Professional Documents
Culture Documents
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. NAPZA
2.1.1. Pengertian NAPZA
NAPZA adalah singkatan dari narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif
lainnya, meliputi zat alami atau sintetis yang bila dikonsumsi menimbulkan
perubahan fungsi fisik dan psikis, serta menimbulkan ketergantungan (BNN, 2004).
NAPZA adalah zat yang memengaruhi struktur atau fungsi beberapa bagian
tubuh orang yang mengonsumsinya. Manfaat maupun risiko penggunaan NAPZA
bergantung pada seberapa banyak, seberapa sering, cara menggunakannya, dan
bersamaan dengan obat atau NAPZA lain yang dikonsumsi (Kemenkes RI, 2010).
2.1.2. JenisJenis NAPZA
NAPZA dibagi dalam 3 jenis, yaitu narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif
lainnya. Tiap jenis dibagi-bagi lagi ke dalam beberapa kelompok.
1. Narkotika
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman,
baik sintetis maupun bukan sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau
perubahan kesadaran dan hilangnya rasa. Zat ini dapat mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan.
Narkotika memiliki daya adiksi (ketagihan) yang sangat berat. Narkotika juga
memiliki daya toleran (penyesuaian) dan daya habitual (kebiasaan) yang sangat
tinggi. Ketiga sifat narkotika inilah yang menyebabkan pemakai narkotika tidak dapat
lepas dari cengkraman-nya.
Berdasarkan Undang-Undang No.35 Tahun 2009, jenis narkotika dibagi ke
dalam 3 kelompok, yaitu narkotika golongan I, golongan II, dan golongan III.
a. Narkotika golongan I adalah : narkotika yang paling berbahaya. Daya adiktifnya
sangat tinggi. Golongan ini tidak boleh digunakan untuk kepentingan apapun,
kecuali untuk penelitian atau ilmu pengetahuan. Contohnya ganja, heroin, kokain,
morfin, opium, dan lain-lain.
b. Narkotika golongan II adalah : narkotika yang memiliki daya adiktif kuat, tetapi
bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian. Contohnya adalah petidin dan
turunannya, benzetidin, betametadol, dan lain-lain.
c. Narkotika golongan III adalah : narkotika yang memiliki daya adiktif ringan, tetapi
bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian. Contohnya adalah kodein dan
turunannya.
2. Psikotropika
Psikotropika adalah zat atau obat bukan narkotika, baik alamiah maupun
sintetis, yang memiliki khasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan
saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas normal dan perilaku.
Psikotropika adalah obat yang digunakan oleh dokter untuk mengobati gangguan jiwa
(psyche).
Berdasarkan
Undang-Undang
No.5
tahun
1997,
psikotropika
dapat
Golongan I adalah : psikotropika dengan daya adiktif yang sangat kuat, belum
diketahui manfaatnya untuk pengobatan, dan sedang diteliti khasiatnya.
Contohnya adalah MDMA, ekstasi, LSD, dan STP.
b.
Golongan II adalah : psikotropika dengan daya adiktif kuat serta berguna untuk
pengobatan dan penelitian. Contohnya adalah amfetamin, metamfetamin,
metakualon, dan sebagainya.
c.
Golongan III adalah : psikotropika dengan daya adiksi sedang serta berguna
untuk pengobatan dan penelitian. Contohnya adalah lumibal, buprenorsina,
fleenitrazepam, dan sebagainya.
d.
Rokok
b.
c.
Thinner dan zat-zat lain, seperti lem kayu, penghapus cair, aseton, cat, bensin,
yang bila dihisap, dihirup, dan dicium, dapat memabukkan.
Jadi, alkohol, rokok, serta zat-zat lain yang memabukkan dan menimbulkan
b.
sebenarnya
dihentikan, timbul gejala sakit. Hal ini disebut gejala putus zat (sakaw). Gejalanya
bergantung pada jenis zat yang digunakan.
Orang pun mencoba mencampur berbagai jenis NAPZA agar dapat merasakan
pengaruh zat yang diinginkan, dengan risiko meningkatnya kerusakan organ-organ
tubuh.
Gejala lain ketergantungan adalah toleransi, suatu keadaan di mana jumlah
NAPZA yang dikonsumsi tidak lagi cukup untuk menghasilkan pengaruh yang sama
seperti yang dialami sebelumnya. Oleh karena itu, jumlah yang diperlukan
meningkat. Jika jumlah NAPZA yang dipakai berlebihan (overdosis), dapat terjadi
kematian (Harlina, 2008).
2.1.5. Faktor Risiko Penyalahgunaan NAPZA
Menurut
Soetjiningsih
(2004),
faktor
risiko
yang
menyebabkan
2. Lingkungan Keluarga
Pola asuh dalam keluarga sangat besar pengaruhnya terhadap penyalahgunaan
NAPZA. Pola asuh orang tua yang demokratis dan terbuka mempunyai risiko
penyalahgunaan NAPZA lebih rendah dibandingkan dengan pola asuh orang tua
dengan disiplin yang ketat.
Fakta berbicara bahwa tidak semua keluarga mampu menciptakan
kebahagiaan bagi semua anggotanya. Banyak keluarga mengalami problem-problem
tertentu. Salah satunya ketidakharmonisan hubungan keluarga. Banyak keluarga
berantakan yang ditandai oleh relasi orangtua yang tidak harmonis dan matinya
komunikasi antara mereka.
Ketidakharmonisan yang terus berlanjut sering berakibat perceraian. Kalau
pun keluarga ini tetap dipertahankan, maka yang ada sebetulnya adalah sebuah rumah
tangga yang tidak akrab dimana anggota keluarga tidak merasa betah. Orangtua
sering minggat dari rumah atau pergi pagi dan pulang hingga larut malam. Ke mana
anak harus berpaling? Kebanyakan diantara penyalahguna NAPZA mempunyai
hubungan yang biasa-biasa saja dengan orang tuanya. Mereka jarang menghabiskan
waktu luang dan bercanda dengan orang tuanya (Jehani, dkk, 2006).
3. Pergaulan (Teman Sebaya)
Di dalam mekanisme terjadinya penyalahgunaan NAPZA, teman kelompok
sebaya (peer group) mempunyai pengaruh yang dapat mendorong atau mencetuskan
penyalahgunaan NAPZA pada diri seseorang. Menurut Hawari (2006) perkenalan
pertama dengan NAPZA justru datangnya dari teman kelompok. Pengaruh teman
kelompok ini dapat menciptakan keterikatan dan kebersamaan, sehingga yang
bersangkutan sukar melepaskan diri. Pengaruh teman kelompok ini tidak hanya pada
saat perkenalan pertama dengan NAPZA, melainkan juga menyebabkan seseorang
tetap menyalahgunakan NAPZA, dan yang menyebabkan kekambuhan (relapse).
Bila hubungan orangtua dan anak tidak baik, maka anak akan terlepas ikatan
psikologisnya dengan orangtua dan anak akan mudah jatuh dalam pengaruh teman
kelompok. Berbagai cara teman kelompok ini memengaruhi si anak, misalnya dengan
cara membujuk, ditawari bahkan sampai dijebak dan seterusnya sehingga anak turut
menyalahgunakan NAPZA dan sukar melepaskan diri dari teman kelompoknya.
Marlatt dan Gordon (1980) dalam penelitiannya terhadap para penyalahguna
NAPZA yang kambuh, menyatakan bahwa mereka kembali kambuh karena ditawari
oleh teman-temannya yang masih menggunakan NAPZA (mereka kembali bertemu
dan bergaul). Kondisi pergaulan sosial dalam lingkungan yang seperti ini merupakan
kondisi yang dapat menimbulkan kekambuhan. Proporsi pengaruh teman kelompok
sebagai penyebab kekambuhan dalam penelitian tersebut mencapai 34%.
4. Karakteristik Individu
a. Umur
Berdasarkan penelitian, kebanyakan penyalahguna NAPZA adalah mereka
yang termasuk kelompok remaja. Pada umur ini secara kejiwaan masih sangat labil,
mudah terpengaruh oleh lingkungan, dan sedang mencari identitas diri serta senang
c. Pekerjaan
Hasil studi BNN dan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia tahun
2009 di kalangan pekerja di Indonesia diperoleh data bahwa penyalahguna NAPZA
tertinggi pada karyawan swasta dengan prevalensi 68%, PNS/TNI/POLRI dengan
prevalensi 13%, dan karyawan BUMN dengan prevalensi 11% (BNN, 2010).
2.1.6. Dampak Penyalahgunaan NAPZA
1. Terhadap kondisi fisik
a. Akibat zat itu sendiri
Termasuk di sini gangguan mental organik akibat zat, misalnya intoksikasi
yaitu suatu perubahan mental yang terjadi karena dosis berlebih yang memang
diharapkan oleh pemakaiannya. Sebaliknya bila pemakaiannya terputus akan terjadi
kondisi putus zat.
Contohnya :
a.1. Ganja : pemakaian lama menurunkan daya tahan sehingga mudah terserang
infeksi. Ganja juga memperburuk aliran darah koroner.
a.2. Kokain : bisa terjadi aritmia jantung, ulkus atau perforasi sekat hidung, jangka
panjang terjadi anemia dan turunnya berat badan.
a.3. Alkohol : menimbulkan banyak komplikasi, misalnya : gangguan lambung,
kanker usus, gangguan hati, gangguan pada otot jantung dan saraf, gangguan
metabolisme, cacat janin dan gangguan seksual.
b. Akibat bahan campuran/pelarut : bahaya yang mungkin timbul : infeksi, emboli.
NAPZA yang kambuh kembali adalah dengan melakukan pendampingan yang dapat
membantunya untuk mengatasi masalah perilaku adiksinya, detoksifikasi, maupun
dengan melakukan rehabilitasi kembali.
2.1.8 Terapi dan Rehabilitasi
1. Terapi
Terapi pengobatan bagi klien NAPZA misalnya dengan detoksifikasi.
Detoksifikasi adalah upaya untuk mengurangi atau menghentikan gejala putus zat,
dengan dua cara yaitu:
a. Detoksifikasi Tanpa Subsitusi
Klien ketergantungan putau (heroin) yang berhenti menggunakan zat yang
mengalami gajala putus zat tidak diberi obat untuk menghilangkan gejala putus zat
tersebut. Klien hanya dibiarkan saja sampai gejala putus zat tersebut berhenti sendiri.
b. Detoksifikasi dengan Substitusi
Putau atau heroin dapat disubstitusi dengan memberikan jenis opiat misalnya
kodein, bufremorfin, dan metadon. Substitusi bagi pengguna sedatif-hipnotik dan
alkohol dapat dari jenis anti ansietas, misalnya diazepam. Pemberian substitusi adalah
dengan cara penurunan dosis secara bertahap sampai berhenti sama sekali. Selama
pemberian substitusi dapat juga diberikan obat yang menghilangkan gejala
simptomatik, misalnya obat penghilang rasa nyeri, rasa mual, dan obat tidur atau
sesuai dengan gejala yang ditimbulkan akibat putus zat tersebut (Purba, 2008).
2. Rehabilitasi
Yang dimaksud dengan rehabilitasi adalah upaya memulihkan dan
mengembalikan kondisi para mantan penyalahguna NAPZA kembali sehat dalam arti
sehat fisik, psikologik, sosial, dan spiritual. Dengan kondisi sehat tersebut diharapkan
mereka akan mampu kembali berfungsi secara wajar dalam kehidupannya sehari-hari.
Menurut Hawari (2006) jenis-jenis rehabilitasi antara lain :
a. Rehabilitasi Medik
Dengan rehabilitasi medik ini dimaksudkan agar mantan penyalahguna
NAPZA benar-benar sehat secara fisik. Termasuk dalam program rehabilitasi medik
ini ialah memulihkan kondisi fisik yang lemah, tidak cukup diberikan gizi makanan
yang bernilai tinggi, tetapi juga kegiatan olahraga yang teratur disesuaikan dengan
kemampuan masing-masing yang bersangkutan.
b. Rehabilitasi Psikiatrik
Rehabilitasi psikiatrik ini dimaksudkan agar peserta rehabilitasi yang semula
bersikap dan bertindak antisosial dapat dihilangkan, sehingga mereka dapat
bersosialisasi dengan baik dengan sesama rekannya maupun personil yang
membimbing atau mengasuhnya.
Termasuk rehabilitasi psikiatrik ini adalah psikoterapi/konsultasi keluarga
yang dapat dianggap sebagai rehabilitasi keluarga terutama bagi keluarga-keluarga
broken home. Konsultasi keluarga ini penting dilakukan agar keluarga dapat
memahami aspek-aspek kepribadian anaknya yang terlibat penyalahgunaan NAPZA,
bagaimana cara menyikapinya bila kelak ia telah kembali ke rumah dan upaya
pencegahan agar tidak kambuh.
c. Rehabilitasi Psikososial
Dengan rehabilitasi psikososial ini dimaksudkan agar peserta rehabilitasi
dapat kembali adaptif bersosialisasi dalam lingkungan sosialnya, yaitu di rumah, di
sekolah/kampus dan di tempat kerja. Program ini merupakan persiapan untuk kembali
ke masyarakat. Oleh karena itu, mereka perlu dibekali dengan pendidikan dan
keterampilan misalnya berbagai kursus ataupun balai latihan kerja yang dapat
diadakan di pusat rehabilitasi. Dengan demikian diharapkan bila mereka telah selesai
menjalani program rehabilitasi dapat melanjutkan kembali ke sekolah/kuliah atau
bekerja.
d. Rehabilitasi Psikoreligius
Rehabilitasi psikoreligius memegang peranan penting. Unsur agama dalam
rehabilitasi bagi para pasien penyalahguna NAPZA mempunyai arti penting dalam
mencapai penyembuhan. Unsur agama yang mereka terima akan memulihkan dam
memperkuat rasa percaya diri, harapan dan keimanan. Pendalaman, penghayatan dan
pengamalan keagamaan atau keimanan ini akan menumbuhkan kekuatan kerohanian
pada diri seseorang sehingga mampu menekan risiko seminimal mungkin terlibat
kembali dalam penyalahgunaan NAPZA.
e. Forum Silaturahmi
Forum silaturahmi merupakan program lanjutan (pasca rehabilitasi) yaitu
program atau kegiatan yang dapat diikuti oleh mantan penyalahguna NAPZA (yang
telah selesai menjalani tahapan rehabilitasi) dan keluarganya. Tujuan yang hendak
dicapai dalam forum silaturahmi ini adalah untuk memantapkan terwujudnya rumah
tangga/keluarga sakinah yaitu keluarga yang harmonis dan religius, sehingga dapat
memperkecil kekambuhan penyalahgunaan NAPZA.
f. Program Terminal
Pengalaman menunjukkan bahwa banyak dari mereka sesudah menjalani
program rehabilitasi dan kemudian mengikuti forum silaturahmi, mengalami
kebingungan untuk program selanjutnya. Khususnya bagi pelajar dan mahasiswa
yang karena keterlibatannya pada penyalahgunaan NAPZA di masa lalu terpaksa
putus sekolah menjadi pengangguran; perlu menjalani program khusus yang
dinamakan program terminal (re-entry program), yaitu program persiapan untuk
kembali melanjutkan sekolah/kuliah atau bekerja.
Skinner
Organisme
Respon, sehingga
2.
Pengetahuan (Knowledge)
Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang
terhadap objek melalui indra yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan
sebagainya).
2.
Sikap (Attitude)
Sikap adalah respons tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu,
yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan.
3.
Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.
Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall)
sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang
telah diterima, oleh sebab itu tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang
paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang
dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefenisikan, menyatakan,
dan sebagainya.
b.
Memahami (comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar
tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut
secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat
menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebgainya
terhadap objek yang dipelajari.
c.
Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami objek yang dimaksud
dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang diketahui tersebut pada
situasi yang lain.
d.
Analisis (analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan atau
memisahkan, kemudian mencari hubungan antara komponen-komponen yang
terdapat dalam suatu masalah atau objek yang diketahui. Indikasi bahwa
pengetahuan seseorang itu sudah sampai pada tingkat analisis adalah apabila
orang tersebut telah dapat membedakan, atau memisahkan, mengelompokkan,
membuat diagram terhadap pengetahuan atas objek tersebut.
e.
Sintesis (synthesis)
Sintesis menunjukkan suatu kemampuan seseorang untuk merangkum atau
meletakkan dalam satu hubungan yang logis dari komponen-komponen
pengetahuan yang dimiliki. Dengan kata lain, sintesis adalah suatu kemampuan
untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang telah ada.
f.
Evaluasi
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan justifikasi
atau penilaian terhadap suatu objek tertentu. Penilaian ini dengan sendirinya
didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau norma-norma yang
berlaku di masyarakat.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket
yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau
responden. Pengetahuan menjadi landasan penting untuk menentukan suatu tindakan.
Pengetahuan, sikap dan perilaku akan kesehatan merupakan faktor yang menentukan
dalam mengambil suatu keputusan (Notoatmodjo, 2003).
2.2.4. Konsep Sikap
Sikap merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap
suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap itu tidak dapat langsung dilihat, tetapi
hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata
menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu
(Notoatmodjo, 2007).
Menerima (Receiving)
Menerima diartikan, bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus
yang diberikan (objek).
2.
Merespon (Responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas
yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha
untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, lepas
pekerjaan itu benar atau salah, berarti orang menerima ide tersebut.
3.
Menghargai (Voluing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang lain
terhadap suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.
4.
1. Persepsi (perception)
Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan
diambil adalah merupakan praktik tingkat pertama.
2. Respons terpimpin (guided response)
Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan
contoh adalah merupakan indikator praktik tingkat dua.
3. Mekanisme (mecanism)
Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis,
atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah mencapai praktik
tingkat tiga.
4. Adopsi (adoption)
Adaptasi adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik.
Artinya tindakan itu sudah dimodifikasikannya tanpa mengurangi kebenaran
tindakan tersebut.
2.3. Motivasi
2.3.1. Pengertian Motivasi
Motivasi adalah daya pendorong yang mengakibatkan seseorang mau dan rela
untuk mengerahkan kemampuan dalam bentuk keahlian atau keterampilan untuk
menyelenggarakan berbagai kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya dan
menunaikan kewajibannya dalam rangka pencapaian tujuan dan berbagai sasaran
yang telah ditentukan sebelumnya (Siagian, 1989).
Sedangkan menurut Daft dan Marcic (2008) motivasi adalah kekuatan yang
membangkitkan semangat dan ketekunan untuk mengejar tindakan tertentu.
2.3.2. Pembagian Motivasi
Ada dua jenis motivasi yaitu:
1. Motivasi Internal
Yaitu motivasi yang berasal dari dalam diri seseorang.
2. Motivasi Eksternal
Yaitu motivasi yang berasal dari luar diri seseorang.
Motivasi pada penyalahguna NAPZA dapat diartikan suatu perilaku
seseorang yang didorong untuk terlepas dari suatu penyakit atau rasa ketergantungan
terhadap NAPZA terutama para remaja yang mengalami masa transisi atau pencarian
identitas diri, dimana mudahnya terpengaruh oleh lingkugan
kelompok yang membawa pengaruh besar terhadap remaja tersebut untuk ke arah
yang negatif, begitupun sebaliknya (Iryani, 2007).
Ia
melupakan unsur-unsur
penopang keberhasilannya.
Mabuk
Stress. Mungkin mantan penyalahguna NAPZA banyak beban atau juga sering
menyalahkan dirinya sendiri. Semua itu membuatnya stress. Seperti yang pernah
dulu ia alami dan lakukan, setiap kali mengalami masalah, ia lari ke NAPZA. Ia
ingin lari dari kenyataan.
c.
d.
Mereka yang demam obat. Yaitu mereka yang doyan makan obat. Setiap kali
sakit, ia akan memakan obat. Suatu saat nanti ia pasti akan menjadikan NAPZA
sebagai obatnya.
e.
f.
Tidak adanya dukungan atau bimbingan dari keluarga. Hingga saat ini ada
kesalahan yang tak disadari yaitu mereka yang berobat lebih banyak berorientasi
pada pengobatan fisik, sementara kurang dukungan penyembuhan yang berasal
dari keluarga.
keinginan
untuk
bahagia
tapi
tidak
tahu
bagaimana
mewujudkannya.
Tahap ke-6 : Kebingungan dan Reaksi Berlebihan
Bermasalah dalam hal berpikir jernih dan mengelola pikiran, perasaan dan
tindakan. Beberapa gejala sebagai berikut :
a. Kesulitan berpikir jernih - masalah biasanya sederhana namun membingungkan
karena mental yang jatuh dan pemikiran yang tidak terkendali.
b. Kesulitan mengelola perasaan dan emosi - bereaksi berlebihan atau menjadi mati
rasa, pikiran gila.
c. Kesulitan mengingat kesulitan mengingat sesuatu dari masa lalu dan belajar hal
baru yang menjadi suatu tantangan.
d. Kebingungan - tidak tahu apa yang benar atau salah, sehat atau tidak sehat, dan
tidak tahu bagaimana memecahkan masalah.
e. Ketidakmampuan mengelola stress - perasaan mati rasa dan tidak mengakui itu,
merasa kewalahan tanpa alasan, tidak bisa terlepas dari situasi atau lingkungan.
Tahap ke-7 : Depresi
Merasakan bahwa hidup ini tidak layak atau berpikir untuk mengobati diri
sendiri dengan obat - obatan atau alkohol untuk menghindari depresi.
Beberapa gejala sebagai berikut :
a. Makan tidak
makan,
b.
c.
Mengubah gaya hidup penyalahguna NAPZA menjadi gaya hidup sehat, dan
d.
Latihan relaksasi
d) Tidur teratur
e)
Kegiatan rekreasi
3. Pemulihan sosial
a) Menyediakan waktu dengan keluarga dan teman-teman
b) Pergi bersama anggota keluarga
c)
4. Pemulihan rohani
Meningkatkan nilai-nilai moral dan spiritual.
Penyalahguna NAPZA yang telah selesai mengikuti terapi atau rehabilitasi
harus tetap mengikuti program pemulihan dan mengerjakan latihan atau tugas yang
diberikan setiap hari selama sisa hidupnya. Jika tidak, dapat terjadi kekambuhan.
Ada perjanjian antara penyalahguna NAPZA dan tempat terapi atau
rehabilitasi setelah selesai terapi, agar ia mengikuti program rawat lanjut. Ia harus
secara teratur menghadiri pertemuan kelompok pendukung, beroleh dukungan dan
berpartisipasi aktif. Ia harus dilatih cara mengatasi rasa rindu dan mencegah
kekambuhan. Orang tua pun harus memahami masalah itu dan turut membantu anak
mengidentifikasi gejala kekambuhan.
Ada beberapa hal yang perlu dilakukan penyalahguna NAPZA yang sedang
pulih agar tidak kambuh :
a.
b.
c.
d.
menghadapinya
dengan
pendampingan,
menghubugi
kelompok
pendukung sebelum pergi ke tempat itu, dan meninggalkan segera tempat itu.
e.
perlu
terlatih
mengenal
tanda-tanda
peringatan
munculnya
Enabling Factors
- ketersediaan fasilitas
- ketercapaian fasilitas
Non
Perilaku
Masalah
Kesehatan
Perilaku
Reinforcing Factors
- sikap dan perilaku
petugas
- peraturan pemerintah
motivasi, dan agama dan faktor eksternal meliputi lingkungan keluarga, teman
sebaya, masyarakat, dan lingkungan sekolah.
Penelitian ini hanya akan melihat faktor internal yang meliputi umur,
pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, sikap, motivasi, lama pemakaian NAPZA dan
jenis NAPZA yang digunakan dan faktor eksternal meliputi teman sebaya.
Variabel Terikat
Faktor Internal
a. Karakteristik individu :
- Umur
- Pendidikan
- Pekerjaan
b. Pengetahuan
c. Sikap
d. Motivasi
e. Lama pemakaian NAPZA
f. Jenis NAPZA yang digunakan
Kekambuhan
kembali
pasien
penyalahguna
NAPZA di Kabupaten Deli
Serdang Tahun 2012.
Faktor Eksternal
- Teman Sebaya