You are on page 1of 17

2.2.

Obat-Obat Psikotropika
2.2.1. Obat Anti-Psikosis
Antipsikosis adalah sekelompok obat-obat yang mekanisme kerjanya menghambat
reseptor dopamin tipe 2 (D2). Indikasi utamanya adalah untuk terapi skizofrenia dan
gangguan psikotik lainnya. Menurut Kaplan dan Sadock, terdapat delapan kelas obat yang
biasanya dikelompokkan bersama-sama sebagai antipsikotik antagonis reseptor dopamin.
Tujuh dari kelas tersebut terdiri dari obat yang biasanya disebut antipsikosis tipikal :
phenotiazine,

thioxanthene,

dibenzoxazepine,

dihydroindole,

butyrophenone,

diphenylbutylpiperidine, dan benzamide. Kelas benzamide juga memiliki suatu obat yang
dianggap atipikal yaitu remoxipride. Kelas kedelapan termasuk antipsikosis atipikal, yaitu
benzisaxazole, sekarang hanya terdiri dari satu obat, yaitu risperidone.
Tidak ada definisi yang disetujui secara umum tentang perbedaan antara antipsikosis
tipikal dan atipikal. Label atipikal mengesankan bahwa semua atau salah satu karakteristik
dibawah ini: disertai dengan resiko efek samping neurologis yang lebih sedikit; kurang poten
dalam menyebabkan peningkatan sekresi prolaktin; tidak adanya antagonisme dopamin
sebagai mekanisme kerja yang utamanya; memiliki aktivitas yang bermakna pada reseptor
nondopaminergik spesifik (sebagai contohnya, reseptor serotonin dan sigma); memiliki
keefektifan yang lebih besar dalam terapi gejala negatif skizofrenia (sebagai contohnya,
anhedonia). Suatu alternatif terhadap penentuan subtipe antipsikosis yang samar-samar
menjadi obat tipikal dan atipikal adalah menyadari bahwa obat antipsikotik secara struktural
dan farmakologis adalah berbeda satu sama lainnya dan tidak menyamaratakan perbedaan
tersebut.
Obat-obat yang dibicarakan disini juga dinamakan sebagai neuroleptik dan
trankuiliser mayor. Istilah neuroleptik menekankan efek neurologis dan motorik dari
sebagian besar obat. Perkembangan senyawa baru seperti, risperidone dan remoxipride, yang
disertai dengan efek neurologis yang sedikit menyebabkan pemakaian istilah neuroleptik
menjadi tidak akurat sebagai label keseluruhan untuk senyawa. Istilah trankuiliser mayor
secara tidak akurat menekankan bahwa efek primer dari obat adalah untuk mensedasi pasien
dan dikacaukan dengan obat yang dinamakan trankuiliser minor, seperti benzodiazepin.

A. Penggolongan obat antipsikosis


No

Golongan

Nama Generik

Nama Dagang

Sediaan

Dosis anjuran

Chlorpromazine

Chlorpromazine

Tab. 25-100 mg

- PO:

( largactil)

(indofarma)

I. ANTIPSIKOSIS TIPIKAL
1.

Phenothiazin

a.

Rantai Aliphatic

Promacil

150
Tab. 100 mg

600

mg/h
- IM:

(combhifar)
Meprosetil

Tab. 100 mg

50-100mg

(meprofarm)

Amp.50mg/2cc

setiap

4-6

jam
b.

Rantai Piperazine

Perfenazine

Perfenazine

Tab. 4 mg

(indofarma)
Trifalon

12

24

mg/hari
Tab 2- 4 -8 mg

(Schering)
Trifluoperazine

Stelazine

Tab. 1 - 5 mg

10 -15 mg/hari

Tab. 2,5 - 5 mg

10

(GlaxoSmithkline)
Fluphenazine

Anatensol
(B-M Squibb)

Fluphenazine

Modecate

deconoate

(B-M Squibb)

15

mg/hari
Vial 25 mg/cc

25 mg (IM)
setiap 2 - 4
mgg

c.

Rantai Piperidine

Thioridazine

Melleril

Tab.50 -100mg

(Novartis)

2.

Buthirophenon

Haloperidol

150-300
mg/hari

Haloperidol

Tab. 0,5 - 1,5

(indofarma)

- 5mg

- PO:
5-15mg/h
- IM:

Dores

Cap. 5 mg

5-10mg

(pyridam)

Tab. 1,5 mg

setiap 4-6jam

Serenace

Tab. 0,5 -1,5 - 5

- 50mg setiap

(pfizer-

mg

pharmacia)

Liq. 2 mg/ml

2-4 minggu

Amp.50 mg/cc
Haldol

Tab. 2 - 5 mg

(jansen)

Govotil

Tab. 2 - 5 mg

(Guarianpharmacia)
Lodomer

Tab. 2 - 5 mg

(Mersifarma)

Amp. 5 mg/cc

Haldol decanoas Amp. 50mg/cc


(Janssen)
3.

Diphenil-

Pimozide

buthilpiperidine

II.
1.

Orap

forte Tab. 4 mg

2 4 mg/hari

(janssen)

ANTIPSIKOSIS ATIPIKAL
Benzamide

Supiride

Dogmatil Foerte Tab. 200mg

300 - 600mg/h

(Delagrange)

3 - 6 amp/hari

Amp. 100mg/2cc

IM
2.

Dibenzodiazapine

Clozapine

Clozaril

Tab. 25 100 mg

25-100mg/hari

(Novartis)
Sizoril

Tab. 25-100mg

(Meprofarm)
Olanzapine

Ziprexa

Tab. 5-10mg

10-20mg/hari

Quetiapine

Seroquel

Tab. 25 100

50-100mg/hari

(Astra Zeneca)

- 200mg

Lodopin

Tab. 25 - 50mg

75-100mg/hari

Tab. 1 - 2 - 3mg

- PO:

Zotepine

(Kalbe Farma)
3.

Benzisoxxazole

Risperidone

Risperidone

2 6 mg/hari

(Dexamedica)
Risperdal
(Janssen)

Tab. 1 - 2 - 3mg

- IM :

Risperdal consta

Vial 25 - 50mg/cc

Neripros

Tab. 1 - 2 - 3mg

(Pharos)
Persidal

Tab. 1 - 2 - 3mg

(Mersifarma)
Rizodal

Tab. 1-2-3mg

(Guardianpharmatama)
Zopredal

Tab. 1-2-3mg

(Kalbefarma)
Aripiprazole

Abilify (Otsuka)

Tab. 5 10 15 10- 15 mg/hari


mg

B. Mekanisme Kerja
Sindrom psikosis terjadi berkaitan dengan aktivitas neurotransmitter Dopamine yang
mengikat. (Hiperreaktivitas sistem dopaminergik sentral). Mekanisme kerja obat anti-psikosis
tipikal adalah memblokade Dopamine pada

reseptor pasca-sinaptik neuron di otak,

khususnya di sistem limbik dan sistem ekstrapiramidal (dopamine D2 receptor antagonist).


Sedangkan obat anti-psikosis yang baru (atipikal) disamping berafinitas terhadap Dopamine
D2 Receptors, juga terhadap Serotonine 5 HT Receptors (Serotonine-dopamine
antagonist).

C. Indikasi
Indikasi terapetik antipsikosis adalah :

Psikosis Idiopatik
Psikosis idiopatik adalah termasuk yang tidak memiliki penyebab yang diketahui
dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi keempat
(DSM-IV). Gangguan tersebut adalah skizofrenia, gangguan skizofreniform,
gangguan skizoafektif, gangguan delusional, gangguan psikotik singkat, episode
manik, gangguan depresif berat dengan gejala psikotik. Obat antipsikosis efektif

dalam penatalaksaan jangka panjang maupun jangka pendek (menurunkan gejala


akut dan mencegah eksaserbasi lebih lanjut) dari gangguan tersebut.

Psikosis Sekunder
Psikosis sekunder adalah sindroma psikotik yang berhubungan dengan suatu
penyebab organik yang dapat diidentifikasi, seperti tumor otak, gangguan
demensia (demensia tipe Alzheimer), atau penyalahgunaan zat. Antipsikotik
potensi tinggi biasanya lebih aman dibandingkan antipsikotik potensi rendah pada
pasien tersebut karena aktivitas kardiotoksik, epileptogenik, dan antikolinergik
yang lebih rendah pada obat potensi tinggi.

Agitasi Berat dan Perilaku Kekerasan


Obat antipsikosis sering digunakan untuk terapi pasien yang teragitasi berat dan
melakukan kekerasan, walaupun obat lain, seperti benzodiazepin dan barbiturat
biasanya juga efektif dalam pengendalian perilaku segera. Gejala seperti
iritabilitas ekstrim, tidak adanya pengendalian impuls, hiperaktivitas jelas, dan
agitasi adalah responsif terhadap terapi antipsikosis jangka pendek. Pemakaian
obat antipsikosis jangka panjang untuk indikasi tersebut harus dipertimbangkan
terhadap efek samping neurologisnya.

Gangguan Pergerakan
Baik psikosis dan gangguan pergerakan pada penyakit Huntington adalah
responsif terhadap terapi dengan antagonis reseptor dopamin.

Indikasi Psikiatrik dan Nonpsikiatrik Lain


Beberapa klinisi menggunakan dosis kecil antipsikosis (0,5 mg haloperidol atau
25 mg chlorpromazine dua atau tiga kali sehari) untuk mengobati anxietas berat.
Antagonis reseptor dopamin kadang-kadang juga digunakan sebagai tambahan
terhadap regimen terapi untuk gangguan nyeri kronis. Indikasi lain untuk terapi
mual, emesis, cegukan, dan pruritus.

D. Cara Penggunaan
Umumnya dikonsumsi secara oral, yang melewati first-pass metabolism di hepar.
Beberapa diantaranya dapat diberikan lewat injeksi short-acting Intramuscular (IM) atau
Intra Venous (IV), Untuk beberapa obat anti-psikosis (seperti haloperidol dan flupenthixol),
bisa diberikan larutan ester bersama vegetable oil dalam bentuk depot IM yang diinjeksikan

setiap 1-4 minggu. Obat-obatan depot lebih mudah untuk dimonitor. Pemilihan jenis obat
anti-psikosis mempertimbangkan gejala psikosis yang dominan dan efek samping obat.
Penggantian obat disesuaikan dengan dosis ekivalennya. Apabila obat psikosis tertentu tidak
memberikan respon klinis dalam dosis optimal setelah jangka waktu memadai, dapat diganti
dengan obat anti-psikosis lainnya. Jika obat anti-psikosis tersebut sebelumnya sudah terbukti
efektif dan efek sampingnya dapat ditolerir dengan baik, dapat dipilih kembali untuk
pemakaian sekarang. Dalam pemberian dosis, perlu dipertimbangkan:
Onset efek primer (efek klinis) : sekitar 2-4 minggu
Onset efek sekunder (efek samping) : sekitar 2-6 jam
Waktu paruh 12-24 jam (pemberian 1-2 kali perhari)
Dosis pagi dan malam berbeda untuk mengurangi dampak efek samping, sehingga
tidak menganggu kualitas hidup pasien
Mulailah dosis awal dengan dosis anjuran dinaikkan setiap 2-3 hari hingg dosis
efektif (sindroma psikosis reda) dievaluasi setiap 2 minggu dan bila perlu dinaikkan
dosis optimal dipertahankan sekitar 8-12 minggu (stabilisasi) diturunkan setiap 2
minggu dosis maintenance dipertahankan selama 6 bulan 2 tahun (diselingi drug
holiday 1-2 hari/minggu tapering off (dosis diturunkan tiap 2-4 minggu) stop.
Untuk pasien dengan serangan Sindrom Psikosis yang multiepisode, terapi
pemeliharaan (maintenance) diberikan paling sedikit selama 5 tahun. Pemberian yang cukup
lama inidapat menurunkan derajat kekambuhan 2,5-5 kali. Pada umumnya pemberian obat
anti-psikosis sebaiknya dipertahankan selama 3 bulan sampai 1 tahun setelah semua gejala
psikosis mereda sama sekali.
Obat anti-psikosis tidak menimbulkan gejala lepas obat yang hebat walaupun
diberikan dalam jangka waktu lama, sehingga potensi ketergantungan sangat kecil. Jika
dihentikan mendadak timbul gejala cholinergic rebound, yaitu: gangguan lambung, mual,
muntah, diare, pusing, gemetar dan lain-lain dan akan mereda jika diberikan anticholinergic
agents (injeksi sulfas atropine 0,25 mg IM dan tablet trihexylfenidil 3x2 mg/hari). Obat antipsikosis parenteral berguna untuk pasien yang tidak mau atau sulit teratur makan obat atau
tidak efektif dengan medikasi oral

E. Interaksi Obat

Antipsikosis diberikan bersama antipsikosis lain memiliki potensiasi efek samping


obat dan tidak ada bukti lebih efektif (tidak ada efek sinergis antara 2 obat
antipsikosis).

Antipsikosis diberikan bersama antidepresan trisiklik akan memberikan peningkatan


efek samping antikolinergik.

Antipsikosis diberikan bersama antianxietas akan meningkatkan efek sedasi,


bermanfaat untuk kasus dengan gejala dan gaduh gelisah yang sangat hebat (acute
adjunctive therapy)

Antipsikosis diberikan bersama Electro Convulsive Therapy (ECT), dianjurkan tidak


memberikan obat antipsikosis pada pagi hari sebelum dilakukan ECT karena memiliki
angka mortalitas yang tinggi.

Antipsikosis diberikan bersama antikonvulsan memiliki ambang konvulsi yang


menurun, kemungkinan serangan kejang meningkat, oleh karena itu dosis
antikonvulsan harus lebih besar (dose-related). Yang paling minimal menurunkan
ambang kejang adalah obat antipsikosis haloperidol.

Antipsikosis diberikan bersama antasida memberikan efektifitas obat antipsikosis


yang menurun disebabkan gangguan absorpsi.

F. Kontraindikasi

Penyakit hati (hepatotoksik)

Penyakit darah (hematotoksik)

Epilepsi (menurunkan ambang kejang)

Kelainan jantung (menghambat irama jantung)

Febris yang tinggal (thermoregulator di SSP)

Ketergantungan alkohol (penekanan SSP meningkat)

Penyakit SSP (Parkinson, tumor otak, dll)

Gangguan kesadaran disebabkan CNS-depressant (kesadaran makin memburuk)

G. Efek Samping
Satu penyamarataan tentang efek merugikan dari antipsikosis adalah bahwa obat
potensi rendah menyebabkan efek samping yang paling non-neurologis dan obat potensi
tinggi menyebabkan efek samping yang paling neurologis.

Efek Samping Non-neurologis


- Gangguan otonomik (penghambatan adrenergik: hipotensi ortostatik, efek
antikolinergik perifer/parasimpatolitik: mulut kering, kesulitan miksi, dan
defekasi, hidung tersumbat, mata kabur, TIO meningkat, gangguan irama
jantung).
- Gangguan endokrin (amenorrhoe, gynecomastia), metabolik (jaundice),
hematologik (agranulositosis), biasanya untuk pemakian jangka panjang.

Efek Samping Neurologis


- Gangguan ekstrapiramidal (distonia akut, akatisia, tardive dyskinesia, sindrom
parkinson: tremor, bradikinesia, rigiditas).
- Sedasi dan inhibisi psikomotor (rasa mengantuk, kewaspadaan berkurang,
kinerja psikomotor menurun, kemampuan kognitif menurun).
- Efek antikolinergik sentral (agitasi berat, disorientasi terhadap waktu,
personal, dan tempat, halusinasi, kejang, demam tinggi, dilatasi pupil. Stupor
dan koma juga dapat timbul)
- Efek epileptogenik (perlambatan dan peningkatan sinkronisasi EEG yang
menyebabkan penurunan ambang kejang)

1. Chlorpromazine
Turunan dari phenotiazine yang mewakili efek seluruh derivate phenotiazine adalah
chlorpromazine, turunan dari rantai aliphatic, salah satu obat antipsikotik yang sering
digunakan sebab paling berefek luas sehingga dikatakan largactil (Large action).
Dosis dewasa :
Oral : 30-2000 mg/hari dibagi dalam 1-4 dosis, mulai dengan dosis rendah, kemudian
sesuaikan dengan kebutuhan.
Dosis lazim : 400-600 mg/hari, beberapa pasien membutuhkan 1-2 g/hari. im.,iv.: awal: 25
mg, dapt diulang 25-50 mg , dalam 1-4 jam, naikkan bertahap sampai maksimum 400
mg/dosis setiap 4-6 jam sampai pasien terkendali;
Dosis lazim : 300-800 mg/hari.
Orang tua : gejala-gejala perilaku yang berkaitan dengan demensia : awal : 10-25 mg sehari
1-2 kali, naikkan pada interval 4-7 hari dengan 10-25 mg/hari, naikkan interval dosis, sehari
2x, sehari 3 kali dst
Bila perlu untuk mengontrol respons dan efek samping; dosis maksimum : 800 mg.
Indikasi :
Mengendalikan mania, terapi shcizofrenia, mengendalikan mual dan muntah,
menghilangkan kegelisahan dan ketakutan sebelum operasi, porforia intermiten akut, Terapi
tambahan pada tetanus. Cegukan tidak terkontrol, perilaku anak 1-12 tahun yang ekplosif dan
mudah tersinggung dan terapi jangka pendek untuk anak hiperaktif.
Kontraindikasi :
Hipersensitifitas terhadap klorpromazin atau komponen lain formulasi, reaksi
hipersensitif silang antar fenotiazin mungkin terjadi, Depresi SSP berat dan koma.
Efek samping :

Kardiovaskuler : hipotensi postural, takikardia, pusing, perubahan interval QT tidak


spesifik.

SSP : mengantuk, distonia, akathisia, pseudoparkinsonism, diskinesia tardif, sindroma


neurolepsi malignan, kejang.

Kulit : fotosensitivitas, dermatitis, pigmentasi (abu-abu-biru).

Metabolik & endokrin : laktasi, amenore, ginekomastia, pembesaran payudara,


hiperglisemia, hipoglisemia, test kehamilan positif palsu.

Saluran cerna : mual, konstipasi xerostomia.

Agenitourinari : retensi urin, gangguan ejakulasi, impotensi.

Hematologi : agranulositosis, eosinofilia, leukopenia, anemia hemolisis, anemia


aplastik, purpura trombositopenia.

Hati : jaundice.

Mata : penglihatan kabur, perubahan kornea dan lentikuler, keratopati epitel,


retinopati pigmen.

Interaksi

Dengan Obat Lain :

Efek klorpromazin dapat ditingkatkan oleh delavirdin, fluoksetin, mikonazol,


paroksetin, pergolid, kuinidin, kuinin, ritonavir, ropinirol dan inhibitor CYP2D6
lainnya.

Klorpromazin memperkuat efek penekan terhadap SSP dari analgesik narkotik,


etanol, barbiturat, antidepresan siklik, antihistamin, hipnotik-sedatif.

Klorpromazin

dapat

meningkatkan

efek

amfetamin,

betabloker

tertentu,

dekstrometorfan, fluoksetin, lidokain, paroksetin, risperidon, ritonavir, antidepresan


trisiklik dan substrat CYP2D6 lainnya.

Klorpromazin

dapat

meningkatkan

efek

/toksiksitas

antikolinergik,

antihipertensi,litium, trazodon, asam valproat. Penggunaan bersama antidepresan


trisklik dapt mengubah respons dan meningkatkan toksisitas.

Kombinasi dengan epinefrin akan dapat menimbulkan hipotensi. Kombinasi dengan


antiaritmia, cisaprid, pimosid, sparfloksacin dan obat-obat yang memperpanjang
interval QT akan dapat meningkatkan resiko aritmia.

Kombinasi dengan metoklopramid akan dapt meningkatkan resiko gejala


ekstrapiramidal. Klorpromasin mungkin menurunkan efek substrat prodrug CYP2D6
seperti kodein, hirokodon, oksikodon dan tramadol.

Klorpromasin mungkin dapat menghambat efek antiparkinson levodopa dan


mungkin dapat menghambat efek pressor epinefrin.

Mekanisme kerja :
Memblok reseptor dopaminergik di postsinaptik mesolimbik otak. Memblok kuat efek
alfa adrenergik. Menekan penglepasan hormon hipotalamus dan hipofisa, menekan Reticular
Activating System (RAS) sehingga mempengaruhi metabolisme basal, temperatur tubuh,
kesiagaan, tonus vasomotor dandan emesis.
Bentuk sediaan :
Tablet 25 mg, 100 mg, Injeksi 25mg/ml, 2ml
Parameter monitoring
Gambaran vital seperti profil lipid, glukosa darah puasa/Hgb A1c, indeks berat badan,
status mental, skala normal gerakan yang tidak disadari, gejala ekstrapiramidal.

2. Haloperidol
Haloperidol, {4-[4-(p-chlorophenyl)-4-hydroxypiperidino] 4-flurobutyrophenone}
merupakan obat antipsikotik tipikal golongan butyrophenone. Haloperidol merupakan obat
yang efektif untuk penanganan berbagai gangguan psikotik seperti hiperaktivitas, agitation,
dan mania. Haloperidole efektig untuk mengobati gejala positif pada skizofrenia walaupun
kurang efektif untuk gejala negative skizofrenia. Haloperidol juga dapat digunakan untuk
pengobatan gangguan neurologis seperti Gilles de la Tourette syndrome, Huntingtons chorea
and acute/chronic brain syndrome
Dosis dewasa :

Psikosis :
-

Oral : 0,5-5 mg, sehari 2-3 kali, maksimum lazimnya 30 mg/hari.

I.m. sebagai laktat : 2-5 mg setiap 4-8 jam sesuai kebutuhan;

Sebagai dekanoat : awal 10-20 x dosis harian oral, diberikan dengan interval 4
minggu.

Dosis pemeliharaan : 10-15 kali dosis awal oral, digunakan untuk menstabilkan gejala
psikiatri.

Indikasi :
Penanganan shcizofrenia, sindroma Tourette pada anak dan dewasa, masalah perilaku
yang berat pada anak.
Kontraindikasi :
Hipersensitif terhadap haloperidol atau komponen lain formulasi, penyakit Parkinson,
depresi berat SSP, supresi sumsum tulang, penyakit jantung atau hati berat, koma.
Efek samping :

Kardiovaskular : takikardia, hiper/hipotensi, aritmia, gelombang T abnormal dengan


perpanjangan repolarisasi ventrikel, torsade de pointes (sekitar 4%).

SSP : gelisah, cemas, reaksi ekstrapiramidal, reaksi distonik, tanda pseudoparkinson,


diskinesia tardif, sindroma neurolepsi malignan, perubahan pengaturan temperatur
tubuh, akathisia, distonia tardif, insomnia, eforia, agitasi, pusing, depresi, lelah,sakit
kepala, mengantuk, bingung, vertigo, kejang.

Kulit : kontak dermatitis, fotosensitifitas, rash, hiperpigmentasi, alopesia

Metabolik & endokrin : amenore, gangguan seksual, nyeri payudara, ginekomastia,


laktasi, pembesaran payudara, gangguan keteraturan menstruasi, hiperglisemia,
hipoglisemia, hiponatremia;

Saluran cerna : berat : mual muntah, anoreksia, konstipasi, diare, hipersalivasi,


dispepsia, xerostomia.

Saluran genito-urinari : retensi urin, priapisme;

Hematologi : cholestatic jaundice, obstructive jaundice;

Mata : penglihatan kabur,

Pernafasan : spasme laring dan bronkus;

Lain-lain : diaforesis dan heat stroke.

Interaksi dengan obat lain :

Efek haloperidol meningkat oleh klorokuin, propranolol, sulfadoksin-piridoksin, anti


jamur azol, chlorpromazin, siprofloksacin, klaritromisin, delavirdin, diklofenak,
doksisiklin, aritromisin, fluoksetin, imatinib, isoniasid, mikonazol, nefazodon,
paroksetin, pergolid, propofol, protease inhibitor, kuinidin, kuinin, ritonavir,
ropinirole, telitromisin, verapamil, dan inhibitor CYP2D6 atau 3A4.

Haloperidol dapat meningkakan efek amfetamin, betabloker tertentu, benzodiazepin


tertentu, kalsium antagonis, cisaprid, siklosporin, dekstrometorfan, alkaloid ergot,
fluoksetin, inhibitor HMG0CoA reductase tertentu, lidokain, paroksetin, risperidon,
ritonavir, sildenafil , takrolimus, antidepresan trisiklik, venlafaksin, dan sunstrat
CYP2D6 atau 3A4.

Haloperidol dapat meningkatkan efek antihipertensi, SSP depresan, litium, trazodon


dan antidepresan trisiklik.

Kombinasi haloperidol dengan indometasin dapat menyebabkan mengantuk, lelah dan


bingung

sedangkan

dengan

metoklopramid

dapat

meningkatkan

resiko

ekstrapiramidal.

Haloperidol dapat menghambat kemampuan bromokriptin menurunkan konsentrasi


prolaktin.

Benztropin dan antikholinergik lainnya dapat menghambat respons terapi haloperidol


dan menimbulkan efek antikholinergik.

Barbiturat, karbamazepin, merokok, dapat meningkatkan metabolisme haloperidol.

Haloperidol dapat menurunkan efek levodopa, hindari kombinasi.

Efek haloperidol dapat menurun oleh aminoglutetimid, karbamazepin, nafsilin,


nevirapin, fenobarbital, fenitoin, rifamisin dan induser CYP3A4 lainnya.

Efek haloperidol dapat menurun oleh aminoglutetimid, karbamazepin, nafsilin,


nevirapin, fenobarbital, fenitoin, rifamisin dan induser CYP3A4 lainnya.

Mekanisme kerja :
Memblok reseptor dopaminergik D1 dan D2 di postsinaptik mesolimbik otak.
Menekan penglepasan hormon hipotalamus dan hipofisa, menekan Reticular Activating
System (RAS) sehingga mempengaruhi metabolisme basal, temperatur tubuh, kesiagaan,
tonus vasomotor dan emesis.
Bentuk sediaan :
Injeksi Sebagai Dekanoat, 50 mg/ml, 1 ml; Larutan Injeksi Sebagai Laktat, Tablet 1,5
mg, 2 mg, 5 mg.
Parameter monitoring :
Gambaran vital seperti profil lipid, glukosa darah puasa/Hgb A1c, indeks berat badan,
status mental, skala normal gerakan yang tidak disengaja, gejala ekstrapiramidal.
3. Risperidon
Risperidone termasuk antipsikotik turunan benzisoxazole. Risperidone merupakan
antagonis monoaminergik selektif dengan afinitas tinggi terhadap reseptor serotonergik 5HT2 dan dopaminergik D2. Risperidone berikatan dengan reseptor 1-adrenergik. Risperione
tidak memiliki afinitas terhadap reseptor kolinergik.
Meskipun risperidone merupakan antagonis D2 kuat, dimana dapat memperbaiki
gejala positif skizofrenia, hal tersebut menyebabkan berkurangnya depresi aktivitas motorik
dan induksi katalepsi dibanding neuroleptik klasik. Antagonisme serotonin dan dopamin
sentral yang seimbang dapat mengurangi kecenderungan timbulnya efek samping
ekstrapiramidal, dia memperluas aktivitas terapeutik terhadap gejala negatif dan afektif dari
skizofrenia.
Farmakokinetik :

Risperidone diabsorpsi sempurna setelah pemberian oral, konsentrasi plasma puncak


dicapai setelah 1-2 jam. Absorpsi risperidone tidak dipengaruhi oleh makanan. Hidroksilasi
merupakan jalur metabolisme terpenting yang mengubah risperidone menjadi 9-hidroxylrisperidone yang aktif.
Waktu paruh eliminasi dari fraksi antipsikotik yang aktif adalah 24 jam. Studi
risperidone dosis tunggal menunjukkan konsentrasi zat aktif dalam plasma yang lebih tinggi
dan eliminasi yang lebih lambat pada lanjut usia dan pada pasien dengan gangguan ginjal.
Konsentrasi plasma tetap normal pada pasien dengan gangguan fungsi hati.
Indikasi :
Terapi pada skizofrenia akut dan kronik serta pada kondisi psikosis yang lain, dengan
gejala-gejala tambahan (seperti; halusinasi, delusi, gangguan pola pikir, kecurigaan dan rasa
permusuhan) dan atau dengan gejala-gejala negatif yang terlihat nyata (seperti; blunted affect,
menarik diri dari lingkungan sosial dan emosional, sulit berbicara). Juga mengurangi gejala
afektif (seperti; depresi, perasaan bersalah dan cemas) yang berhubungan dengan skizofrenia.
Kontraindikasi :

Hipersensitif terhadap risperidone.

Dosis :
Dosis umum
Hari ke-1 : 2 mg/hari, 1-2 x sehari
Hari ke-2 : 4 mg/hari, 1-2 x sehari (titrasi lebih rendah dilakukan pada beberapa pasien)
Hari ke-3 : 6 mg/hari, 1-2 x sehari
Dosis umum 4-8 mg per hari
Dosis di atas 10 mg/hari tidak lebih efektif dari dosis yang lebih rendah dan bahkan mungkin
dapat meningkatkan gejala ekstrapiramidal. Dosis di atas 10 mg/hari dapat digunakan hanya
pada pasien tertentu dimana manfaat yang diperoleh lebih besar dibanding dengan risikonya.
Dosis di atas 16 mg/hari belum dievaluasi keamanannya sehingga tidak boleh digunakan.
Penggunaan pada penderita geriatrik, juga penderita gangguan fungsi ginjal dan hati:

Dosis awal: 0,5 mg, 2 x sehari

Dosis dapat disesuaikan secara individual dengan penambahan 0,5 mg, 2 x sehari
(hingga mencapai 1-2 mg, 2 x sehari)

Penggunaan pada anak:


Pengalaman penggunaan pada anak-anak usia di bawah 15 tahun belum cukup.
Efek samping :

Yang umum terjadi: insomnia, agitasi, rasa cemas, sakit kepala.

Efek samping lain: somnolen, kelelahan, pusing, konsentrasi terganggu, konstipasi,


dispepsia, mual/muntah, nyeri abdominal, gangguan penglihatan, priapismus,
disfungsi ereksi, disfungsi ejakulasi, disfungsi orgasme, inkontinensia urin, rinitis,
ruam dan reaksi alergi lain.

Beberapa kasus gejala ekstrapiramidal mungkin terjadi (namun insiden dan


keparahannya jauh lebih ringan bila dibandingkan dengan haloperidol), seperti:
tremor, rigiditas, hipersalivasi, bradikinesia, akathisia, distonia akut. Jika bersifat
akut, gejala ini biasanya ringan dan akan hilang dengan pengurangan dosis dan/atau
dengan pemberian obat antiparkinson bila diperlukan.

Seperti neuroleptik lainnya, dapat terjadi neuroleptic malignant syndrome (namun


jarang), ditandai dengan hipertermia, rigiditas otot, ketidakstabilan otonom, kesadaran
berubah dan kenaikan kadar CPK, dilaporkan pernah terjadi. Bila hal ini terjadi,
penggunaan obat antipsikotik termasuk risperidone harus dihentikan.

Kadang-kadang terjadi orthostatic dizziness, hipotensi termasuk ortostatik, takikardia


termasuk takikardia reflek dan hipertensi.

Risperidone dapat menyebabkan kenaikan konsentrasi prolaktin plasma yang bersifat


dose-dependent, dapat berupa galactorrhoea, gynaecomastia, gangguan siklus
menstruasi dan amenorrhoea.

Kenaikan berat badan, edema dan peningkatan kadar enzim hati kadang-kadang
terjadi.

Sedikit penurunan jumlah neutrofil dan trombosit pernah terjadi.

Pernah dilaporkan namun jarang terjadi, pada pasien skizofrenik: intoksikasi air
dengan hiponatraemia, disebabkan oleh polidipsia atau sindrom gangguan sekresi
hormon antidiuretik (ADH); tardive dyskinesia, tidak teraturnya suhu tubuh dan
terjadinya serangan.

Interaksi Obat :

Hati-hati pada penggunaan kombinasi dengan obat-obat yang bekerja pada SSP dan
alkohol.

Risperidone mempunyai efek antagonis dengan levodopa atau agonis dopamin


lainnya.

Karbamazepin dapat menurunkan kadar plasma risperidone.

Clozapine dapat menurunkan bersihan risperidone.

Fluoksetin dapat meningkatkan konsentrasi plasma dari fraksi antipsikotik


(risperidone
risperidone.

dan

9-hydroxy-risperidone)

dengan

meningkatkan

konsentrasi

You might also like