Professional Documents
Culture Documents
***
***
***
Malam telah larut.
Kochiku, yang sering sakit-sakitan, sedang
menderita penyakit kanak-kanak dan menangis
hampir tanpa henti. la dibaringkan di tempat tidur
jerami, dan akhirnya berhenti menyusu.
"Kalau Ibu bangun, Ibu akan mati beku, udaranya
terlalu dingin,"
Otsumi berkata pada ibunya. "Lebih baik Ibu tidur
saja."
"Bagaimana Ibu bisa tidur kalau ayahmu belum
pulang?"
Onaka bangun, kemudian ia dan Otsumi duduk di
depan perapian dan menyelesaikan pekerjaan-
pekerjaan yang belum rampung.
"Sedang apa dia? Apa dia tidak pulang lagi malam
ini?"
"Ya, sekarang Tahun Baru."
"Tapi tak seorang pun di rumah ini—terutama Ibu—
sempat merayakan nya, biar hanya dengan sepotong
kue beras. Dan sepanjang waktu kita harus bekerja
sambil kedinginan seperti ini."
"Hmm, laki-laki punya hiburan tersendiri."
"Dia tidak pernah bekerja. Dia hanya minum sake.
Dan kalau dia pulang, dia terus bersikap kasar pada
Ibu. Aku dongkol sekali."
Gadis seusia Otsumi biasanya sudah memikirkan
pernikahan, tapi ia tidak mau meninggalkan ibunya.
Ia mengetahui masalah keuangan mereka, dan dalam
mimpi pun ia tak pernah membayangkan gincu
maupun pupur—apalagi baju Tahun Baru.
"Jangan bicara seperti itu," ujar Onaka. Matanya
berkaca-kaca. "Ayahmu memang tak bisa diandalkan,
tapi Hiyoshi akan menjadi orang terhormat suatu hari
nanti. Kita akan mendapatkan suami yang baik
untukmu, walaupun ibumu sendiri kurang beruntung
dalam memilih suami."
"Ibu, aku tidak mau menikah. Aku ingin tinggal
bersama Ibu selamanya."
"Tidak baik bagi perempuan untuk hidup seperti
itu. Chikuami tidak tahu ini, tapi waktu Yaemon
terluka, kami menyisihkan setali uang yang kami
terima dari majikannya, untuk membiayai per-
nikahanmu. Dan aku mengumpulkan lebih dari tujuh
bal sutra sisa untuk menenun kimono untukmu."
"Ibu, sepertinya ada yang datang."
"Ayahmu?"
Otsumi menjulurkan leher untuk melihat siapa
orangnya. "Bukan."
"Kalau begitu, siapa?"
"Aku tidak tahu. Jangan bersuara." Otsumi menelan
ludah, tiba-tiba merasa gelisah.
"Ibu, Ibu di rumah?" Hiyoshi bertanya dari
kegelapan. Ia berdiri tanpa bergerak.
"Hiyoshi?"
"He-eh."
"Malam-malam begini?"
"Aku diberhentikan dari toko tembikar."
"Diberhentikan?"
"Maafkan aku. Ibu, maafkan aku," Hiyoshi tersedu-
sedu.
Onaka dan Otsumi nyaris tersandung kaki sendiri
karena terburu-buru ingin menyambut Hiyoshi.
"Apa yang akan kaulakukan sekarang?" tanya
Onaka. "Jangan berdiri seperti patung, cepat masuk."
Ia meraih tangan Hiyoshi, tapi anaknya itu
menggelengkan kepala.
"Tidak, aku harus segera pergi lagi. Kalau aku
sempat tidur di rumah ini, biar hanya untuk satu
malam, aku takkan tega meninggalkan Ibu."
Meski Onaka tidak menginginkan Hiyoshi kembali
ke rumah mereka yang terus dilanda kemiskinan, ia
pun tak sampai hati membiarkannya langsung kembali
ke kegelapan malam. Matanya membuka lebar. "Kau
mau ke mana?" ia ingin tahu.
"Entahlah, tapi kali ini aku akan bekerja untuk
seorang samurai. Dengan demikian, kalian berdua tak
perlu cemas memikirkanku."
"Bekerja untuk samurai?" bisik Onaka.
"Ibu bilang Ibu tak ingin aku menjadi samurai, tapi
itulah cita-citaku. Pamanku di Yabuyama juga bilang
begitu. Menurut dia, sekaranglah waktunya."
"Wah, kau harus bicarakan ini dengan ayah tirimu."
"Aku tidak sudi bertemu dengannya," balas Hiyoshi
sambil menggeleng.
"Sebaiknya Ibu melupakan aku untuk sepuluh
tahun mendatang. Kak, tidak baik kalau Kakak tidak
menikah. Tapi jangan terburu-buru, ya? Kalau aku
sudah menjadi orang besar, aku akan membelikan
pakaian sutra untuk ibu kita, dan untuk
pernikahanmu aku akan menyediakan selempang kain
satin."
Kedua perempuan itu menangis karena Hiyoshi
sudah cukup dewasa untuk mengucapkan hal-hal
seperti itu. Hati mereka menyerupai danau air mata
yang siap menenggelamkan tubuh mereka.
"Ibu, ini dua takar garam yang kuterima sebagai
upah di toko tembikar. Aku mendapatkannya dengan
bekerja selama dua tahun. Kak, tolong bawakan ke
dapur." Hiyoshi meletakkan kantong garamnya.
"Terima kasih," ujar ibunya sambil membungkuk ke
arah kantong itu.
"Garam ini kauperoleh dengan merantau untuk
pertama kali."
Hiyoshi merasa puas. Ketika menatap wajah ibunya
yang bahagia, ia pun merasa seakan berada di awang-
awang. Ia bersumpah bahwa di masa mendatang ia
akan membuat ibunya lebih bahagia lagi. Jadi, itu
kuncinya!
Garam ini milik keluargaku, pikir Hiyoshi. Bukan,
bukan hanya milik keluargaku, tapi milik seluruh desa.
Bukan, garam ini milik seluruh dunia.
"Kurasa masih lama lagi aku baru akan kembali ke
sini," kata Hiyoshi sambil mundur ke pintu keluar,
namun pandangannya tidak terlepas dari Onaka dan
Otsumi. Satu kakinya sudah berada di ambang pintu
ketika Otsumi tiba-tiba membungkuk ke depan dan
berseru, "Tunggu, Hiyoshi! Tunggu." Kemudian ia
berpaling pada ibunya. "Uang yang Ibu ceritakan tadi.
Aku tidak membutuhkannya. Aku tidak mau
menikah, jadi lebih baik diberikan saja pada Hiyoshi."
Sambil berusaha menahan tangis, Onaka
mengambil uang itu dan menyerahkannya kepada
Hiyoshi yang menatap mereka dan berkata, "Tidak,
aku tidak memerlukan uang ini." Ia menyodorkan
keping-keping itu ke hadapan ibunya.
Otsumi, dengan keprihatinan seorang kakak,
bertanya, "Apa yang akan kaulakukan di dunia luar
tanpa uang?"
"Ibu, daripada ini, maukah Ibu memberikan pedang
yang dulu dipakai Ayah, pedang yang dipesan oleh
Kakek?"
Ibunya bereaksi seakan-akan dadanya ditusuk. Ia
berkata, "Dengan uang, kau bisa menyambung hidup.
Tolong jangan tanyakan lagi pedang itu."
"Pedang itu sudah tidak ada?" tanya Hiyoshi.
"Ah... tidak." Dengan getir ibunya mengakui bahwa
pedang itu sudah lama dijual untuk membayar utang
Chikuami di kedai sake.
"Hmm, tidak apa-apa. Pedang berkarat di gudang
masih ada, bukan?"
"Ya... kalau kau memang menginginkannya."
"Ibu tidak keberatan aku membawa pedang itu?"
Meski berusaha menjaga perasaan ibunya, Hiyoshi
tetap berkeras. la masih ingat betapa ia menginginkan
pedang itu ketika ia berusia enam tahun, dan
bagaimana ia membuat ibunya menangis. Kini ia telah
bertekad untuk menjadi apa yang ingin dicegah oleh
ibunya—seorang samurai.
"Oh, baiklah, bawa saja. Tapi, Hiyoshi, jangan
sekali-kali kaucabut pedang itu dari sarungnya kalau
menghadapi orang lain. Otsumi, tolong ambilkan."
"Biar aku saja yang mengambilnya."
Hiyoshi berlari ke gudang. Ia menurunkan pedang
dari balok kayu tempat senjata itu tergantung. Ketika
memasangnya di pinggang, ia teringat bocah berusia
enam tahun yang berurai air mata, bertahun-tahun
lalu. Pada detik ini, ia merasa dirinya telah dewasa.
"Hiyoshi, Ibu mencarimu," kata Otsumi sambil
mengintip ke dalam gudang.
Onaka telah memasang sebatang lilin di altar kecil
di atas rak. Ia meletakkan beberapa butir beras dan
segenggam garam yang dibawa Hiyoshi ke dalam
piring kayu kecil. Kemudian ia merapatkan tangannya
untuk berdoa.
Hiyoshi masuk, dan Onaka menyuruhnya duduk. Ia
mengambil pisau cukur dari altar. Hiyoshi
membelalakkan mata. "Apa yang akan kita lakukan?"
tanyanya.
"Kita akan melaksanakan upacara akil balig. Meski
tak sanggup melakukannya secara resmi, kita tetap
akan merayakan keberangkatanmu ke dunia luar.
Ia mengerik bagian depan kepala Hiyoshi.
Kemudian ia merendam beberapa batang jerami di
dalam air dan mengikat rambut anaknya ke belakang.
Hiyoshi tak pernah melupakan pengalaman ini. Dan
walaupun kekasaran kulit tangan ibunya ketika
mengusap pipi dan telinganya membuatnya sedih, ada
perasaan lain yang timbul di hatinya. Kini aku sama
seperti semua orang, ia berkata dalam hati. Dewasa.
Ia mendengar gonggongan anjing tersesat. Pada
malam hari, di sebuah negeri yang dilanda perang
saudara, satu-satunya yang bertambah keras adalah
gonggongan anjing. Hiyoshi melangkah keluar.
"Baiklah, aku berangkat." Ia tak sanggup berkata
apa-apa lagi, biarpun sekadar, "Jaga diri baik-baik"—
tenggorokannya bagai tersumbat.
Ibunya membungkuk dalam-dalam di depan altar.
Otsumi, dengan Kochiku yang sedang menangis
dalam pelukannya, berlari menyusul adiknya.
"Selamat tinggal," ujar Hiyoshi. Ia tidak menoleh ke
belakang. Sosoknya semakin kecil, sampai akhirnya
lenyap dari pandangan. Mungkin karena teramat
dingin, malam itu cerah sekali.