itu, sepasukan polisi menodongkan senjata kepada Haji Naipin. Pitung
muncul sendirian. Schout Heyne menyuruh Pitung menyerah. Pitung meminta agar Haji Naipin
dilepaskan dulu.
Setelah Haji Naipin dilepaskan, Pitung maju menghadapi Schout Heyne. Pasukan polisi kini
membidikkan senjata mereka kepada Pitung.
Huh, tertangkap juga kamu, Pitung! dengus Schout Heyne dengan nada sombong.
Iya, tapi nanti aku pasti akan lolos lagi. Dengan orang pengecut seperti kalian, yang beraninya hanya
mengandalkan anak buah, aku tidak takut, jawab Pitung.
Schout Heyne menjadi marah. Ia mundur beberapa langkah dan memberi aba-aba agar pasukannya
bersiap menembak. Haji Naipin yang masih ada di situ memprotes tindakan yang pengecut itu.
Namun, sudah terlanjur, perintah menembak sudah diberikan, dan Pitung pun roboh bersimbah darah.
Pitung dimakamkan beberapa hari kemudian. Banyak rakyat yang turut mengiringi pemakamannya
dan mendoakannya. Mereka akan selalu mengingat jasa Si Pitung, pembela dan pelindung mereka.
Beberapa bulan kemudian Schout Heyne dipecat dari jabatannya karena ia telah menembak orang
yang tidak melawan ketika ditangkap.
***
Walaupun pada akhirnya si Pitung gugur oleh peluru pasukan Belanda, tetapi ia gugur sebagai
pahlawan dan selalu dikenang oleh generasi selanjutnya. Kisah ini mengajarkan bahwa orang yang
berani menegakkan kebenaran dan keadilan akan selalu berguna bagi dirinya sendiri maupun bagi
orang lain. Sedangkan orang pengecut seperti Scout Heyne, yang menggunakan akal licik untuk
menghadapi lawan, pada akhirnya akan memperoleh balasan dari kelicikannya.
Kisah tentang si Pitung berkembang menjadi cerita rakyat (folklore) dengan berbagai versi. Kemudian,
selain dikisahkan ulang secara tercetak melalui buku dan majalah, kisah si Pitung juga diproduksi
menjadi film yang selalu laris, seperti Titisan Si Pitung (1989-sutradara Tommy Burnama) dan Pitung
3: Pembalasan Si Pitung Jiih (1977-sutradara Nawi Ismail).
Pada tahun 1982, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membeli sebuah rumah di Teluk Jakarta, Marunda,
yang dipercaya sebagai rumah si Pitung. Namun, menurut Jakarta Post (23/10/1999), rumah itu
sebenarnya milik Syafiudin, yang merupakan salah satu korban Si Pitung. Walaupun demikian, hal ini
tetap membuktikan bahwa Si Pitung telah dianggap sebagai tauladan yang penting bagi masyarakat.
(AI/sas/1/06-09)
Isi cerita diadaptasi dari:

Rahmat Ali, 1993. Cerita Rakyat Betawi. Jakarta: Grasindo

Sangkuriang

Jawa Barat - Indonesia

Sangkuriang merupakan sebuah legenda yang sangat terkenal di kalangan masyarakat Sunda
di Jawa Barat, Indonesia. Legenda ini mengisahkan perjuangan seorang pemuda bernama
Sangkuriang untuk mendapatkan cinta dari seorang wanita cantik, yang tak lain adalah ibu
kandungnya sendiri yang bernama Dayang Sumbi. Alhasil, keduanya pun bersepakat untuk
menikah. Namun, setelah mengetahui bahwa Sangkuriang adalah putranya sendiri, Dayang
Sumbi berusaha untuk menggagalkan pernikahan mereka dengan berbagai upaya. Upaya apa
saja yang dilakukan Dayang Sumbi untuk menggagalkan pernikahannya dengan Sangkuriang?
Lalu, mengapa Dayang Sumbi bersikeras untuk menggagalkan pernikahan tersebut? Ikuti
kisahnya dalam cerita Sangkuriang berikut ini!
***
Alkisah, di daerah Jawa Barat, ada sebuah kerajaan yang dipimpin oleh Prabu Sungging
Perbangkara. Ia sangat gemar berburu binatang di hutan. Suatu hari, seusai berburu, Prabu
Sungging membuang
air
kecil (pipis) pada daun caring (keladi hutan). Saat ia meninggalkan tempatnya buang air kecil,
tiba-tiba seekor babi yang bernama Wayungyang datang meminum air seninya yang
tergenang di daun keladi itu. Rupanya air seni Prabu Sungging mengandung sperma sehingga
menyebabkan Wayungyang hamil. Beberapa bulan kemudian, Wayungyang pun melahirkan
seorang bayi perempuan yang cantik jelita. Setelah membersihkan tubuh bayi itu dengan
menjilatnya, Wayungyang meletakkannya di atas batu besar di balik semak-semak, dengan
harapan ayahnya (Prabu Sungging) akan menemukannya.
Ternyata harapan Wayungyang tercapai. Tak berapa lama setelah ia meninggalkan bayi itu,
Prabu Sungging lewat di tempat itu dan mendengar ada suara tangisan bayi dari arah semaksemak. Dengan hati-hati, Prabu Sungging berjalan perlahan-lahan mendekati sumber suara
itu dan mendapati seorang bayi perempuan mungil dan berparas cantik tergeletak di atas
sebuah batu besar. Tanpa berpikir panjang, ia pun membawa pulang bayi itu ke istana. Sang
Prabu memberinya nama Dayang Sumbi. Ia merawat dan membesarkan Dayang Sumbi
dengan penuh kasih sayang.
Waktu terus berjalan. Dayang Sumbi tumbuh menjadi gadis yang cantik jelita. Selain cantik,
ia juga sangat mahir menenun dan pandai memasak. Tak heran jika para raja dan pangeran
silih berganti datang melamarnya. Namun, tak satu pun lamaran yang diterimanya. Ia tidak
ingin terjadi pertumpahan darah di antara para raja dan pangeran tersebut dengan hanya
menerima salah satu pinangan dari mereka. Akhirnya, dengan restu sang Prabu, Dayang
Sumbi mengasingkan diri ke sebuah hutan lebat yang terletak jauh dari istana. Sang Prabu
membuatkannya sebuah pondok di pinggir hutan dan menyiapkan alat-alat tenun
kesukaannnya. Di pondok itulah, Dayang Sumbi menghabiskan waktunya sambil menenun
kain.
Pada suatu malam, ketika Dayang Sumbi sedang menenun kain, tiba-tiba segulungan
benangnya terjatuh dan berguling ke luar pondoknya. Karena malam sudah larut, ia merasa
takut untuk mengambil gulungan kain itu. Tanpa disadarinya tiba-tiba terlontar ucapan dari
mulutnya.
Siapapun yang mau mengambilkan benang itu untukku, jika dia perempuan akan kujadikan
saudara, dan jika dia laki-laki akan kujadikan suamiku, ucapnya.
Tanpa diduga sebelumnya, tiba-tiba seekor anjing jantan berwarna hitam datang
menghampirinya sambil membawa gulungan benang miliknya. Namun, apa hendak dikata, ia
sudah terlanjur berucap. Ia harus menepati janjinya.
Baiklah, Anjing. Aku akan mempertanggung jawabkan ucapanku. Meskipun kamu seekor
anjing, aku tetap bersedia menjadi istrimu, kata Dayang Sumbi.

Mendengar perkataan Dayang Sumbi, anjing hitam itu tiba-tiba menjelma menjadi seorang
pemuda yang sangat tampan. Dayang Sumbi sangat terkejut dan heran menyaksikan kejadian
itu.
Hei, kamu siapa dan dari mana asal-asulmu? tanya Dayang Sumbi penasaran.
Maaf, Tuan Putri! Saya adalah titisan Dewa, jawab pemuda itu.
Akhirnya, Dayang Sumbi dan pemuda tampan itu saling jatuh dan menikah. Keduanya
bersepakat untuk merahasiakan hubungan mereka kepada siapa pun, termasuk kepada Prabu
Sungging Perbangkara. Sejak saat itu, ke mana pun Dayang Sumbi pergi, ia selalu ditemani
oleh suaminya. Dayang Sumbi memanggilnya dengan si Tumang.
Setelah setahun menikah, mereka pun dikaruniai seorang anak laki-laki yang tampan. Mereka
memberinya nama Sangkuriang. Beberapa tahun kemudian, Sangkuriang tumbuh menjadi
anak yang rajin dan pandai. Setiap hari, ia ditemani si Tumang pergi ke hutan untuk berburu
rusa dan mencari ikan di sungai. Namun, ia tidak menyadari bahwa anjing yang selalu
menenaminya itu adalah ayah kandungnya sendiri.
Pada suatu hari, Sangkuriang pergi berburu rusa ke tengah hutan. Hari itu, ia sangat berharap
bisa mendapatkan hati seekor rusa untuk dipersembahkan kepada ibunya. Sudah hampir
seharian ia berburu, namun tak seekor binatang buruan pun yang menampakkan diri.
Sangkuriang pun mulai kesal dan memutuskan untuk berhenti berburu. Ketika akan pulang ke
pondoknya, tiba-tiba seekor rusa berlari melintas di depannya. Ia pun segera memerintahkan
si Tumang untuk mengejarnya.
Tumang! Ayo kejar rusa itu! seru Sangkuriang.
Beberapa kali Sangkuriang berteriak menyuruhnya, namun si Tumang tetap tidak beranjak
dari tempatnya. Ia pun semakin kesal melihat kelakuan si Tumang.
Hei, Tumang! Apa yang terjadi denganmu? Kenapa kamu tidak mau menuruti perintahku?
bentak Sangkuriang sambil mengancam si Tumang dengan panahnya.
Tanpa disadarinya, tiba-tiba anak panahnya terlepas dari busurnya dan tepat mengenai kepala
si Tumang. Anjing itu pun tewas seketika. Sangkuriang kemudian mengambil hati si Tumang
untuk dipersembahkan kepada ibunya. Sesampainya di pondok, ia menyerahkan hati itu
kepada ibunya untuk dimasak. Setelah menyantap hati itu, tiba-tiba Dayang Sumbi teringat
pada si Tumang. Ia pun menanyakan keberadaan si Tumang.
Mana si Tumang? Bukankah tadi dia pergi bersamamu? tanya Dayang Sumbi dengan cemas.
Maaf, Bu! Saya telah membunuhnya. Hati yang ibu makan itu adalah hati si Tumang, jawab
Sangkuriang dengan tenang, tanpa merasa bersalah sedikit pun.
Seketika itu pula Dayang Sumbi menjadi murka. Ia sangat marah karena Sangkuriang telah
membunuh ayah kandungnya sendiri.
Apa katamu? Kamu telah membunuhnya? Dasar anak tidak tahu diri! seru Dayang Sumbi
seraya memukul kepala Sangkuriang dengan sendok nasi hingga berdarah dan meninggalkan
bekas.
Sambil menangis tersedu-sedu, Sangkuriang berusaha untuk membela diri. Ia merasa bahwa
dirinya tidak bersalah. Ia melakukan semua itu tidak lain hanya untuk menyenangkan hati
ibunya. Akan tetapi, Dayang Sumbi menganggap dia telah melakukan kesalahan besar, karena
membunuh ayah kandungnya sendiri. Namun, Dayang Sumbi tidak mau menceritakan hal itu
kepada Sangkuriang, karena takut rahasianya terbongkar. Merasa ibunya tidak lagi sayang
kepadanya, Sangkuriang pun pergi mengembara dengan menyusuri hutan belantara.
Sejak itu, Dayang Sumbi selalu duduk termenung. Ia merasa sangat menyesal telah memukul
dan membiarkan putranya pergi meninggalkannya. Setiap malam ia berdoa kepada Tuhan
Yang Mahakuasa agar ia dapat bertemu kembali dengan putranya. Berkat ketekunannya,
Tuhan pun mengambulkan doanya. Tuhan memberinya kecantikan yang abadi agar wajahnya
tidak berubah termakan oleh usia, sehingga putranya masih dapat mengenalinya.
Sementara itu di di tengah hutan belantara, Sangkuriang berjalan sempoyongan sambil
memegang kepalanya yang terluka. Karena tidak kuat lagi menahan rasa sakit, akhirnya ia
jatuh pingsan. Cukup lama ia tidak sadarkan diri. Betapa terkejutnya ketika ia tersadar. Ia
melihat seorang tua laki-laki yang tidak pernah ia lihat sebelumnya sedang duduk di
sampingnya.
Kakek siapa? Aku ada di mana? tanya Sangkuriang heran.

Tenanglah, Anak Muda! Kakek adalah seorang pertapa. Nama Kakek Ki Ageng. Kakek
menemukanmu sedang pingsan dan terluka parah di tengah hutan. Kamu sekarang berada di
dalam gua tempat Kakek bertapa, jawab orang tua itu.
Kemudian Ki Ageng menanyakan tentang asal-usul Sangkuriang. Namun, Sangkuriang tidak
bisa lagi mengingat masa lalunya. Bahkan namanya sendiri pun ia lupa. Akhirnya, Ki Ageng
memanggilnya Jaka. Ki Ageng merawat Jaka sampai lukanya sembuh dan mengajarinya ilmu
bela diri dan kesaktian. Setelah beberapa tahun berguru kepada Ki Ageng, Sangkuriang pun
tumbuh menjadi pemuda yang tampan dan sakti mandraguna. Dengan kesaktiannya, ia dapat
memanggil serta memerintahkan makhluk-makhluk halus.
Pada suatu hari, Jaka meminta izin kepada gurunya untuk pergi mencari tahu masa lalunya.
Setelah mendapat restu dari Ki Ageng, berangkatlah ia menyurusi hutan. Ia berjalan
mengikuti ke mana pun kakinya melangkah hingga akhirnya menemukan sebuah gubuk di tepi
hutan. Karena merasa sangat haus, ia pun mampir di pondok itu untuk meminta air minum.
Rupanya, penghuni pondok itu adalah seorang wanita cantik jelita yang tidak lain adalah
Dayang Sumbi. Saat pertama kali melihat wajah wanita itu, Jaka tiba-tiba teringat kepada
ibunya. Namun, ia tidak yakin kalau wanita itu adalah ibunya, karena sudah sekian lama
mereka berpisah dan tentu wajahnya tidak akan secantik itu. Begitupula Dayang Sumbi, ia
tidak pernah mengira kalau Jaka itu adalah putranya. Akhirnya, keduanya pun saling jatuh
cinta dan bersepakat untuk menikah.
Keesokan harinya, saat akan berangkat berburu ke hutan, Jaka meminta calon istrinya untuk
mengencangkan dan merapikan ikat kepalanya. Betapa terkejutnya Dayang Sumbi ketika
sedang merapikan ikat kepala Jaka. Ia melihat ada bekas luka di kepala Jaka. Bekas luka itu
mirip dengan bekas luka yang ada di kepala putranya yang terkena pukulannya dua puluh
tahun yang lalu. Dayang Sumbi pun menanyakan tentang penyebab bekas luka itu kepada
Jaka.
Kenapa ada bekas luka di kepalamu, Jaka? tanya Dayang Sumbi.
Jaka tidak bisa mengingat penyebab bekas luka yang ada di kepalanya. Ia hanya
menceritakan kepada Dayang Sumbi bahwa ada seorang pertapa menemukan dirinya sedang
pingsan dan terluka parah di tengah hutan. Mendengar cerita itu, maka yakinlah Dayang
Sumbi bahwa calon suaminya itu adalah putranya sendiri, Sangkuriang.
Dayang Sumbi pun bingung. Ia tidak mungkin menikah dengan putranya sendiri. Ia berusaha
untuk meyakinkan Sangkuriang bahwa dia adalah putranya. Untuk itu, ia meminta kepada
putranya agar membatalkan pernikahan mereka. Namun, Sangkuriang tidak percaya pada
kata-kata ibunya. Hatinya sudah terbelenggu oleh rasa cinta dan bersikeras ingin menikahi
Dayang Sumbi.
Melihat sikap putranya itu, Dayang Sumbi semakin bingung dan ketakutan. Setiap hari ia
berpikir untuk mencari cara agar pernikahan mereka dibatalkan. Setelah berpikir keras,
akhirnya ia pun menemukan sebuah cara. Ia akan mengajukan dua syarat kepada
Sangkuriang. Jika kedua syarat tersebut dapat dipenuhi oleh Sangkuriang, maka ia akan
menikah dengannya. Sebaliknya, jika Sangkuriang gagal, maka pernikahan mereka pun
dibatalkan. Suatu malam, Dayang Sumbi menyampaikan kedua syarat itu kepada
Sangkuriang.
Jika kamu bersikeras ingin menikahiku, kamu harus memenuhi dua syarat, kata Dayang
Sumbi.
Apakah syaratmu itu, Dayang Sumbi? Katakanlah! desak Sangkuriang.
Kamu harus membuatkan aku sebuah danau dan sebuah perahu. Tapi, danau dan perahu itu
harus selesai sebelum fajar menyingsing di ufuk timur, jawab Dayang Sumbi.
Baiklah, Dayang Sumbi! Saya menyanggupi semua syaratmu, jawab Sangkuriang dengan
penuh keyakinan.
Dengan kekuatan cinta dan kesaktiannya, Sangkuriang pun segera memanggil dan
mengerahkan seluruh pasukannya yang berupa makhluk-makhluk halus untuk membantu
menyelesaikan tugasnya. Setelah pasukannya siap, mereka pun menggali tanah dan
menyusun batu-batu besar untuk membendung aliran air Sungai Citarum sehingga
membentuk sebuah danau. Kemudian mereka menebang kayu-kayu besar untuk dibuat
perahu. Saat tengah malam, Dayang Sumbi secara diam-diam mengintai pekerjaan
Sangkuriang dan pasukannya. Betapa terkejutnya ia ketika melihat mereka hampir
menyelesaikan semua permintaannya.

Dayang Sumbi pun gusar. Ia segera berlari ke desa terdekat untuk meminta bantuan kepada
masyarakat agar menggelar kain sutra berwarna merah di arah sebelah timur tempat
Sangkuriang dan pasukannya bekerja. Tak berapa lama setelah kain sutra hasil tenunan
Dayang Sumbi digelar, tampaklah cahaya berwarna kemerahan di arah timur sehingga seolaholah hari sudah pagi. Ayam jantan pun mulai berkokok saling bersahut-sahutan. Para makhlus
halus yang melihat cahaya merah dan mendengar suara ayam berkokok mengira hari sudah
pagi. Mereka pun segera melarikan diri dan meninggalkan perahu yang hampir selesai.
Saat mengetahui dirinya diperdaya oleh Dayang Sumbi, Sangkuriang menjadi murka. Dengan
kesaktiannya, ia menjembol bendungan yang sudah dibuat bersama pasukannya, sehingga
terjadilah banjir besar. Kemudian ia menendang perahu yang hampir selesai hingga terbang
melayang dan jatuh menelungkup. Konon, perahu itu kemudian menjelma menjadi sebuah
gunung yang kini dikenal dengan nama Gunung Tangkuban Perahu. Tangkuban perahu dalam
bahasa Sunda berarti perahu yang terbalik.
Setelah peristiwa itu, Dayang Sumbi melarikan diri ke arah Gunung Putri. Setibanya di
Gunung Putri, ia tiba-tiba menghilang dan berubah menjadi setangkai bunga jaksi. Sementara
Sangkuriang yang mengejarnya kehilangan jejak dan akhirnya sampai di sebuah tempat yang
disebut dengan Ujung Berung dan menghilang ke alam gaib.
***
Demikian legenda Sangkuriang dari daerah Jawa Barat, Indonesia. Secara garis besar, ada
dua nilai-nilai yang terkandung dalam cerita di atas, yaitu nilai moral dan nilai sosial. Nilai
moral tersebut terlihat pada sikap Dayang Sumbi yang teguh (konsisten) dalam menepati janji
yang telah diucapkannya, yaitu bersedia menikah dengan siapa pun yang mengambilkan
gulungan benangnya, yang ternyata adalah seekor anjing. Dari sini dapat dipetik sebuah
pelajaran bahwa betapa pun pahit akibat yang akan ditanggungnya, seseorang harus teguh
menepati janjinya.
Nilai sosial yang terkandung dalam cerita di atas adalah bahwa di kalangan masyarakat Sunda
(Jawa Barat), percintaan atau pernikahan antara ibu dengan anak (incest) merupakan
perbuatan yang dilarang (haram). Sebab, jika hal tersebut terjadi, maka nilai-nilai sosial yang
ada dalam masyarakat akan hancur. Hal ini dapat dilihat pada usaha yang telah dilakukan
Dayang Sumbi dalam menggagalkan pernikahannya dengan putranya sendiri, Sangkuriang. Ia
mengajukan dua syarat yang diyakini mustahil dapat dipenuhi oleh Sangkuriang. Namun,
ketika Sangkuriang hampir berhasil memenuhi persyaratannya, Dayang Sumbi tetap berusaha
untuk menggagalkan pernikahan mereka dengan membuat suasana seolah-olah hari sudah
pagi, sehingga Sangkuriang dan para pasukannya menghentikan pekerjaannya, dan usahanya
berhasil. (Samsuni/sas/145/05-09)

Timun Emas

Jawa Tengah - Indonesia

Diceritakan kembali oleh Samsuni

Timun Mas adalah seorang gadis cantik yang baik hati, cerdas, dan pemberani. Itulah
sebabnya, ia sangat disayangi oleh ibunya yang bernama Mbok Srini. Suatu ketika, sesosok
raksasa jahat ingin menyantap Timun Mas. Berkat keberaniannya, ia bersama ibunya berhasil
melumpuhkan raksasa jahat itu. Kenapa raksasa itu hendak memangsa Timun Mas? Lalu,
bagaimana Timun Mas dan ibunya mengalahkan raksasa itu? Kisah menarik ini dapat Anda
ikuti dalam cerita Timun Mas berikut ini.

***

Alkisah, di sebuah kampung di daerah Jawa Tengah, hiduplah seorang janda paruh baya yang
bernama Mbok Srini. Sejak ditinggal mati oleh suaminya beberapa tahun silam, ia hidup
sebatang kara, karena tidak mempunyai anak. Ia sangat mengharapkan kehadiran seorang

anak untuk mengisi kesepiannya. Namun, harapan itu telah pupus, karena suaminya telah
meninggal dunia. Ia hanya menunggu keajaiban untuk bisa mendapatkan seorang anak. Ia
sangat berharap keajaiban itu akan terjadi padanya. Untuk meraih harapan itu, siang malam
ia selalu berdoa kepada Tuhan Yang Mahakuasa agar diberi anak.

Pada suatu malam, harapan itu datang melalui mimpinya. Dalam mimpinya, ia didatangi oleh
sesosok makhluk raksasa yang menyuruhnya pergi ke hutan tempat biasanya ia mencari kayu
bakar untuk mengambil sebuah bungkusan di bawah sebuah pohon besar. Saat terbangun di
pagi hari, Mbok Srini hampir tidak percaya dengan mimpinya semalam.

Mungkinkah keajaiban itu benar-benar akan terjadi padaku? tanyanya dalam hati dengan
ragu.

Namun, perempuan paruh baya itu berusaha menepis keraguan hatinya. Dengan penuh
harapan, ia bergegas menuju ke tempat yang ditunjuk oleh raksasa itu. Setibanya di hutan, ia
segera mencari bungkusan itu di bawah pohon besar. Betapa terkejutnya ia ketika
menemukan bungkusan yang dikiranya berisi seorang bayi, tapi ternyata hanyalah sebutir biji
timun. Hatinya pun kembali bertanya-tanya.

Apa maksud raksasa itu memberiku sebutir biji timun? gumam janda itu dengan bingung.

Di tengah kebingungannya, tanpa ia sadari tiba-tiba sesosok makhluk raksasa berdiri di


belakangnya sambil tertawa terbahak-bahak.

Ha... ha... ha...! demikian suara tawa raksasa itu.

Mbok Srini pun tersentak kaget seraya membalikkan badannya. Betapa terkejutnya ia karena
raksasa itulah yang hadir dalam mimpinya. Ia pun menjadi ketakutan.

Ampun, Tuan Raksasa! Jangan memakanku! Aku masih ingin hidup, pinta Mbok Srini dengan
muka pucat.

Jangan

takut,

hai

perempuan

tua!

Aku

tidak

akan

memakanmu.

Bukankah

kamu

menginginkan seorang anak? tanya raksasa itu.

Be... benar, Tuan Raksasa! jawab Mbok Srini dengan gugup.

Kalau begitu, segera tanam biji timun itu! Kelak kamu akan mendapatkan seorang anak
perempuan. Tapi, ingat! Kamu harus menyerahkan anak itu kepadaku saat ia sudah dewasa.
Anak itu akan kujadikan santapanku, ujar raksasa itu.

Karena begitu besar keinginannya untuk memiliki anak, tanpa sadar Mbok Srini menjawab,
Baiklah, Raksasa! Aku bersedia menyerahkan anak itu kepadamu.

Begitu Mbok Srini selesai menyatakan kesediaannya, raksasa itu pun menghilang. Perempuan
itu segera menanam biji timun itu di ladangnya. Dengan penuh harapan, setiap hari ia
merawat tanaman itu dengan baik. Dua bulan kemudian, tanaman itu pun mulai berbuah.
Namun anehnya, tanaman timun itu hanya berbuah satu. Semakin hari buah timun semakin
besar melebihi buah timun pada umumnya. Warnanya pun sangat berbeda, yaitu berwarna
kuning keemasan. Ketika buah timun masak, Mbok Srini memetiknya, lalu membawanya
pulang ke gubuknya dengan susah payah, karena berat. Betapa terkejutnya ia setelah

membelah buah timun itu. Ia mendapati seorang bayi perempuan yang sangat cantik. Saat
akan menggendongnya, bayi itu tiba-tiba menangis.

Ngoa... ngoa... ngoa... !!! demikian suara bayi itu.

Alangkah bahagianya hati Mbok Srini mendengar suara tangisan bayi yang sudah lama
dirindukannya itu. Ia pun memberi nama bayi itu Timun Mas.

Cup... cup... cup..!!! Jangan menangis anakku sayang... Timun Mas! hibur Mbok Srini.

Perempuan paruh baya itu tak mampu lagi menyembuyikan kebahagiaannya. Tak terasa,

air

matanya menetes membasahi kedua pipinya yang sudah mulai keriput. Perasaan bahagia itu
membuatnya lupa kepada janjinya bahwa dia akan menyerahkan bayi itu kepada raksasa itu
suatu saat kelak. Ia merawat dan mendidik Timun Mas dengan penuh kasih sayang hingga
tumbuh menjadi gadis yang cantik jelita. Janda tua itu sangat bangga, karena selaing cantik,
putrinya juga memiliki kecerdasan yang luar biasa dan perangai yang baik. Oleh karena itu, ia
sangat sayang kepadanya.
Suatu malam, Mbok Srini kembali bermimpi didatangi oleh raksasa itu dan berpesan

kepadanya bahwa seminggu lagi ia akan datang menjemput Timun Mas. Sejak itu, ia selalu
duduk termenung seorang diri. Hatinya sedih, karena ia akan berpisah dengan anak yang
sangat disayanginya itu. Ia baru menyadari bahwa raksasa itu ternyata jahat, karena Timun
Mas akan dijadikan santapannya.

Melihat ibunya sering duduk termenung, Timun Mas pun bertanya-tanya dalam hati. Suatu
sore, Timun Emas memberanikan diri untuk menanyakan kegundahan hati ibunya.

Bu, mengapa akhir-akhir ini Ibu selalu tampak sedih? tanya Timun Mas.

Sebenarnya Mbok Srini tidak ingin menceritakan penyebab kegundahan hatinya, karena dia
tidak ingin anak semata wayangnya itu ikut bersedih. Namun, karena terus didesak, akhirnya
ia pun menceritakan perihal asal-usul Timun Mas yang selama ini ia rahasiakan.

Maafkan Ibu, Anakku! Selama ini Ibu merahasiakan sesuatu kepadamu, kata Mbok Srini
dengan wajah sedih.

Rahasia apa, Bu? tanya Timun Mas penasaran.

Ketahuilah, Timun Mas! Sebenarnya, kamu bukanlah anak kandung Ibu yang lahir dari rahim
Ibu.

Belum selesai ibunya bicara, Timun Mas tiba-tiba menyela.

Apa maksud, Ibu? tanya Timun Mas.

Mbok Srini pun menceritakan semua rahasia tersebut hingga mimpinya semalam bahwa
sesosok raksasa akan datang menjemput anaknya itu untuk dijadikan santapan. Mendengar
cerita itu, Timun Mas tersentak kaget seolah-olah tidak percaya.

Timun tidak mau ikut bersama raksasa itu. Timun sangat sayang kepada Ibu yang telah
mendidik dan membesarkan Timun, kata Timun Mas.

Mendengar perkataan Timun Mas, Mbok Srini kembali termenung. Ia bingung mencari cara
agar anaknya selamat dari santapan raksasa itu. Sampai pada hari yang telah dijanjikan oleh
raksasa itu, Mbok Srini belum juga menemukan jalan keluar. Hatinya pun mulai cemas. Dalam

kecemasannya, tiba-tiba ia menemukan sebuah akal. Ia menyuruh Timun Mas berpura-pura


sakit. Dengan begitu, tentu raksasa itu tidak akan mau menyantapnya. Saat matahari mulai
senja, raksasa itu pun mendatangi gubuk Mbok Srini.

Hai, Perempuan Tua! Mana anak itu? Aku akan membawanya sekarang, pinta raksasa itu.

Maaf, Tuan Raksasa! Anak itu sedang sakit keras. Jika kamu menyantapnya sekarang, tentu
dagingnya tidak enak. Bagaimana kalau tiga hari lagi kamu datang kemari? Saya akan
menyembuhkan penyakitnya terlebih dahulu, bujuk Mbok Srini mengulur-ulur waktu hingga
ia menemukan cara agar Timur Mas bisa selamat.

Baiklah, kalau begitu! Tapi, kamu harus berjanji akan menyerahkan anak itu kepadaku, kata
raksasa itu.

Setelah Mbok Srini menyatakan berjanji, raksasa itu pun menghilang. Mbok Srini kembali
bingung mencari cara lain. Setelah berpikir keras, akhirnya ia menemukan cara yang
menurutnya dapat menyelamatkan anaknya dari santapan raksasa itu. Ia akan meminta
bantuan kepada seorang pertapa yang tinggal di sebuah gunung.

Anakku! Besok pagi-pagi sekali Ibu akan pergi ke gunung untuk menemui seorang pertapa.
Dia adalah teman almarhum suami Ibu. Barangkali dia bisa membantu kita untuk
menghentikan niat jahat raksasa itu, ungkap Mbok Srini.

Benar, Bu! Kita harus membinasakan raksasa itu. Timun tidak mau menjadi santapannya,
imbuh Timun Mas.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, berangkatlah Mbok Srini ke gunung itu. Sesampainya di
sana, ia langsung menemui pertapa itu dan menyampaikan maksud kedatangannya.

Maaf, Tuan Pertapa! Maksud kedatangan saya kemari ingin meminta bantuan kepada Tuan,
kata Mbok Srini.

Apa yang bisa kubantu, Mbok Srini? tanya pertapa itu.

Mbok Srini pun menceritakan masalah yang sedang dihadapi anaknya. Mendengar cerita Mbok
Srini, pertapa itu pun bersedia membantu.

Baiklah, kamu tunggu di sini sebentar! seru pertapa itu seraya berjalan masuk ke dalam
ruang rahasianya.

Tak berapa lama, pertapa itu kembali sambil membawa empat buah bungkusan kecil, lalu
menyerahkannya kepada Mbok Srini.

Berikanlah bungkusan ini kepada anakmu. Keempat bungkusan ini masing-masing berisi biji
timun, jarum, garam dan terasi. Jika raksasa itu mengejarnya, suruh sebarkan isi bungkusan
ini! jelas pertapa itu.

Setelah mendapat penjelasan itu, Mbok Srini pulang membawa keempat bungkusan tersebut.
Setiba di gubuknya, Mbok Srini menyerahkan keempat bungkusan itu dan menjelaskan
tujuannya kepada Timun Mas. Kini, hati Mbok Srini mulai agak tenang, karena anaknya sudah
mempunyai senjata untuk melawan raksasa itu.

Dua hari kemudian, Raksasa itu pun datang untuk menagih janjinya kepada Mbok Srini. Ia
sudah tidak sabar lagi ingin membawa dan menyantap daging Timun Mas.

Hai, perempuan tua! Kali ini kamu harus menepati janjimu. Jika tidak, kamu juga akan
kujadikan santapanku! ancam raksasa itu.

Mbok Srini tidak gentar lagi menghadapi ancaman itu. Dengan tenang, ia memanggil Timun
Mas agar keluar dari dalam gubuk. Tak berapa lama, Timun Emas pun keluar lalu berdiri di
samping ibunya.

Jangan takut, Anakku! Jika raksasa itu akan menangkapmu, segera lari dan ikuti petunjuk
yang telah kusamapaikan kepadamu, Mbok Srini membisik Timun Mas.

Baik, Bu! jawab Timun Mas.

Melihat Timun Mas yang benar-benar sudah dewasa, rakasasa itu semakin tidak sabar ingin
segera menyantapnya. Ketika ia hendak menangkapnya, Timun Mas segera berlari sekencangkencangnya. Raksasa itu pun mengejarnya. Tak ayal lagi, terjadilah kejar-kerajaan antara
makhluk raksasa itu dengan Timun Mas. Setelah berlari jauh, Timun Mas mulai kecapaian,
sementara raksasa itu semakin mendekat. Akhirnya, ia pun mengeluarkan bungkusan
pemberian pertapa itu.

Pertama-tama Timun Mas menebar biji timun yang diberikan oleh ibunya. Sungguh ajaib,
hutan di sekelilingnya tiba-tiba berubah menjadi ladang timun. Dalam sekejap, batang timun
tersebut menjalar dan melilit seluruh tubuh raksasa itu. Namun, raksasa itu mampu
melepaskan diri dan kembali mengejar Timun Mas.

Timun Emas pun segera melemparkan bungkusan yang berisi jarum. Dalam sekejap, jarumjarum tersebut berubah menjadi rerumbunan pohon bambu yang tinggi dan runcing. Namun,
raksasa itu mampu melewatinya dan terus mengejar Timun Mas, walaupun kakinya berdarahdarah karena tertusuk bambu tersebut.

Melihat usahanya belum berhasil, Timun Mas membuka bungkusan ketiga yang berisi garam
lalu menebarkannya. Seketika itu pula, hutan yang telah dilewatinya tiba-tiba berubah
menjadi lautan luas dan dalam, namun raksasa itu tetap berhasil melaluinya dengan mudah.
Timun Emas pun mulai cemas, karena senjatanya hanya tersisa satu. Jika senjata tersebut
tidak berhasil melumpuhkan raksasa itu, maka tamatlah riwayatnya. Dengan penuh
keyakinan, ia pun melemparkan bungkusan terakhir yang berisi terasi. Seketika itu pula,
tempat jatuhnya terasi itu tiba-tiba menjelma menjadi lautan lumpur yang mendidih. Alhasil,
raksasa itu pun tercebur ke dalamnya dan tewas seketika. Maka selamatlah Timun Emas dari
kejaran dan santapan raksasa itu.

Dengan sekuat tenaga, Timun Emas berjalan menuju ke gubuknya untuk menemui ibunya.
Melihat anaknya selamat, Mbok Srini pun langsung berucap syukur kepada Tuhan Yang
Mahakuasa. Sejak itu, Mbok Srini dan Timun Mas hidup berbahagia.

***

Demikian dongeng Timun Mas dari daerah Jawa Tengah, Indonesia. Cerita di atas memberikan
pelajaran bahwa orang yang selalu berniat jahat terhadap orang lain seperti raksasa itu, pada

akhirnya akan celaka. Selain itu, cerita di atas juga mengandung pelajaran bahwa dengan
usaha dan kerja keras segala rintangan dan cobaan dalam hidup ini dapat diselesaikan dengan
baik. Hal ini ditunjukkan oleh Mbok Srini dan Timun Mas. Berkat usaha dan kerja kerasnya,
mereka dapat membinasakan raksasa jahat yang hendak memangsa Timun Mas.

oro Jonggrang

Yogyakarta - Indonesia

Roro Jonggrang adalah putri dari Prabu Baka dari Kerajaan Prambanan, Daerah Istimewa
Yogyakarta, Indonesia. Roro Jonggrang memiliki paras yang cantik jelita. Suatu ketika, ia
dilamar oleh seorang kesatria yang bernama Bondowoso dari Kerajaan Pengging. Roro
Jonggrang bersedia menerima lamaran itu, asalkan Bondowoso mampu membuatkan seribu
candi dan dua buah sumur dalam waktu semalam. Mampukah Bondowoso memenuhi syarat
yang diajukan oleh Roro Jonggrang tersebut? Ikuti kisahnya dalam cerita Roro Jonggrang
berikut ini!

***

Alkisah, pada zaman dahulu kala, ada seorang raja yang bernama Prabu Baka yang bertahta
di Prambanan. Ia seorang raksasa yang menakutkan dan memiliki kesaktian yang tinggi.
Wilayah kekuasaannya sangat luas. Kerajaan-kerajaan kecil di sekitar wilayahnya semua
takluk di bawah kekuasaannya. Meskipun seorang raksasa, Prabu Baka mempunyai seorang
putri cantik yang berwujud manusia bernama Roro Jonggrang. Prabu Baka sangat menyayangi
putri tunggalnya itu. Sebagai wujud kasih sayangnya kepada putrinya, ia mewariskan seluruh
kesaktian dan kepandaian yang dimilikinya. Maka jadilah Roro Jonggrang seorang putri yang
cantik jelita dan sakti mandraguna.

Sementara itu di tempat lain, tersebutlah sebuah kerajaan yang tak kalah besarnya dengan
Prambanan, yakni Kerajaan Pengging. Kerajaan itu memiliki seorang kesatria yang sakti
bernama Bondowoso. Kesaktian Bondowoso terletak pada senjatanya yang bernama Bandung.
Selain itu, Bondowoso juga mempunyai balatentara berupa makhluk-makhluk halus. Jika
membutuhkan bantuan, Bondowoso mampu mendatangkan makhluk-makhluk halus tersebut
dalam waktu sekejap.

Suatu ketika, Raja Pengging bermaksud memperluas wilayah kekuasaannya. Ia pun


memerintahkan Bondowoso dan pasukannya untuk menyerang Prambanan.

Hai, Bondowoso! Siapkan pasukanmu untuk pergi menyerang Prambanan! perintah Raja
Pengging.

Baik, Gusti! Perintah segera hamba laksanakan! jawab Bondowoso sambil memberi hormat.

Keesokan harinya, berangkatlah Bondowoso bersama pasukannya ke Prambanan. Setibanya di


Prambanan, mereka langsung menyerbu masuk ke dalam istana. Prabu Baka pun tidak tinggal
diam. Ia segera memerintahkan pasukannya untuk menahan serangan pasukan Bondowoso
yang datang secara tiba-tiba. Pertempuran sengit pun tak terelakkan lagi. Namun karena

pasukan Prabu Baka kurang persiapan dalam pertempuran itu, akhirnya pasukan Bondowoso
berhasil menaklukkan mereka. Prabu Baka sendiri tewas terkena senjata sakti Bandowoso
yang bernama Bandung. Sejak itu, Bondowoso pun dikenal dengan nama Bandung
Bondowoso.

Setelah Bandung Bondowoso dan pasukannya memenangkan pertempuran itu, Raja Pengging
pun mengamanatkan Bandung Bondowoso untuk menempati istana Prambanan.

Wahai,

Bandung

Bondowoso!

Sebagai

ucapan

terima

kasihku

atas

keberhasilanmu

mengalahkan Prabu Baka, aku memberimu amanat untuk mengurus Kerajaan Prambanan dan
segala isinya, termasuk keluarga Prabu Baka, kata Raja Pengging.

Terima kasih, Gusti! Hamba berjanji untuk menjaga amanat Gusti, jawab Bandung
Bondowoso.

Setelah itu, Bandung Bondowoso pun segera menempati istana Prambanan. Pada saat hari
pertama menempati istana Pramabanan, ia langsung terpesona melihat kecantikan Roro
Jonggrang dan berniat untuk menjadikannya sebagai permaisuri.

Pada suatu hari, Bandung Bondowoso menyatakan maksud hatinya kepada Raja Jonggrang.

Wahai, putri Roro Jonggrang! Bersediakah engkau menjadi permaisuriku? tanya Bandung
Bondowoso.

Roro Jonggrang tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Ia hanya terdiam dan kebingungan.
Sebenarnya, ia amat membenci Bandung Bondowoso karena telah membunuh ayahnya.
Namun, ia takut menolak lamarannya karena bagaimana pun juga ia tidak akan sanggup
mengalahkan

kesaktian

Bondowoso.

Setelah

berpikir

sejenak,

Roro

Jonggrang

pun

menemukan satu cara untuk menolak lamaran itu dengan cara yang halus.

Baiklah, Bandung Bondowoso! Aku bersedia menerima lamaranmu, tapi kamu harus
memenuhi satu syaratku, jawab Roro Jonggrang.

Apakah syaratmu itu, Roro Jonggrang? tanya Bandung Bondowoso.

Buatkan aku seribu candi dan dua buah sumur dalam waktu semalam, jawab Roro
Jonggrang.

Tanpa berpikir panjang, Bandung Bondowoso pun menyanggupinya, karena ia yakin mampu
memenuhi syarat itu dengan bantuan balantentaranya. Pada malam harinya, Bandung
Bondowoso mengundang balatentaranya yang berupa makhluk halus tersebut. Dalam waktu
sekejap, balatentaranya pun datang dan segera membangun candi dan sumur sebagaimana
permintaan Roro Jonggrang. Mereka bekerja dengan sangat cepat. Pada dua pertiga malam,
mereka hampir menyelesaikan seribu candi. Hanya tinggal tiga buah candi dan sebuah sumur
yang belum mereka selesaikan.

Roro Jonggrang yang ikut menyaksikan pembuatan candi itu mulai khawatir. Ia pun segera
memberitahukan hal itu kepada salah seorang dayang kepercayaannya.

Dayang! Pembangunan seribu candi dan penggalian dua buah sumur tersebut hampir selesai.
Apa yang harus kita lakukan? tanya Roro Jonggrang kepada dayang itu.

Tenanglah, Gusti! Pasti ada jalan keluarnya, hibur dayang itu.

Roro Jonggrang kembali berpikir keras dan ia pun menemukan jalan keluarnya. Ia akan
membuat suasana menjadi seperti pagi, sehingga para makhluk halus tersebut menghentikan
pekerjaannya sebelum menyelesaikan seribu candi.

Dayang!

Segera

bangunkan

teman-temanmu!

Suruh

mereka

membakar

jerami

dan

menumbuk padi di lesung, serta menaburkan bunga-bunga yang harum baunya! perintah
Roro Jonggrang.

Baik, Gusti! jawab dayang itu seraya bergegas masuk ke dalam istana membangunkan
dayang-dayang lainnya.

Dayang-dayang pun bangun dan segera melaksanakan perintah Roro Jonggrang. Tak berapa
lama, tampaklah cahaya kemerah-merahan dari arah timur akibat dari pemakaran jeramih.
Suara lesung pun terdengar bertalu-talu. Bau harum bunga-bungaan mulai tercium. Beberapa
saat kemudian, suara ayam jantan berkokok mulai terdengar. Para balatentara Bandung
Bondowoso pun segera menghentikan pekerjaannya, karena mengira hari sudah pagi. Mereka
pergi meninggalkan tempat pembuatan candi tersebut, padahal kurang sebuah candi lagi yang
belum mereka selesaikan. Batu-batu berukuran besar masih berserakan di tempat itu.

Melihat balatentaranya akan kembali ke alamnya, Bandung Bondowoso berteriak dengan


suara keras.

Teman-teman, kembalilah! Hari belum pagi. Genapkan seribu candi. Tinggal sebuah candi
lagi! teriak Bandung Bondowoso.

Para makhluk halus tersebut tidak menghiraukan teriakannya. Akhirnya, Bandung Bondowoso
berniat meneruskan pembangunan candi itu untuk menggenapi seribu candi. Namun belum
selesai candi itu ia buat, pagi sudah menjelang. Ia pun gagal memenuhi permintaan Roro
Jonggrang. Mengetahui kegagalan Bondowoso tersebut, Roro Jonggrang segera menemuinya
di tempat pembuatan candi itu.

Bagaimana Bandung Bondowoso? Apakah candiku sudah selesai? tanya Roro Jonggrang
sambil tersenyum.

Betapa marahnya Bandung Bondowoso melihat sikap Roro Jonggrang itu. Apalagi setelah ia
mengetahui

bahwa

Roro

Jonggranglah

yang

telah

menggagalkan

usahanya.

Ia

pun

melampiaskan kemarahannya dengan mengutuk Roro Jonggrang menjadi arca.

Hai, Roro Jonggrang! Kamu telah menggagalkan usahaku untuk mewujudkan seribu candi
yang kurang satu lagi. Jadilah kau arca dalam candi yang keseribu! teriak Bandung
Bondowoso.

Berkat kesaktian Bandung Bondowoso, seketika itu pula Roro Jonggrang berubah menjadi arca
batu. Wujud arca itu sangat cantik, secantik Roro Jonggrang. Hingga kini, arca itu dapat
disaksikan di dalam ruang candi besar yang bernama Candi Roro Jonggrang yang berada
dalam kompleks Candi Prambanan. Sementara candi-candi yang ada di sekitarnya disebut
dengan Candi Sewu. Sewu dalam bahasa Jawa berarti seribu.

***

Demikian cerita Roro Jonggrang dari Prambanan, Daerah Istimewa Yogyakarta. Cerita di
atas termasuk kategori legenda yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan
pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita atas adalah
akibat yang ditimbulkan dari sifat curang dan licik. Sifat ini tampak pada kelicikan Roro
Jonggrang dalam menggagalkan usaha Bandung Bondowoso membangun seribu candi agar
tidak menikahinya. Akibatnya, ia pun dikutuk menjadi arca oleh Bandung Bondowoso. Dalam
tunjuk ajar Melayu dikatakan:

apa tanda orang yang licik,


janji mungkir cakap berbalik

kalu suka bersifat curang,


alamat kepala dimakan parang

Keong Emas

Jawa Timur - Indonesia

Keong Emas adalah sebuah dongeng yang sangat terkenal di kalangan masyarakat Jawa
Timur, Indonesia. Kata keong berasal dari bahasa Jawa yang sudah diserap ke dalam bahasa
Indonesia, berarti siput besar. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, Keong Emas
adalah penjelmaan putri Raja Kertamarta yang bernama Candra Kirana, karena terkena sihir
seorang nenek yang bernama Mbok Mian. Mengapa Mbok Mian menyihir Putri Candra Kirana
menjadi keong emas? Mampukah Putri Candra Kirana bebas dari sihir Mbok Mian? Kisahnya
dapat Anda ikuti dalam cerita Keong Emas berikut ini.
***
Alkisah, di daerah Jawa Timur, Indonesia, tersebutlah seorang raja bernama Kertamarta yang
bertahta di Kerajaan Daha. Ia mempunyai dua orang putri yang cantik jelita. Yang sulung
bernama Dewi Galuh, sedangkan yang bungsu bernama Candra Kirana. Berita tentang
kecantikan kedua kakak-beradik tersebut tersebar hingga ke berbagai negeri. Suatu hari,
datanglah seorang putra mahkota yang gagah dan tanpan bernama Raden Inu Kertapati dari
Kerajaan Kahuripan untuk meminang salah seorang dari mereka. Kedatangan pangeran
tampan itu disambut baik oleh Raja Kertamarta bermasa permaisuri dan kedua putrinya. Saat
melihat ketampanan Raden Inu Kertapati, Putri Dewi Galuh langsung jatuh hati. Ia berharap
lamaran putra mahkota Kerajaan Kahuripan itu ditujukan kepadanya. Namun, ternyata Raden
Kertapati lebih memilih Putri Candra Kirana. Raja dan permaisuri pun menyetujuinya dan
segera menunangkan mereka.
Sejak itu, Putri Dewi Galuh menaruh dendam dan iri hati kepada adiknya. Ia sakit hati, karena
merasa dialah yang pantas bertunangan dengan Raden Inu Kertapati. Karena itu, ia berniat
untuk mencelakai adiknya. Suatu hari, secara diam-diam ia pergi ke rumah seorang nenek
sihir bernama Mbok Mian untuk meminta bantuan.
Mbok Mian! Maukah kamu membantuku? pinta Putri Galuh.
Apa yang bisa Mbok bantu, Tuan Putri? tanya Mbok Mian.
Kamu sihir Putri Candra Kirana menjadi seekor keong! Setelah itu buanglah dia ke laut!
perintah Putri Galuh.
Ampun, Tuan Putri! Ada apa gerangan dengan Tuan Putri Candra Kirana? Bukankah dia adik
kandung Tuan Putri sendiri? tanya Mbok Mian bingung.
Dia itu adik yang tidak tahu diri. Ia telah merebut Raden Inu Kertapati dariku. Sudahlah
Mbok, tidak usah banyak tanya! Laksanakan saja perintahku! seru Putri Galuh.
Tapi, bagaimana caranya, Tuan Putri? Bukankah Putri Candra Kirana jarang keluar istana?
Jika aku menyihirnya di istana, pasti akan ketahuan Baginda Raja, nenek sihir itu kembali
bertanya.

Benar juga katamu, Mbok! Ayahanda pasti curiga jika mengetahui hal ini, jawab Putri Galuh
sambil manggut-manggut.
Akhirnya, Putri Dewi Galuh pun memfitnah adiknya sehingga diusir dari istana. Ketika Putri
Candra Kirana berjalan menyusuri pantai, tiba-tiba ia dikejutkan dengan suara tawa neneknenek yang sangat menyeramkan.
Iiii...hi... hi... hi...!!! demikian suara tawa itu.
Setelah Putri Candra Kirana menoleh ke sekelilingnya mencari sumber suara tawa itu, namun
tak seorang pun yang dilihatnya.
Aneh! Kenapa ada suara tawa, tapi tidak ada orangnya? pikirnya dengan heran.
Ketika Putri Candra Kirana hendak meninggalkan tempat itu, tiba-tiba seorang nenek muncul
dan berdiri di depannya. Ia tidak mengetahui jika nenek itu adalah Mbok Mian, suruhan
kakaknya.
Hai, Nek! Kamu siapa dan kenapa menghalangi jalanku? tanya Putri Candra Kirana.
Aku Mbok Mian si Nenek penyihir! Aku diperintahkan oleh Putri Galuh untuk menyihirmu
menjadi keong emas, karena kamu telah menyakiti hatinya. Kamu telah merebut Raden Inu
Kertapati darinya, jelas Mbok Mian.
Ampun, Nek! Jangan sihir aku! iba Putri Candra Kirana.
Tanpa ampun lagi, Mbok Mian menyihir Putri Candra Kirana menjadi seekor keong emas.
Sebelum membuangnya ke laut, nenek sihir itu berkata kepada Putri Candra Kirana, Hai,
Putri! Sihir itu akan hilang jika kamu bertemu dengan tunanganmu.
Sejak itu, Putri Candra Kirana hidup di laut sebagai seekor keong bersama keong lainnya.
Suatu hari, ketika sedang mencari makan di antara batu karang di tepi laut, ia tersangkut
pada jaring seorang nenek bernama Mbok Rini yang sedang menjaring ikan.
Waaah, indah sekali warna keong ini! Baru kali ini aku melihat keong berwarna kuning
keemasan, gumam Mbok Rini takjub.
Mbok Rini pun tertarik untuk memelihara keong emas itu. Ia membawanya pulang dan
menyimpan di dalam tempayan. Keesokan harinya, Mbok Rini kembali ke laut mencari ikan.
Hingga hari menjelang siang, ia belum juga mendapatkan seekor ikan pun. Akhirnya, ia
memutuskan pulang ke pondoknya karena perutnya terasa sangat lapar. Betapa terkejutnya
ia ketika tiba di pondoknya. Ia mendapati berbagai jenis makanan lezat lengkap dengan buahbuahannya telah tersedia di atas meja dapurnya.
Hai, siapa yang menghindangkan makanan lezat ini? gumam Mbok Rini heran.
Karena lapar sekali, Mbok Rini pun segera menyantapnya dengan lahap tanpa tersisa sedikit
pun. Keesokan harinya, kejadian aneh itu terjadi lagi. Begitu pula pada hari-hari berikutnya, ia
mengalami peristiwa yang sama. Kejadian aneh itu membuat Mbok Rini penasaran ingin
mengetahui siapa pelakunya.
Suatu hari, Mbok Rini sengaja kembali dari laut lebih cepat dari pada biasanya. Dengan sangat
hati-hati, ia mengintip ke dalam pondoknya melalui sebuah lubang kecil. Alangkah terkejutnya
ia ketika melihat kebulan asap keluar dari tempayannya. Dalam sekedip mata, tiba-tiba
seorang putri yang cantik jelita keluar dari kebulan asap itu dan langsung memasak. Melihat
peristiwa ajaib itu, Mbok Rini semakin penasaran. Ia segera masuk ke pondoknya dan
menghampiri putri cantik itu.
Hai, Putri Cantik! Siapa gerangan kamu dan dari mana asalmu? tanya Mbok Rini penasaran.
Maaf Nek, jika kehadiranku mengusik ketenangan Nenek! Namaku Putri Candra Kirana, putri
dari Kerajaan Daha yang disihir menjadi keong emas oleh seorang nenek, suruhan
saudaraku, jawab Putri Candra Kirana.
Ampun, Tuan Putri! Jika nenek boleh tahu, kenapa saudaramu menyuruh nenek itu
menyihirmu? tanya Mbok Rini ingin tahu.
Putri Candra Kirana pun menceritakan semua kejadian yang dialaminya hingga ia bisa berada
di pondok Mbok Rini. Setelah itu, ia memberi tahu nenek itu bahwa sihir itu akan hilang jika ia
bertemu dengan tunangannya. Untuk itu, ia meminta tolong kepada Mbok Rini agar
mengantarnya pulang ke istana. Mbok Rini pun setuju.
Usai makan siang, Mbok Rini memasukkan Putri Candra Kirana yang telah berubah menjadi
seekor keong emas ke dalam sebuah wadah kecil, lalu berangkatlah ia menuju ke istana.
Setibanya di istana, Mbok Rini menyerahkan keong emas itu kepada Raja Kertamarta.
Ampun beribu ampun, Baginda! Hamba datang kemari untuk mengantarkan keong emas ini,
kata Mbok Rini sambil memberi hormat.

Untuk apa keong emas ini? Dari mana kamu mendapatkannya? tanya Raja Kertamarta
bingung.
Ampun, Baginda! Keong emas ini adalah penjelmaan putri Baginda, Candra Kirana, jawab
Mbok Rini.
Apa katamu, Nek? Keong emas ini putriku? tanya sang Raja tersentak kaget seolah-olah
tidak percaya.
Akhirnya, Raja Kertamarta pun mengerti setelah Mbok Rini menceritakan semua kejadian
yang telah menimpa putrinya. Ia sangat menyesal, karena telah mengusir putri bungsunya
yang tidak bersalah itu. Ia pun segera memerintahkan pengawalnya untuk memanggil Raden
Inu Kertapati yang berada di Kerajaan Kahuripan.
Sementara itu, Putri Dewi Galuh yang mengetahui hal itu segera menemui nenek sihir, Mbok
Mian, secara diam-diam.
Hai, Mbok Mian! Sihirlah Inu Kertapati menjadi batu agar ia tidak bertemu dengan Putri
Candra Kirana! seru Putri Dewi Galuh.
Mendengar perintah itu, Mbok Mian segera mengubah wujudnya menjadi seekor burung
gagak, lalu terbang menuju ke istana Kahuripan. Di tengah perjalanan, ia melihat Raden Inu
Kertapati sedang berjalan menuju ke istana Daha untuk memenuhi panggilan Raja Kertamarta
dan bertemu dengan tunangannya. Ketika ia hendak menyihir Raden Inu Kertapati menjadi
batu, tanpa ia duga tiba-tiba seorang kakek memukul kepalanya dengan tongkat hingga
berubah menjadi asap. Rupanya, kakek itu adalah orang sakti yang telah ditolong oleh Inu
Kertapati di perjalanan saat sebelum bertemu dengan burung gagak itu. Raden Inu Kertapati
mendapati kakek itu sedang kelaparan dan memberinya makan.
Raden Inu Kertapati pun melanjutkan perjalanannya. Setibanya di istana Daha, ia segera
menemui tunangannya. Begitu mereka bertemu, sihir yang mengenai Putri Candra Kirana pun
pun hilang dan kembali berwujud manusia. Seluruh keluarga istana Daha dan Raden Inu
Kertapati tertegun menyaksikan peristiwa ajaib itu. Putri Candra Kirana pun menceritakan
semua perbuatan Putri Dewi Galuh kepada ayahandanya. Raja Kertamarta dan seluruh
keluarga istana meminta maaf kepada Putri Candra Kirana, kecuali Putri Dewi Galuh. Karena
malu dan takut mendapat hukuman dari ayahandanya, ia melarikan diri ke hutan. Di tengah
hutan, ia terperosok masuk ke dalam jurang dan tewas seketika.
Akhirnya, Candra Kirana dan Raden Inu Kertapati dinikahkan. Pesta pernikahan mereka
dilangsungkan selama tujuh hari tujuh malam dan dimeriahkan oleh berbagai pertunjukan
kesenian. Undangan yang hadir pun datang dari berbagai penjuru negeri. Mereka sangat
gembira melihat kedua mempelai duduk bersanding di atas pelaminan. Putri Candra Kirana
dan Raden Inu Kertapati hidup berbahagia. Kebahagiaan tersebut tidak membuat mereka lupa
kepada orang-orang yang telah berjasa menolong mereka. Mereka pun memboyong Mbok Rini
dan kakek sakti yang baik tersebut ke istana.
***
Demikian dongeng Keong Emas dari daerah Jawa Timur, Indonesia. Dongeng di atas memberi
pelajaran kepada kita bahwa orang yang suka iri hati, mendengki, dan memfitnah orang lain,
akan ditimpa malapateka. Sifat dengki dan iri hati ini dapat muncul ketika melihat orang lain
memperoleh keberuntungan yang belum mampu ia miliki, sehingga menimbulkan rasa benci
dan sakit hati. Orang yang sakit hati akan melakukan berbagai cara dan tipu muslihat untuk
mencelekai orang lain. Bahkan terhadap saudara sendiri pun ia tega melakukannnya,
sebagaimana yang tercermin pada perilaku Putri Dewi Galuh yang telah memfitnah adiknya.
Akibatnya, ia terperosok masuk ke jurang hingga meninggal dunia. Oleh karena itu, sifat ini
harus dijauhi untuk menghindari terjadinya hukum sebab dan akibat yang akan
ditimbulkannya. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:
kalau suka dengki mendengki,
orang muak Tuhan pun benci

You might also like