Anti psikotik dulunya sering disebut dengan neuroleptic karena memiliki
beberapa efek samping yang memberi gambaran seperti gangguan neurologis yang disebut pseudoneurologis, atau dikenalk juga dengan istilah major tranquilizer karena adanya afek sedasi atau mengantuk yang berat. Klasifikasi Berdasarkan rumus kimianya obat anti psikotik dibagi menjadi golongan fenotiazin misalnya chlorpromazine, dan golongan nonfenotiazin seperti haloperidol. Sedangkan menurut cara kerjanya terhadap reseptor dopamine dibagi menjadi Dopamin reseptor antagonis (DA) dan serotonin dopamine antagonis (SDA). Obat-obat DA sering disebut sebagai antipsikotik tipikal, dan obat SDA disebut sebagai antipsikotik atipikal. Golongan fenotiazin disebut juga obat-obat berpotensi rendah (low potency), sedangkan golongan nonfenotiazin disebut obat-obat potensi tinggi (high potency) karena hanya memerlukan dosis kecil untuk memperoleh efek yang setara dengan chlorpromazine 100mg. Farmakokinetik Metabolism obat-obat antipsikotik secara farmakokinetik dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain pemakaian bersama enzyme inducer seperti carbamazepine, phenytoin, ethambutole, barbiturate. Kombinasi dengan obatobat tersebut akan mempercepat pemecahan antipsikotik sehingga diperlukan dosis yang lebih tinggi. Clearance inhibitors seperti SSRI (selective serotonin receptor inhibitor), TCA (tricyclic antidepresan), beta blocker, akan menghambat sekresi obat-obat antipsikotik sehingga perlu dipertimbangkan dosis pemberiannya bila diberikan bersama-sama. Kondisi stress, hipoalbumin karena malnutrisi atau gagal ginjal dan gagal hati dapat mempengaruhi ikatan protein obat-obat antipsikotik tersebut. Farmakodinamik Obat-obat antipsikotik terutama bekerja sebagai antagonis reseptor dopamine dan serotonin di otak, dengan target untuk menurunkan gejala-gejala psikotik seperti halusinasi, waham dan lain-lain. System dopamine yang terikat yaitu system nigrostiatal, system mesolimbokortikal, dan system tuberoinfundibuler. Karena kerja yang spesifik ini maka dapat diperkirakan efek samping yang mungkin timbul bila systemsistem tersebut mengalami hambatan yang berlebih. Bila hambatan pada system nigrostriatal berlebihan maka akan terjadi gangguan terutama pada aktivitas motoric, sedangkan system mesolimbokortikal mempengaruhi fungsi kognitif, dan fungsi endokrin terganggu apabila system tuberoinfundibuler terhambat berlebihan. Efek samping Efek samping dapat digolongkan menjadi efek samping neurologis dan nonneurologis. Neurologis akut berupa akatisia, dystonia akut dan parkinsonism (acute extrapyramidal syndrome). Dapat juga terjadi efek samping akut berupa SNM (Syndroma Neuroleptik Maligna) yang merupakan kondisi emergensi karena dapat mengancam kelangsungan hidup pasien. Pada kondisi kronis atau
efek samping pengobatan jangka panjang dapat dilihat kemungkinan terjadinya
tardif dyskinesia. Akatisia Yaitu kondisi yang secara subjektif dirasakan oleh penderita yaitu perasaan tidak nyaman, gelisah, dan merasa harus selalu menggerak-gerakkan tungkai, terutama kaki. Pasien sering menunjukkan kegelisahan dengan gejala-gejala kecemasan, dan atau agitasi. Sering sulit dibedakan dari rasa cemas yang berhubungan dengan gejala psikotiknya. Peningkatan kegelisahan yang terjadi setelah mendapat antipsikotik tipikal harus selalu diperhitungkan kemungkinan akatisia. Dystonia akut Terjadi kekakuan dan kontraksi otot secara tiba-tiba, biasanya mengenai otot leher, lidah, muka, dan punggung. Kadang-kadang, pasien melaporkan rasa tebal dilidah atau kesulitan menelan. Mungkin pula terjadi krisis oculogyric atau opisthotonus. Kondisi ini dapat sangat menakutkan dan tidak nyaman bagi pasien. Biasanya terjadi pada minggu pertama pengobatan dengan antipsikotik tipikal. Parkinsonism Dapat dilihat adanya kumpulan gejala yang terdiri atas bradikinesia, rigiditas, fenomena roda gerigi, tremor, muka topeng, postur tubuh kaku, gaya jalan seperti robot, dan drooling (tremor kasar tangan seperti sedang membuat pil). Sindroma Neuroleptik Maligna Merupakan reaksi idiosinkrasi yang sangat serius dengan gejala utama berupa rigiditas, hiperpiretik, gangguan system saraf otonom dan delirium. Gejala biasanya berkembang dalam periode waktu beberapa jam sampai beberapa hari setelah pemberian antipsikotik. Febris tinggi dapat mencapai 41oC atau lebih, rigiditas dengan ciri kaku seperti pipa disertai peningkatan tonus otot kadangkadang sampai terjadi myonecrosis. Bila pasien dehidrasi, myoglobinuria bias sangat parah sampai terjadi gagal ginjal. Ketidakstabilan system otonom dapat tampak sebagai hipertensi atau hipotensi, takikardi, diaphoresis, dan pallor. Kesadaran berfluktuasi dapat sampai delirium, bahkan kejang-kejang dan koma. Efek terhadap system kardiovaskuler yang sering terjadi adalah orthostatic (postural) hipotensi yaitu turunnya tekanan darah pada saat perubaham posisi tidur ke posisi berdiri secara tiba-tiba. Dapat juga terjadi sudden unexplained death walaupun sangat jarang. Terhadap system gastrointestinal sering dijumpai efek antikholinergik perifer, rasa kering di mulut, sehingga pasien sering merasa haus. Tetap perlu waspada pula terhadap kemungkinan efek samping terhadap fungsi hepar, ginjal, kulit, dan mata. Fungsi endokrin juga dapat terganggu terutama terjadinya peningkatan kadar prolactin dalam darah. Disfungsi seksual kadangkadang juga dialami oleh pasien dan menimbulkan keluhan yang cukup mengganggu. Prinsip pengobatan Pengobatan biasanya dimulai dari terapi inisial, dilanjutkan ke terapi pengawasan dan dilanjutkan ke terapi pemeliharaan. Terapi inisial
Diberikan setelah diagnosis ditegakkan, dan dimulai dari dosis anjuran
dinaikkan perlahan-lahan secara bertahap dalam waktu 1-3 minggu, sampai dicapai dosis optimal yang dapat mengendalikan gejala. Terapi pengawasan Setelah diperoleh dosis optimal, maka dosis tersebut dipertahankan selama kurang lebih 8-10 minggu sebelum masuk ke tahap pemeliharaan.