You are on page 1of 46

TENZO SI BANDIT

LEBIH dari setahun telah berlalu sejak Hiyoshi


kembali ke rumah. Kini usianya sebelas tahun. Setiap
kali ia menghilang dari pandangan Chikuami, walau
hanya sejenak, ayah tirinya itu akan mencarinya
sambil berteriak sekuat tenaga, "Monyet! Kau sudah
selesai potong kayu bakar? Kenapa belum? Kenapa
kautinggalkan ember di sawah?" Jika Hiyoshi berani
membantah, telapak tangan ayah tirinya yang keras
dan kasar segera melayang ke pelipis anak itu. Pada
saat seperti itu, ibunya, dengan bayi terikat di
punggung sementara ia menginjak-injak gandum atau
memasak, memaksakan diri untuk membuang muka
dan tetap membisu. Meski demikian, wajahnya
tampak kesakitan, seakan-akan ia sendiri yang kena
tampar.
"Sudah seharusnya bocah umur sebelas tahun
meringankan pekerjaan orangtuanya. Kalau kaupikir
kau bisa menyelinap ke luar untuk bermain-main
terus, aku akan memberi pelajaran padamu!"
Chikuami yang suka berbicara kotor memaksa
Hiyoshi bekerja keras. Tapi, setelah dipulangkan dari
kuil, Hiyoshi bekerja membanting tulang, seakan-akan
telah menjadi orang lain. Pada kesempatan-
kesempatan saat ibunya secara tidak bijaksana
berusaha melindungi Hiyoshi, tangan dan suara
Chikuami yang kasar semakin menjadi-jadi. Kini
Chikuami jarang pergi ke sawah, tapi ia sering tidak
berada di rumah. Biasanya ia pergi ke desa, lalu pulang
dalam keadaan mabuk dan membentak-bentak anak-
istrinya.
"Sekeras apa pun aku bekerja, rumah ini tetap saja
dilanda kemiskinan," ia mengeluh. "Di sini terlalu
banyak parasit, dan pajak tanah juga naik terus. Kalau
bukan karena anak-anak ini, aku lebih baik jadi
samurai tak bertuan—jadi ronin! Aku akan minum
sake yang lezat. Ah, kalau saja tangan dan kakiku tidak
terbelenggu."
Setelah ledakan amarah seperri itu, ia akan
memaksa istrinya menghitung uang yang mereka
miliki, lalu menyuruh Otsumi atau Hiyoshi membeli
sake, bahkan di tengah malam buta sekalipun.
Kadang-kadang, jika ayah tirinya kebetulan tidak
kelihatan, Hiyoshi mengungkapkan perasaannya.
Onaka memeluknya dengan erat, dan berusaha
menghiburnya.
"Ibu, aku ingin pergi dan bekerja lagi," ia berkata
suatu hari.
"Tolong, jangan pergi. Kalau bukan karena kau ada
di sini..." Kata-kata selanjurnya tak dapat dipahami
karena isak tangisnya. Onaka memalingkan wajah dan
mengusap mata. Melihat ibunya berurai air mata,
Hiyoshi tak bisa berkata apa-apa. Ia ingin lari dari
rumah, tapi ia tahu ia harus tetap di tempat dan
menanggung segala kesedihan dan kegetiran. Kalau ia
merasa kasihan pada ibunya, keinginan-keinginan
alami di masa muda—keinginan untuk bermain,
makan, belajar, kabur—semakin mekar dalam dirinya.
Semuanya itu beradu dengan kata-kata kasar yang
dilontarkan Chikuami pada Onaka dan kepalan tinju
yang menghujani kepalanya.
"Sialan!" ia bergumam. Darahnya serasa mendidih
di tubuhnya yang kecil. Akhirnya ia membulatkan
tekad untuk menghadapi ayah tirinya yang
menakutkan itu.
"Aku ingin pergi dan bekerja lagi," katanya. "Aku
lebih suka jadi pelayan daripada tinggal di rumah ini."
Chikuami tidak keberatan. "Baik," ia menanggapi
permintaan Hiyoshi.
"Pergilah ke mana pun kau suka, dan makanlah nasi
orang lain. Tapi kalau kau diusir lagi, jangan kembali
ke rumah ini." Ia bersungguh-sungguh.
Meskipun sadar bahwa Hiyoshi baru berusia sebelas
tahun, ia merasa berhadapan dengan orang yang
sebaya, dan ini membuatnya makin berang.
Majikan Hiyoshi berikutnya adalah tukang celup di
desa.
"Dia banyak omong dan malas bekerja. Dia cuma
cari tempat yang nyaman untuk mengorek-ngorek
kotoran dari pusarnya," ujar salah seorang pekerja.
Tak lama setelah itu, datang kabar dari si perantara,
"Rasanya dia tidak berguna." Dan sekali lagi Hiyoshi
dipulangkan.
Chikuami memelototinya. "Nah, bagaimana,
Monyet? Apakah masyarakat mau memberi makan
pada pemalas seperti kau? Apa kau belum paham juga,
betapa berharganya orangtuamu?"
Hiyoshi ingin menjawab, "Aku tidak malas!" Namun
yang terucap olehnya adalah, "Kaulah yang tidak lagi
bertani, dan akan lebih baik kalau kau tidak cuma
berjudi dan mabuk-mabukan di pasar kuda. Semua
orang kasihan pada Ibu."
"Beraninya kau berkata begitu pada ayahmu!" Suara
Chikuami yang menggelegar membuat Hiyoshi ter-
diam, tapi kini Chikuami mulai melihat anak itu dari
sudut lain. Sedikit demi sedikit dia bertambah dewasa,
ia berkata dalam hati. Setiap kali Hiyoshi merantau
lalu kembali lagi, ia kelihatan lebih besar. Matanya
yang menilai orangtua dan rumahnya menjadi matang
dengan cepat. Kenyataan bahwa Hiyoshi memandang-
nya dengan mata orang dewasa terasa sangat
mengganggu, menakutkan, dan tidak menyenangkan
bagi ayah tirinya.
"Cepat, cepat cari kerja lain!" ia memerintah.
Keesokan harinya, Hiyoshi mendatangi majikan
berikutnya, tukang kandang ayam di desa. Dalam
waktu sebulan ia sudah kembali lagi. Istri si pemilik
toko mengeluh, "Aku tidak bisa menerima anak yang
begitu mengganggu di rumahku."
Ibu Hiyoshi tak mengerti apa yang ia maksud
dengan "mengganggu".
Tempat lain di mana Hiyoshi sempat magang
adalah bengkel tukang plester, warung makan di pasar
kuda, dan bengkel pandai besi. Setiap kali ia tidak
bertahan lebih lama dari tiga sampai enam bulan.
Lama-lama reputasinya begitu buruk, sehingga tak ada
lagi yang bersedia menjadi perantara baginya.
"Ah, anak di rumah Chikuami itu. Dia pemalas dan
tak berguna."
Tentu saja ibu Hiyoshi merasa malu. Anaknya
membuatnya serbasalah, dan sebagai tanggapan
terhadap gunjingan orang-orang, ia langsung mencela
Hiyoshi, seakan-akan kenakalan Hiyoshi tak bisa
diatasi lagi. "Aku tidak tahu apa lagi yang harus
kulakukan," ia sering berkata. "Dia benci bertani, dan
dia tidak mau tinggal di rumah."
Di musim semi, di usianya yang keempat belas,
Hiyoshi dinasihati oleh ibunya, "Kali ini kau harus
bertahan. Kalau kejadian yang sama terulang kembali,
adik perempuanku takkan berani menatap wajah
Tuan Kato, dan semua orang bakal tertawa dan
berkata, 'Lagi?' Ingat, kalau kau gagal kali ini, aku
takkan pernah memaafkanmu."
Keesokan harinya bibinya membawanya ke
Shinkawa untuk diwawancarai. Rumah besar dan
megah yang mereka datangi milik Sutejiro, si saudagar
tembikar. Ofuku kini telah menjadi remaja pucat
berusia enam belas tahun.
Dengan membantu ayah angkatnya, ia telah
mempelajari seluk-beluk bisnis tembikar.
Di toko tembikar, pembedaan antara atasan dan
bawahan ditegakkan dengan ketat. Pada
wawancaranya yang pertama, Hiyoshi berlutut penuh
hormat di serambi kayu, sementara Ofuku duduk di
dalam, mengunyah kue, dan berbincang-bincang
dengan orangtuanya.
"Hmm, rupanya si Monyet anak Yaemon. Ayahmu
meninggal, dan Chikuami dari desa menjadi ayah
tirimu. Dan sekarang kau mau mengabdi di rumah
ini? Kau harus bekerja keras." Kata-kata itu diucapkan
dengan nada begitu congkak, sehingga tak seorang
pun yang sempat mengenal Ofuku kecil akan percaya
bahwa yang mengucapkannya adalah orang yang sama.
"Ya, Juragan," balas Hiyoshi.
Ia dibawa ke tempat para pelayan. Dari sana ia bisa
mendengar suara tawa keluarga majikannya di ruang
duduk. Ia semakin kesepian, karena temannya sama
sekali tidak menunjukkan sikap bersahabat.
"Hei, Monyet!" Ofuku tidak memilih-milih kata-
katanya. "Besok kau harus bangun pagi-pagi dan pergi
ke Kiyosu. Karena kau akan mengantarkan barang
untuk seorang pejabat, naikkan semua paket ke
gerobak biasa. Dan sebelum pulang, kau harus
mampir di tempat agen kapal untuk menanyakan,
apakah barang-barang tembikar dari Hizen sudah
datang. Kalau kau terlambat pulang, seperti waktu itu,
kau tidak boleh masuk."
Jawaban Hiyoshi tidak berupa "ya" atau "tidak".
Seperti para pegawai yang sudah jauh lebih lama
bekerja di toko itu, ia berkata, "Tentu, Juragan, dan
dengan segala hormat, Juragan."
Hiyoshi sering disuruh ke Nagoya dan Kiyosu. Pada
hari itu ia memperhatikan dinding-dinding putih dan
tembok-tembok pertahanan yang tinggi di Benteng
Kiyosu dan bertanya-tanya dalam hati, orang-orang
macam apa yang tinggal di dalam? Bagaimana caranya
supaya aku bisa tinggal di sana?
Ia merasa kecil dan tak berdaya, seperti seekor
cacing. Ketika menyusuri jalan-jalan di kota, sambil
mendorong gerobak yang penuh barang tembikar
terbungkus jerami, ia mendengar kata-kata yang kini
telah akrab di telinganya,
"Hei, lihat! Ada Monyet!"
"Monyet mendorong gerobak!"
Pelacur-pelacur bercadar, perempuan-perempuan
kota berpakaian bagus, dan istri-istri muda berwajah
cantik dari keluarga baik-baik, semuanya berbisik-bisik,
menuding, dan melotot ketika Hiyoshi lewat. Hiyoshi
sendiri sudah pandai mengenali yang paling cantik.
Yang paling mengganggunya adalah tatapan orang-
orang, seakan-akan ia merupakan tontonan aneh.
Penguasa Benteng Kiyosu bernama Shiba
Yoshimune, dan salah satu pembantu utamanya
adalah Oda Nobutomo. Di tempat parit yang
mengelilingi benteng bertemu dengan Sungai Gojo,
kemegahan Keshogunan Ashikaga yang kini sudah
mulai memudar masih terasa, dan kemakmuran yang
masih tersisa, biarpun di tengah-tengah kekacauan
yang melanda dunia, menegakkan reputasi Kiyosu
sebagai kota paling memesona di semua provinsi.
Untuk sake, pergilah ke toko sake.
Untuk teh yang nikmat, pergilah ke kedai teh.
Tapi untuk pelacur, Sugaguchi di Kiyosu-lah tempatnya.

Di pusat hiburan Sugaguchi, bordil-bordil dan


kedai-kedai teh berderet-deret di sepanjang jalan. Pada
siang hari, gadis-gadis muda yang bekerja di bordil-
bordil bernyanyi sambil bermain. Hiyoshi mendorong
gerobaknya di antara mereka. Pikirannya menerawang,
"Bagaimana aku bisa jadi orang besar?" Ia terus
merenung, tanpa menemukan jawabannya. Suatu
hari... suatu hari... Sambil berjalan ia melamun tanpa
henti. Kota itu penuh dengan hal-hal yang berada di
luar jangkauannya: makanan lezat, rumah mewah,
perlengkapan militer yang mencolok, pakaian bagus,
dan batu mulia.
Sambil teringat kakak perempuannya yang kurus
dan berwajah pucat di Nakamura, ia mengamati uap
yang keluar dari pengukus kue apel di sebuah toko
kue, dan berharap ia bisa membelikan beberapa
potong untuk kakaknya. Ketika melewati sebuah toko
obat, ia menatap kantong-kantong berisi ramuan obat,
dan berkata pada dirinya sendiri, "Ibu, kalau saja aku
bisa memberimu obat seperti itu, aku yakin kau akan
sehat dalam sekejap."
Keinginan untuk memperbaiki kehidupan Otsumi
dan ibunya selalu hadir dalam angan-angannya. Satu-
satunya orang yang tak pernah ia pikirkan adalah
Chikuami.
Pada waktu ia mendekati kota itu, benaknya
dipenuhi angan-angan. Suatu hari... suatu hari... tapi
bagaimana? Hanya itu yang terus dipikirkannya.
"Dungu!"
Ketika melewati persimpangan jalan yang ramai, ia
tiba-tiba berada di tengah-tengah kerumunan orang
yang berisik. Gerobaknya telah menabrak seorang
samurai berkuda yang diikuti oleh sepuluh pembantu
yang membawa tombak dan menuntun seekor kuda.
Mangkuk-mangkuk dan piring-piring yang terbungkus
jerami jatuh ke jalan dan pecah berantakan. Hiyoshi
memandang pecahan-pecahan itu dengan perasaan
galau.
"Apa kau buta?"
"Dasar tolol!"
Sambil memaki-maki Hiyoshi, para pembantu
samurai itu menginjak-injak barang-barang bawaannya.
Tak seorang pun dari orang-orang yang lewat
menawarkan bantuan. Hiyoshi memunguti semua
pecahan, melemparkan semuanya ke dalam gerobak,
lalu kembali mendorong. Darahnya mendidih karena
penghinaan yang diterimanya di depan umum. Di
tengah angan-angannya yang kekanak-kanakan, sebuah
pikiran serius menyembul,
"Bagaimana caranya agar aku bisa membuat orang-
orang seperti itu tak berdaya di hadapanku?"
Beberapa saat kemudian, ia memikirkan kemurkaan
yang menunggunya pada saat ia kembali ke rumah
majikannya, dan wajah Ofuku yang dingin terus
terbayang-bayang. Impian besarnya lenyap ditelan
kecemasan, seakan-akan terselubung oleh awan benih
pohon opium.
Malam pun tiba. Hiyoshi telah menyimpan gerobak
di gudang, dan sedang mencuci kaki di sumur.
Kediaman Sutejiro, yang dinamai Wisma Tembikar,
menyerupai tempat tinggal sebuah marga samurai.
Rumah induk yang megah berhubungan dengan
sejumlah bangunan tambahan, dan beberapa gudang
berderet di dekatnya.
"Monyet Kecil! Monyet Kecil!"
Ofuku menghampirinya, dan Hiyoshi berdiri.
"Apa?"
Ofuku memukul bahu Hiyoshi dengan tongkat
bambu yang selalu dibawanya jika ia memeriksa
tempat para pegawai atau memberi perintah kepada
para kuli di gudang. Ini bukan pertama kalinya ia
memukul Hiyoshi. Hiyoshi tersandung, dan langsung
berlepotan lumpur lagi.
"Kalau berbicara dengan majikanmu, pantaskah kau
bilang 'apa'? Biar sudah diperingatkan berulang kali,
sikapmu tidak bertambah baik. Ini bukan rumah
petani!"
Hiyoshi tidak menjawab.
"Kenapa kau diam saja? Kau tidak mengerti? Bilang,
Ya, Juragan.'"
Karena takut dipukul lagi, Hiyoshi berkata, "Ya,
Juragan."
"Kapan kau kembali dari Kiyosu?"
"Baru saja."
"Bohong. Aku tanya orang-orang di dapur, dan
mereka bilang kau sudah makan."
"Kepala hamba pusing. Hamba takut jatuh pingsan."
"Kenapa?"
"Karena hamba lapar setelah berjalan begitu jauh."
"Lapar! Waktu kau kembali, kenapa kau tidak
menemui Tuan Besar dan langsung memberi laporan?"
"Hamba ingin cuci kaki dulu."
"Alasan, alasan! Orang-orang di dapur bilang,
sebagian besar barang yang seharusnya kauantar ke
Kiyosu pecah di jalan. Betul itu?"
"Ya."
"Kelihatannya kau tidak merasa bersalah karena
tidak langsung minta maaf padaku. Kaupikir kau bisa
membohongiku, menganggapnya sebagai kejadian
biasa, atau minta orang-orang di dapur untuk
menutup-nutupi kesalahanmu. Kali ini aku takkan
tinggal diam." Ofuku meraih telinga Hiyoshi dan
menariknya. "Ayo, jangan diam saja."
"Hamba mohon dimaafkan."
"Ini mulai jadi kebiasaan. Ini harus diusut sampai
tuntas. Ayo, kita menghadap ayahku."
"Maafkan hamba." Suara Hiyoshi mirip teriakan
seekor monyet. Ofuku tidak mengendurkan
cengkeramannya. Ia berjalan mengelilingi rumah.
Jalan setapak yang menghubungkan gudang dengan
gerbang pekarangan dilindungi oleh rumpun-rumpun
bambu Cina.
Secara mendadak, Hiyoshi menghentikan langkah-
nya. "Dengar," katanya sambil memelototi Ofuku dan
menepiskan tangannya, "ada yang ingin kukatakan
padamu."
"Apa maumu? Ingat, aku yang berkuasa di sini," ujar
Ofuku. Wajahnya pucat, dan tubuhnya mulai
gemetaran.
"Itu sebabnya aku selalu menurut, tapi ada sesuatu
yang ingin kukatakan padamu. Ofuku, kau sudah lupa
masa kecil kita? Dulu kau dan aku berteman, bukan?"
"Masa itu sudah berlalu."
"Baiklah, masa itu memang sudah berlalu, tapi
seharusnya kau tidak boleh melupakannya. Waktu
mereka mengejekmu dan memanggilmu 'si Anak
Cina, ingatkah kau siapa yang selalu membelamu?"
"Aku ingat."
"Kau tidak merasa berutang padaku?" tanya Hiyoshi
sambil cemberut. Ia jauh lebih kecil dari Ofuku, tapi
sikapnya begitu berwibawa, sehingga tak mungkin
untuk menentukan siapa yang lebih tua. "Para pekerja
yang lain juga mengeluh," Hiyoshi melanjutkan.
"Mereka bilang Tuan Besar sangat baik, tapi Tuan
Muda terlalu angkuh dan tidak punya perasaan. Anak
seperti kau, yang tidak pernah melarat maupun susah,
mestinya mencoba bekerja di rumah orang. Kalau kau
masih terus mengganggu aku atau para pegawai yang
lain, aku tidak tahu apa yang akan kulakukan. Tapi
ingat, aku punya saudara ronin di Mikuriya. Dia
punya lebih dari seribu anak buah. Kalau dia datang
ke sini atas permintaanku, dia bisa menghancurkan
rumah seperti ini dalam satu malam saja." Ancaman
Hiyoshi yang asal bunyi, serta sorot matanya yang
menyala-nyala, membuat Ofuku ngeri.
"Tuan Ofuku!"
"Tuan Ofuku! Di mana Tuan Ofuku?"
Para pelayan dari rumah induk telah mencari
Ofuku untuk beberapa saat. Ofuku, tercekam oleh
tatapan Hiyoshi, tidak berani menyahut.
"Mereka memanggilmu," Hiyoshi bergumam. Dan
dengan nada memerintah ia menambahkan, "Kau
boleh pergi sekarang, tapi jangan lupa apa yang
kukatakan padamu." Ia berbalik dan berjalan menuju
pintu belakang rumah. Belakangan, dengan jantung
berdebar-debar, ia bertanya-tanya apakah mereka akan
menghukumnya. Tapi ternyata tidak terjadi apa-apa.
Peristiwa itu terlupakan bagitu saja.

***

Penghujung tahun sudah dekat. Di kalangan petani


dan penduduk kota, ulang tahun kelima belas seorang
anak laki-laki dirayakan dengan upacara akil balig.
Tapi dalam kasus Hiyoshi tak ada yang memberinya
satu kipas upacara pun, apalagi sebuah pesta.
Berhubung Tahun Baru, ia duduk di salah satu pojok
serambi kayu bersama pegawai-pegawai lainnya,
mengendus-endus dan menikmati kue beras yang
dikukus dengan sayur-mayur—suatu kemewahan yang
jarang diperolehnya.
Dalam hati ia bertanya-tanya, "Apakah ibuku dan
Otsumi bisa menikmati kue beras Tahun Baru ini?"
Walau berasal dari keluarga petani, Hiyoshi ingat
banyak perayaan Tahun Baru mereka lalui tanpa kue-
kue. Orang-orang di sekelilingnya pun menggerutu.
"Nanti malam Tuan Besar bakal terima tamu, jadi
kita harus duduk tegak dan mendengarkan cerita-
ceritanya."
"Aku akan berlagak sakit perut dan berbaring di
tempat tidur."
"Aku benci itu. Terutama di Tahun Baru."
Setiap tahun ada dua atau tiga kesempatan serupa,
pada waktu Tahun Baru dan pada waktu Festival
Dewa Kemakmuran. Apa pun perayaannya,
Sutejiro selalu mengundang banyak tamu: para
pembuat tembikar dari Seto, keluarga para pelanggan
istimewa di Nagoya dan Kiyosu, anggota-anggota
marga samurai, dan bahkan kenalan-kenalan sanak
saudaranya.
Mulai malam itu, rumahnya akan penuh orang.
Hari itu Sutejiro tampak lebih gembira daripada biasa.
Sambil membungkuk rendah-rendah, ia sendiri
menyambut para tamu, sekaligus minta maaf atas
segala kelalaiannya selama tahun yang baru berlalu. Di
ruang minum teh, yang dihiasi sekuntum bunga
sangat indah yang dipilih dengan saksama, istri
Sutejiro yang cantik menghidangkan teh untuk tamu-
tamunya.
Perlengkapan yang digunakannya termasuk barang
langka dan bernilai tinggi.
Shogun Ashikaga Yoshimasa-lah yang menjelang
akhir abad lalu pertama-tama memperkenalkan
upacara minum teh sebagai cara mengasah cita rasa.
Kebiasaan itu menyebar ke kalangan rakyat biasa,
dan dalam waktu singkat, tanpa ada yang
menyadarinya, minum teh telah menjadi bagian
penting dari kehidupan sehari-hari. Di dalam ruang
minum teh yang kecil, ditemani sekuntum bunga dan
secawan teh, orang bisa melupakan kekacauan dunia
dan penderitaan manusia. Di tengah-tengah dunia
yang penuh borok pun upacara minum teh tetap
merupakan latihan mengolah jiwa.
"Apakah aku mendapat kehormatan berhadapan
dengan istri tuan rumah?" tanya seorang samurai
berbadan kekar yang datang bersama tamu-tamu
lainnya. "Namaku Watanabe Tenzo. Aku teman
saudara tuan rumah, Shichirobei. Dia berjanji untuk
mengajakku, tapi sayangnya dia jatuh sakit, sehingga
aku datang seorang diri." Ia membungkuk sopan.
Sikapnya lemah lembut, dan meski penampilannya
seperti samurai pedesaan, ia minta secawan teh. Istri
Sutejiro menghidangkannya dalam cawan Seto
berwarna kuning.
"Aku tidak terbiasa dengan tata cara upacara
minum teh," Tenzo mengakui.
Ia menatap berkeliling sambil menghirup tehnya
dengan puas. "Perlengkapan yang digunakan di rumah
ini sungguh indah. Sebenarnya tak pantas aku
bertanya, tapi bukankah kendi porselen yang dipakai
itu termasuk barang akae?"
"Tuan mengetahuinya?"
"Ya." Tenzo menatap kendi itu sambil terkagum-
kagum. "Kalau kendi itu jatuh ke tangan pedagang
Sakai, aku berani jamin harganya akan mencapai
seribu keping emas. Terlepas dari nilainya, benda ini
indah sekali."
Ketika sedang asyik mengobrol, mereka dipanggil ke
dalam untuk makan malam. Istri Sutejiro berjalan di
depan, dan bersama-sama mereka masuk ke hall.
Tempat duduk telah diatur dalam bentuk lingkaran
yang mengelilingi ruangan. Sebagai man rumah,
Sutejiro duduk di tengah-tengah dan menyambut
tamu-tamunya. Setelah istri dan para pelayannya
selesai menghidangkan sake, ia mengambil tempat di
salah satu meja. Ia mengangkat cawannya dan mulai
menceritakan kisah-kisah di Negeri Ming, tempat ia
pernah tinggal selama beberapa tahun. Ia sengaja
mengundang tamu-tamunya agar mendapat
kesempatan untuk bercerita mengenai petualangan di
Negeri Cina, sebuah negeri yang dikenalnya dengan
baik, tapi masih mengandung banyak rahasia bagi
orang-orang Jepang pada umumnya.
"Wah, pesta ini sungguh menyenangkan. Dan
malam ini kami beruntung karena mendengar banyak
cerita menarik," ujar salah seorang tamu.
"Kami puas sekali. Tapi malam sudah larut. Rasanya
kami tak bisa lama-lama lagi," kata tamu lain.
"Kami juga. Sudah waktunya kembali ke rumah."
Para tamu pulang satu per satu, dan pesta pun
berakhir.
"Ah, selesai!" ujar seorang pelayan. "Kisah-kisah ini
mungkin menarik untuk para tamu, tapi kita
sepanjang tahun mendengar cerita mengenai orang
Cina."
Tanpa berusaha menyembunyikan rasa kantuk, para
pelayan, termasuk Hiyoshi, cepat-cepat membereskan
semuanya. Lampu-lampu di dapur yang besar, di hall,
dan di kamar Sutejiro serta Ofuku akhirnya
dipadamkan, dan palang kayu di gerbang tembok yang
terbuat dari tanah pun dipasang.
Kediaman para samurai, dan juga rumah para
saudagar—kalau pemiliknya tergolong berada—selalu
dibatasi tembok yang terbuat dari tanah atau
dikelilingi parit yang diperkuat dengan dua atau tiga
lapis kubu pertahanan.
Pada malam hari, orang-orang di kota-kota maupun
di pedesaan tak pernah merasa tenang. Keadaan ini
telah berlangsung sejak perang saudara pada abad
sebelumnya, dan kini tak ada lagi yang menganggap-
nya ganjil.
Begitu matahari tenggelam, orang-orang beranjak ke
tempat tidur. Satu-satunya kesenangan bagi para
pekerja adalah tidur, dan kalau mereka sudah naik ke
ranjang, mereka tidur seperti kerbau. Berselimutkan
sehelai tikar jerami tipis, Hiyoshi meringkuk di salah
satu sudut ruang pelayan laki-laki, kepalanya terganjal
bantal kayu. Bersama pelayan-pelayan yang lain, ia
mendengarkan kisah majikannya mengenai Negeri
Ming yang tersohor.
Namun berbeda dengan mereka, ia mendengarkan
cerita-cerita itu dengan penuh rasa ingin tahu. Dan
karena imajinasinya begitu hebat, ia terlalu sibuk
berkhayal hingga tak bisa tidur, hampir seperti orang
menderita demam.
Apa itu? Ia terheran-heran, lalu duduk. Ia pasang
telinga. Ia yakin bahwa ia baru saja mendengar bunyi
ranting patah, dan persis sebelumnya, suara langkah.
Ia berdiri, melintasi dapur, dan diam-diam mengintip
ke luar. Di malam dingin dan cerah ini, air di gentong
besar telah menjadi es, dan untaian tetes air yang
membeku tergantung seperti pedang pada teritisan
atap. Ketika mengangkat kepala, ia melihat seorang
laki-laki memanjat pohon besar di belakang. Hiyoshi
menyimpulkan bahwa bunyi yang ia dengar
sebelumnya adalah bunyi ranting patah yang terinjak
oleh laki-laki itu. Ia mengamati tindak-tanduk aneh
dari sosok di atas pohon. Laki-laki itu mengayun-
ayunkan sebuah lampu yang tidak lebih besar dari
kunang-kunang.
Tali sumbu? Hiyoshi bertanya-tanya dalam hati.
Garis merah itu memercikkan bunga api yang segera
terbawa angin. Sepertinya laki-laki itu sedang memberi
isyarat pada seseorang di luar tembok.
Dia turun, pikir Hiyoshi sambil bersembunyi di
keremangan bayang-bayang.
Laki-laki itu merosot ke bawah, kemudian berjalan
dengan langkah-langkah panjang ke bagian belakang
pekarangan. Hiyoshi membiarkannya lewat, lalu
mengikutinya.
"Ah! Dia salah satu tamu yang hadir tadi," Hiyoshi
bergumam seakan tak percaya. Orang itulah yang
memperkenalkan diri sebagai Watanabe Tenzo, laki-
laki yang dilayani sendiri oleh istri majikannya, yang
mendengarkan cerita-cerita Sutejiro dengan sungguh-
sungguh dari awal sampai akhir.
Semua tamu lain sudah pulang, jadi ke manakah
Tenzo menghilang dari tadi? Dan kenapa? Ia sudah
berganti pakaian. Kakinya terbungkus sandal jerami,
keliman celananya yang gombrong digulung dan diikat
ke belakang, dan di pinggangnya ada sebilah pedang
besar. Matanya mengamati sekeliling dengan liar,
persis seekor elang. Setiap orang yang melihatnya
langsung tahu bahwa ia menginginkan darah
seseorang.
Tenzo menghampiri gerbang, dan pada saat yang
sama, orang-orang yang menunggu di luar berusaha
mendobraknya.
"Tunggu! Biar kubuka dulu palangnya. Jangan
ribut!"
Serangan penjahat! Ternyata pemimpin mereka
memang memberi isyarat kepada para anak buahnya
untuk menjarah rumah ini seperti kawanan belalang.
Di tempat persembunyiannya, Hiyoshi menyadari:
mereka perampok!
Seketika darahnya menggelora, dan ia lupa diri. Ia
tidak berpikir panjang, tidak lagi memedulikan
keselamatannya sendiri. Yang dipikirkannya hanyalah
rumah majikannya. Namun tindakannya berikutnya
hanya dapat disebut membabi buta.
"Hei, kau!" ia berseru. Langsung saja ia keluar dari
bayang-bayang. Entah apa yang terlintas di kepalanya.
Ia berdiri di belakang Tenzo yang baru hendak
membuka gerbang. Laki-laki itu tersentak kaget.
Bagaimana ia bisa tahu bahwa ia ditegur oleh pemuda
berusia lima belas tahun yang bekerja di toko
tembikar? Apa yang dilihatnya ketika ia menoleh
membuatnya terbengong-bengong. Seorang pemuda
bertampang mirip monyet menatapnya dengan
pandangan aneh. Sejenak Tenzo membalas tatapannya
dengan tajam.
"Siapa kau?" ia lalu bertanya, bingung.
Hiyoshi sama sekali lupa pada bahaya yang
mengancamnya. Air mukanya keras. "Hei, kau, ada
apa ini?" ia balik bertanya.
"Apa?" ujar Tenzo. Kini ia betul-betul bingung.
Gilakah anak itu? ia bertanya-tanya dalam hati.
Ekspresi Hiyoshi yang tak kenal ampun dan berbeda
sekali dengan ekspresi anak-anak, membuatnya
kewalahan. Ia seakan-akan terpaksa beradu mata
dengan pemuda itu.
"Kami ronin dari Mikuriya. Kalau kau bersuara,
akan kutebas lehermu. Kedatangan kami bukan untuk
mencabut nyawa anak kecil. Ayo, pergi dari sini.
Masuk ke gudang kayu bakar." Sambil berharap
Hiyoshi bisa digertak, ia menepuk pangkal pedangnya.
Hiyoshi tersenyum, memperlihatkan giginya yang
putih.
"Jadi kau perampok, heh? Kalau kau perampok, kau
tentu mau pergi dari sini dengan membawa barang
yang kauincar, bukan begitu?"
"Jangan macam-macam. Pergi!"
"Aku akan pergi. Tapi kalau kau membuka gerbang
itu, tak seorang pun dari gerombolanmu akan
meninggalkan tempat ini dalam keadaan hidup."
"Apa maksudmu?"
"Kau tidak tahu, kan? Tak ada yang tahu selain aku."
"Kau agak sinting, ya?"
"Jangan sembarangan. Kaulah yang kurang waras—
berani-beranian merampok rumah seperti ini."
Anak buah Tenzo, bosan menunggu, menggedor-
gedor gerbang dan memanggil, "Ada apa?"
"Tunggu sebentar," ujar Tenzo. Kemudian ia
berkata pada Hiyoshi,
"Kaubilang kalau kami masuk ke rumah ini, kami
takkan pulang dalam keadaan hidup. Kenapa aku
harus percaya padamu?"
"Karena memang begitu."
"Awas, kalau kau ternyata cuma main-main,
kupenggal kepalamu."
"Aku takkan membuka rahasia tanpa imbalan. Kau
harus memberikan sesuatu sebagai gantinya."
"Hah?" Tenzo merasa curiga pada pemuda tanggung
di hadapannya. Di atas mereka, langit malam mulai
bertambah cerah, tapi rumah Sutejiro, dikelilingi
tembok, masih diselimuti kegelapan total.
"Apa yang kauminta?" Tenzo bertanya dengan hati-
hati.
"Aku tidak minta apa-apa. Aku cuma mau ber-
gabung dalam kelompokmu."
"Kau mau bergabung dengan kami?"
"Ya, betul."
"Kau mau jadi pencuri?"
"Ya."
"Berapa umurmu?"
"Lima belas."
"Kenapa kau mau jadi pencuri?"
"Tuan Besar memaksaku bekerja seperti kuda.
Orang-orang di sini selalu mengejekku. Mereka terus
memanggilku 'monyet'. Karena itu aku mau jadi
pencuri, supaya aku bisa membalas mereka."
"Baiklah, kau boleh bergabung dengan kami, tapi
baru setelah kau membuktikan kemampuanmu. Nah,
sekarang jelaskan apa maksudmu."
"Bahwa kalian semua akan mati?"
"Ya."
"Rencanamu takkan berhasil. Tadi kau menyamar
sebagai tamu dan berbaur dengan orang-orang lain."
"Ya."
"Ada yang mengenalimu."
"Tak mungkin."
"Terserah, tapi nyatanya majikanku tahu siapa kau
sebenarnya. Jadi, sebelum ini, atas perintah dia, aku
berlari ke rumah Kato di Yabuyama dan
memberitahunya bahwa kami akan diserang perampok
di tengah malam, dan bahwa kami memerlukan
bantuannya."
"Kato di Yabuyama... itu pasti Kato Danjo, si
pengikut Oda."
"Karena Danjo dan majikanku bersaudara, dia
mengumpulkan selusin samurai yang tinggal di sekitar
sini, dan mereka semua datang dengan menyamar
sebagai tamu. Sekarang ini mereka sedang
menunggumu di dalam, dan aku tidak bohong."
Dari wajahnya yang pucat, Hiyoshi langsung tahu
bahwa Tenzo mempercayainya.
"Betul itu?" ia bertanya. "Di mana mereka? Apa yang
sedang mereka kerjakan?"
"Tadinya mereka duduk melingkar sambil minum
sake dan menunggu. Kemudian mereka memutuskan
bahwa kau takkan menyerang selarut ini, sehingga
mereka pergi tidur. Akulah yang disuruh berjaga di
luar."
Tenzo menarik Hiyoshi dan mengancam,
"Nyawamu akan melayang kalau kau berteriak." Ia
menutup mulut Hiyoshi dengan telapak tangannya
yang besar.
Sambil meronta-ronta, Hiyoshi berhasil berkata,
"Hei, ini tidak sesuai dengan janjimu tadi. Aku takkan
ribut." Ia mencakar tangan perampok itu dengan
kukunya.
Tenzo menggelengkan kepala.
"Percuma. Bagaimanapun, kau berhadapan dengan
Watanabe Tenzo dari Mikuriya. Kau ingin
meyakinkan aku bahwa penghuni rumah ini sudah
bersiap-siap. Kalaupun itu benar, aku takkan bisa
menghadapi anak buahku kalau aku keluar dengan
tangan kosong."
"Tapi..."
"Apa yang bisa kaulakukan?"
"Aku akan membawa keluar apa saja yang
kauminta."
"Kau akan membawanya keluar?"
"Ya. Itu yang paling baik. Dengan cara itu, kau bisa
menyelesaikan urusan ini tanpa perlu membantai
orang. Dan kau sendiri juga takkan mati di ujung
pedang."
"Kaujamin itu?" Cengkeraman Tenzo pada leher
Hiyoshi semakin keras.
Gerbang masih tertutup rapat. Ketakutan dan
penuh curiga, anak-anak buahnya terus memanggil-
manggil dengan setengah berbisik sambil mendorong-
dorong gerbang.
"Hei, Bos, kau di dalam?"
"Ada apa?"
"Kenapa gerbangnya belum dibuka?"
Tenzo membuka palang itu sedikit dan berbisik
lewat celah pintu, "Ada yang tidak beres, jadi jangan
ribut. Dan jangan bergerombol. Ayo berpencar dan
cari tempat sembunyi."
Untuk memenuhi permintaan Tenzo, tanpa
bersuara Hiyoshi merayap dari pintu masuk ke tempat
pelayan laki-laki menuju rumah induk. Begitu sampai,
ia melihat sebuah lampu menyala di kamar Sutejiro.
"Tuan?" Hiyoshi memanggil sambil duduk penuh
hormat di serambi. Tak ada jawaban, tapi ia merasa
bahwa Sutejiro dan istrinya terjaga.
"Nyonya?"
"Siapa itu?" tanya istri Sutejiro. Suaranya bergetar.
Entah ia atau suaminya yang bangun lebih dulu, lalu
membangunkan yang lain, sebab baru saja terdengar
bunyi gemeresik dan orang berbisik-bisik. Karena
menduga bahwa mereka diserang perampok, kedua-
duanya memejamkan mata dengan ngeri.
Hiyoshi membuka pintu geser dan maju sambil
tetap berlutut. Baik Sutejiro maupun istrinya mem-
buka mata lebar-lebar.
"Di luar ada perampok. Banyak sekali," ujar
Hiyoshi.
Suami-istri itu menelah ludah, namun tidak
mengatakan apa-apa. Sepertinya mereka tak sanggup
bersuara.
"Mengerikan sekali kalau mereka sampai masuk.
Mereka akan mengikat Tuan dan Nyonya, dan pasti
ada lima atau enam orang yang mati atau cedera.
Hamba menyusun sebuah rencana, dan sekarang
pemimpin mereka sedang menunggu jawaban."
Hiyoshi melaporkan percakapannya dengan Tenzo,
dan mengakhirinya dengan berkata, "Tuan, biarkan
para perampok membawa apa saja yang mereka
inginkan. Hamba akan menyerahkannya pada Tenzo,
dan setelah itu dia akan pergi."
Sesaat suasana hening. Kemudian si saudagar
berkata, "Hiyoshi, apa yang diinginkannya?"
"Dia bilang dia datang untuk mengambil kendi
akae."
"Apa?"
"Dia bilang, dia akan pergi segera setelah hamba
menyerahkan kendi itu. Nilainya tidak seberapa, jadi
kenapa Tuan tidak memberikannya saja? Ini semua ide
hamba," Hiyoshi menjelaskan dengan bangga. "Hamba
pura-pura akan mencurikan barang itu untuknya."
Keputusasaan dan ketakutan tampak jelas di wajah
Sutejiro dan istrinya.
"Kendi akae diambil dari gudang untuk upacara
minum teh tadi, bukan? Orang itu bodoh sekali
karena minta hamba mengambil barang yang begitu
tak berharga!" ujar Hiyoshi. Raut wajahnya menunjuk-
kan seakan-akan seluruh kejadian ini menggelikan.
Istri Sutejiro diam, seolah-olah telah berubah
menjadi batu. Sambil mendesah panjang, Sutejiro
berkata, "Celakalah kita." Pandangannya menerawang
jauh, dan ia pun membisu.
"Tuan, kenapa Tuan begitu gundah? Satu kendi saja
bisa menyelesaikan ini tanpa perlu terjadi per-
tumpahan darah."
"Kendi itu bukan barang tembikar biasa. Di Negeri
Ming pun hanya sedikit karya serupa. Aku mem-
bawanya pulang dari Cina dengan penderitaan yang
tidak kecil. Lagi pula, kendi itu merupakan kenang-
kenangan dari Tuan Shonzui."
"Di toko-toko tembikar di Sakai," ujar istrinya,
"kendi itu bisa dijual seharga lebih dari seribu keping
emas."
Tapi para perampok lebih menakutkan. Kalau
mereka menolak, pasti terjadi pembantaian, dan
sudah sering ada rumah yang dibakar sampai rata
dengan tanah. Kejadian semacam itu bukan hal aneh
di masa yang tidak tenang.
Dalam situasi seperti itu, tak banyak waktu untuk
mengambil keputusan.
Sesaat Sutejiro seakan-akan tak sanggup membebas-
kan diri dari keterikatannya dengan kendi itu. Tapi
akhirnya ia berkata, "Apa boleh buat." Ia merasa agak
lebih enak setelah itu. Ia mengambil kunci gudang
dari sebuah laci kecil.
"Berikan padanya." Ia melemparkan kunci itu ke
hadapan Hiyoshi.
Karena terbayang-bayang akan kehilangan kendinya
yang amat berharga, Sutejiro tidak menemukan kata
pujian untuk Hiyoshi, meski dalam hati ia mengakui
bahwa rencana itu cukup lihai untuk anak seusianya.
Hiyoshi pergi seorang diri ke gudang. Ia keluar
sambil menggotong kotak kayu. Ketika mengembali-
kan kunci pada majikannya, ia berkata,
"Sebaiknya Tuan padamkan lampu dan tidur lagi.
Tuan tidak perlu cemas."
Pada waktu ia membawa kotak itu ke hadapan
Tenzo, si bandit yang masih agak curiga langsung
membukanya dan memeriksa isinya dengan saksama.
"Hmm, memang ini yang kucari," ujarnya. Garis-garis
wajahnya tampak mengendur.
"Sebaiknya kau dan anak buahmu cepat menyingkir
dari sini. Waktu aku mencari barang ini di gudang,
aku menyalakan sebatang lilin. Sebentar lagi Kato dan
para samurainya akan bangun, dan setelah itu mereka
akan segera berpatroli."
Terburu-buru Tenzo menghampiri gerbang. "Kau
boleh mendatangi aku di Mikuriya kapan saja. Kau
diterima sebagai anggota." Dan kemudian ia
menghilang dalam kegelapan malam.

Malam yang mencemaskan telah berlalu.


Besok adalah hari pertama di Tahun Baru, dan
iring-iringan tamu yang tak terputus, berdua atau
bertiga, mendatangi rumah saudagar kaya itu.
Meski demikian, suasana di toko tembikar terasa
tegang. Sutejiro tampak murung dan cemberut, dan
istrinya, yang biasanya ceria, malah tidak kelihatan
sama sekali.
Perlahan-lahan Ofuku pergi ke kamar ibunya, lalu
duduk di tepi ranjang.
Ibunya belum pulih betul dari mimpi buruk di
malam sebelumnya, dan masih berbaring di tempat
tidur. Wajahnya pucat seperti orang sakit.
"Ibu, aku baru saja bicara dengan Ayah. Semuanya
akan beres."
"O ya? Apa yang dikatakannya?"
"Mula-mula Ayah memang sangsi, tapi waktu aku
bercerita mengenai sikap Hiyoshi dan bagaimana dia
menangkapku di belakang rumah dan mengancamku,
Ayah terkejut dan kelihatan berpikir lagi."
"Apakah ayahmu bilang bahwa dia akan segera
dikeluarkan?"
"Tidak. Dia bilang, dia tetap menganggap bahwa
Hiyoshi menjanjikan sesuatu, jadi aku tanya, apakah
Ayah mau mengurus kaki tangan pencuri."
"Dari pertama Ibu sudah tidak suka sorot mata anak
itu."
"Aku juga menyinggung itu, dan akhirnya Ayah
bilang bahwa kalau tak ada yang bisa cocok dengan-
nya, tak ada pilihan lain selain mengeluarkannya.
Ayah pikir lebih baik kalau Ayah sendiri yang
menanganinya, agar bisa mencari alasan yang tidak
menyakitkan untuk memulangkan Hiyoshi."
"Bagus. Ibu sudah tidak tahan kalau anak bermuka
monyet itu masih bekerja di sini, biarpun hanya untuk
setengah hari lagi. Sedang apa dia sekarang?"
"Dia sedang membungkus barang di gudang. Perlu
kuberitahu dia bahwa Ibu memanggilnya?"
"Jangan. Ibu tidak sudi melihat dia. Nah, karena
ayahmu sudah setuju, bukankah sama saja kalau kau
yang memberitahunya bahwa dia dipecat mulai hari
ini, lalu menyuruhnya pulang?"
"Baiklah," kata Ofuku, tapi dalam hati ia agak ngeri.
"Bagaimana dengan upahnya?"
"Dari awal kita tidak terikat oleh janji untuk
mengupahnya. Dan walaupun dia bukan pekerja yang
giat, kita sudah memberinya makan dan pakaian. Itu
saja sudah lebih dari yang pantas diterimanya. Ya
sudah, biarkan dia membawa pakaian yang dia
kenakan, dan tambahkan dua takar garam."
Ofuku terlalu takut untuk menyampaikan
semuanya itu seorang diri pada Hiyoshi, sehingga ia
mengajak orang lain untuk menemaninya ke gudang.
Ia mengintip ke dalam dan melihat Hiyoshi sedang
bekerja sendirian, tertutup jerami dari kepala sampai
kaki.
"Ya? Ada apa?" suara Hiyoshi terdengar lebih
bersemangat daripada biasa. Ia langsung menghampiri
Ofuku. Karena menganggap bahwa bercerita
mengenai kejadian semalam tidaklah bijaksana, ia
tidak memberitahu siapa-siapa, tapi dalam hati ia
merasa sangat bangga—begitu bangga, sehingga diam-
diam ia mengharapkan pujian majikannya.
Ofuku, ditemani oleh pegawai yang paling kuat dan
paling ditakuti Hiyoshi, berkata, "Monyet, kau boleh
pergi hari ini."
"Pergi ke mana?" Hiyoshi bertanya dengan heran.
"Pulang. Kau masih punya rumah, bukan?"
"Masih, tapi..."
"Mulai hari ini kau diberhentikan. Kau boleh
membawa pakaianmu."
"Pemberian ini atas kebaikan Nyonya," ujar si
pegawai. Ia menyodorkan dua takar garam serta
pakaian Hiyoshi. "Kau tidak perlu berpamitan, kau
boleh pergi sekarang juga."
Terkejut, Hiyoshi merasa darahnya naik ke kepala.
Kemarahan di matanya seakan-akan menerkam
Ofuku. Sambil melangkah mundur, Ofuku meng-
ambil garam dan pakaian dari tangan si pegawai,
meletakkan semuanya di lantai, lalu berbalik dan
menjauh terburu-buru. Melihat sorot mata Hiyoshi,
anak itu seperti hendak mengejar Ofuku, tapi
sebenarnya ia tak bisa melihat apa-apa, pandangannya
terhalang oleh air mata. Ia teringat wajah ibunya yang
berurai air mata ketika mengingatkannya bahwa ia
akan malu menghadapi orang-orang, dan bahwa adik
iparnya akan kehilangan muka jika Hiyoshi
dipulangkan sekali lagi. Bayangan wajah dan tubuh
ibunya, kurus kering karena melarat dan melahirkan,
membuatnya terisak-isak menahan tangis. Ingusnya
berhenti mengalir, tapi untuk sesaat ia berdiri tak
bergerak, tak tahu apa yang harus ia perbuat
selanjutnya. Darahnya serasa mendidih.
"Monyet!" salah seorang pekerja memanggil. "Ada
apa? Kau bikin masalah lagi, ya? Dia menyuruhmu
pulang, ya? Kau sudah lima belas tahun, dan ke mana
pun kau pergi, kau pasti akan diberi makan. Jadi,
bersiaplah seperti laki-laki, dan jangan merengek."
Tanpa berhenti bekerja, pegawai-pegawai yang lain
mencemoohkannya.
Tawa dan sorak-sorai mereka terngiang-ngiang di
telinganya, dan ia memutuskan untuk tidak menangis
di hadapan mereka. Ia malah berbalik untuk
menghadapi orang-orang itu, sambil memperlihatkan
giginya yang putih.
"Siapa yang merengek? Aku memang sudah muak
bekerja di tempat membosankan ini. Kali ini aku akan
bekerja untuk seorang samurai!"
Sambil menyandang buntalan pakaiannya, ia
mengikat kantong garamnya pada sepotong bambu,
lalu memikulnya penuh gaya.
"Bekerja untuk samurai!" seru seorang pegawai.
"Cara baru untuk mengatakan selamat tinggal!"
Semuanya tertawa.
Tak ada yang membenci Hiyoshi, tapi tak seorang
pun merasa kasihan padanya. Hiyoshi sendiri tidak
terlalu ambil pusing. Begitu melangkah melewati
tembok tanah, hatinya menyerap langit yang biru
cerah. Ia merasa seperti dibebaskan.

***

Kato Danjo ikut berlaga dalam pertempuran di


Azukizaka pada musim gugur tahun sebelumnya. Tak
sabar untuk mengukir prestasi, ia menyerbu ke tengah-
tengah pasukan Imagawa dan mengalami cedera
begitu parah, sehingga ia terpaksa pulang untuk
selama-lamanya. Sekarang ia selalu tidur di rumahnya
di Yabuyama. Ketika hari-hari semakin dingin
menjelang akhir tahun, luka tombak di perutnya
terasa sangat menyiksa. Ia selalu mengerang kesakitan.
Oetsu merawatnya dengan telaten, dan hari itu ia
sedang mencuci pakaian dalam suaminya yang
berlumuran nanah di sungai kecil yang membelah
pekarangan mereka. Ia mendengar seseorang
bernyanyi riang, dan bertanya-tanya siapa gerangan
orang itu. Merasa terganggu, ia berdiri dan melihat
berkeliling. Meski rumah mereka bukan di puncak
Bukit Komyoji, dari balik tembok tanah ia bisa
melihat jalan di kaki bukit, dan di belakangnya tanah
ladang di Nakamura, Sungai Shonai, dan Dataran
Owari yang luas.
Suara si penyanyi terdengar lantang, seakan-akan
tidak mengenal kekerasan dunia maupun penderitaan.
Lagu yang disenandungkannya adalah sebuah tembang
yang populer pada akhir abad lalu, tetapi di Owari,
anak-anak perempuan para petani telah mengubahnya
menjadi lagu pengiring untuk menenun.
Wah, jangan-jangan itu Hiyoshi? Ia bertanya-tanya
sendiri ketika sosok itu mencapai kaki bukit. Orang
itu menyandang buntalan baju di punggungnya, dan
sebuah kantong tergantung pada tongkat bambu yang
ia pikul.
Oetsu terkejut ketika menyadari betapa Hiyoshi
telah bertambah besar dalam waktu singkat, dan meski
tubuhnya tumbuh pesat, sikapnya masih saja seperti
orang yang tak pernah susah.
"Bibi! Kenapa Bibi berdiri di luar?" Hiyoshi
mengangguk dengan hormat.
Lagunya membuat langkahnya berirama, dan
suaranya sama sekali bebas dari kesan sok, memberi
nada menggelikan pada ucapannya. Raut wajah
bibinya tampak muram, seperti orang yang telah lupa
cara tertawa.
"Kenapa kau datang ke sini? Kau membawa pesan
untuk para biksu di Komyoji?"
Terdesak untuk menjawab, Hiyoshi menggaruk-
garuk kepala.
"Aku diberhentikan dari toko tembikar. Aku datang
ke sini karena merasa Paman perlu diberitahu."
"Apa? Lagi?" balas Oetsu. Keningnya berkerut. "Kau
datang ke sini setelah diusir lagi?"
Hiyoshi mempertimbangkan untuk menceritakan
alasannya, tapi entah kenapa ia merasa tak ada
gunanya. Dengan nada lebih manis ia bertanya,
"Pamanku ada di rumah? Kalau Paman di rumah,
bolehkah aku bicara dengannya?"
"Sama sekali tidak! Suamiku terluka parah dalam
pertempuran. Kami tidak tahu apakah hari ini atau
besok merupakan harinya yang terakhir. Kau tidak
boleh dekat-dekat dia." Ia bicara terus terang, nadanya
ketus.
"Aku kasihan pada kakakku karena punya anak
seperti kau."
Mendengar berita buruk itu, Hiyoshi langsung
patah arang. "Hmm, sebenarnya aku ingin minta
tolong pada Paman, tapi kelihatannya percuma saja."
"Kau mau apa?"
"Karena dia seorang samurai, kupikir dia bisa
mencarikan tempat di rumah samurai untukku."
"Astaga! Berapa umurmu sekarang?"
"Lima belas."
"Anak berumur lima belas tahun seharusnya sudah
tahu sedikit mengenai dunia."
"Justru karena itu aku tidak mau lagi bekerja di
sembarang tempat. Bibi, mungkinkah ada lowongan
untukku di suatu tempat?"
"Mana aku tahu?" Oetsu memelototi Hiyoshi, sorot
matanya menyalahkan anak itu. "Rumah tangga
samurai tidak menerima orang yang tidak cocok
dengan tradisi keluarga. Apa untungnya mereka
menerima bocah liar dan tidak bertanggung jawab
seperti kau?"
Tiba-tiba seorang pelayan perempuan menghampiri
mereka dan berkata,
"Nyonya, cepat kembali. Suami Nyonya kesakitan
lagi."
Tanpa berkata apa-apa lagi, Oetsu berlari ke
rumahnya. Ditinggalkan seorang diri, Hiyoshi
menatap langit mendung di atas Owari dan Mino.
Setelah beberapa saat, ia melewati gerbang dan
menunggu di sekitar dapur.
Yang paling diinginkannya adalah pulang ke
Nakamura untuk menjenguk ibunya, tapi ia ditahan
oleh bayangan ayah tirinya, yang membuatnya merasa
seakan-akan pagar di sekeliling rumah mereka terbuat
dari onak duri. Ia memutuskan bahwa tugas yang
paling mendesak adalah mencari majikan baru. Ia
datang ke Yabuyama karena menganggap sudah
sepatutnya orang yang pernah menolongnya
diberitahu, tapi menghadapi kondisi Danjo yang
serius, ia tidak tahu harus berbuat apa—selain itu, ia
pun lapar.
Ketika ia memikirkan di mana akan tidur mulai
malam ini, sesuatu yang empuk bergesekan dengan
kakinya yang dingin. Ia menundukkan kepala dan
melihat seekor anak kucing. Hiyoshi mengangkatnya,
lalu duduk di samping pintu dapur. Matahari yang
semakin rendah membanjiri mereka dengan cahaya
dingin.
"Perutmu kosong juga?" ia bertanya. Kucing itu
gemetar ketika ia mendekapnya di dada. Setelah
merasakan kehangatan tubuh Hiyoshi, binatang kecil
itu mulai menjilat-jilat wajahnya.
"Sana, sana," katanya sambil memalingkan wajah. Ia
tidak terlalu menyukai kucing, tapi hari itu anak
kucing itulah satu-satunya makhluk hidup yang
menunjukkan kasih sayang padanya.
Tiba-tiba Hiyoshi tersentak. Kedua mata kucing di
pangkuannya pun tampak melebar karena terkejut.
Pekik melengking orang kesakitan terdengar dari
sebuah ruangan yang berdekatan dengan serambi.
Oetsu muncul di dapur. Matanya sembap karena
menangis, dan ia menyeka air matanya dengan baju
sambil mengaduk-aduk ramuan obat dalam panci di
atas kompor.
"Bibi," Hiyoshi berkata dengan hati-hati. Tangannya
mengelus-elus punggung si anak kucing, "Perut anak
kucing ini kosong dan dia kedinginan. Kalau tidak
diberi makan, dia akan mati." Ia sengaja tidak
menyinggung keadaan perutnya sendiri. Oetsu tidak
menanggapi komentarnya.
"Kau masih di sini? Sebentar lagi sudah gelap, dan
aku takkan mengizinkanmu tinggal di rumah ini."
Oetsu menyembunyikan air matanya dengan lengan
baju. Kecantikan istri samurai ini, yang tampak begitu
bahagia dua atau tiga tahun yang lalu, telah lenyap
seperti keindahan sekuntum bunga yang diterpa
hujan.
Hiyoshi, sambil tetap memangku anak kucing,
memikirkan rasa lapar yang menyiksanya, serta tempat
tidur yang berada di luar jangkauan. Ketika menatap
bibinya, ia tiba-tiba menyadari bahwa penampilannya
agak berbeda.
"Bibi! Perutmu membesar. Bibi hamil?"
Oetsu mengangkat kepala, seolah-olah pipinya baru
saja kena tampar.
Pertanyaan tak terduga itu betul-betul tidak pada
tempatnya.
"Persis seperti anak kecil!" katanya. "Seharusnya kau
tidak bertanya seperti itu. Kau memuakkan!" Dengan
gusar ia menambahkan, "Cepat pulang, mumpung
masih terang. Pergi ke Nakamura atau ke mana pun
kau suka! Sekarang ini aku tidak peduli apa yang akan
kaulakukan." Sambil mendongkol, ia menghilang ke
dalam rumah.
"Aku akan pergi," Hiyoshi bergumam. Ia berdiri dan
hendak berangkat, tapi anak kucing tadi tidak bersedia
mengorbankan kehangatan dadanya.
Pada saat yang sama, seorang pelayan perempuan
membawa mangkuk kecil berisi nasi dingin dan sup
tahu, memperlihatkannya pada si kucing, dan
memanggilnya keluar. Seketika kucing itu meninggal-
kan Hiyoshi untuk menikmati makanannya. Hiyoshi
memperhatikan kucing dan mangkuk di hadapannya
dengan penuh selera, namun kelihatannya tidak ada
yang akan menawarkan makanan untuknya. Ia
memutuskan untuk pulang ke rumah.
Tapi ketika sampai di pintu pekarangan, ia
dipanggil oleh seseorang yang memiliki pendengaran
tajam.
"Siapa di luar?" sebuah suara bertanya dari kamar
sakit.
Sambil berdiri seperti patung, Hiyoshi tahu bahwa
suara itu milik Danjo, dan ia langsung menjawab.
Kemudian, setelah menganggap saat yang tepat sudah
tiba, ia memberitahu Danjo bahwa ia diberhentikan
dari toko tembikar.
"Oetsu, buka pintu!"
Oetsu berusaha mempengaruhi suaminya dengan
berdalih bahwa angin malam akan membuatnya
kedinginan, sehingga lukanya nyeri lagi. Ia tidak
beranjak untuk membuka pintu geser, sampai Danjo
kehilangan kesabaran.
"Bodoh!" Danjo berseru. "Apa bedanya kalau aku
hidup sepuluh atau dua puluh hari lagi. Buka pintu!"
Sambil menangis, Oetsu menuruti perintah
suaminya dan berkata pada Hiyoshi, "Kau akan
membuat keadaannya bertambah parah. Jenguk dia
sebentar, lalu segera pergi."
Hiyoshi berdiri menghadap kamar sakit dan
membungkuk. Danjo bersandar pada tumpukan
bantal.
"Hiyoshi, kau diberhentikan dari toko tembikar?"
"Ya."
"Hmm. Tidak apa-apa."
"Apa?" ujar Hiyoshi. la tampak bingung.
"Kau tidak perlu malu karena diberhentikan, asal
bukan karena kau tidak patuh atau tidak jujur."
"Aku mengerti."
"Dulu rumahmu juga rumah samurai. Samurai,
Hiyoshi."
"Ya."
"Seorang samurai tidak bekerja sekadar untuk
mengisi perut. Dia bukan budak makanan. Dia hidup
untuk memenuhi panggilannya, untuk kewajiban dan
pengabdian. Makanan hanyalah tambahan, sebuah
berkah dari surga.
Jangan menjadi laki-laki yang, karena terlalu sibuk
mencari makan, menghabiskan hidupnya dalam
kebimbangan."

***
Malam telah larut.
Kochiku, yang sering sakit-sakitan, sedang
menderita penyakit kanak-kanak dan menangis
hampir tanpa henti. la dibaringkan di tempat tidur
jerami, dan akhirnya berhenti menyusu.
"Kalau Ibu bangun, Ibu akan mati beku, udaranya
terlalu dingin,"
Otsumi berkata pada ibunya. "Lebih baik Ibu tidur
saja."
"Bagaimana Ibu bisa tidur kalau ayahmu belum
pulang?"
Onaka bangun, kemudian ia dan Otsumi duduk di
depan perapian dan menyelesaikan pekerjaan-
pekerjaan yang belum rampung.
"Sedang apa dia? Apa dia tidak pulang lagi malam
ini?"
"Ya, sekarang Tahun Baru."
"Tapi tak seorang pun di rumah ini—terutama Ibu—
sempat merayakan nya, biar hanya dengan sepotong
kue beras. Dan sepanjang waktu kita harus bekerja
sambil kedinginan seperti ini."
"Hmm, laki-laki punya hiburan tersendiri."
"Dia tidak pernah bekerja. Dia hanya minum sake.
Dan kalau dia pulang, dia terus bersikap kasar pada
Ibu. Aku dongkol sekali."
Gadis seusia Otsumi biasanya sudah memikirkan
pernikahan, tapi ia tidak mau meninggalkan ibunya.
Ia mengetahui masalah keuangan mereka, dan dalam
mimpi pun ia tak pernah membayangkan gincu
maupun pupur—apalagi baju Tahun Baru.
"Jangan bicara seperti itu," ujar Onaka. Matanya
berkaca-kaca. "Ayahmu memang tak bisa diandalkan,
tapi Hiyoshi akan menjadi orang terhormat suatu hari
nanti. Kita akan mendapatkan suami yang baik
untukmu, walaupun ibumu sendiri kurang beruntung
dalam memilih suami."
"Ibu, aku tidak mau menikah. Aku ingin tinggal
bersama Ibu selamanya."
"Tidak baik bagi perempuan untuk hidup seperti
itu. Chikuami tidak tahu ini, tapi waktu Yaemon
terluka, kami menyisihkan setali uang yang kami
terima dari majikannya, untuk membiayai per-
nikahanmu. Dan aku mengumpulkan lebih dari tujuh
bal sutra sisa untuk menenun kimono untukmu."
"Ibu, sepertinya ada yang datang."
"Ayahmu?"
Otsumi menjulurkan leher untuk melihat siapa
orangnya. "Bukan."
"Kalau begitu, siapa?"
"Aku tidak tahu. Jangan bersuara." Otsumi menelan
ludah, tiba-tiba merasa gelisah.
"Ibu, Ibu di rumah?" Hiyoshi bertanya dari
kegelapan. Ia berdiri tanpa bergerak.
"Hiyoshi?"
"He-eh."
"Malam-malam begini?"
"Aku diberhentikan dari toko tembikar."
"Diberhentikan?"
"Maafkan aku. Ibu, maafkan aku," Hiyoshi tersedu-
sedu.
Onaka dan Otsumi nyaris tersandung kaki sendiri
karena terburu-buru ingin menyambut Hiyoshi.
"Apa yang akan kaulakukan sekarang?" tanya
Onaka. "Jangan berdiri seperti patung, cepat masuk."
Ia meraih tangan Hiyoshi, tapi anaknya itu
menggelengkan kepala.
"Tidak, aku harus segera pergi lagi. Kalau aku
sempat tidur di rumah ini, biar hanya untuk satu
malam, aku takkan tega meninggalkan Ibu."
Meski Onaka tidak menginginkan Hiyoshi kembali
ke rumah mereka yang terus dilanda kemiskinan, ia
pun tak sampai hati membiarkannya langsung kembali
ke kegelapan malam. Matanya membuka lebar. "Kau
mau ke mana?" ia ingin tahu.
"Entahlah, tapi kali ini aku akan bekerja untuk
seorang samurai. Dengan demikian, kalian berdua tak
perlu cemas memikirkanku."
"Bekerja untuk samurai?" bisik Onaka.
"Ibu bilang Ibu tak ingin aku menjadi samurai, tapi
itulah cita-citaku. Pamanku di Yabuyama juga bilang
begitu. Menurut dia, sekaranglah waktunya."
"Wah, kau harus bicarakan ini dengan ayah tirimu."
"Aku tidak sudi bertemu dengannya," balas Hiyoshi
sambil menggeleng.
"Sebaiknya Ibu melupakan aku untuk sepuluh
tahun mendatang. Kak, tidak baik kalau Kakak tidak
menikah. Tapi jangan terburu-buru, ya? Kalau aku
sudah menjadi orang besar, aku akan membelikan
pakaian sutra untuk ibu kita, dan untuk
pernikahanmu aku akan menyediakan selempang kain
satin."
Kedua perempuan itu menangis karena Hiyoshi
sudah cukup dewasa untuk mengucapkan hal-hal
seperti itu. Hati mereka menyerupai danau air mata
yang siap menenggelamkan tubuh mereka.
"Ibu, ini dua takar garam yang kuterima sebagai
upah di toko tembikar. Aku mendapatkannya dengan
bekerja selama dua tahun. Kak, tolong bawakan ke
dapur." Hiyoshi meletakkan kantong garamnya.
"Terima kasih," ujar ibunya sambil membungkuk ke
arah kantong itu.
"Garam ini kauperoleh dengan merantau untuk
pertama kali."
Hiyoshi merasa puas. Ketika menatap wajah ibunya
yang bahagia, ia pun merasa seakan berada di awang-
awang. Ia bersumpah bahwa di masa mendatang ia
akan membuat ibunya lebih bahagia lagi. Jadi, itu
kuncinya!
Garam ini milik keluargaku, pikir Hiyoshi. Bukan,
bukan hanya milik keluargaku, tapi milik seluruh desa.
Bukan, garam ini milik seluruh dunia.
"Kurasa masih lama lagi aku baru akan kembali ke
sini," kata Hiyoshi sambil mundur ke pintu keluar,
namun pandangannya tidak terlepas dari Onaka dan
Otsumi. Satu kakinya sudah berada di ambang pintu
ketika Otsumi tiba-tiba membungkuk ke depan dan
berseru, "Tunggu, Hiyoshi! Tunggu." Kemudian ia
berpaling pada ibunya. "Uang yang Ibu ceritakan tadi.
Aku tidak membutuhkannya. Aku tidak mau
menikah, jadi lebih baik diberikan saja pada Hiyoshi."
Sambil berusaha menahan tangis, Onaka
mengambil uang itu dan menyerahkannya kepada
Hiyoshi yang menatap mereka dan berkata, "Tidak,
aku tidak memerlukan uang ini." Ia menyodorkan
keping-keping itu ke hadapan ibunya.
Otsumi, dengan keprihatinan seorang kakak,
bertanya, "Apa yang akan kaulakukan di dunia luar
tanpa uang?"
"Ibu, daripada ini, maukah Ibu memberikan pedang
yang dulu dipakai Ayah, pedang yang dipesan oleh
Kakek?"
Ibunya bereaksi seakan-akan dadanya ditusuk. Ia
berkata, "Dengan uang, kau bisa menyambung hidup.
Tolong jangan tanyakan lagi pedang itu."
"Pedang itu sudah tidak ada?" tanya Hiyoshi.
"Ah... tidak." Dengan getir ibunya mengakui bahwa
pedang itu sudah lama dijual untuk membayar utang
Chikuami di kedai sake.
"Hmm, tidak apa-apa. Pedang berkarat di gudang
masih ada, bukan?"
"Ya... kalau kau memang menginginkannya."
"Ibu tidak keberatan aku membawa pedang itu?"
Meski berusaha menjaga perasaan ibunya, Hiyoshi
tetap berkeras. la masih ingat betapa ia menginginkan
pedang itu ketika ia berusia enam tahun, dan
bagaimana ia membuat ibunya menangis. Kini ia telah
bertekad untuk menjadi apa yang ingin dicegah oleh
ibunya—seorang samurai.
"Oh, baiklah, bawa saja. Tapi, Hiyoshi, jangan
sekali-kali kaucabut pedang itu dari sarungnya kalau
menghadapi orang lain. Otsumi, tolong ambilkan."
"Biar aku saja yang mengambilnya."
Hiyoshi berlari ke gudang. Ia menurunkan pedang
dari balok kayu tempat senjata itu tergantung. Ketika
memasangnya di pinggang, ia teringat bocah berusia
enam tahun yang berurai air mata, bertahun-tahun
lalu. Pada detik ini, ia merasa dirinya telah dewasa.
"Hiyoshi, Ibu mencarimu," kata Otsumi sambil
mengintip ke dalam gudang.
Onaka telah memasang sebatang lilin di altar kecil
di atas rak. Ia meletakkan beberapa butir beras dan
segenggam garam yang dibawa Hiyoshi ke dalam
piring kayu kecil. Kemudian ia merapatkan tangannya
untuk berdoa.
Hiyoshi masuk, dan Onaka menyuruhnya duduk. Ia
mengambil pisau cukur dari altar. Hiyoshi
membelalakkan mata. "Apa yang akan kita lakukan?"
tanyanya.
"Kita akan melaksanakan upacara akil balig. Meski
tak sanggup melakukannya secara resmi, kita tetap
akan merayakan keberangkatanmu ke dunia luar.
Ia mengerik bagian depan kepala Hiyoshi.
Kemudian ia merendam beberapa batang jerami di
dalam air dan mengikat rambut anaknya ke belakang.
Hiyoshi tak pernah melupakan pengalaman ini. Dan
walaupun kekasaran kulit tangan ibunya ketika
mengusap pipi dan telinganya membuatnya sedih, ada
perasaan lain yang timbul di hatinya. Kini aku sama
seperti semua orang, ia berkata dalam hati. Dewasa.
Ia mendengar gonggongan anjing tersesat. Pada
malam hari, di sebuah negeri yang dilanda perang
saudara, satu-satunya yang bertambah keras adalah
gonggongan anjing. Hiyoshi melangkah keluar.
"Baiklah, aku berangkat." Ia tak sanggup berkata
apa-apa lagi, biarpun sekadar, "Jaga diri baik-baik"—
tenggorokannya bagai tersumbat.
Ibunya membungkuk dalam-dalam di depan altar.
Otsumi, dengan Kochiku yang sedang menangis
dalam pelukannya, berlari menyusul adiknya.
"Selamat tinggal," ujar Hiyoshi. Ia tidak menoleh ke
belakang. Sosoknya semakin kecil, sampai akhirnya
lenyap dari pandangan. Mungkin karena teramat
dingin, malam itu cerah sekali.

You might also like