You are on page 1of 44

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN

DENGAN CEDERA MEDULLA SPINALIS


Disusun untuk Melengkapi tugas
Mata Kuliah Keperawatan Gawat Darurat

Oleh
Rossiane E. Radiena (01.09.00144)
Roswita D. Laak (01.09.00145)
Keperawatan b/VI

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN


CITRA HUSADA MANDIRI KUPANG
PROGRAM STUDI KEPERAWATAN
2012
A. KONSEP DASAR PENYAKIT

1. Pengertian
Menurut Widagdo, 2008 : 209
Cedera medulla spinalis adalah suatu fraktur atau pergeseran
dari satu atau lebih tulang vertebra yang menyebabkan kerusakan
medulla spinalis dan akar-akar saraf sehingga mengakibatkan
defisit neurologi dan perubahan persepsi sensorik atau paralisis
atau keduanya.

2. Etiologi
Menurut Widagdo, 2008 : 210
Cedera medulla spinalis dapat disebabkan oleh:
a. Kecelakaan lalu lintas: mobil, motor, dll
b. Jatuh dari tempat yang tinggi
c. Kecelakaan karena olahraga
d. Luka tusuk atau luka tembak pada daerah vertebra

Mansjoer, 2000: 8-9


Kecelakaan motor, terjatuh, olahraga, kecelakaan industri,
tertembaka peluru dan luka tusuk dapat menyebabkan cedera
medulla spinalis. Sebgaian besar pada medula spinalis servikal
bawah (C4-C7, T1), dan sambungan torakolumbal (T11-T12, L1).
Medulla spinalis torakal jarang terkena.

Menurut Price, 2005: 1177


Penyebab utama cedera adalah akibat kecelakaan mobil, diikuti
oleh cedera karena terjatuh dan cedera olahraga. Kecelakaan
pada olahraga kontak fisik dan menyelam merupakan penyebab
utama kuadripelgia.

3. Patofisiologi/ WOC (terlampir di halaman lain)

4. Manifestasi Klinis
Menurut Widagdo, 2008 : 210-211
a. Pemotongan komplit rangsangan
Secara komplit akan menghambat rangsangan pusat yang lebih
tinggi (otak) menuju medulla spinalis, sehingga mengakibatkan
Spinal Shock. Tanda-tanda dan gejala spinal shock meliputi:
-

Flaccid paralisis dibawah batas luka

Hilangnya sensasi dibawah batas luka

Hilangnya reflek-reflek spinal dibawah batas luka

Hilangnya tonus vasomotor mengakibatkan tidak stabilnya


tekanan darah (lebih rendah)

Tidak adanya keringat dibawah batas luka

Inkontenensia urin dan retensi feses.

Spinal

shock

dapat

berlangsung

beberapa

hari

sampai

beberapa bulan. Jika fungsi di bawah luka tidak kembali,


aktifitas tidak dapat segera kembali. Aktivitas reflek dapat
menjadi meningkat, hal ini mengakibatkan hiperrefleksia atau
spastic paralisis.

b. Pemotongan sebagian rangsangan


-

Tidak semetrisnya flaccid paralisis.

Tidak simetrisnya hilangnya reflek dibawah batas luka

Berkurangnya keterlibatan vasomotor bila dibandingkan


dengan pemotongan komplit rangsangan

Berkurangnya blleder atau bowel yang dipengaruhi

Ketidakmampuan untuk mengeluarkan keringat pada salah


satu sisi tubuh

c. Sindroma cedera medulla spinalis sebagian


a. Sindroma medulla spinalis anterior

Sindroma ini terjadi akibat kompresi medulla spinalis anterior


atau hilangnya darah menuju daerah tersebut
Tanda dan gejala meliputi:

Paralisis di bawah batas luka

Hilangnya sensasi nyeri dan temperatur di bawah


batas luka

Tepat utuhnya sensansi dari sentuhan, pergerakan,


posisi dan vibrasi

b. Sindroma medulla spinalis sentral


Kondisi ini dapat disebabkan oleh cidera hiperektensi atau
kurangnya suplai darah menuju medulla spinalis. Edema
medulla spinalis sentral dan/atau perdarahan yang terjadi
dapat mengakibatkan adanya kelemahan yang lebih besar
pada

bagian

motorik

ekstermitas

atas

dibandingkan

ektermitas bawah

c. Sindroma brown sequard


Cidera dapat memotong medulla spinalis bagian anterior dan
posterior pada satu sisi.
Tanda dan gejalanya:

Ipsilateral paralisis di bawah luka

Ipsilateral hilangnya sentuhan, vibrasi, proprioception


di bawah luka

Kontralateral hilangnya sensasi nyeri dan temperatur

Menurut Smeltzer, 2001: 2221


Jika dalam keadaaan sadar, pasien biasanya mengeluh nyeri
akut di belakang leher, yang menyebar sepanjang saraf yang
terkena. Pasien sering mengatakan takut kalau leher atau
punggungnya patah. Cedera medulla spinal dapat menyebabkan

parapelgia

atau

quadriplegia.

Akibat

dari

cedera

kepala

bergantung pada tingkat cedera pada medulla dan tipe cedera.


Tingkat neourologik yang berhubungan dengan tingkat fungsi
sensori dan motorik bagian bawah yang normal. Tingkat neurologik
bagian bawah mengalami paralisis sensori dan motorik total,
kehilangan kontrol kandung kemih dan usus besar (biasanya
terjadi retensi urin dan distensi kandung kemih, penurunan
keringat dan tonus vasomotor dan penurunan tekanan darah
diawali dengan resistensi vaskuler perifer.
Tipe cedera mengacu pada luasnya cedera medulla spinalis itu
sendiri.
Masalah pernapasan dikaitkan dengan penurunan fungsi
pernapasan, beratnya tergantung pada tingkat cedera. Otot-otot
yang berperan dalam pernapasan adalah abdominal, interkostal
(T1-T11) dan diafragma. Pada cedera medulla servikal tinggi,
kegagalan

pernapasan

akut

merupakan

penyebab

utama

kematian.

5. Komplikasi
Menurut Widagdo, 2008 : 214
a. Autonomic dysreflexia
Salah satu komplikasi trauma medulla spinalis yang paling
ekstrim adalah autonomic dysreflexia. Ini terjadi pada klien
dengan lesi diatas torakal paling umum terjadi pada cideraa
servikal. Tanda-tandanya meliputi:
-

Bradikardi

Hipertensi parokismal

Berkeringat

Goose flesh

Sakit kepala berat

Nasal stuffnes

Penyebab yang paling umum adalah distensi visceral, yang


mana meliputi distensi bllader atau impacted rectum. Ini
merupakan keadaan mendesak yang perlu tindakan segera,
sebab dapat menyebabkan cerebrovaskuler accident (stroke),
kebutaan atau kematian

b. Fungsi seksual
Pada banyak kasus memperlihatkan pada laki-laki adanya
impotensi,

menurunnya

sensasi

dan

kesulitan

ejakulasi.

Lengkungan ereksi di bawah kontrol serabut saraf sensorik dan


parasimpatik, sedangkan ejakulasi diperlukan pengaruh saraf
simpatis dan parasimpatis. Lesi di atas S2 lengkung reflek
parasimpatis masih utuh, klien dapat ereksi tetapi tidak dapat
ejakulasi. Lesi antara S2 dan S4 biasanya akan menghambat
ereksi dan ejakulasi. Pada lesi dengan daerah cedera yang
lebih tinggi, dengan pemotongan komplit pada medulla spinalis
akan mengakibatkan orang tersebut sulit melakukan hubungan
seksual. Wanita dengan cidera medulla spinalis dapat terus
melakukan hubungan seksual meskipun persepsi kenikmatan
seksual biasanya berubah.

Menurut Smeltzer, 2001: 2224-2225


a. Trombosis vena profunda
Trombosis vena profunda (TVP) adalah komplikasi umum
dari imobilitas dan umumnya pada pasien cedera medulla
spinalis. Pasien PVT beresiko mengalami embolisme pulmonal
(EP), satu komplikasi yang mengancam hidup. Manifestasi EP
meliputi nyeri dada pleuritis, cemas, napas pendek, dan nilai
gas darah abnormal (peningkatan PCO2 dan penurunan PO2.
Pengkajian pada paha dan betis dilakukan setiap hari. Pasien
akan dievaluasi adanya TVP, jika hal itu signifikan meningkat di
sekitar salah satu ektermitas. Terapi antikoagulan dosis rendah

biasanya dimulai untuk mencegah PVT dan embolisme


pulmonal sepanjang penggunaan stoking elastis dari paha atas
alat yang menekan pneumatik
b. Komplikasi lain
Selain komplikasi pernapasan (gagal napas, pneumonia) dan
hiperefleksia autonomik (dikarakteriskan oleh sakit kepala
berdenyut,

keringat

banyak,

kongesti

nasal,

piloereksi,

bradikardia, dan hipertensi) komplikasi lain yang terjadi meliputi


dekubitus dan infeksi (infeksi urinarius, pernapasan dan lokal
pada tempat pin)

6. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Smeltzer, 2001: 2221
Pengkajian neurologik yang lengkap perlu dilakukan. Diagnostik
dengan sinar x (sinar x pada spinal servikal lateral dan pemindaian
CT). Suatu riset dilakukan untuk cedera lain karena trauma spinal
sering bersamaan dengan cedera lain, yang biasanya dari kepala
dan dada. Pemantauan EKG kontinue merupakan indikasi karena
bradikardia (pelambatan frekuensi jantung) dan asistole (standstill
jantung) umum terjadi pada cedera servikal akut.

Menurut Doengoes, 1999 :


a. Sinar x spinal : menentukan lokasi dan jenis cedera tulang
(fraktur, dislokasi) untuk kesejajaran, reduksi setelah dilakukan
b. CT scan : menentukan tempat luka/jenis, mengevaluasi
gangguan structural
c. MRI : mengidentifikasi adanya kerusakan saraf spinal, edema
dan kompresi
d. Mielografi : untuk memperlihatkan kolumna spinalis (kanal
vertebra) jika factor patologisnya tidak jelas atau dicurigai
adanya oklusi pada ruang subarrakhnoid medulla spinalis

(biasanya tidak akan dilakukan setelah mengalami luka


penetrasi
e. Foto rontogen torak : memperlihatkan keadaan paru (contoh;
perubahan pada diafragma, atelektasis)
f. Pemeriksaan fungsi paru (kapasitas vital, volume tidal),
mengukur volume inspirasi maksimal atau ekspirasi maksimal
khususnya pada pasie dengan trauma servikal bagian bawah
atau pada trauma torakal dengan gangguan pada saraf
frenikus atau otot intercostals
g. GDA : menunjukkan keefektifan pertukaran gas atau upaya
ventilasi

Menurut Mansjoer, 2000: 9


a. Pemeriksaan neurologik lengkap secara teliti segera setelah
pasien tiba di rumah sakit.
b. Pemeriksaan tulang belakang: deformitas, pembengkakan,
nyeri tekan, gangguan gerakan atau (terutama leher). Jangan
banyak manipulasi tulang belakang.
c. Pemeriksaan radiologis: foto polos vertebra AP dan lateral.
Pada servikal diperlukan proyeksi khusus mulut terbuka
(odontcid). Bila hasil meragukan, lakukan CT scan. Bila
terdapat defisit neurologis, harus dilakukan MRI atau CT
mielografi

7. Penatalaksanaan
Menurut Smeltzer, 2001: 2220-2221
Penatalaksanaan kedaruratan
Penatalaksanaan pasien segera di tempat kejadian adalah sangat
penting,

karena

penatalaksanaan

yang

tidak

tepat

dapat

menyebabkan kerusakan dan kehilangan fungsi neurologik.


Korban

kecelakaan

kendaraan

bermotor

atau

kecelakaan

berkendara, cedera olahraga kontak, jatuh, trauma lansung pada


kepala dan leher harus dipertimbangkan mengalami cedera
emdulla spinalis sampai bukti cedera ini disingkirkan.
-

Di tempat kecelakaan, korban harus dimobilisasi pada papan


spinal (punggung), dengan kepala dan leher dalam posisi netral
utnuk mencegah cedera komplet.

Salah satu anggota tim harus mengontrol kepala pasien untuk


mencegah fleksi, rotasi atau ekstensi kepala

Tangan ditempatkan pada kedua sisi dekat telinga untuk


mempertahankan traksi dan kesejajaran sementara papan
spinal atau alat imobilisasi servikal dipasang

Paling sedikit empat orang harus mengangkat korban dengan


hati-hati ke atas papan untuk memindahkan ke rumah sakit.
Adanya gerakan memuntir, dapat merusak medulla spinalis
ireversibel

yang

menyebabkan

fgramen

tulang

vertebra

terputus, patah, ataumemotong medulla komplet.

Sebaiknya pasien di rujuk ke cedera spinalis regional atau pusat


trauma karena personel multidisiplin dan pelayanan pendukung
dituntut untuk menghadapi perubahan destruktif yang terjadi pada
beberapa jam pertama setelah cedera.

Memindahkan pasien
Selama pengobatan di bagian kedaduratan dan radiologi, pasien
dipertahnkan di atas papan pemindahan. Pemindahan pasien ke
tempat tidur menunjukkkan masalah perawat yang pasti.
-

Pasien harus selalu dipertahankan dalam posisi ekstensi. Tidak


ada bagian tubuh yang terpuntir atau tertekuk, juga tidak boleh
pasien dibiarkan mengambil posisi duduk.

Pasien harus ditempatkan diatas sebuah Stryker atau kerangka


pembalik lain ketika merencanakan pemindahan ke tempat tidur,

selanjutnya, jika sudah terbukti bahwa ini bukan cedera medulla,


pasien dapat dipindahkan ke tempat tidur biasa tanpa bahaya:
sebaliknya kadang-kadang tindakan ini tidak benar. Jika Stryker
atau kerangka pembalik lain tidak tersedia, pasien harus
ditempatkan di atas matras yang padat dengan papan temapat
tidur di bawahnya.

Menurut Smeltzer, 2001: 2221-2224


Penatalaksanaan fase akut
Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mencegah cedera medulla
spinalis lanjut dan mengobservasi gejala penurunan neurologik.
Pasien diresusitasi bila perlu, dan stabilitas oksigenisasi dan
kardiovaskuler dipertahankan
a. Farmakologi
Pemberian

kortikosteroid

dosis

tinggi,

khususnya

metilprednisolon, telah dite,,ukan untuk memperbaiki prognosis


dan mengurangi kecacatan bila diberikan dalam 8 jam cedera.
Dosis pembebanan diikuti dengan infus kontinu telah dikaitkan
dengan perbaikan klinis bermakna untuk pasien dengan cedera
medulla spinalis akut. Yang masih dalam penyelidikan adalah
pengobatan dengan steroid tinggi, mannitol ((diberikan untuk
menurunkan edema) dan dekstran (diberikan untuk mencegah
tekanan darah turun cepat untuk memperbaiki aliran darah
kapiler), diberikan dalam kombinasi nalokson, obat yang telah
menjanjikan dalam mengobati binatang dengan cedera medulla
spinalis,

mempunyai

efek

samping

minimal

dan

dapat

meningkatkan perbaikan neurologik pada manusia.

b. Hipotermia
Keefektifan teknik pendinginan atau penyebaran hipotermia ke
daerah cedera dari medulla spinalis untuk mengatasi kekuatan
autodekstruktif yang mengikuti tipe cedera ini masih diselidiki.

c. Tindakan pernapasan
Oksigen diberikan untuk mempertahankan PO2 arteri tinggi,
karena anoksemia dapat menimbulkan atau memperburuk
defisit

neurologik

medulla

spinalis.

Intubasi

endotrakea

diberikan bila perlu, perawatan ekstrim dilakuakn untuk


menghindari fleksi atau ektensi leher, yang dapat menimbulkan
tekanan pada cedera servikal. Diafragma pancing (stimulasi
listrik terhadap saraf frenik) dapat dipertimbangkan untuk
pasien dengan lesi servikal tinggi tetapi biasanya dlakukan fase
akut.

d. Traksi dan reduksi skelet


Penatalaksanaan

cedera

medulla

spinalis

memerlukan

imobilisasi dan reduksi dislokasi (memperbaiki posisi normal)


dan stabilisasi kolum vertebra
e. Fraktur servikal
Dikurangi dan spinal servikal desejajarkan dengan beberapa
bentuk traksi skelet seperti tong skelet atau calipers, atau
dengan menggunakan alat halo. Berbagai tong skelet tersedia .
semua terlibat dalam fiksasi tengkorak dalam beberapa cara.
Tong Gardner-Wells tidak memerlukan lubang predrilled dalam
tengkorak. Tong Crutchfield dan Vinke dipasang melalui lubang
yang dibuat dengan bor khusus untuk menggunakan anastesi
lokal.
Traksi dipasang pada tong esuai dengan beban berat,
jumlahnya bergantung pada ukuran pasien dan derajat fraktur.
Kekuatan traksi yang diberikan sepanjang sumbu longitudinal
badan vertebra, dengan leher pasien dalam posisi netral.
Kemudian

traksi

ditingkatkan

secara

bertahap

dengan

penambahan beban. Jumlah traksi ditingkatkan, ruang antara


diskus intervertebrata diperluas, dan vertebra diposisikan

kembali. Reduksi biasanya terjadi setelah koreksi kesejajaran


posisi dicapai. Bila reduksi tercapai, yang dipastikan dnegan
film tulang servikal dan pemeriksaan neurologik, beban secara
bertahap dikurangi sampai jumlah berat yang diinginkan untuk
mempertahankan kesejajaran diperoleh. Beban ini harus
bergantung dengan bebas sehingga tidak mempengaruhi
traksi. Pasien ditempatkan pada kerangka Stryker atau
kerangka pembalik lain bila tersedia.
Alat halo dapat digunakan mengawali traksi atau dapat
digunkan setelah melepas tong. Alat ini terbuat dari ring halo
stainless steel yang difiksasi pada tulang tengkorak dengan
empat pin. Cincin dilekatkan pada rompi halo yang dapat
dilepas, yang menyokong beban dari unit yang mengelilingi
anda. Kerangka logam menghubungkan cincin pada dada. Alat
halo memberikan imobilisasi tulang servikal tetapi masih
memungkinkan ambulasi.
Cedera toraks dan lumbal umumnya diatasi melalui intervensi
bedah yang diikuti dengan imobilisasi dengan brace ketat.
Traksi tidak diindikasikan baik pada praoperasi maupun
pascaoperasi..

f. Intervensi pembedahan
Pembedahan diindikasikan bila:

Deformitas pasien tidak dapat dikraugni dengan traksi

Tidak ada kestabilan tulang servikal

Cedera terjadi pada daerah toraks atau lumbal, atau

Status neurologik pasien memburuk. Pembedahan


dilakuakn untuk mengurangi fraktur spinal atau dislokasi
atau dekompresi medulla

g. Laminektomi

(eksisi cabang posterior dan prosessus spinosus vertebra)


diindikasikan pada adanya defisit neurologik progresif, dicurigai
adanya hematoma epidural, atau cedera penetrasi yang
memerlukan debridemen pembedahan, atau memungkinkan
visualisasi langsung dan eksplorasi medulla

Menurut Mansjoer, 2000: 9


a. Lakukan tindakan segera pada cedera medulla spinalis.
Tujuannya adalah mencegah kerusakan lebih lanjut pada
medulla spinalis. Sebagian cdera medulla spinalis diperburuk
oleh penanganan yang kurang tepat, efek hipotensi atau
hipoksia pada jaringan saraf yang sudah terganggu.
-

Letakan pasien pada alas yang keras dan datar untuk


pemindahan

Beri bantal, guling, atau bantal pasir pada sisi pasien untuk
mencegah pergeseran

Tutupi dengan selimut atau menghindari hawa panas badan

Pindahkan pasien ke rumah sakit yang memiliki fasilitas


penanganan khusus cedera medulla spinalis.

b. Perawatan khusus
-

Komosio medulla spinalis: fraktur atau dislokasi tidak stabil


harus disingkirkan. Jika pemulihan sempurna pengobatan
tidak diperlukan

Kontusio atau transeksi atau kompresi medulla spinalis.

Metil prednisolon 30 mg/kgBB bolus intravena


selama

15

menit,

dilanjutkan

dengan

5,4

mg/kgBB/jam, 45 menit. Setelah bolus, selama 23


jam. Hasil optimal bila pemberian dilakukan kurang
dari 8 jam pertama onset.

Tambahkan profilaksis stres ulkus: antasid atau


antagonis H2

c. Tindakan operasi diindikasikan pada:


-

Reduksi terbuka pada dislokasi

Fraktur servikal dengan lesi parsial medulla spinalis

Cedera terbuka dengan benda asing atau tulang dalam


kanalis spinalis

Lesi parsial medulla spinalis dengan hematomielia yang


progresif

d. Perawatan umum
-

Perawatan vesika dan fungsi defekasi

Perawatan kulit atau dekubitus

Nutrisi yang adekuat

Kontrol nyeri: analgetik, obat anti inflamasi non steroid


(OAINS), antikonvulsan, kodein, dll

e. Fisioterapi, terapi vokasional, dan psikoterapi sangat penting


terutama pada pasien yang mengalami sekuele neurologis
berat dan permanen.

8. Pencegahan
Menurut Smeltzer, 2001: 2220
Faktor-faktor resiko dominan untuk cedera medulla spinalis
meliputi usia, jenis kelamin, dan penyalaguhnaan zat seperti
alkohol, dan obat-obatan. Frekuensi dengan mana faktorfaktor
risiko ini dikaitan dengan cedera medula spinalis bertindak untuk
menekankan pentingnya pencegahan primer untuk mencegah
kerusakan dan bencana cedera ini, langkah-langkah berikut perlu
dilakukan:
a. Menurunkan kecepatan berkendara
b. Menggunakan sabuk keselamatan dan pelindung bahu
c. Menggunakan helm untuk pengendara motor dan sepeda

d. Program pendidikan langsung untuk mencegah berkendara


sambil mabuk
e. Menggunakan penggunaan air yang aman
f. Mencegah jatuh
g. Menggunakan alat-alat pelindung dan teknik latihan

Personel paramedis diajarkan pentingnya memindahkan korban


kecelakaan mobil dari mobilnya dengan tepat dan mengikuti
metode pemindahan korban yang tepat ke bagian kedaduratan
rumah sakit untuk menghindari kemungkinan kerusakan lanjut dan
menetap pada medula spinalis

B. KONSEP DASAR PROSES KEPERAWATAN


1. Pengkajian Keperawatan
Menurut Widagdo, 2008 : 215
a. Riwayat keperawatan: trauma, tumor, masalah medis yang lain
(misalnya, kelainan paru, kelainan koagulasi, ulkus), obatobatan, merokok, penggunaan alkohol
b. Psikososial: usia, jenis kelamin, gaya hidup, pekerjaan, peran
dan tanggung jawab, sistem dukungan, strategi koping, reaksi
emosi terhadap cidera.
c. Pengetahuan klien da keluarga: anatomi dan fisiologi medulla
spinalis, pengobatan, prognosis/tujuan yang dharapkan, tingkat
pengetahuan, kemampuan membaca dan kesiapan belajar.
.
Menurut Doenges, 1999: 338-339
a. Aktivitas/istirahat
Tanda : Kelumpuhan otot ( terjadi kelemahan selama syok
spinal

pada/

dibawah

lesi.

Kelemahan

umum/kelemahan otot ( trauma dan adanya kompresi


saraf)

b. Sirkulasi
Berdebar Debar, pusing saat melakukan perubahan

Gejala:

posisi atau bergerak.


Tanda :

Hipotensi, hipotensi postural, bradikardi, ektremias


dingin dan pucat. Hilangnya keringat pada daerah
yangterkena.

c. Eliminasi
Tanda :

Inkontinensia

defekasi

dan

berkemih.

Retensi urine. Distensi abdomen, peristaltic usus


hilang.

Melena,

emesis

berwarna

seperti

kopi

tanah/hematemesis.

d. Integritas Ego
Gejala

Tanda

Menyangkal,
:

takut,

tidak

cemas,

percaya,
gelisah

sedih,
,

menari

marah.
diri.

e. Makanan/cairan
Tanda : Mengalami distensi abdomen, peristaltic usus hilang (
ileusparalitik)

f. Hygiene
Tanda : Sangat ketergantungan dalam melakukan aktivitas
sehari-hari

g. Neurosensori
Gejala : Kebas, kesemutan, rasa terbakar pada lengan /kaki.
Paralysis flaksid/spastisitas dapat terjadi saat syok
spinal teratasi, tergantung pada area spinal yang sakit.
Tanda : Kelumpuhan, kelemahan (kejang dapat berkembang
saat terjadi perubahan pada syok spinal. Kehilangan
sensasi, kehilangan tonus otot/ vasomotor, kehilangan

refleks/ refleks asimetris termasuk tendon dalam.


Perubahan reaksi pupil,ptosis, kehilangan keringat dari
bagian tubuh yang terkena karena pengaruh trauma
spinal.

h. Nyeri/kenyamanan
Gejala ; Nyeri tekan otot, hiperestesia tepat diatas daerah
trauma.
Tanda : Mengalami deformitas, postur,nyeritekan vertebral.

i. Pernapasan
Gejala : Napas pendek, lapar udara sulit bernapas.
Tanda : Pernapasan dangkal/labored,periode apnea, penurunan
bunyi

napas,

ronki,

pucat,

sianosis.

j. Keamanan
Gejala : suhu yang berfluktuasi (suhu tubuh ini diambil dalam
suhukamar)

k. Seksualitas
Gejala : Keinginan untuk kembali seperti fungsi normal.
Tanda : Ereksi tidak terkendali (pripisme), menstruasi tidak
teratur.

2. Diagnosa Keperawatan
a. Ketidakefektifan pola napas b.d kerusakan persyarafan dan
diafragma, kehilangan fungsi otot interkostal.
b. Gangguan pertukaran gas b.d paralisis pernapasan akibat
CMS, perubahan kapasitas darah membawa oksigen
c. Penurunan curah jantung b.d perubahan frekuensi jantung,
perubahan afterload selama spinal syok

d. Disrefleksia autonomic b.d perubahan fungsi saraf (cedera


medulla spinalis pada T6 dan diatasnya).
e. Nyeri akut b.d cedera fisik akibat CMS, alat traksi (doengoes)
f. Gangguan

eliminasi

urinarius

b.d

gangguan

persarafan

kandung kemih (Doengoes)


g. Konstipasi b.d ileus paralitik, tidak adanya sensasi/menurunnya
kontrol sphincter, imobilisasi
h. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b.d
pembatasan

masukan

oral,

disfungsi

gastrointestinal,

keterbatsan kemampuan untuk makan sendiri


i.

Gangguan citra tubuh b.d perubahan penampilan (tailor)

j.

Kerusakan

integritas

kulit

b.d

imobilisasi,

defisit

sensorik/motorik, gangguan sirkulasi, pintraksi


k. Deficit perawatan diri (mandi, makan, berpakian, toileting) b.d
gangguan motorik dan sensorik
l.

Resiko infeksi b.d factor eksternal (tailor)

m. Hambatan mobilitas fisik b.d defisit motorik dan sensorik


mobilitas spinal, penurunan kekuatan dan ketahanan nyeri
n. Disfungsi seksual b.d deficit neurologi

3. Perencanaan Keperawatan
a. Ketidakefektifan pola napas b.d kerusakan persyarafan dan
diafragma, kehilangan fungsi otot interkostal
Goal

: Klien akan meningkatkan pola napas yang efektif


selama dalam

Objektif

perawatan

: Klien tidak akan mengalami kerusakan persyarafan,


diafragma dan fungsi otot intercostal selama dalam
perawatan

Outcomes: tidak terjadi bradipnea, penurunan tekanan ekspirasi


& inspirasi, penurunan kapasitas vital, dispnea,
pernapasan cuping hidung
Intervensi :

Pertahankan jalan napas: posisi kepala dalam posisi netral,


tinggikan sedikit kepala tempat tidur jika dapat ditoleransi
pasien; gunakan tambahan/beri jalan napas buatan jika ada
indikasi.
R/ pasien dengan trauma servikal bagian atas dan gangguan
muntah/batuk akan membutuhkan bantuan untuk mencegah
aspirasi/mempertahankan jalan napas.

Lakukan penghisapan bila perlu. Catat jumlah, jenis dan


karakteristik sekresi.
R/ jika batuk tidak efektif, penghisapan dibutuhkan untuk
mengeluarkan sekret, meningkatkan distribusi udara dan
mengurangi resiko infksi pernapasan. Catatan: penghisapan
yang rutin dapat meningkatkan resiko terjadinya hipoksia,
bradikardi (karena respons vagal), trauma jaringan oleh
karenanya kebutuhan penghisapan didasarkan pada adanya
ketidakmampuan untuk mengeluarkan sekret.

Kaji fungsi pernapasan dengan menginstruksikan pasien


untuk melakukan napas dalam. Catat adanya/tidak ada
pernapasan

spontan,

contoh

pernapasan

labored,

menggunakan otot aksesori.


R/ trauma pada C1-C2 menyebabkan hilangnya fungsi
pernapasan

secara

menyeluruh.

Trauma

C4-5

mengakibatkan hilangnya fungsi pernapasan yang bervariasi


tergantung pada terkenanya saraf frenikus dan fungsi
diafragma tetapi biasanya menurunkan kapasitas vital dan
selalu melakukan upaya ekstra untuk bernapas. Trauma
dibawah C6-C7 fungsi otot pernapasan tidak terganggu
tetapi kelemahan otot interkostal menganggu aktivitas batuk
yang efektif , napas panjang dan kemampuan napas dalam.

Auskultasi suara napas. Catat bagian-bagian paru yang


bunyinya menurun atau tidak ada atau adanya suara napas
adventisius (ronki, mengi, krekels).

R/

hipoventilasi

biasanya

terjadi

atau

menyebabkan

akumulasi/akteletasis atau pneumonia (komplikasi yang


sering terjadi).

Catat kemampuan (kekuatan) dan/atau

keefektifan dari

fungsi batuk.
R/ letak trauma menentukan fungsi otot-otot interkostal, atau
kemampuan untuk batuk spontan/mengeluarkan sekret.

Bantu

pasien

untuk

batuk

(jika

diperlukan)

dengan

meletakkan tangan dibawah diafragma dan mendorong


keatas sewaktu pasien melakukan ekspirasi.
R/ Quad coughing dilakukan utnuk menambah volume
batuk atau untuk memfasilitasi pengenceran sekret agar
sekret tersebut mengalirkeatas sehingga mudah dihisap.
Catatan: prosedur ini biasanya dilakukan pada pasien yang
stabil setelah fase trauma akut.

Observasi warna kulit: adanya sianosis, keabu-abuan.


R/ menggambarkan akan terjadinya gagal napas yang
memerlukan evaluasi dan intervensi medis dengan segera.

Kaji adanya distensi abdomen dan spasme otot.


R/ perasaan penuh pada abdomen dapat menggambarkan
adanya kelainan pada diafragma, penurunan ekspansi paru,
dan pnurunan ekspansi paru lebih lanjut.

Ubah

posisi/balik

secara

teratur,

hindari/batasi

posisi

telungkup jika diperlukan.


R/ meningkatkan ventilasi semua bagian paru, mobilisasi
sekret, mengurangi resiko komplikasi, contoh aktelektasis
dan pnumonia. Catatan: posisi telungkup mengurangi
kapasitas

vital

paru,

dicurigai

dapat

peningkatan resiko terjadinya gagal napas.

Pantau/batasi pengunjung jika diperlukan.

menimbulkan

R/ kelemahan secara umum dan gangguan pernapasan


membuat resiko tinggi bagi pasien mendapatkan infeksi
saluran pernapasan atas.

Berikan jawaban yang jujur.


R/

bantuan/fungsi pernapasan slanjutnya tidak akan

diketahui sampai syok spinal tersebut sembuh dan fase


rehabilitasi

akut

selesai.

Jika

napas

bantuan

masih

diperlukan alat-alat mekanik/alat-alat alternatif lain dapat


digunakan untuk meningkatkan kemandirian.

Bantu pasien untuk mengontrol pernapasan jika diperlukan.


Ajarkan dan anjurkan pasien untuk melakukan napas dalam,
fokuskan perhatian pada pernapasan.
R/ bernapas mungkin bukan hanya aktivitas volunter tetapi
membutuhkan usaha secara sadar tergantung pada lokasi
trauma/yang berhubungan dengan otot-otot pernapasan.

Pantau gerakan diafragma jika alat pacu frenik telah


dipasang.
R/ stimulasi pada saraf frenikus meningkatkan usaha
pernapasan, mengurangi ketergantungan pada ventilator
mekanik.

Lakukan pengukuran/buat grafikterhadap: Kapasitas vital,


volume tidal, kekuatan pernapasan.
R/ menentukan fungsi otot-otot pernapasan. Pengkajian
yang terus menerus dapat dilakukan untuk memperkirakan
terjadinya gagal napas (trauma akut) atau menentukan
keadaan fungsi tubuh setelah fase syok spinal dan/atau
setelah proses penyapihan ventilator.

Berikan oksigen dengan cara yang tepat seperti dengan


kanul oksigen, masker, intubasi dan sebagainya.
R/ metode yang akan dipilih tergantung dari lokasi trauma,
keadaan insufisiensi pernapasan, dan banyaknya fungsi otot
pernapasan yang sembuh setelah fase syok spinal.

Rujuk/konsultasikan pada ahli terapi pernapasan dan fisik.


R/ membantu dalam mengidentifikasi latihan-latihan yang
tepat

untuk

menstimulasi

dan

menguatkan

otot-otot

pernapasan/tenaga.

Bantu dengan fisioterapi dada(seperi perkusi dada) dan


gunakan alat bantu pernapasan (seperti spirometri, botol tiup
dan sebagainya).
R/

mencegah

memaksimalkan

sekret
difusi

tertahan
udara

dan

dan

perlu

untuk

mengurangi

resiko

terjadinya pneumonia.

b. Gangguan pertukaran gas b.d

paralisis pernapasan akibat

CMS, perubahan kapasitas darah membawa oksigen


Goal

: klien tidak akan mengalami gangguan pertukaran


gas selama dalam perawatan

Objektif

klien

tidak

mengalami

paralisis

pernapasan,

perubahan kapasitas darah membawa oksigen akibat


CMS selama dalam perawatan
Outcomes: Gas darah arteri abnormal, pernapasan abnormal,
dispnea, nyeri kepala, hipoventilasi, hipoksia, gelisah

Intervensi:
Dorong pasien untuk menyelingi periode istirahat dan
aktivitas
R/ aktivitas meningkatkan kebutuhan oksigen jaringan,
istirahat meningkatka oksigen perfusi jaringan
Bila pasien tirai baring, bantu ia berubah ke posisi yang
nyaman dan naikan sisi penghalang tempat tidur untuk
mencegah jatuh. Biarkan pasien miring dan melakukan
napas dalam setiap 4 jam

R/ Untuk mencegah atelektasis dan tertumpuknya


cairan di paru dan untuk meningkatkan kadar ksigen
darah
Pindahkan pasien secara perlahan
R/ untuk menghindari hipotensi otostatik
Periksa

semua

urin

dan

feses.

Periksa

adanya

perdarahan minimal sekali setiap 4 jam


R/ mendeteksi perdarahan internal. Perdarahan dapat
menyebabkan anemia
Berikan darah atau produk darah dan pantau reaksi
yang tidak diinginkan
R/ untuk menyuplai hemoglobin dna meningkatkan
kapasitas darah membawa oksigen
Perkuat pemeriksaan laboratorium. Lakukan penekanan
selama 1 menit setelah penusukan untuk meningkatkan
pembekuan
R/ menghindari penusukan jarum yang terlalu banyak
dan

menurunkan

kemungkinan

hematoma

atau

perdarahan pada pasien yang mengalami perubahan


mekasnisme pembekuan
Auskultasi

paru

setiap

jam

dan

laporkan

ketidaknormalan
R/ mendeteksi krepitasi
Pantau tanda-tanda vital, irama jantung, serta GDA
serta hemoglobin. Laporkan ketidaknormalan.
R/ perubahan pada satu atau semua parameter tersebut
dapat mengindikasikan awitan komplikasi serius

Berikan pengobatan sesuai indikasi dan pantau respons:


Penyekat ganglion, contohnya trimtafan kamsilat (Ar-fonad).
R/ menghambat transmisi saraf autonom yang berlebihan.

Atropin sulfat;
R/ meningkatkan frekuensi jantung jika terjadi bradikardi.

Diazoksid (Hyperstat); hidralazin (Apresoine)


R/

menurunkan

TD

yang

berlebihan/mempertahankan

terjadinya hipertensi.

Nifedipin (Procardia)
R/ pemberian sublingual mungkin efektif jika tidak ada
Hyperstat yang dimasukkan lewa IV.

Penyekat adrenergik seperti metisergid maleat (sansert)


R/ dapat digunakan sebagai profilaksis jika terjadi masalah
yang berlanjut.

Antihipertensi,

contoh:

prazosin

(minipress),

fenoksibenzamin (Dibenzyline).
R/ Penggunaan jangka waktu yang lama dapat merilekskan
leher kandung kemih/meningkatkan pengosongan kandung
kemih,

menghilangkan

penyebab

yang

paling

umum

disrefleksia autonomik kronik.

Dapatkan spesimen urine untuk pemeriksaan kultur.


R/ adanya infeksi dapat memacu terjadinya disrefleksia.

Gunakan/pakailah

salep

anestesi

lokal

pada

rektum;

keluarkan feses yang keras jika ada indikasi setelah gejalagejala mereda.
R/ salep menghambat stimulasi autonom dan memudahkan
pengeluaran feses keras tanpa meningkatkan timbulnya
gejala.

Siapkan pasien untuk blok saraf pelvik/pudendal atau


rizotomi posterior jika diperlukan.
R/ prosedur tersebut dapat dipertimbngkan jika disrefleksia
autonomik tidak memberikan respons terhadap terapi yang
telah diberikan.

c. Penurunan curah jantung b.d perubahan frekuensi jantung,


perubahan afterload selama spinal syok (tailor)
Goal

: klien akan mempertahankan curah jantung yang


adekuat selama dalam perawatan

Objektif

: klien tidak akan mengalami perubahan frekuensi


jantung, perubahan afterload selama fase spinal syok
selama dalam perawatan

Outcomes: klien
Akan mempertahankan tekanan darah dan frekuensi
denyut nadi dalam batas normal

Tidak aritmia, bradikardia, perubahan EKG, dispnea,


penurunan nadi perifer, penurunan PVR & SVR, CRT < 3
dtk

Intervensi :

pantau dan catat tingkat kesadaran, denyut dan irama


jantung dan tekanan darah sekurang-kurangnya setiap 4 jam
atau lebih sering bial diperlukan
R/ mendeteksi hipoksia serebral akibat penurunan curah
jantung

Lakukan auskultasi bunyi jantung dan suara napas minimal


setiap 4 jam. Laporkan suara yang tidak normal sesegera
mungkin
R/

bunyi

jantung

tambahan

dapat

mengindikasikan

dekompensasi jantung awal, suara napas tambahan dapat


mengindikasikan kongesti pulmonal dan penurunan curah
jantung

Ukur dan catat asupan dan haluaran secara akurat


R/ penurunan haluaran urin tanpa penurunan asupan cairan
dapat mengindikasikan penurunan perfusi ginjal akibat PCJ

Atasi aritmia secara tepat sesuai instruksi


R/ mencegah krisis yang mengancam hidup

Inspeksi adanya edema kaki atau sacral


R/ untuk mendeteksi statis vena dan PCJ

Secara bertahap tingkatkan aktivitas dengan denyut jantung


dalam batas yang diinstruksikan
R/ agar jantung dapat melakukan penyesuaian terjadap
peningkatan kebutuhan oksigen

Pantau kecepatan denyut nadi sebelun dan sesudah


beraktivitas, sesuai instruksi
R/

untuk

membandingkan

kecepatan

dan

mengukur

tokeransi

Pertahankan pembatasan makanan sesuai instruksi


R/ menurunkan resiko penyakit jantung

berikan oksigen sesuai instruksi


R/ meningkatkan suplai oksigen ke miokardium

d. Disrefleksia autonomic b.d perubahan fungsi saraf (cedera


medulla spinalis pada T6 dan diatasnya).
Goal

: klien tidak akan mengalami gangguan pertukaran


gas selama dalam perawatan

Objektif

klien

tidak

mengalami

paralisis

pernapasan,

perubahan kapasitas darah membawa oksigen akibat


CMS selama dalam perawatan
Outcomes: Gas darah arteri abnormal, pernapasan abnormal,
dispnea, nyeri kepala, hipoventilasi, hipoksia, gelisah

Intervensi:
Dorong pasien untuk menyelingi periode istirahat dan
aktivitas
R/ aktivitas meningkatkan kebutuhan oksigen jaringan,
istirahat meningkatka oksigen perfusi jaringan
Bila pasien tirai baring, bantu ia berubah ke posisi yang
nyaman dan naikan sisi penghalang tempat tidur untuk

mencegah jatuh. Biarkan pasien miring dan melakukan


napas dalam setiap 4 jam
R/ Untuk mencegah atelektasis dan tertumpuknya
cairan di paru dan untuk meningkatkan kadar ksigen
darah
Pindahkan pasien secara perlahan
R/ untuk menghindari hipotensi otostatik
Periksa

semua

urin

dan

feses.

Periksa

adanya

perdarahan minimal sekali setiap 4 jam


R/ mendeteksi perdarahan internal. Perdarahan dapat
menyebabkan anemia
Berikan darah atau produk darah dan pantau reaksi
yang tidak diinginkan
R/ untuk menyuplai hemoglobin dna meningkatkan
kapasitas darah membawa oksigen
Perkuat pemeriksaan laboratorium. Lakukan penekanan
selama 1 menit setelah penusukan untuk meningkatkan
pembekuan
R/ menghindari penusukan jarum yang terlalu banyak
dan

menurunkan

kemungkinan

hematoma

atau

perdarahan pada pasien yang mengalami perubahan


mekasnisme pembekuan
Auskultasi

paru

setiap

jam

dan

laporkan

ketidaknormalan
R/ mendeteksi krepitasi
Pantau tanda-tanda vital, irama jantung, serta GDA
serta hemoglobin. Laporkan ketidaknormalan.
R/ perubahan pada satu atau semua parameter tersebut
dapat mengindikasikan awitan komplikasi serius

Berikan pengobatan sesuai indikasi dan pantau respons:


Penyekat ganglion, contohnya trimtafan kamsilat (Ar-fonad).
R/ menghambat transmisi saraf autonom yang berlebihan.

Atropin sulfat;
R/ meningkatkan frekuensi jantung jika terjadi bradikardi.

Diazoksid (Hyperstat); hidralazin (Apresoine)


R/

menurunkan

TD

yang

berlebihan/mempertahankan

terjadinya hipertensi.

Nifedipin (Procardia)
R/ pemberian sublingual mungkin efektif jika tidak ada
Hyperstat yang dimasukkan lewa IV.

Penyekat adrenergik seperti metisergid maleat (sansert)


R/ dapat digunakan sebagai profilaksis jika terjadi masalah
yang berlanjut.

Antihipertensi,

contoh:

prazosin

(minipress),

fenoksibenzamin (Dibenzyline).
R/ Penggunaan jangka waktu yang lama dapat merilekskan
leher kandung kemih/meningkatkan pengosongan kandung
kemih,

menghilangkan

penyebab

yang

paling

umum

disrefleksia autonomik kronik.

Dapatkan spesimen urine untuk pemeriksaan kultur.


R/ adanya infeksi dapat memacu terjadinya disrefleksia.

Gunakan/pakailah

salep

anestesi

lokal

pada

rektum;

keluarkan feses yang keras jika ada indikasi setelah gejalagejala mereda.
R/ salep menghambat stimulasi autonom dan memudahkan
pengeluaran feses keras tanpa meningkatkan timbulnya
gejala.

Siapkan pasien untuk blok saraf pelvik/pudendal atau


rizotomi posterior jika diperlukan.

R/ prosedur tersebut dapat dipertimbngkan jika disrefleksia


autonomik tidak memberikan respons terhadap terapi yang
telah diberikan.

e. Nyeri akut b.d cedera fisik akibat CMS, alat traksi


Goal

: klien tidak akan mengalami nyeri (akut) selama


dalam perawatan

Objektif

: klien tidak akan mengontrol rasa nyeri akibat cedera


fisik pada medulla spinalis dan pemasangan alat
traksi

Outcomes : tidak terjadi Perubahan ekpresi perilaku (gelisah


menangis), perubahan ekspresi wajah( tampak kacau,
gerakan mata berpencar /focus), perubahan

TD,

frekuensi jantung & pernapasan, dilatasi pupil


Intervensi :

Kaji terhadap adanya nyeri. Bantu pasien mengidentifikasi


dan menghitung nyeri, mis., lokasi, tipe nyeri, intensitas pada
skala 0-10.
R/ pasien biasanya melaporkan nyeri diatas tingkat cedera.
Mis, dada/punggung atau kemungkinan sakit kepala dari alat
stabiliser. Setelah fase syok spinal, pasien melaporkan
spasme otot dan nyeri fontom dibawah tingkat cedera.

Evaluasi peningkatan iritabilitas, tegangan otot, gelisah,


perubahan tanda vital yang tak dapat dijlaskan
R/

petunjuk

noverbal

dari

nyeri/

ketidaknyamanan

memerlukan intervensi

Bantu pasien dalam mengidentifikasi faktor pencetus.


R/ nyeri terbakar dan spasme otot dicetuskan/diperberat oleh
banyak faktor misalnya ansietas, tegangan suhu eksternal
ektrem, duduk lama, distensi kandung kemih.

Berikan tindakan kenyamanan misalnya perubahan posisi


dalam batas normal, kompres hangat/dingin sesuai indikasi.

R/ tindakan alternatif mengontrol nyeri digunakan utuk


keuntungan emosional, selain menurunkan kebutuhan obat
nyeri/efek tak diinginkan pada fungsi pernapasan.

Dorong penggunaan teknik relaksasi misalnya pedoman


imajinasi, visualisasi, latihan napas dalam. Berikan aktivitas
hiburan misalnya televisi, radio, telepon, kunjungan tak
terbatas.
R/ memfokuskan kembali perhatian,meningkatkan rasa
kontrol, dan dapat meningkatkan kemampuan koping.

Berikan obat sesuai indikasi: relaksan otot, mis dentren


(dantrium); analgesik; antiansietas, misalnya., diazepam
(valium).
R/ dibutukan untuk menghilangkan spasme atau nyeri otot
atau untuk meghilangkan ansietas dan meningkatkan
istirahat.

f. Gangguan eliminasi urinarius b.d gangguan dalam persarafan


kandung kemih
Goal

: Klien tidak akan mengalami gangguan eliminasi


urinarius selama dalam perawatan

Objektif

: Klien tidak akan mengalami gangguan persarafan


kandung kemih selama dalam perawatan

Outcomes : klien tidak mengalamai distensi abdomen, disuria,


sering berkemih, inkontinensia, retensi
Intervensi :

Kaji pola berkemih, seperti frekuensi dan jumlahnya.


Bandingkan haluaran urine dan masukan cairan dan catat
berat jenis urine.
R/

mengidentifikasi

pengosongan

fungsi

kandung

keseimbangan cairan.

kandung

kemih,

kemih

fungsi

mis.,

ginjal

dan

Palpasi adanya distensi kandung kemih dan observasi


pengeluaran urine.
R/ disfungsi kandung kemih bervariasi, ketidakmampuan
berhubungan dengan hilangnya kontraksi kandung kemih
untuk merilekskan sfingter urinarius (retensi/refluks).

Anjurkan pasien untuk minum/masukan cairan (2-4 l/hari)


termasuk juice yang mengandung asam askorbat (contoh:
krenberi).
R/ membantu mempertahankan fungsi ginjal, mencegah
infeksi dan pembentukan batu. Catatan: cairan dibatasi
hanya untuk beberapa saat selama fase awal kateterisasi
intermiten.

Mulailah latihan kandung kemih jika diperlukan, contoh


dengan pemberian cairan diantara beberapa jam, lakukan
stimulasi digital pada bagian tubuh yang sensitif. Kontraksi
otot abdomen, manuver Crede.
R/ waktu dan jenis latihan kandung kemih tergantung pada
tipe trauma (UMN atau LMN). Catatan: Manuver Crede
harus digunakan dengan hati-hati karena dapt menyebabkan
disrefleksia autonomik.

Observasi adanya urine seperti awan atau berdarah, bau


yang tidak enak.
R/ tanda-tanda infeksi saluran perkemihan atau ginjal dapat
menyebabkan sepsis.

Bersihkan daerah perineum dan jaga agar tetap kering,


lakukan perawatan kateter jika perlu.
R/ menurunkan resiko terjadinya iritasi kulit/kerusakan kulit
atau infeksi ke atas menuju ginjal

Jangan biarkan kandung kemih penuh. Jika awalnya


memakai kateter mulai melakukan program kateterisasi
secara intermiten jika diperlukan.

R/ kateter Folley digunakan selama fase akut untuk


mencegah retensi urine dan tuntuk memantau haluaran.
Kateter intermiten digunakan untuk mengurangi komplikasi
yang biasanya berhubungan dengan penggunaan kateter
yang lama, kateter suprapubik dapat digunakan untuk jangka
waktu yang lama.

Pantau BUN, kreatinin, SDP.


R/ menggambarkan fungsi ginjal, dan mengidentifikasi
komplikasi.

Berikan pengobatan sesuai indikasi, seperti vitamin dan atau


antiseptik urinarius, contohnya methenamin mandelate
(Mandelamine).
R/ mempertahankan lingkungan asam dan menghambat
pertumbuhan bakteri (kuman).

g. Konstipasi b.d ileus paralitik, tidak adanya sensasi/menurunnya


kontrol sphincter, imobilisasi
Goal

: klien tidak akan mengalami konstipasi selama dalam

perawatan
Objektif

klien

tidak

akan

mengalami

ileus

paralitik,

meningkatkan sensasi/ control sphingter, dan mobilisasi dalam


pantauan yang selama dalam perawatan
Outcomes :
Peristaltic usus meningkat, tidak mengalami atonia usus,
distensi abdomen, feses yang lembek dan bebas dari
konstipasi
Intervensi :
Tetapkan akan pola bab tanpa ketergantungan terhadap
laxative
Auskultasi suara usus dan palpasi abdomen untuk adanya
distensi setiap 8 jam
Kaji dan catat jumlah dan karakter dari pergerakan usus

Anjurkan makan makanan yang mengandung tinggi serat


dan minum secara adekuat
Anjurkan klien untuk menghindari makanan yang dapat
membentuk

gas dan

meningkatkan

produksi asam

lambung
Berikan suppositoria setiap hari
Berikan laxative pada saat diperlukan dan lakukan
evaluasi keefektifannya
Masukan rectal tube untuk mengurangi diistensi abdomen
Buat waktu program defekasi berdasarkan kebutuhan
sosial pasien.
Berikan privasi dan pemberian posisi optimal untuk
meningkatkan eliminasi.
Mulailah program defekasi segera setelah cedera untuk
mencegah impaksi selama periode ileus.
Periksa feses terhadap darah samar,yang mungkin efek
samping pemberian steroid atau anti =koagulan atau
adanya ulkus stres.
Ajarkan pasien atau pemberi perawatan untuk melakukan
program defekasi, tergantung pada tingkat kemampuan
motorik.
Ajarkan pasien tanda disrefleksia otonomik (jika cedera
pada T6 atau diatasnya)dan bagaimana mencegah atau
mengatassinya.

h. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b.d


pembatasan

masukan

oral,

disfungsi

gastrointestinal,

keterbatasan kemampuan untuk makan sendiri (immobilisasi)


Goal

: klien tidak akan mengalami nutrisi kurang dari


kebutuhan tubuh selama dalam perawatan

Objektif

: klien akan meningkatkan masukan oral yang


adekuat,

gastrointestinal

berfungsi

baik,

tidak

mengalami keterbatasan kemampuan untuk makan


sendiri selama dalam perawatan
Outcomes :

Berat badan meningkat, kebutuhan tubuh akan nutrisi


tetap adekuat

Intervensi :
Catat jumlah kalori
Timbang berat badan setiap hari
Ukur masukan dan haluaran
Berikan NGT sesuai pesan
Auskultasi peristaltik usus minimal satu kali setiap shift
Pertahankan kepatenan NG
Periksa pH aspirat gaster selama penggunaan selang NG
dan berikan antasida atau blokker histamin sesuai
pesanan
Kaji refleks gag dan menelan sebelum pemberian makan
Video fluoroscopy dapat digunakan untuk mendiagnosa
disfagia
Berikan pasien makan jika tidak dapat melakukan sendiri

i.

Gangguan citra tubuh b.d perubahan penampilan (tailor)


Goal : klien tidak akan mengalami gangguan citra tubuh
Objective : klien akan mempertahankan penampilannya
Outcomes:
Tidak ada Perubahan struktur dan fungsi tubuh
Intervensi
Terima persepsi diri pasien dan berikan jaminan bahwa ia
dapat mengatasi krisis ini untuk memvalidasi perasaannya
Ketika

membantu

pasien

yang

sedang

melakukan

perawatan diri, kaji pola koping dan tingkat harga dirinya


untuk

mendapatkan

kemajuan psikologinya.

nilai

dasar

pada

pengukuran

Motivasi

pasien

lakukan

perawatan

diri

untuk

meningkatkan rasa kemandirian dan control.


Kaji kesiapan pasien; kemudian libatkan pasien dalam
pengambilan

keputusan

tentang

perawatan,

bila

memungkinkan untuk dapat memberikan rasa control dan


meningkatkan harga diri.
Motivasi

pasien

mengungkapkan

kedukaan

tentang

kehilangannya untuk melegakan perasaannya


Berikan kesempatan pada pasien untuk menyatakan
perasaan tentang citra tubuhnya dan hospitalisasi agar
klien dapat mengungkapkan keluhannya dan memperbaiki
kesalahpahaman.
Bimbing dan kuatkan focus pasien pada aspek-aspek
positif

dari

penampilannya

dan

upayanya

dalam

menyesuaikan diri dengan perubahan citra tubuhnya


untuk

mendukung

adaptasi

dan

kemajuan

yang

berkelanjutan.
Motivasi pasien untuk tetap menuliskan perasaan, tujuan,
keluhan dan kemajuan yang terjadi pada dirinya untuk
membantu menunjukkan kemajuan pasien.
Diskusikan kemajuan pasien dan tunjukkan bagaimana
kondisinya

telah

meningkat

atau

stabil

untuk

meningkatkan sikap positif.


Kenalkan pasien pada seseorang yang telah melakukan
koping terhadap situasi yang sama agar pasien dapat
mempelajari teknik-teknik baru untuk melakukan koping
dan beradaptasi.
Motivasi pasien untuk berpartisipasi dalam kelompok
pendukung atau bila perlu, membuat suatu perjanjian
dengan profesi kesehatan mental untuk membantunya
mendapatkan dukungan dan pemahaman atau konseling
tambahan.

Motivasi

pasien

perkembangannya

untuk
melalui

menggambarkan
hospitalisasi

untuk

meningkatkan harga diri dan untuk mendemonstrasikan


bagaimana citra tubuhnya.
Ajarkan dan motivasi strategi koping yang sehat untuk
membantu pasien mengatasi perilaku yang tidak produktif
.
j.

Resiko infeksi b.d factor eksternal (tailor)

k. Kerusakan

integritas

kulit

b.d

imobilisasi,

defisit

sensorik/motorik, gangguan sirkulasi, pintraksi


Goal

: klien tidak akan mengalami kerusakan integritas


kulit selama dala perawatan

Objektif

klien

akan

meningkatkan

mobilisasi

dalam

pantauan/kontrol, peningkatan sensorik/motorik, tidak


ada gangguan sirkulasi dan perawatan penggunaan
pin traksi selama dalam perawatan
Outcomes :
Memiliki

kulit

yang

utuh,

bebas

dari

kemerahan

(immobilisasi yang lama)


Bebas dari infeksi pada lokasi pin traksi
Intervensi :
Kaji fungsi motorik dan sensorik klien dan sirkulsi perifer
(denyut nadi, warna, temperatur) untuk mendapatkan
kemungkinan terjadinya lecet pada kulit
Kaji kulit klien (keutuhan, warnanya) setiap 8 jam: palpasi
pada daerah kulit yang tertekan
Berikan posisi klien dalam sikap anatomi dan gunakan
bantalan pelindung untuk daerah yang menonjol
Ganti posisi klien setiap 2 jam: gunakan alat khusus untuk
membalikan (mis; stryker/foster frame, dll)

Pertahankan kebersihan dan kekeringan kulit klien,


dimana lingkungan yang lembab akan memudahkan
terjadinya kerusakan kulit
Lakukan pemijatan lembut di atas daerah tulang yang
menonjol setiap 2 jam sekali dengan suatu pergerakan
yang memutar untuk meningkatkan sirkulasi
Kaji status nutrisi klien, apakah adekuat makanan dan
minuman

yang

diperlukan

untuk

memperttahankan

integritas kulit dan penyembuhan


Berikan makanan formula tinggi kalori dan protein untuk
mencegah hipoproteinemia
Pertahankan agar laken tetap tegang
Kaji daerah kulit yang lecet akan adanya eritema setiap
delapan jam
berikan perawatan kulit pada daerah yang rusak/lecet
setiap 4-8 jam dengan menggunakan hidrogen peroksida
sabun atau providone-iodine solution

l.

Deficit perawatan diri (mandi, makan, berpakian, toileting) b.d


gangguan motorik dan sensorik
Goal

: klien tidak akan mengalami deficit perawatan diri


mandi, makan, berpakaian dan toileting selama dalam
perawatan

Objektif

: klien akan meningkatkan fungsi motorik dan sensorik


selama dalam perawatan

Outcomes :
Melakukan

kegiatan

makan,

mandi,

memakai

dan

mengganti pakian secara mandiri


Berpindah menuju dan dari toilet dengan bantuan minimal
Intervensi :
Kaji kemampuan klien dalam melakukan aktivitas hidup
sehari-hari

Bantu

aktivitas

melakukan

hidup

secara

sehari-hari,

mandiri

anjurkan

untuk

sebgaimana

dengan

peningkatan kemampuan
Berikan klien tanggungjawab yang mana klien dapat
melakukannya
Berikan

alat

bantu

sebagaimana

kebutuhna

untuk

membrikan fungsi maksimum (misalnya hand splint, dll)


Berikan umpan balik yang positiff bial ada peningkatan
dalam aktivitas hidup sehari-hari
Diskusi kembali dengan klien setiap minggu pada suatu
pertemuan

dan

berikan

informasi

kepada

petugas

kesehatan yang lain tentang perkembangan evaluasi klien

m. Hambatan mobilitas fisik b.d defisit motorik dan sensorik


mobilitas spinal, penurunan kekuatan dan ketahanan nyeri
Goal

: klien akan meningkatkan mobilitas fisik dalam batas


control/pantauan selama dalam perawatan

Objektif

: klien akan meningkatkan fungsi motorik dan sensorik


mobilitas

spinal,

peningkatan

kekuatan

dan

pengurangan nyeri secara perlahan selama dalam


perawatan
Outcomes :

Klien akan melakukan mobilisasi fisik dengan mandiri


bebas dari komplikasi imobilisasi

Intervensi :

Kaji secara teratur fungsi motorik (jika timbul suatu keadaan


syok spinal/edema yang berubah) dengan menginstruksikan
pasien untuk melakukan gerakan sperti mengangkat bahu,
meregangkan jari-jari, menggenggam tangan pemeriksa
atau melepas genggaman pemeriksa.
R/ mngevalusai keadaan secara khusus( gangguan sensorimotorik dapat brmacam-macam dan atau tak jelas. Pada

beberapa lokasi trauma mempengaruhi tipe dan pemilihan


intervensi.

Berikan suatu alat agar pasien mampu untuk meminta


pertolongan, seperti bel atau lampu pemanggil.
R/ membuat pasien memiliki rasa aman, dapat mengatur diri
dan mengurangi ketakutan karena ditinggal sendiri. Catatan:
pasien quadriplegia dengan memakai ventilator memerlukan
observasi yang teratur dalam perawatan diri.

Bantu/lakukan ltihan rom pada senua ektremitas dan sendi,


pakailah

gerakan

perlahan

dan

lembut.

Lakukan

hiperekstensi pada paha secara teratur (periodik).


R/ meningkatkan sirkulasi, mempertahankan tonus otot dan
mobilisasi

sendi,

meningkatkan

mobilisasi

sendi

dan

mencegah kontraktur dan atrofi otot.

Letakan tangan dalam posisi (melipat) kedalam menuju


pusaran 90 derajat dengan teratur.
R/ mencegah kontraktur pada daerah bahu.

Pertahankan sendi pada 90 derajat terhadap papan kaki,


sepatu dengan hak yang tinggi dan sebagainya, gunakan rol
trokhanter di bawah bokong selama berbaring di tempat
tidur.
R/ Mencegah footdrop dan rotasi eksternal pada paha.

Tinggikan ektremitas bawah beberapa saat sewaktu duduk


atau angkat kaki/bagian bawah tempat tidur jika diinginkan
pada kadaan tertentu. Kaji adanya edema pada kaki
atau/pergelangan tangan.
R/ hilangnya tonus pembuluh darah dan gerakan otot
memmgakibatkan bendungan darah dan vena akan menjadi
statis

dibagian

bawah

abdomen,

ekstremitas

bawah,

meningkatnya resiko terjadinya hipotensi dan pembentukan


trombus.

Buat rencana aktivitas untuk pasien sehingga pasien dapat


beristirahat

tanpa

terganggu.

Anjurkan

pasien

untuk

berperan serta dalam gaktivitas sesuai dengan kemampuan,


sesuai dengan toleransi.
R/ mencegah kelelahan, memberikan kesempatan untuk
berperan serta/melakukan upaya yang maksimal.

Ukur/pantau

tekanan

darah

sebelum

dan

sesudah

melakukan aktivitas dalam fase akut atau sampai keadaan


pasien stabil. Ganti posisi dengan perlahan. Gunakan
tempat

tidur

kardiak

atau

meja

atau

tempat

tidur

sirkoelektrik (dapat berputar) jika ingain meningkatkan pola


aktivitas.
R/ hipotensi ortostatik dapat terjaddi sebagai akibat dari
bendungan vena (sekunder akibat hilangnya tonus otot
vaskuler).

Memiringkan/meninggikan

kepala

dapat

manyebabkan hipotensi dan bahkan pingsan.

Gantilah posisi secara periodik walaupun dalam keadaan


duduk.

Ajarkan

pasien

untuk

menggunakan

teknik

memindahkan berat badan.


R/

Mengurangi

tekanan

pada

salah

satu

area

dan

meningkatkan sirkulasi perifer.

Persiapkan pasien pada saat akan melakukan aktivitas


membebani tubuh, misalnya gunakan meja pengangkat
untuk posisi tegak lurus, latihan untuk menguatkan/untuk
mengkondisikan bagian tubuh yang normal.
R/ latihan beban berat badan sendiri dapat mengurangi
terjadinya

osteoporosis

pada

tulang

panjang

dan

mengurangi terjadinnya infeksi saluran kemih dan batu


ginjal.

Anjurkan pasien untuk meggunakan teknik relaksasi.


R/ mengurangi ketegagan otot/kelelahan dapat membantu
mengurangi nyeri, spasme otot, spastisitas/kejang.

Tempatkan pasien pada tempat tidur kinetik jika diperlukan


R/ imobilisasi yang efektif dari kolumna spinal dapat
menstabilkan kolumna spinal dan meningkatkan sirkullasi
sistemik,

yang

dapat

mengurangi

komplikasi

karena

imobilisasi.

Gunakan kaos kaki/stoking antiembolik, alat SCD (sequential


compression device) pada kaki.
R/ membatasi bendungan darah pada ekstremitas bawah
atau abdomen, selanjutnya meningkatkantonus vasomotor
dan mengurangi pembentukan trombus dan emboli paru.

Konsultasi dengan ahli terapi fisik/terapi kerja dan tim


rehabilitasi
R/ membantu dalam merencanakan dan melaksanakan
latihan

secara

individual

mengidentifikasi/mengembangkan

alat-alat

dan
bantu

mempertahnkan fungsi, mobilisasi dan kemandirian pasien.

Berikan relaksan otot sesuai kebutuhan dan diazepam


(valium); baklopen (lioresal); kantrolen (dantrium).
R/ berguna untuk membatasi dan mengurangi nyeri yang
berhubungan dengan spastisitas (kejang).

n. Disfungsi seksual b.d deficit neuromuskular


Goal

: klien tidak akan mengalami disfungsi seksual dan


memperlihatkan pemahaman disfungsi seksual dan
pemikiran yang ada berkaitan dengan kemampuan
fisik selama dalam perawatan

Objektif

: klien akan meningkatkan fungsi neuromuskulasr


selama dalam perawatan

Outcomes :
Mengungkapkan secara verbal tentang pemahaman
seksualitas tentang kondisi dirinya
Memperlihatkan kasih sayang dengan pasangannya

Intervensi :
Informasikan klien bahwa banyak orang dengan trauma
medulla spinalis dapat menggunakan beberapa cara untuk
memuaskan

aktivitas

seksual

dan

keterbatasan/kemampuan seksual tergantung pada lokasi


lesi dan derajat cedera medulla spinalis
Kumpulkan informasi fungsi seksual sebelum cedera
untuk menetapkan pendekatan yang realistis dalam
memenuhi kebutuhan seksual
Anjurkan

kepada

perasaannya

klien

mengenai

untuk
seksual

mengungkapkan
(mis:

libido,

ketidakmampuan untuk ereksi, ejakulasi, orgasme)


Berikan informasi tentang buku teknik seksual dan
film/video seksual
Tegaskan aspek emosi dari seks, khususnya jika koitus
hasilnya tidak sama seperti sebelum trauma
Anjurkan

atau

bantu

klien

dalam

mempertahankan

penampilan diri: menggunakan pakian rapi, parfum, dll


Bantu klien dalam komunikasi terbuka antara klien dengan
pasangannya
Bantu

dan

beri

dukungan

secara

bertahap

untuk

mengembalikan keintiman dengan orang lain


Rujuk ke konselor jika dibutuhkan

4. Tindakan Keperawatan
Tindakan keperawatan dilakukan dengan mengacu pada rencana
tindakan /intervensi keperawatan yang telah ditetapkan /dibuat

5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan dilakukan untuk menilai apakah masalah
keperawatan telah teratasi, tidak teratasi atau teratasi sebagian
dengan mengacu pada kriteria evaluasi

DAFTAR PUSTAKA

Hudak, Carolyn M., Keperawatan Kritis, Jakarta: EGC, 1996

Mansjoer Arif (et. al)., Kapita Selekta Kedokteran, Jakarta: Media


Aesculapius, 2000

Price, Sylvia Anderson (et. al)., Patofisiologi; konsep klinis prose-prose


penyakit; Ed.6, Jakarta: EGC, 2005

Smeltzer, Suzanne C. & Brenda G. Bare, Buku Ajar Keperawatan


Medikal-Bedah, Ed. 8/Volume 3, Jakarta: EGC, 2001

Widagdo Wahyu, Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan


Sistem Persarafan, Jakarta: TIM, 2008

You might also like