You are on page 1of 16

Islam adalah agama yang menyeimbangan antara aspek lahir dan batin,

antara Iman dan amal saleh. Nabi Muhammad saw. yang diutus untuk
menyampaikan risalah Islam, tidak pernah menunjukkan sikap-sikap yang
lebih menekankan salah satu dari dua aspek tersebut. Dengan kata lain,
ia tidak lebih mementingkan aspek lahiriah saja ketimbang aspek batiniah,
ataupun

sebaliknya.

Islam

mengajarkan

umatnya

untuk

membuat

seimbang kedua aspek tersebut dan menjadikannya sama-sama penting


dalam menjalani kehidupan dunia.
Sebagai aspek-aspek yang sama-sama penting dalam ajaran Islam, dalam
sejarahnya, telah terjadi pergeseran ke arah formalisme dan legalisme
serba lahir yang menimbulkan reaksi serba batin. Di mana kedua aspek
yang disebutkan di atas lebih didahulukan salah satunya sehingga menjadi
sebuah paham yang mengikat kuat dalam masyarakat dan pada saat
tertentu mencapai anti klimaks yang berakibat pada pertentangan antara
keduanya. Orang-orang yang lebih mementingkan aspek-aspek syariah,
persoalan

halal-haram,

intelektualisme-rasional,

materialisme,

dan

legalisme, mewakili golongan lahiriah. Sementara bagi orang-orang yang


lebih

mementingkan

rasa-hati,

dan

nilai-nilai

batin,

masuk

dalam

golongan batiniah. Tasawuf atau sufisme, berawal dari gerakan batiniah


tersebut. Gerakan ini berusaha mendekatkan diri kepada Allah Sang
pencipta dengan memanfaatkan media-media yang serba batin dan
rahasia tersebut.
Sebelum Islam datang ke Indonesia, agama Islam telah mengalami
perkembangan yang gemilang. Dalam bidang penalaran, umat Islam telah
sanggup mewarisi dan memanfaatkan pemikiran dan falsafah Yunani,
untuk memperkuat perkembangan ijtihad, baik dalam hukum Islam, ilmu
kalam, falsafah dan sebagainya. Dalam mistik Islam atau tasawuf, umat
isla juga telah berhasil mengembangkan penghayatan dan pengalaman
mistik yang disesuaikan dengan ajaran Islam.

Makalah ini berusaha membahas mengenai dimensi mistik dalam Islam


kebatinan. Perlu diperjelas di sini bahwa yang dimaksud Islam kebatinan
adalah Islam yang bersifat menonjolkan aspek-aspek batiniah ketimbang
aspek lahiriah. Islam kebatinan pada masyarakat Jawa disebut sebagai
Islam kejawen telah memadukan ajaran-ajaran tasawuf Islam dengan
unsur-unsur

animisme,

dan

ajaran

Hindu-Budha.

Perpaduan

itu

melahirkan paham-paham kebatinan yang khas dan terkadang lari dari


konsep tasawuf Islam sebenarnya. Ciri yang menonjol dari paham Islam
kebatinan adalah antroposentrisme dan panteisme. Begitu juga dengan
penggunaan istilah-istilah tasawuf juga banyak digunakan dalam Islam
kebatinan, tetapi tidak diartikan dengan yang sebenarnya. Oleh sebab itu,
dalam pembahasan selanjutnya akan awali dengan meninjau pengertian
mistik, latar belakang munculnya Islam kebatinan, hubungan antara Islam
dan kepercayaan lokal, serta melihat praktek-praktek dan ajaran-ajaran
yang bersifat mistis dalam Islam kebatinan. Semoga makalah ini dapat
memberikan penjelasan yang memadai.
Pengertian Mistik
Menurut asal katanya, mistik berasal berasal dari bahasa Yunani mystikos
yang artinya rahasia, serba rahasia, tersembunyi, gelap, atau terselubung
dalam kekelaman. Dalam buku De Kleine W.P. Encylopaedie (1950) karya
G.B.J. Hiltermann dan Van De Woestijne, kata mistik berasal dari bahasa
Yunani myein yang artinya menutup mata. Kata mistik sejajar dengan
kata Yunani lainnya musterion yang artinya suatu rahasia. Paham mistik
dilihat dari segi materi ajarannya dapat dipilah menjadi dua, yaitu paham
mistik keagamaan, yang terkait dengan tuhan dan ketuhanan, dan paham
mistik non-keagamaan, yang tidak terkait dengan ketuhanan.
Dalam kata mistik itu terkandung sesuatu yang misterius, yang tidak
dapat dicapai dengan cara-cara biasa atau dengan usaha intelektual.
Mistik telah disebut sebagai arus besar kerohanian yang mengalir dalam
semua agama. Dalam artinya yang paling luas, mistik bisa didefenisikan

sebagai kesadaran terhadap kenyataan tunggal yang mungkin disebut


kearifan, cahaya, cinta atau nihil.
Namun, defenisi-defenisi semacam itu hanya sekadar petunjuk saja.
Sebab kenyataan yang menjadi tujuan mistik, dan apa yang tak
terlukiskan, memang tidak bisa dipahami, dijelaskan dan diungkapkan
dengan cara persepsi apapun; baik filsafat maupun penalaran logis. Hanya
kearifan hati, gnosis, ma`rifah, yang bisa mendalami beberapa di antara
seginya. Diperlukan sebuah pengalaman rohani yang tidak tergantung
pada metode-metode indera dan fikiran. Begitu si pencari memulai
perjalanannya menuju kenyataan akhir ini, ia akan dibimbing oleh cahaya
batin. Cahaya itu akan semakin terang ketika ia membebaskan diri dari
keterikatannya dengan dunia atau, seperti kata para sufi; menggosok
cermin jiwanya sampai mengkilap. Hanya setelah masa pemurnian yang
lama yang dalam mistik Kristen disebut via purgativa si pencari bisa
mencapai via iluminativa, tempat di mana ia diberkati cahaya dan
kearifan. Dari sana ia bisa mencapai sasaran akhir pencarian mistik, yakni
unio mystica atau via unitiva. Hal ini bisa dihayati dan diungkapkan
sebagai perpaduan cinta, atau sebagai visio beatifica, yakni tempat jiwa
menyaksikan segala yang diluar jangkauan penglihatan, diliputi oleh
cahaya Tuhan. Hal ini bisa digambarkan sebagai penyingkapan cadar
ketidaktahuan,

cadar

yang

menutupi

ciri-ciri

dasar

Tuhan

dan

makhluknya, yang dalam istilah tasawuf disebut kasyaf, mukasyafah.


Dalam agama Islam, mistisisme diberi nama tasawuf dan oleh kaum
orientalis Barat disebut sufisme. Kata sufisme dalam istilah orientalis
Barat khusus dipakai untuk mistisisme Islam dan istilah sufisme tidak
dipakai untuk mistisisme yang terdapat dalam agama-agama lain. Seperti
halnya agama lain, mistisisme Islam bertujuan membersihkan unsurunsur batiniah manusia untuk mendapatkan kebersihan jiwa dari segala
yang mengotorinya sekaligus berusaha untuk sedekat mungkin kepada
Allah.

Dari pengertian mistik di atas, dapat diketahui bahwa mistik bersifat


universal, terdapat di semua agama, bersifat rahasia dan sulit dicermati
secara ilmiah. Khusus dalam Islam, paham mistik disebut tasawuf atau
sufisme. Tasawuf yang berkembang di Indonesia telah mengalami
perkembangan dan pada sebagian ajarannya telah dipengaruhi oleh
berbagai

kepercayaan

pra-Islam

dan

ajaran

Hindu-Budha.

Paham

semacam ini disebut sebagai Islam kebatinan. Paham ini melakukan


sinkretisme antara ajaran tasawuf dengan ajaran kebatinan di luar Islam.
Di Indonesia, paham Islam kebatinan ini kemudian berkembang menjadi
berbagai

macam

aliran-aliran

perkembangannya,

kepercayaan

aliran-aliran

tersebut

dan

kebatinan.

kelihatan

sudah

Pada
jauh

meninggalkan ajaran Islam yang murni, bahkan hampir tidak ada kaitan
sama sekali dengan ajaran Islam.
Latar Belakang Munculnya Islam Kebatinan
Dalam

sejarah

penyebaran

agama

di

Jawa,

Islam

mengalami

perkembangan yang cukup unik. Dari segi agama, suku jawa sebelum
menerima pengaruh agama dan kebudayaan Hindu, masih dalam taraf
animisme dan dinamisme. Mereka memuja roh nenek moyang, dan
percaya adanya kekuatan gaib atau daya magis yang terdapat pada
tumbuh-tumbuhan, binatang, dan benda-benda yang dianggap memiliki
daya sakti.
Suatu hal yang sangat menarik ditinjau dari sudut agama, adalah
pandangan yang bersifat sinkretis yang mempengaruhi watak dari
kebudayaan dan kepustakaan jawa. Sinkretisme ditinjau dari segi agama,
adalah suatu sikap atau pandangan yang tidak mempersoalkan benar
salahnya suatu agama. Yakni suatu sikap yang tidak mempersoalkan
murni atau tidak murninya suatu agama. Bagi orang yang berpaham
sinkretis, semua agama dipandang baik dan benar. Penganut paham
sinkretis suka memadukan unsur-unsur dari berbagai agama, yang pada
dasarnya berbeda atau berlawanan.

Simuh dalam penelitiannya membedakan dua macam kepustakaan Islam


yang

berkembang

kepustakaan

Islam

di

Jawa,
kejawen.

yaitu:

kepustakan

Kepustakaan

Islam

Islam

santri

santri

dan

adalah

kepustakaan yang bersumber dari kitab-kitab Islam yang diajarkan di


pesantren-pesantren dan bersumber dari ulama-ulama besar Islam yang
sebagian besarnya berbahasa Arab, sebagian lainnya berbahasa Arab
melayu.

Sementara

kepustakaan

Islam

kejawen

adalah

suatu

kepustakaan jawa yang memuat perpaduan antara tradisi jawa dan unsurunsur ajaran Islam, terutama aspek-aspek ajaran tasawuf dan budi luhur
yang

terdapat

dalam

perbendaharaan

kitab-kitab

tasawuf.

Ciri

kepustakaan Islam kejawen, ialah memperhunakan bahasa jawa dan


sangat sedikit mengungkapkan aspek syari`at, bahkan sebagian ada yang
kurang menghargai syari`at. Yakni syari`at dalam arti hukum atau
aturan-aturan lahir agama Islam. Bentuk kepustakaan ini termasuk dalam
kepustakaan Islam, karena ditulis oleh dan untuk orang-orang yang telah
menerima Islam sebagai agama mereka. Nama yang sering dipergunakan
untuk menyebut kepustakaan Islam kejawen, adalah primbon, suluk dan
wirid. Suluk dan wirid berkaitan isinya dengan ajaran tasawuf. Adapun
primbon isinya merangkum berbagai ajaran yang berkembang dalam
tradisi

Jawa,

seperti

ngelmu-petung,

ramalan,

guna-guna,

dan

sebagainya. Selain itu primbon umumnya juga memuat aspek-aspek


ajaran Islam. Kemudian terdapat Serat Suluk Wujil, yang berisi wejangan
Sunan Bonang kepada Wujil, seorang budak raja Majapahit. Suluk Malang
Sumirang, yang disusun oleh Sunan Panggung waktu beliau menjalani
hukuman bakar di tengah nyala api. Ada lagi kepustakan jawa yang
disebut serat. Serat yang terkenal adalah Serat Wirid Hidayat Jati yang
dikarang

oleh

Ranggawarsita

(1802-1873),

Serat

Gatoloco,

Serat

Darmogandul, Serat Cabolek, Serat Centini yang dianggap sebagai puncak


kesusastraan-mistik kejawen, dan lain sebagainya.
Di antara peninggalan kepustakaan Islam kejawen yang paling tua, masih
dapat ditemukan, dan menurut perkiraan berasal dari abad ke-16, yaitu

Suluk Sunan Bonang dan primbon Jawa Abad Enam Belas. Kitab yang
lebih dahulu adanya dari kedua manuskrip di atas adalah Serat Suluk
Sukarsa.

Kitab

ini

berisi

ajaran

mistik

Islam

kejawen.

Menurut

Purbatjaraka, dalam Serat Suluk Sukarsa terdapat ungkapan-ungkapan


yang mirip dengan syair-syair Hamzah fansuri.
Semedi atau tapa adalah penarikan diri sementara dari minat kepada
dunia lahir, yang caranya adalah duduk lurus berdiam diri mutlak dan
mengososngkan diri dari semua isi dunia sejauh mungkin. Jadi semedi
atau tapa merupakan sejenis penangguhan kebahagiaan terhadap segala
hal yang bersifat keduniaan.
Dalam cerita masyarakat jawa, khususnya menurut versi Islam abangan
(sebuah penggunaan istilah oleh Cliiford Geertz untuk menunjukkan
varian Islam yang cenderung kepada paham animisme di daerah Jawa),
diceritakan bahwa Sunan Kalijaga, tokoh besar penyebar ajaran Islam di
Jawa, dijadikan model dalam penggunaan praktek semedi. Ketika masih
muda ia adalah seorang perampok, penjudi, pemboros dan umumnya
jahat. Pada suatu hari, datanglah ke kota ayahnya seorang perintis Islam
bernama Sunan Bonang, salah satu dari wali Sembilan. Sunan Bonang
mengenakan pakaian yang bagus dan permata yang mahal-mahal, dan
ujung tongkatnya terbuat dari emas murni. Suatu ketika ia memasuki
daerah di mana Sunan Kalijaga (yang waktu itu dipanggil Raden Said)
biasa duduk di tempat itu; ia diberhentikan oleh Kalijaga, yang meminta
permata dan tongkatnya dengan taruhan nyawanya. Sunan Bonang hanya
tertawa dan berkata, mengapa, permata ini tidak ada artinya, lihatlah
sekelilingmu!, Kalijaga melihat ke sekelilingnya, dan terkejut ketika
melihat bahwa Bonang telah mengubah semua pohon menjadi emas dan
beruntaikan permata. Dia terkejut dan sadar akan kesaktian Sunan
Bonang. Kalijaga memohon kedada Bonang untuk dapat mengajarkan
ilmu rahasianya tersebut. Bonang berkata, baiklah, tetapi itu sulit sekali
dan berbahaya. Apakah kamu berani? dan Kalijaga berkata, saya berani
sampai titik darah penghabisan. Maka Bonang berkata, kalau kamu

berani, maka tunggulah saya di sini di pinggir kali ini sampai saya
kembali. Kalijaga menunggu, dan bertapa. Selama bertahun-tahun
Sunan Bonang tak kembali, tetapi Kalijaga terus tidak bergerak di satu
tempat.

Pohon-pohon

tumbuh

di

sekitarnya,

wanita-wanita

cantik

menggoda, setan dan hantu menakut-nakutinya, tetapi ia tidak bergerak.


Akhirnya Bonang kembali dan mendapati Kalijaga (kali, sungai dan jaga,
penjaga) ternyata lebih sakti dari dia sendiri, karena lamanya ia bertapa.
Sesudah ini Kalijaga tidak merampok dan berjudi lagi tetapi berusaha
menyebarkan Islam di tanah Jawa.
Antara Islam dan Kepercayaan lokal
Tidak

ada

satu

agama

atau

ajaran

yang

tidak

dipengaruhi

oleh

kepercayaan dan kebudayaan lokal. Begitu juga dengan agama Islam. Ia


awalnya merupakan ajaran yang murni dan bersih, ketika Islam hadir ke
tengah-tengah masyarakat yang telah memiliki kepercayaan sebelumnya,
pada prakteknya akan terjadi saling keterpengaruhan antara keduanya.
Jumhur ulama berijma bahwa iman Muslim utuh dan lengkap terdiri dari
tiga unsur: pengucapan dengan lidah (qaul bil lisan), pembenaran dalam
hati (tasdiq bil qalb) dan pelaksanaan dengan anggota (amal bil arkan).
Anasir iqrar, tasdiq dan amal, ketiga-tiganya sama perlunya dan sama
termuat dalam perintah Alquran. Ketiganya berhubungan secara dialketis,
artinya

bila

satu

tergelincir,

maka

yang

lain

akan

mengalami

ketimpangan.
Di dalam rangka kesatuan unsur tasdiq berkembang ke arah ajaran hidup
rohani, pengetahuan kebatinan dan perhatian pada rahasia-rahasia hati.
Petunjuk-petunjuk untuk hidup rohani di dalam Alquran digali dan
dipelajari secara sistematis dengan latar belakang pengalaman batin
sendiri. Demikianlah disusun mazhab tasawuf yang merupakan pustaka
berharga dalam tradisi Islam. Para sufi berusaaha untuk menemukan
Tuhan dalam hatinya, agar mencapai cinta-kasih emosionil (hubb) dan

cinta eskatis (`isq) kepada Tuhan. Diutamakanlah persatuan (ittisal)


dengan Tuhan, bukan kesatuan (ittihad) yang berbau panteistik. Jalan
rohani mereka melalui empat tingkat, yaitu syari`at, tariqat, hakikat
sampai ma`rifat atau pengetahuan mistik. Pada tingkat tertinggi Tuhan
sendiri menyaksikan kebenaran-Nya melalui kesaksian seorang sufi, yang
dalam istilahnya disebut kesatuan kesaksian (wahdat al syuhud).
Orang-orang yang tidak dapat mengikuti para sufi dalam perjalanan jiwa
mereka, terutama ahli hukum dan para penguasa negara selalu menaruh
rasa curiga terhadap kekhususan ajaran tasawuf. Dalam pandangan
mereka

yang

seluruhnya

berkisar

pada

persoalan

halal-haramnya

perbuatan manusia, mereka buta akan kebutuhan orang akan pemenuhan


hasrat rohani. Menurut mereka tasawuf berbahaya. Kerjasama antara
otak dan hati, antara akal dan perasaan, antara hukum lahir dan batin
yang dicita-citakan dalam Islam semula tidak berjalan lancar. Akhirnya
timbullah konflik terbuka. Oleh mahkamah yang didominasi oleh ahli
hukum (fuqaha) dan penguasa-penguasa duniawi, beberapa sufi yang
berpengaruh dihukum mati seperti al-Hallaj, Ahmad al-Ghazali (saudara
Muhammad al-Ghazali), dan Suhrawardi al-maqtul. Dalam putusan radikal
itu gerakan tasawuf dalam Islam bubar. Tetapi arus mistik yang tak dapat
dibendung di dalam Islam itu tetap muncul dan keluar serta tercampur
dengan paham dan filsafat asing, dan akhirnya berbelok menjadi
panteisme dan magik. Ibnu Arabi mengganti dalil wahdat al-syuhud
dengan wahdat al-wujud, yaitu kesatuan substansi antara manusia
dengan Allah. Maka peengaruh Ibnu Arabi itulah menjalar kemana-mana,
ke dalam tariqat di Turki, di Afrka, praktek fakir-fakir di India, dan
akhirnya ke dalam kebatinan di Indonesia. (subagya, 85-88)
Dalam banyak aliran kebatinan, orang-orang dengan tanpa alasan wajar,
menganggap perasaan sendiri adalah wahyu atau panggilan Tuhan. Untuk
dapat membedakannya, dapat dilihat dari jalan atau cara yang membawa
orang tersebut kepada pengalaman batin tertentu. Seorang yang beriman
mendekati Tuhan dengan doa, amal saleh, renungan, cinta kepada

sesama,

pengekangan

nafsu

duniawi,

itulah

layak

mengharapkan

anugerah pengalaman rohani otentik. Tetapi dalam aliran-aliran kebatinan


seringkali dijumpai teknik olah-rasa yang aneh-aneh, yang bersifat gaib
dan magis, yang tidak memenuhi kaidah moral. Pastilah dalam hal
sebegitu orang tidak merasai hadirat Tuhan, melainkan merasai sang aku
sendiri saja. Mereka menipu dirinya sendiri. Kesadaran diri dianggap
bernilai religius. Angan-angan sendiri dianggap panggilan Tuhan. Rasa
panca indera dianggap pengalaman iman. Tegasnya: mereka hidup dalam
ilusi dan ilusinya disiarkan kepada orang lain sebagai seruan yang berasal
dari Tuhan.
Dalam aliran kebatinan, ditentukan hari raya khusus untuknya, yaitu 1
Suro. Hampir diseluruh tanah jawa, 1 Suro dimeriahkan dengan berbagai
acara dan kegiatan keagamaan sebagai penghormatan kepada hari
tersebut.
Aliran Islam Sejatiyang bergerak di sekitar cirebon yang lebih bergerak
kehinduan daripada keislaman berkehendak untuk menegakkan Islam
murni, yang tidak berasal dari Arab, melainkan dari tanah jawa sendiri
dan diciptakan oleh Wali Songo. Kalimat syahadat mereka yang kedua
menyatakan kesaksian kepada Arwah Wali Songo.
Kesamaan bahasa antara Islam dan aliran kebatinan, namun diartikan
secara berbeda dan jauh dari maksud yang sebenarnya. Misalnya, dalam
konsep tasawuf dipakai konsep tidak ada (`adam). Seorang sufi yang
mencapai tingkat pengetahuan mistik (ma`rifah), baginya dunia seolaholah tidak ada. Tetapi aliran yang bernama Agama Adam Marifat
meletakkan asas ajarannya pada pemujaan arwah suci bapak Adam,
manusia pertama. (lihat, Subagay, 41-42)
Aliran Kebatinan dan Ajaran-ajarannya

Menurut

Prof.

Muhammad

Muhsin

Jayadiguna,

aliran

kebatinan

di

Indonesia dapat dibedakan dalam empat golongan:

golongan yang hendak menggunakan kekuatan-kekuatan gaib


untuk melayani berbagai keperluan manusia. Golongan ini ialah
golongan yang mementingkan ilmu gaib.

golongan yang berusaha untuk mempersatukan jiwa manusia


dengan Tuhan, selama manusia itu masih hidup, agar dengan
demikian, manusia dapat merasakan dan mengetahui hidup yang
baka sebelum manusia mengalami mati.

golongan yang berniat mengenal Tuhan, dan menembus alam


rahasia paransangkaning dumadi, dari mana hidup manusia dan
hendak kemana hidup itu akhirnya pergi.

golongan yang berhasrat untuk menempuh budi luhur di dunia ini


serta berusaha menciptakan masyarakat yang berdasarkan saling
menghargai

dan

mencintai

dengan

senantiasa

mengindahkan

perintah Tuhan.
Golongan pertama yang mementingkan ilmu gaib dapat disebut dengan
science occultes atau lebih singkat occultisme. Golongan kedua yang
berusaha mempersatukan jiwa manusia dengan Tuhan dinamakan dengan
mystic

atau

mistisisme.

Golongan

ketiga

yang

membahas

paran

sangkaning dumadi dinamakan ahli metafisik, yakni tentang hal-hal di


luar alam. Golongan keempat yang mementingkan budi luhur, dinamakan
moralist, alirannya adalah morale atau ethics.
Pembedaan aliran kebatinan daalam empat golongan ini, mungkin
memberi kesan bahwa empat bagian itu terpisah, satu daripada lainnya,
tiap-tiap bagiannya berdiri sendiri. Menurut Rasjidi, jika sesuatu golongan
hanya memikirkan moral saja, atau metafisik saja, atau mistik saja, atau
melulu mempraktekkan ilmu gaib, maka itu lebih bersifat khusus dan
pengecualian. Yang terbanyak dan umum adalah orang-orang yang
mencampurkan empat macam bidang tersebut di atas, hal ini mudah
dimengerti, karena bidang-bidang metafisik, mistik, moral dan occultisme,

memiliki hubungan satu sama lain. Metafisik atau sangkan paraning


dumadi merupakan suatu dasar konsepsi. Dari situlah orang dapat
mengatur penghidupan mistik, dapat membentuk tesis-tesis moral, dan
dari situ juga ilmu gaib atau science occulte dapat timbul.
Mengenai asal nama dari kebatinan di Indonesia, Rasjidi mengemukakan
beberapa hipotesis, yaitu:
Kata kebatinan mungkin sebagai salinan dari arti: approfondisement de la
vie interiure yang artinya memperdalam hidup. Dengan begitu, istilah
kebatinan itu merupakan suatu manifestasi dari pengaruh teosofi.
Kemungkinan kedua, ialah bahwa bahwa kata kebatinan merupakan
salinan dari perkataan occultisme, yaitu yang tersembunyi dan rahasia,
apalagi telah diketahui bahwa banyak dari praktek-praktek kebatinan
yang disebut ilmu gaib.
Kemungkinan ketiga, bahwa kebatinan merupakan salinan dari kata Arab:
bathiniyah yang berarti di dalam.
Dalam kepustakaan Islam kejawen, pengaruh ajaran tasawuf dan ajaran
budi luhur sangat nyata terlihat. Demikian pula dengan istilah-istilah arab
yang berkaitan dengan agama Islam dan ajaran tasawuf merupakan
bagian dari kepustakaan Jawa. Tetapi pada umumnya, para sastrawan
Jawa tidak banyak pengetahuannya tentang bahasa Arab dan agama
Islam. Oleh karena itu, banyak istilah-istilah Islam yang diterjemahkan
menurut tanggapan dan pemahaman para sastrawan itu sendiri. Ada yang
jauh menyimpang dari pengertian yang sebenarnya, dan akibatnya,
banyak terdapat uraian-uraian yang samar dan sulit dipahami. Dalam
Serat Centini diuraikan sebgai berikut:
Ranakit pasangin dikir / setariah isbandiah / barjah jalalah suhule /
tinokidken mring makrifat / pemancade maring kak / pemnacade maring
kak / dedalan tarki tanajul / layaping panaul pana / (terdapat istilah-

istilah tasawuf seperti zikir, Syatariah Isbandiah, barzah jalalah, ma`rifah,


fana, yang tidak jelas maksud dan pengertiannya).
Dengan bersamadi, para mistikus kebatinan merasai hadirnya Tuhan
dalam dirinya. Bila semua rintangan telah ia lalui, ia merasakan kesatuan
tak-mendua antara manusia dengan Tuhan yang istilahnya berbunyi:
jumbuhing

kawula-Gusti,

pamor

kawula-Gusti,

ataupun

tokid.

Selanjutnya, ia menyadari dirinya sebagai Tuhan, pemikirannya bersifat


wahyu, perkataannya dicatat oleh murid-murid, diciptakanlah kitab suci
yang baru dan murid-murid jadi rasul baru. Missaalnya pemimpin aliran
Ilmu Sejati di Jawa Barat menyatakan: Aku menyaksikan tiada Allah
selain aku dan bahwa rasaku adalah wakilku. Ucapan-ucapan sejenis ini
sudah ada sejak zaman wali songo, dari mulai syeh Siti Jenar sampai para
penyusun Suluk Centini. Dalam tradisi Hindu disebutkan bahwa diri
manusia (atman), bila beralih kepada tingkat mulia yang disebut
paratman, merasa identik dengan Brahman.
Adapaun ektase dalam mistikus kebatinan, kepribadiannya diganti oleh
pribadi lain, yang disebut kerasukan atau majnun, dan suri. Usaha dan
sarana untuk mencapai penggantian pribadi itu bermacam-macam: yoga,
autosugesti, tari menari, kemenyan, kutug, rebana, zikir, ganja, gamelan
dan lain sebagainya. Berkat latihan kebatinan, tercapailah identifikasi
dengan yang maha kuasa, dan akhirnya menimbulkan kekuatan dan
tenaga yang luar biasa dan tidak terdapat pada manusia normal. Segala
hal ajaib sering terjadi, seperti, dapat bertelepati, meramal, bilokasi atau
hadir dalam dua tempat pada waktu yang sama, dapat berbicara dengan
bahasa yang tak dikenal (xenolali), daapat menggerakkan sesuatu tanpa
menyentuhnya, dan sebagainya. Daya gaib seperti itulah yang sering
ditonjolkan adalam aliran kebatinan. (subagya, 57)
Dalam Serat Saloka Jiwa disebutkan: membeberkan ilmu kesempurnaan,
ajaran para guru masa lalu, sesungguhnya sebelum ada apa-apa, awanguwung (keadaan kosong) ini, hanya Tuhan yang ada. Tuhan menciptakan

cahaya nur ru`yah, lalu menjadi unsur-unsur, segera mengurai menjadi


tanah, api, angin, (udara), dan air. Bumi (tanah) menjadi jasad,
berkembang menjadi empat macam: darah, daging, tulang dan sumsum.
Api berkembang menjadi empat macam nafsu: cahaya hitam (lawwamah),
merah (amarah), kuning (sufiah), dan putih (mutmainnah). Angin
berkembang menjadi 4 macam nafas, yakni; nafas, anfas, tanafas, nufus.
Adapun air berkembang menjadi empat macam roh; roh-jasmani, rohhewani, roh-nabati, dan roh-nurani. Sesungguhnya Tuhan itu, sebalum
ada alam kososng ini, telah berada dalam nukat gaib, ibarat huruf alif
bersifat wajibul wujud, berada pada manusia yang telah manunggal
dengan Tuhan, tiada beda baginya di dunia dan di akhirat.
Sejak semula, para ahli mistik dengan tegas membedakan antara ahli sufi
sejati, yakni mutasawwif yang berusaha mencapai tingkat rohani yang
lebih tinggi, dengan mustawif, yakni orang yang berpura-pura menjadi
seorang sufi tetapi sebenarnya merupakan pengganggu yang tak berguna,
dan bahkan membahayakan bagi orang yang mempercayainya.
Dalam kepustakaan Jawa, kata wirid mendapat perhatian khusus, sesuai
dengan pemahaman penulis Jawa. Dalam kepustakaan Jawa wirid adalah
ajaran ilmu ma`rifat atau mistik, pada umumnya dituangkan dalam
bentuk prosa. Sedangkan ajaran ilmu ma`rifat yang dituangkan dalam
bentuk puisi atau sekar disebut suluk.
Wirid Hidayat Jati karya Ranggawarsita di dalamnya memuat ajaran ilmu
ma`rifat dan ajaran martabat tujuh. Karya ini dipengaruhi oleh ajaran
martabat tujuh dari Syamsuddin Pasai dan Abdul Rauf Singkel. Selain itu,
Wirid Hidayat Jati dipengaruhi oleh kepustakaan Jawa lainnya, yaitu Serat
Centini dan Serat Dewa Ruci.ajaran martabat tujuh yang sebenarnya
bersumber

dari

Kitab

al-Tuhfah

al-Mursalah

ila

Ruhi

Nabi,

karya

Muhammad ibn Fadh Allah dari Gujarat. Ajaran ini sampai di Jawa
meungkin melalui komentar Syamsuddin Pasai, atau melalui penyebaran
tarekat

Syatariyah

oleh

murid-murid

Abdul

rauf

Singkel.

Tarekat

Syatariyah di Jawa disebarkan oleh Abdul Muhyi, seorang murid dari Abdul
Rauf, yakni di Priyangan. Pengikut tarekat Syatariyah segera menyebar ke
cirebon dan tegal. Di daerah Tegal inilah muncul Serat Tuhfah, yang
digubah dalam bahasa Jawa.
Martabat tujuh adalah suatu ajaran tentang penciptaan manusia dan alam
semesta, dari tajalli Tuhan sebanyak tujuh martabat. Ajaran ini diambil
sebagai kerangka pemikiran dalam Wirid Hidayat Jati, untuk menjelaskan
tentang asal usul manusia. Ada tujuh unsur pembentuk manusia, dan ada
tujuh martabat penghayatan gaib untuk kembali bersatu dengan Tuhan.
Bahkan

perkembangan

janin

dalam

kandungan,

hingga

berbentuk

manusia secara utuh, juga melalui tujuh martabat. Dalam serat ini
disebutkan:
Dari Hadis Qudsi, Hadis yang dimulai dari kata: Allah bersabda .., sabda
Allah kepada Rasulullah: Aku mendirikan istana dalam perut manusia
yang Ku-sebut dada. Dalam dada kalbu, dalam kalbu jantung, dalam
jantung budi, dalam budi jinem, dalam jinem sukma, dalam sukma
rahasya (rasa), yaitu: Aku. Arti sabda Allah; anugerah Allah yang datang
dalam rasa.
Seorang mistikus santri menjelaskan bahwa salat malam (tahajjud) dapat
membawa

seseorang

merasakan

pengalaman

mistis

dan

bisa

mendekatkan jiwa kepada Allah. Salat malam yang dilakukan di masjid


merupakan suatu bentuk meditasi, dan hal seperti ini lebih efektif dan
aman daripada yang dilakukan para mistikus kejawen. Sementara
kalangan mistik kejawen, berusaha menjadi kosong dan mereka sering
bermeditasi di hutan atau di pinggir kali. Menurut kalangan santri, hal ini
berbahaya karena setan-setan justru hidup di daerah-daerah seperti ini
dan bisa mengubah jiwa dalam badan spiritual. Bahaya ini akan tidak
mungkin atau sangat sulit terjadi pada meditasi yang dilakukan di masjid
karena setan tidak berani mengganggu di masjid.

Wirid Hidayat Jati mengajarkan paham kesatuan antara manusia dengan


Tuhan. Paham ini mengajarkan bahwa manusia berasal dari Tuhan, dan
oleh karena itu, harus berusaha untuk dapat bersatu dengan Tuhan.
Kesatuan kembali antara manusia dengan Tuhan di dunia bisa dicapai
melalui penghayatan mistis, seperti pada umumnya dalam setiap ajaran
mistis. Akan tetapi kesatuan yang sempurna antara manusia dengan
Tuhan menurut Wirid Hidayat Jati sesudah datangnya masa ajal atau
maut.
Manusia yang sanggup mencapai penghayatan kesatuan dengan Tuhan,
akan menjadi orang yang waskitha dan menjadi manusia yang sempurna
hidupnya. Yaitu orang yang tingkah lakunya mencerminkan perbuatanperbuatan

Tuhan,

lantaran

Tuhan

bersabda,

mendengar,

melihat,

merasakan segala rasa serta berbuat mempergunakan tubuh manusia.


Dalam keadaan kesatuan seperti itu manusia berhak mengakui sebagai
Tuhan, karena tuhanlah yang berbicara melalui mulut manusia. Maka
dalam

Wirid

Hidayat

Jati,

penjelasan

tentang

Tuhan

tidak

dapat

dipisahkan dengan uraian tentang manusia. Dalam arti, manusia yang


telah mencapai tingkat kesatuan dengan Tuhan. Dengan demikian,
penjelasan tentang Tuhan dan tentang manusia selalu berkaitan satu
dengan yang lain.
Jalan untuk mencapai kesatuan antara manusia dengan Tuhan adalah
melakukan manekung amuntu samadi. Selain itu juga dapat dicapai
dengan membaca suatu rumusan kata-katauntuk mengumpulkan kawula
Gusti, yaitu sejenis rumusan kata-kata yang dipandang mempunyai daya
magis. Rumusan kata-kata yang punya daya magis tersebut adalah
sebagai berikut:
Aku zat Tuhan yang bersifat Esa, meliputi hamba-Ku, manunggal-lah
menjadi satu keadaan, sempurna lantaran kodrat-Ku.

Konsepsi tentang Tuhan dalam Islam Kejawen berbeda dengan ajaran


Alquran. Quran secara tegas mengatakan bahwa Tuhan adalah zat yang
trancendent (berada di luar dan mengatasi alam semesta). Sebaliknya
Wirid Hidayat Jati mengetengahkan konsepsi tentang Tuhan yang bersifat
immanent. Tuhan dikatakan berada dalam diri manusia. Selain itu
Alquran mengajarkan tentang paham tanzih, yaitu menyucikan Tuhan
dari keserupaan dengan makhluk-Nya. Sebaliknya dalam paham Islam
kejawen, cenderung kepada paham tasybih, yaitu keserupaan antara
manusia dengan Tuhan. Dalam istilah yang lain disebut panteisme.
Di dalam pertunjukan, stace juga membantah bahwa mistik Islam itu
menjelma menjadi corak universal serupa ditemukan dalam paham
Budha, Hindu, Yahudi, dan semacamnya. Bagaimanapun, perhatian teliti
kepada status mistik Islam yang bertujuan fana kepada Allah akan
mengungkapkan bahwa, sebagai contoh, bukan sama halnya, dengan
nirwana, dan demikian juga, ketika mistik islam berbicara tentang
ketiadaan dari pengalamannya dia tidak berarti hal yang sama dengan
faham Cina ketika ia menyatakan Mu, atau ajaran Hinayanis dan
Mahayanis ketika mereka menyatakan sun-yata. Yang dilibatkan dalam
ketiadaan fana tidaklah hanya hilangnya identitas, tetapi juga baqa, hidup
kekal di (dalam) allah. (Steven T. Katz, 53)
Dalam mistik kristen pada umumnya menyebutkan bahwa pengalaman
mistik adalah penyatuan dengan tuhan. Sementara dalam agama hindu,
salah satu dari pengalaman mistik adalah di mana individu identik dengan
Brahman atau jiwa universal. Seorang Kristen mengatakan bahwa
pengalamannya

mendukung

aliran

ketuhanan

dan

bukanlah

suatu

pengalaman yang identik nyata dengan Tuhan, ia tidak memahami


penyatuan sebagai penyertaan identitas tetapi beberapa hubungan lain
seperti kemiripan. Orang hindu dengan tegas atas keidentikan tersebut,
dan mengatakan bahwa pengalaman mistisnya menunjukkan apa yang
oleh para penulis dalam mistisisme yang disebut panteisme.

You might also like