You are on page 1of 16

1

BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit kusta merupakan salah satu jenis penyakit menular yang sifatnya
kronis dan dapat menimbulkan berbagai masalah yang kompleks. Masalah yang
dimaksud tidak hanya secara medis namun juga meluas sebagai masalah sosial,
ekonomi, budaya, keamanan dan kesehatan nasional. Kusta merupakan penyakit
yang dianggap menyeramkan dan ditakuti oleh masyarakat. Penderita kusta bukan
menderita karena penyakitnya saja, tetapi juga karena dikucilkan oleh masyarakat
sekitarnya. Hal ini akibat kerusakan saraf tepi yang ireversibel di wajah dan
anggota gerak, motorik dan sensorik, serta adanya kerusakan yang berulang-ulang
pada daerah mati rasa yang disertai dengan kelumpuhan dan mengecilnya otot
(Djuanda, 2008).
Berdasarkan data World Health Organization (WHO) pada akhir tahun
2007 jumlah penderita kusta berjumlah 224.717 kasus, sementara pada tahun 2006
berjumlah 259.017 kasus di dunia. Selama kurang dari lima tahun terakhir, jumlah
kasus yang terdeteksi diseluruh dunia terus mengalami penurunan, namun tidak
untuk Indonesia. Pada tahun 2009, Indonesia menempati peringkat ketiga
penyumbang penderita kusta di dunia dengan jumlah 17.723 orang. Peringkat satu
adalah India dengan jumlah 137.685 orang, diikuti oleh Brazil sebagai peringkat
kedua dengan jumlah 39.125 orang. Tahun 2012, jumlah penderita kusta terdaftar
sebanyak 23.169 kasus dan jumlah kecacatan tingkat dua diantara penderita baru
sebanyak 2.025 orang atau 10%. Jika dibandingkan tahun 2011, terjadi
peningkatan dimana jumlah penderita kusta mencapai 20.023 kasus. Penyebaran
penyakit kusta dari suatu tempat ke tempat lain yang menyebar ke seluruh dunia
tampaknya disebabkan oleh perpindahan penduduk yang terinfeksi oleh penyakit
tersebut (WHO, 2007).
Secara nasional, Indonesia telah mencapai angka eliminasi kusta pada
tahun 2000 yang lalu, namun masih ada 12 provinsi yang masih memiliki angka
morbiditas di atas 1 per 10.000 penduduk. Dari 12 provinsi tersebut terdapat
beberapa daerah yang memiliki angka prevalensi yang cukup tinggi, yaitu

Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Maluku, Maluku Utara, Papua, Jawa Timur,
Jawa Barat, Jawa Tengah, NAD, Jakarta, Nusa Tenggara Timur dan Riau (Depkes
RI, 2005).
Sejak tahun 2000 sampai dengan 2003 kasus penyakit kusta di Indonesia
mengalami penurunan yang berarti dimana pada tahun 2000 angka morbiditas
penyakit kusta sebesar 7,6 per 10.000 penduduk, turun menjadi 5,9 per 10.000
penduduk pada tahun 2001. Pada tahun 2002 mengalami penurunan menjadi 2,2
per 10.000 penduduk dan hingga tahun 2003 angka morbiditas penyakit kusta
hanya sebesar 1,3 per 10.000 penduduk dan menjadi 0,9 per 10.000 penduduk
pada tahun 2004 (Depkes RI, 2005). Pengobatan dan perawatan penyakit kusta di
Indonesia dilakukan secara terintegrasi dengan unit pelayanan kesehatan
Puskesmas. Adapun sistem pengobatan yang dilakukan sejak tahun 1992 yaitu
pengobatan dengan kombinasi MDT (multi drug therapy) secara teratur sampai
selesai sesuai dengan dosis dan waktu yang ditentukan untuk semua penderita
kusta tetapi tanpa melibatkan keluarga dengan maksimum (Depkes RI, 2005).
Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur, provinsi
Jawa Timur merupakan penyumbang penderita kusta terbanyak di antara provinsi
lainnya. Rata-rata penemuan penderita kusta di Provinsi Jawa Timur per tahun
antara 4.000-5.000 orang. Pada tahun 2012, penemuan penderita baru di Indonesia
sebanyak 18.853 orang, sedangkan penemuan penderita baru di Provinsi Jawa
Timur sebanyak 4.807 orang (25% dari jumlah penderita baru di Indonesia). Hal
ini menunjukkan prevalensi penderita kusta di provinsi Jawa Timur cukup tinggi
(Dinkes Provinsi Jatim, 2012). Dinas Kesehatan Kabupaten Jember menyatakan
bahwa dari hasil program Gerakan Pencarian Penderita (GPP), ditemukan
banyaknya penderita kusta baru yaitu 370 orang, yang hampir merata diseluruh
kecamatan yang ada di kabupaten Jember. Kecamatan Jenggawah merupakan
salah satu wilayah Kabupaten Jember yang turut serta menyumbangkan angka
penderita kusta. Data register kohort penderita kusta tipe MB dan PB yang
diperoleh dari PKM Jenggawah menunjukkan jumlah penderita kusta di wilayah
PKM Jenggaawah, yaitu pada tahun 2010 sebanyak 21 orang, pada tahun 2011
sebanyak 20 orang, tahun 2012 sebanyak 9 orang, tahun 2013 sebanyak 6 orang,

sedangkan pada Januari 2014 sampai sekarang sebanyak 7 orang (PKM


Jenggawah, 2014). Permasalahan ini kemungkinan disebabkan oleh salah satu
faktor, yaitu kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai penyakit kusta.
Minimnya informasi yang benar tentang penyakit kusta membuat persepsi
salah pada masyarakat sehingga kerap menganggap penyakit kusta sebagai
penyakit kutukan, penyakit keturunan, akibat guna-guna, salah makan, hingga
penyakit sangat menular dan tidak dapat disembuhkan. Pemahaman keliru
melahirkan tindakan keliru oleh masyarakat. Ketakutan masyarakat tertular,
membuat mereka tega mengusir penderita kusta. Bahkan, yang sudah sembuh dan
tidak menular kesulitan untuk memulai hidupnya lagi. Hal ini menyebabkan
beberapa penderita kusta enggan berobat lebih dini dan kurangnya dukungan
keluarga serta lingkungan sekitarnya (Zulkifli, 2002).
Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti ingin mengetahui tingkat
pengetahuan masyarakat wilayah kerja Puskesmas Jenggawah tentang penyakit
kusta.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimanakah tingkat pengetahuan masyarakat tentang penyakit kusta di
wilayah kerja Puskesmas Jenggawah, Kecamatan Jenggawah, Kabupaten Jember.

1.3 Tujuan
Mengetahui tingkat pengetahuan tentang penyakit kusta di wilayah kerja
Puskesmas Jenggawah, Kecamatan Jenggawah, Kabupaten Jember.

1.4 Manfaat
1. Sebagai bahan informasi dan masukan bagi pihak Dinas Kesehatan
Kabupaten Jember dalam menyusun perencanaan program pemberantasan
penyakit kusta selanjutnya.
2. Sebagai bahan masukan bagi petugas kesehatan dalam promosi kesehatan
kepada masyarakat tentang penyakit kusta dan proses penyembuhannya.
3. Sebagai bahan perbandingan dan referensi untuk penelitian selanjutnya.

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Kusta


2.1.1 Definisi
Istilah kusta berasal dari bahasa India, yakni kushtha berarti kumpulan
gejala-gejala kulit secara umum. Penyakit kusta disebut juga Morbus Hansen,
sesuai dengan nama yang menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer
Hansen pada tahun 1874 sehingga penyakit ini disebut Morbus Hansen
(Kosasih,2003). Kusta adalah penyakit infeksi yang kronik, penyebabnya ialah
Mycobacterium Leprae yang intraselular obligat (Kosasih, dkk, 2003).

2.1.2 Epidemiologi
Penyebaran penyakit kusta dari suatu tempat ke tempat lain sampai
tersebar ke seluruh dunia tampaknya disebabkan oleh perpindahan orang yang
telah terkena penyakit tersebut. Masuknya kusta ke pulau-pulau Melanesia
termasuk Indonesia diperkirakan terbawa oleh orang-orang Cina (Kosasih, dkk,
2003). Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan adalah patogenitas kuman
penyebab, cara penularan, keadaan sosial ekonomi dan lingkungan, varian genetik
yang berhubungan dengan kerentanan, perubahan-perubahan imunitas, dan
kemungkinan-kemungkinan adanya reservoir diluar manusia (Djuanda, 2008).
Frekuensi tertinggi pada kelompok umur antara 25-35 tahun. Faktor sosial
ekonomi kiranya memegang peranan, makin rendah sosial ekonominya makin
subur penyakit kusta. Sebaliknya, faktor sosial ekonomi tinggi membantu
penyembuhan. Sehubungan dengan iklim, ternyata penyakit ini kebanyakan
terdapat di daerah tropis dan subtropis yang panas dan lembab. Ada variasi reaksi
terhadap infeksi Mycobacterium Leprae yang mengakibatkan variasi gambaran
klinis (spektrum dan lain-lain) di berbagai suku bangsa, rupanya disebabkan oleh
faktor genetik yang berbeda (Mansur, 2000). Kusta terdapat dimana-mana,
terutama di Asia, Afrika, Amerika Latin, daerah tropis dan subtropis, serta
masyarakat yang sosial ekonominya rendah. Pada tahun 1991, World Health

Assembly membuat resolusi tentang eliminasi kusta sebagai masalah kesehatan


masyarakat pada tahun 2000 dengan menurunkan prevalensi kusta menjadi di
bawah 1 kasus per 10.000 penduduk. Di Indonesia hal ini dikenal sebagai
Eliminasi Kusta tahun 2000. Jumlah kasus kusta di seluruh dunia selama 12 tahun
terakhir ini telah menurun 85% di sebagian besar Negara Wilayah yang endemis.
Kasus yang terdaftar pada permulaan tahun 1997 kurang lebih 890.000 penderita.
Walaupun penyakit ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di 55
negara atau wilayah, 91% dari jumlah kasus berbeda di 16 Negara, dan 82%-nya
di 5 Negara (India, Brazil, Indonesia, Myanmar dan Nigeria). Jumlah kasus kusta
di Indonesia yang tercatat pada akhir Maret 1997 adalah 31.699 orang, distribusi
juga tidak merata, yang tertinggi antara lain di Jawa Timur, Jawa Barat dan
Sulawesi Selatan. Prevalensi di Indonesia per 10.000 penduduk adalah 1.57.
Menurut Ress (1975) dapat ditarik kesimpulan bahwa penularan dan
perkembangan penyakit kusta hanya tergantung dari dua hal yakni jumlah atau
keganasan Mycobacterium leprae dan daya tahan tubuh penderita. Disamping itu
faktor-faktor yang berperan dalam penularan ini adalah :
1. Usia : Anak-anak lebih peka dari pada orang dewasa .
2. Jenis kelamin : Laki-laki lebih banyak dijangkiti.
3. Ras : Bangsa Asia dan Afrika lebih banyak dijangkiti.
4. Kesadaran sosial : Umumnya negara-negara endemis kusta adalah negara
dengan tingkat sosial ekonomi rendah.

2.1.3 Gejala Klinis


1. Adanya bercak tipis seperti panu pada badan/tubuh manusia.
2. Pada bercak putih ini pertamanya hanya sedikit, tetapi lama- kelamaan
semakin melebar dan banyak.
3. Adanya pelebaran syaraf terutama pada syaraf ulnaris, medianus.
4. Adanya bintil-bintil kemerahan (leproma, nodul) yang tersebar pada kulit.
5. Alis rambut rontok.
Muka berbenjol-benjol dan tegang yang disebut Facies Leomina (muka
singa) (Zulkifli, 2002).

2.1.4 Patogenesis
Timbulnya penyakit kusta pada seseorang tidak mudah sehingga tidak perlu
ditakuti. Hal ini bergantung pada beberapa faktor, antara lain sumber penularan,
kuman kusta, daya tahan tubuh, sosial ekonomi, dan iklim (Mansur, 2000).
Sumber penularan adalah kuman kusta utuh (solid) yang berasal dari pasien kusta
tipe MB (Multi Basiler) yang belum diobati atau tidak teratur berobat (Mansur,
2000). Bila seseorang terinfeksi Mycobacterium Leprae sebagian besar (95%)
akan sembuh sendiri dan 5% akan menjadi indeterminate. Dari 5% interminate,
30% bermanifestasi klinis menjadi determinate dan 70% sembuh (Mansur, 2000).
Setelah Mycobacterium Leprae masuk kedalam tubuh, perkembangan penyakit
kusta bergantung pada kerentanan seseorang. Respon tubuh setelah masa tunas di
lampaui tergantung pada system imunitas selular (cellular mediated immune)
pasien. Kalau sistem imunitas selular tinggi, penyakit berkembang ke arah
Tuberkuloid dan bila rendah berkembang kearah Lepromatosa (Mansur, 2000).

2.1.5 Klasifikasi
Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spektrum determinate pada
penyakit kusta yang terdiri atas berbagai tipe atau bentuk, yaitu :
TT : Tuberkuloid polar, bentuk yang stabil
T I : Tuberkuloid Indefinite
BT : Borderlines Tuberculoid
BB: Mid Borderline
BL : Borderline Lepramatous
L I : Lepromatosa Indefinite
LL: Lepramatosa polar, bentuk yang stabil

Tabel 2.1 Zona Spektrum Kusta Menurut Macam Klasifikasinya


Klasifikasi
Ridley dan

Zona spektrum Kusta


TT

BT

BB

BL

LL

Jopling
Madrid

Tuberkuloid

Bord

Lepromatosa

erline
WHO

Pausi Basiler
(PB)

Puskesmas

Pausi Basiler
(PB)

Multi Basiler
(MB)
Multi Basiler
(MB)

Sumber : Kosasih, dkk, 2003

Tipe I (Indeterminate) tidak termasuk dalam spektrum. TT adalah tipe


Tuberkuloid Polar, yakni Tuberkuloid 100%, merupakan tipe yang stabil jadi
berarti tidak mungkin berubah tipe. Begitu juga LL adalah tipe Lepromatosa
Polar, yakni Lepromatosa 100%, juga merupakan tipe yang stabil yang tidak
mungkin berubah lagi. Tipe antara Ti dan Li disebut tipe borderline atau
campuran, berarti campuran antara Tuberkuloid dan Lepromatosa. BB adalah tipe
campuran yang terdiri atas 50 % Tuberkuloid Lepromatosa. BB dan Ti lebih
banyak Tuberkuloidnya, sedangkan BL dan Li lebih banyak Lepromatosanya.
Tipe-tipe campuran ini adalah tipe yang labil, berarti dapat bebas beralih tipe, baik
ke arah TT maupun ke arah LL. Multibasiler berarti mengandung banyak basil
yaitu tipe LL, BL, dan BB. Pausibasiler berarti mengandung sedikit basil, yakni
tipe TT, BT dan I (Sulistyowaty, 2005). Menurut WHO pada tahun 1981, kusta
dibagi menjadi Multibasiler dan Pausibasiler. Yang termasuk dalam Multibasiler
adalah tipe LL, BL, dan BB pada klasifikasi Ridley-Jopling dengan indeks bakteri
(IB) lebih dari 2+, sedangkan Pausibasiler adalah tipe I, TT dan BT dengan IB
kurang dari 2+.

Tabel 2.2 Gambaran Klinis Menurut WHO


Gambaran Klinis
Lesi Kulit (macula
datar, Papul yang
meninggi, Nodul)
Kerusakan cabang
saraf (menyebabkan
saraf kehilangan
sensasi/kelemahan otot
yang dipersarafi oleh
sraf yang terkena)

Tipe PB

Tipe MB

1-5 lesi, hipopigmentasi/


eritema, distribusi tidak
simetris, hilanya sensasi
yang jelas.
Hanya satu cabang saraf

Lesi >5, distribusi lebih


simetris, hilanya sensasi.

Banyak cabang saraf

(Sumber : WHO, 1995)


Untuk kepentingan program pengobatan pada tahun 1987 telah terjadi
perubahan. Yang dengan kusta PB adalah kusta dengan BTA negatif pada
pemeriksaan kerokan kulit, yaitu tipe-tipe I, TT dan BT menurut klasifikasi
Ridley & Jopling. Bila pada tipe-tipe tersebut disertai BTA positif, maka akan
dimasukkan ke dalam kusta MB. Kusta MB adalah semua penderita kusta tipe
BB, BL dan LL atau apapun (Mansur, 2000).

2.1.6 Pemeriksaan
1. Pemeriksaan Bakterioskopik
Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu menegakkan
diagnosis dan pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan kulit atau
mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan terhadap basil tahan asam,
antara lain dengan Ziehl Neelsen. Bakterioskopik negatif pada seorang penderita,
bukan berarti orang tersebut tidak mengandung Mycobacterium Leprae (Mansur,
2000).
2. Pemeriksaan Histopatologik
Gambaran histopatologik bagi tipe Tuberkuloid adalah tuberkel dan
kerusakan saraf yang lebih nyata tidak ada basil atau hanya sedikit dan Nonsolid.
Bagi Lepromatosa terdapat kelim sunyi subepidermal (subepidermal clear zone),
ialah suatu daerah langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik,

ada sel Virchow (sel lepra) dengan banyak basil. Bagi tip borderline, terdapat
campuran unsur-unsur tersebut (Kosasih, dkk, 2003).

2.1.7 Pengobatan
Obat anti kusta yang paling banyak dipakai saat ini adalah DDS
(Diaminodifenil Sulfon) lalu Klofazimin, dan Rifampisin. DDS mulai dipakai
sejak 1948 dan pada tahun 1952 di Indonesia. Kolfazimin dipakai sejak 1962 oleh
Brown dan Hoogerzeil dan rifampisin sejak tahun 1970. pada tahun 1998 WHO
menambahkan 3 obat antibiotika lain untuk pengobatan alternatif, yaitu
Ofkloksasin, Minisiklin dan Klartromisin (Kosasih, dkk, 2003).
DDS
Dosis DDS ialah 1-2mg/kg berat badan setiap hari. Efek samping yang
mungkin timbul antara lain nyeri kepala, Erupsi obat, Anemia Hemolitik,
Leukopenia, Insomnia, Neuropatia Perifer, sindrom DDS, Nekrolisis Epidermal
Toksik, Hepatitis, Hipoalbuminemia, dan Methmoglobinemia (Kosasih, dkk,
2003).
Rifampisin
Rifampisin adalah obat yang menjadi salah satu komponen kombinasi
dengan DDS dengan dosisi 10mg/kg berat badan; diberikan setiap hari atau setiap
bulan. Rifampisin tidak boleh diberikan sebagai monoterapi, oleh karena
memperbesar kemungkinan terjadinya resistensi, tetapi pada pengobatan
kombinasi selalu ditakutkan, tidak boleh diberikan setiap minggu atau setiap 2
minggu mengingat efek sampingnya (Kosasih, dkk, 2003). Efek samping yang
harus diperhatikan adalah hepatotoksik, nefrotoksik, gejala gastrointestinal, flulike syndrom dan erupsi kulit (Zalbawi, 2005).
Klofazimin (lamprene)
Obat ini mulai dipakai sebagai obat kusta pada tahun 1962 oleh Brown dan
Hoogerzeil. Dosis sebagai antikusta ialah 50 mg setiap hari, satau 100 mg selang
hari, atau 3 x 100 mg setiap minggu. Juga bersifat anti-inflamasi sehingga dapat

10

dipakai pada penanggulangan E.N.L. dengan dosis lebih tinggi. Resistensi


pertama pada satu kasus dibuktikan pada tahun 1982 (Kosasih, dkk, 2003). Efek
sampingnya ialah warna kecoklatan pada kulit, dan warna kekuningan pada
sklera, sehingga mirip ikterus. Hal tersebut disebabkan karena Klofazimin ialah
zat warna dan tertimbun ditempat tersebut. Obat ini menyebabkan pigmentasi
kulit yang sering merupakan masalah dalam ketaatan berobat penderita. Efek
sampingnya hanya terjadi dalam dosis tinggi, berupa gangguan gastrointestinal
(nyeri abdomen, nausea, diare, anoreksi, dan vomitus). Selain itu dapat terjadi
penurunan berat badan. Dapat juga tertimbun dihati. Perubahan warna tersebut
akan menghilang setelah obat dihentikan (Zalbawi, 2005).
Protionamid/etionamid
Dosisnya 5-10mg/kg berat badan setiap hari, untuk Indonesia obat ini tidak
atau jarang dipakai (Kosasih, dkk, 2003).

2.2 Konsep Pengetahuan


2.2.1 Definisi Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui
panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman,
rasa,dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh dari mata dan
telinga (Notoatmodjo, 2003).
Pengetahuan terhadap kesehatan adalah pengertian dan pola pikir yang
dimiliki oleh seseorang terhadap kesehatan yang diwujudkan dalam perilaku yang
berhubungan dengan kesehatan. Pengertian dan Pola pikir seseorang terhadap
kesehatan dipengaruhi oleh pengetahuan yang dimiliki orang tersebut tentang
kesehatan. Pengetahuan tentang kesehatan dapat diperoleh secara formal maupun
non formal. Secara formal, pengetahuan kesehatan dapat diperoleh dari
pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan kedinasan, pendidikan
keagamaan dll. Sedangkan pengetahuan tentang kesehatan secara non formal

11

dapat diperoleh melalui media massa, media cetak, media elektronik


(Notoatmodjo, 2003).
Seseorang yang mempunyai pengetahuan yang luas terhadap kesehatan
maka akan dapat memahami nilai kesehatan itu sendiri yang nantinya dapat
diwujudkan dalam perilaku yang selalu menjaga kesehatan pribadi maupun
lingkungan. Mayoritas masyarakat pedesaan kurang mendapat informasi tentang
kesehatan sehingga dalam menjaga kesehatannya masih menganut nilai-nilai
tradisional yang belum tentu benar (Notoatmodjo, 2003).
2.2.2 Tingkat Pengetahuan
Pengetahuan mempunyai 6 tingkatan yaitu (Notoatmodjo, 2003) :
a. Tahu adalah mengingat suatu materi yang telah dipelajari semuanya.
b. Memahami adalah suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek
yang diketahui.
c. Aplikasi adalah suatu kemampuan untuk menggunakan materi yang telah
dipelajari pada kondisi sebenarnya.
d. Analisa adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi ke dalam
komponen-komponennya.
e. Sintesis adalah suatu kemampuan untuk menghubungkan bagian-bagian di
dalam suatu bentuk keseluruhan.
f. Evaluasi adalah suatu kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap objek.

2.2.3 Macam- Macam Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan


a.

Pendidikan
Pendidikan adalah segala sesuatu yang dilakukan secara sadar dengan tujuan

untuk mengubah tingkah laku manusia ke arah yang lebih baik. Notoatmodjo
(2003), berpendapat bahwa pendidikan secara umum adalah segala upaya yang
direncanakan untuk mepengaruhi orang lain baik individu, kelompok, maupun
masyarakat, sehigga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku
pendidikan.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia No.2 tahun 1989 pasal 2,
jenjang pendidikan adalah suatu tahap dalam pendidikan berkelanjutan yang

12

ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan para peserta didik serta keluasan


dan kedalaman bahan pengajaran dan jenjang pendidikan sekolah, terdiri dari
pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Bentuk
pendidikan di Indonesia dalam sistem pendidikan ada tiga, yaitu:

1) Pendidikan formal
Pendidikan yang diadakan di sekolah/tempat tertentu secara sistematis,
mempunyai jenjang dan dalam kurun waktu tertentu, serta berlangsung mulai
dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi, berdasarkan aturan resmi
yang telah ditetapkan. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 2
tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional menyebutkan bahwa
pendidikan formal dibedakan menjadi 3 tingkatan yaitu pendidikan dasar
diperuntukan bagi warga negara yang berumur 7 tahun, pendidikan menengah
dibedakan atas pendidikan menengah pertama dan menengah atas, sedangkan
perguruan tinggi dengan lama belajar 3-5 tahun bagi penduduk yang berusia
diatas 19 tahun (Notoatmodjo, 2003).
2) Pendidikan non formal
Pendidikan yang diadakan dengan sengaja, tertib, dan berencana, diluar
kegiatan persekolahan. Menurut Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan No. 079/01975 tanggal 17 April, bidang pendidikan non formal
meliputi: pendidikan masyarakat, keolahragaan, dan pembinaan generasi
muda (Notoatmodjo, 2003).
3) Pendidikan informal
Pendidikan yang diadakan oleh siapa saja, dimana saja dan baik secara
langsung maupun tidak langsung. Pendidikan ini terutama berlangsung di
lingkungan keluarga, tetapi dapat juga berlangsung di lingkungan sekitar
setiap hari tanpa ada batas waktu (Notoatmodjo, 2003).
b.

Pengalaman
Pengalaman adalah segala sesuatu yang pernah dialami oleh masyarakat

dalam kehidupan, baik hal yang menyenangkan maupun menyedihkan.

13

Pengalaman diperoleh baik secara sadar maupun tidak sadar yang dimulai sejak
lahir sampai manusia tersebut meninggal. Pengalaman yang diperoleh akan
menambah pengetahuan seseorang yang nantinya akan mempengaruhi tingkah
laku (Notoatmodjo, 2003).

14

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian


Karakteristik dasar penelitian ini adalah adanya pemaparan tingkat
pengetahuan tentang penyakit kusta dalam persentase terhadap variabel subyek
penelitian menurut keadaan ilmiah. Berdasarkan karakteristik tersebut maka
penelitian ini termasuk penelitian deskriptif. Pendekatan dalam penelitian
deskriptif yang digunakan adalah deskriptif murni. Selanjutnya data yang
diperoleh dikelompokkan terhadap klasifikasi tertentu, kemudian diambil suatu
kesimpulan.

3.2 Populasi dan Sampel


Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat yang berada di wilayah
kerja Puskesmas Jenggawah, yaitu Desa Jenggawah, Desa Wonojati, dan Desa
Cangkring yang terletak di kecamatan Jenggawah.
Sampel dalam penelitian ini adalah pasien yang melakukan kunjungan ke
Balai Pengobatan PKM Jenggawah, dan dipilih secara acak. Jumlah sampel
ditentukan dari tehnik quota sampling, yakni berjumlah 100 orang.

3.3 Variabel Penelitian


Variabel penelitian ini adalah tingkat pengetahuan masyarakat tentang
penyakit kusta di wilayah kerja Puskesmas Jenggawah.

3.4 Definisi Variabel


Pengetahuan tentang Kusta
a. Definisi konseptual
Pengetahuan adalah hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap obyek tertentu (Notoatmodjo, 2003).
Pengetahuan tentang kusta adalah pengetahuan seseorang terhadap
penyakit kusta.

15

b. Definisi operasional
Pengetahuan mencakup pengertian responden tentang penyakit
Kusta yang meliputi pengertian, penyebab, gejala penyakit, cara
penularan, pencegahan kecacatan, perawatan kecacatan dan pengobatan
penyakit Kusta. Pengetahuan ini diukur dengan menggunakan metode
wawancara (Gani,1998).
Untuk variabel ini terdapat 10 pertanyaan, dimana tiap item
terdapat dua alternatif jawaban. Penilaiannya yaitu :
a.

Untuk pilihan jawaban yang benar mendapat nilai 1

b.

Untuk pilihan jawaban yang salah mendapat nilai 0


Kemudian dari 10 pertanyaan tersebut dibuat dalam 4 kategori skor

nilai dalam persentase (%) dengan rumus (Arumugam, 2011) :


Nilai

Jumlah pertanyaan yang benar x 100%


Jumlah seluruh pertanyaan

Keterangan :
Baik

: 76-100%

Cukup

: 56-75%

Kurang

: 40- 55%

Sangat kurang

: < 40%

3.5 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Jenggawah. Waktu
pelaksanaan penelitian ini adalah bulan Oktober 2014.

3.6 Teknik Pengumpulan Data


Untuk mengumpulkan data penelitian menggunakan metode kuesioner.

3.7 Kriteria inklusi dan eksklusi


Kriteria Inklusi
-

Masyarakat yang berada pada wilayah kerja Puskesmas Jenggawah,


yaitu Desa Jenggawah, Desa Wonojati dan Desa Cangkring.

16

Pasien yang datang berobat ke Balai Pengobatan Puskesmas


Jenggawah.

Kriteria Eksklusi
- Pasien yang menolak memberikan informed consent.
- Pasien yang tidak mengisi jawaban pada lembar quesioner.
- Pasien yang tidak bisa membaca dan menulis.

3.8 Teknik Pengolahan Data


Data hasil pengolahan dideskripsikan dalam bentuk data dalam tabel dan
disajikan dalam angka persentase. Pemaparan tingkat pengetahuan masyarakat
tentang kusta dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin, usia dan tingkat
pendidikan koresponden, kemudian ditarik kesimpulan dari penelitian tentang
pengaruh dari jenis kelamin, usia dan tingkat pendidikan dengan tingkat
pengetahuan masyarakat tentang penyakit kusta.

You might also like