Professional Documents
Culture Documents
EPIDEMIOLOGI (2)
Insiden dan Prevalensi
Gangguan bipolar I prevalensi seumur hidup sekitar 0,4-1,6% dan gangguan bipolar II
sekitar 0,5%. Sedangkan gangguan bipolar I atau bipolar II dengan siklus cepat memiliki
prevalensi 5-15% orang dengan gangguan bipolar.
Seks
Gangguan bipolar I memiliki prevalensi yang sama antara laki-laki dan perempuan. Episode
manik lebih sering terjadi pada laki-laki dan episode depresif lebih sering pada perempuan.
Bila episode manik terjadi pada perempuan, lebih mungkin terjadinya gambaran campuran
dibandingkan laki-laki. Perempuan juga memiliki angka yang lebih tinggi untuk terjadinya
siklus cepat, yaitu mengalami empat atau lebih episode manik dalam waktu 1 tahun.
Usia
Awitan gangguan bipolar I terjadi pada usia dini. Awitan usia berkisar dari masa kanakkanak (5-6 tahun) sampai 50 tahun atau ada juga pada usia lebih tua namun jarang. Usia
rata-rata saat terjadinya awitan pada usia 30 tahun.
2. Faktor Biokimia
Beberapa jalur biokimia kemungkinan berkontribusi terhadap gangguan
bipolar, yang mengapa mendeteksi satu kelainan tertentu sulit. Sejumlah
neurotransmiter telah dikaitkan dengan gangguan ini, sebagian besar didasarkan
pada respon pasien untuk agen psikoaktif seperti dalam contoh berikut.
Tekanan darah reserpin obat, yang menghabiskannya katekolamin dari
terminal saraf, tercatat kebetulan menyebabkan depresi. Hal ini menyebabkan
hipotesis katekolamin, yang menyatakan bahwa peningkatan epinefrin dan
norepinefrin menyebabkan mania dan penurunan epinefrin dan norepinefrin
menyebabkan depresi.
Obat yang digunakan untuk mengobati depresi dan penyalahgunaan obat
(misalnya, kokain) yang meningkatkan kadar monoamina, termasuk serotonin,
norepinefrin, dopamin atau, bisa semua berpotensi memicu mania, melibatkan
semua neurotransmiter ini dalam etiologi. Obat lain yang memperburuk mania
termasuk L-dopa, yang berimplikasi dopamin dan serotonin reuptake inhibitor-,
yang pada gilirannya melibatkan serotonin.
Semakin terbukti dari kontribusi glutamat baik gangguan bipolar dan depresi
berat. Sebuah studi postmortem dari lobus frontal individu dengan gangguan ini
menunjukkan bahwa tingkat glutamat meningkat.
Calcium channel blockers telah digunakan untuk mengobati mania, yang
mungkin juga akibat dari gangguan regulasi kalsium intraseluler dalam neuron
seperti yang disarankan oleh percobaan dan genetik data. Gangguan yang diusulkan
regulasi kalsium dapat disebabkan oleh berbagai penghinaan neurologis, seperti
transmisi glutaminergic berlebihan atau iskemia. Menariknya, valproate khusus
meregulasi ekspresi protein pendamping kalsium, GRP 78, yang mungkin menjadi
salah satu mekanisme utamanya perlindungan selular.
Ketidakseimbangan hormon dan gangguan dari sumbu hipotalamushipofisis-adrenal yang terlibat dalam homeostasis dan respon stres juga dapat
berkontribusi pada gambaran klinis dari gangguan bipolar.
3. faktor neurofisiologis
Selain studi neuroimaging struktural yang melihat perubahan volumetrik di
daerah otak tanpa aktivitas otak, studi neuroimaging fungsional dilakukan untuk
menemukan daerah otak, atau jaringan kortikal tertentu, yang baik hypoactive atau
hiperaktif pada penyakit tertentu. Misalnya meta-analisis oleh Houenou dkk
menemukan penurunan aktivasi dan pengurangan materi abu-abu di jaringan otak
kortikal-kognitif, yang telah dikaitkan dengan regulasi emosi pada pasien dengan
gangguan bipolar. Peningkatan aktivasi di limbik ventral daerah otak yang
menengahi pengalaman emosi dan generasi tanggapan emosional juga ditemukan.
Hal ini memberikan bukti perubahan fungsional dan anatomi di gangguan bipolar
dalam jaringan otak yang berhubungan dengan pengalaman dan regulasi emosi.
4. faktor psikodinamik
Banyak praktisi melihat dinamika penyakit manik-depresif sebagai
dihubungkan melalui jalur umum tunggal. Mereka melihat depresi sebagai
manifestasi dari kerugian (yaitu, hilangnya harga diri dan rasa tidak berharga). Oleh
karena itu, mania berfungsi sebagai pertahanan terhadap perasaan depresi. Melanie
Klein adalah salah satu pendukung utama dari formulasi ini.
5. Kelainan Tidur
Insomnia inisial dan terminal, sering terbangun, hipersomnia adalah gejala yang
klasik dan lazim pada depresi dan penurunan kebutuhan tidur merupakan gejala
klasik insomnia. Para peneliti telah lama mengenali bahwa EEG pada banyak pasien
dengan depresi mengalami kelainan. Kelainan yang lazim adalah awitan tidur yang
tertunda, pemendekan latensi Rapid Eye Movement (REM), peningkatan lama
periode REM pertama, serta tidur delta abnormal.
GEJALA KLINIS
Terdapat dua pola gejala dasar pada Gangguan bipolar yaitu, episode depresi
dan episode mania.
Episode manic:
Paling sedikit satu minggu (bisa kurang, bila dirawat) pasien mengalami mood
yang elasi, ekspansif, atau iritabel. Pasien memiliki, secara menetap, tiga atau lebih
gejala berikut (empat atau lebih bila hanya mood iritabel) yaitu:
a. Grandiositas atau percaya diri berlebihan
b. Berkurangnya kebutuhan tidur
c. Cepat dan banyaknya pembicaraan
d. Lompatan gagasan atau pikiran berlomba
e. Perhatian mudah teralih
f. Peningkatan energy dan hiperaktivitas psikomotor
g. Meningkatnya aktivitas bertujuan (social, seksual, pekerjaan dan sekolah)
h. Tindakan-tindakan sembrono (ngebut, boros, investasi tanpa perhitungan
yang matang).
Gejala yang derajatnya berat dikaitkan dengam penderitaan, gambaran psikotik,
hospitalisasi untuk melindungi pasien dan orang lain, serta adanya Gangguan fungsi
sosial dan pekerjaan. Pasien hipomania kadang sulit didiagnosa sebab beberapa
pasien hipomania justru memiliki tingkat kreativitas dan produktivitas yang tinggi.
Pasien hipomania tidak memiliki gambaran psikotik (halusinasi, waham atau
perilaku atau pembicaraan aneh) dan tidak memerlukan hospitalisasi.
Episode Depresi Mayor
Paling sedikit dua minggu pasien mengalami lebih dari empat symptom atau tanda
yaitu :
a. Mood depresif atau hilangnya minat atau rasa senang
b. Menurun atau meningkatnya berat badan atau nafsu makan
c. Sulit atau banyak tidur
d. Agitasi atau retardasi psikomotor
e. Kelelahan atau berkurangnya tenaga
f. Menurunnya harga diri
serasi dengan mood. Pasien dengan Gangguan bipolar sering didiagnosis sebagai
skizofrenia. Ciri psikotik biasanya merupakan tanda prognosis yang buruk bagi
pasien dengan Gangguan bipolar. Faktor berikut ini telah dihubungkan dengan
prognosis yang buruk seperti: durasi episode yang lama, disosiasi temporal antara
Gangguan mood dan gejala psikotik, dan riwayat penyesuaian social pramorbid
yang buruk. Adanya ciri-ciri psikotik yang memiiki penerapan terapi yang penting,
pasien dengan symptom psikotik hampir selalu memerlukan obat anti psikotik di
samping anti depresan atau anti mania atau mungkin memerlukan terapi
antikonvulsif untuk mendapatkan perbaikan klinis.
a. Kriteria diagnosis
Pembagian menurut DSM-IV:
Gangguan mood bipolar I
Gangguan mood bipolar I, episode manic tunggal
A. Hanya mengalami satu kali episode manic dan tidak ada rwayat depresi
mayor sebelumnya.
B. Tidak bertumpang tindih dengan skizofrenia, skizofreniform, skizoafektif,
Gangguan waham, atau dengan Gangguan psikotik yang tidak dapat
diklasifikasikan.
C. Gejala-gejala tidak disebabkan efek fisiologik langsung zat atau kondisi medic
umum
D. Gejala mood menyebabkan penderitaan yang secara klinik cukup bermakna
atau menimbulkan hendaya dalam social, pekerjaan dan aspek fungsi penting
lainnya.
Gangguan mood bipolar I, episode manic sekarang ini
A. Saat ini dalam episode manic
B. Sebelumnya, paling sedikit, pernah mengalami satu kali episode manik,
depresi, atau campuran.
C. Episode mood pada kriteria A dan B bukan skizoafektif dan tidak
bertumpang tindih dengan skizofrenia, skizofreniform, Gangguan waham,
atau dengan Gangguan psikotik yang tidak dapat diklasifikasikan.
D. Gejala-gejala tidak disebabkan oleh efek fisiologik langsung zat atau kondisi
medik umum.
E. Gejala mood menyebabkan penderitaan yang secara klinik cukup bermakna
atau menimbulkan hendaya dalam social, pekerjaan dan aspek fungsi penting
lainnya.
Gangguan mood bipolar I, episode campuran saat ini
A. Saat ini dalam episode campuran
B. Sebelumnya, paling sedikit, pernah mengalami episode manik, depresi atau
campuran
C. Episode mood pada kriteria A dan B tidak dapat dikategorikan skizoafektif
dan tidak bertumpang tindih dengan skizofrenia, skizifreniform, Gangguan
waham, atau Gangguan psikotik yang tidak diklasifikasikan
D. Gejala-gejala tidak disebabkan efek oleh fisiologik langsung zat atau kondisi
medik umum
E. Gejala mood menyebabkan penderitaan yang secara klinik cukup bermakna
atau menimbulkan hendaya dalam social, pekerjaan, atau aspek fungsi
penting lainnya.3,4
Gangguan mood bipolar I, episode hipomanik saat ini
A. Saat ini dalam episode hipomanik
B. Sebelumnya, paling sedikit, pernah mengalami satu episode manic atau
campuran
C. Gejala mood menyebabkan penderita yang secara klinik cukup bermakna
atau hendaya social, pekerjaan atau aspek fungsi penting lainnya
D. Episode mood pada kriteria A dan B tidak dapat dikategorikan sebagai
skizoafektif dan tidak bertumpang tindih dengan skizofrenia, skizofreniform,
Gangguan waham, dan dengan Gangguan psikotik yang tidak dapat
diklasifikasikan.
Gangguan mood bipolar I, episode depresi saat ini
A. Saat ini dalam episode depresi mayor
B. Sebelumnya, paling sedikit, pernah mengalami episode manik dan campuran
pada
criteria
bukan
skizoafektif
dan
tidak
1 tahun
kecuali pada orang usia lanjut. Kedua macam episode itu seringkali
terjadi setelah peristiwa hidup yang penuh stress atau trauma mental
lainnya (adanya stress tidak esensial untuk penegakan diagnosis).
b. Termasuk: gangguan atau psikosis manik-depresif
Tidak termasuk: Gangguan bipolar, episode manic tunggal (F30).
F31.0 Gangguan Afektif Bipolar, Episode Klinik Hipomanik
Litium (4)
Lihium merupakan galangan alkali paling ringan (golongan Ia); garam dari kation
monovalen ini mempunyai beberapa karakteristik dengan Na+ dan K+.
Pada sistem saraf pusat, kerja selektif lithium adalah menghambat jalur inositol
monofosfat, kemudian mengganggu jalur fosfatdilinositol dan menurunkan aktivasi PKC,
terutama isoform dan , dengan cara menurunkan inositol serebral.
Farmakologi
Sejumlah kecil litium terikat dengan protein. Litium diekskresikan dalam bentuk utuh
hanya melalui ginjal.
Indikasi
Episode mania akut, depresi, mencegah bunuh diri, dan bermanfaat sebagai terapi
rumatan gangguan bipolar.
Dosis
Respons litium terhadap mania akut dapat dimaksimalkan dengan menitrasi dosis
hingga mencapai dosis terapeutik yang berkisar antara 1,0-1,4 mEq/L. Perbaikan terjadi
dalam 7-14 hari. Dosis awal yaitu 20 mg/kg/hari. Dosis untuk mengatasi keadaan akut lebih
tinggi bila dibandingkan dengan terapi rumatan. Untuk terapi rumatan, dosis berkisar
antara 0,4-0,8 mEq/L. Dosis kecil dari 0,4 mEq/L, tidak efektif sebagai terapi rumatan.
Sebaliknya, gejala toksisitas litium dapat terjadi bila dosis 1,5 mEq/L.
Efek samping
Efek samping yang dilaporkan adalah mual, muntah, tremor, somnolen, penambahan
berat badan, dan penumpulan kognitif. Neurotoksisitas, delirium, dan ensefalopati dapat
pula terjadi akibat litium. Neurotoksisitas bersifat irreversible. Akibat intoksikasi litium,
deficit neurologi permanen dapat terjadi misalnya, ataksia, deficit memori, dan gangguan
pergerakan. Untuk mengatasi intoksikasi litium, hemodialisis harus segera dilakukan. Litium
dapat merusak tubulus ginjal. Factor resiko kerusakan ginjal adalah intoksikasi litium,
polifarmasi dan adanya penyakit fisik yang lainnya. Pasien yang mengkonsumsi litium dapat
mengalami poliuri. Oleh karena itu, pasien dianjurkan untuk banyak meminum air.
Pemeriksaan laboratorium
Sebelum memberikan litium, fungsi ginjal (ureum dan kreatinin) dan fungsi tiroid, harus
diperiksa terlebih dahulu. Untuk pasien yang berumur di atas 40 tahun, pemeriksaan EKG
harus dilakukan. Fungsi ginjal harus diperiksa Setiap Setiap 2-3 bulan dan fungsi tiroid dalam
enam bulan pertama. Setelah enam bulan, fungsi ginjal dan tiroid diperiksa sekali dalam 612 bulan atau bila ada indikasi.
Wanita hamil
Penggunaan litium pada wanita hamil dapat menimbulkan malformasi janin.
Kejadiannya meningkat bila janin terpapar pada kehamilan yang lebih dini. Wanita dengan
gangguan bipolar yang derajatnya berat, yang mendapat rumatan litium, dapat melanjutkan
litium selama kehamilan bila ada indikasi klinis. Kadar litium darahnya harus dipantau
dengan seksama. Pemeriksaan USG untuk memantau janin, harus dilakukan. Selama
kehamilannya, wanita tersebut harus disupervisioleh ahli kebidanan dan psikiater. Sebelum
kehamilan terjadi, risiko litium terhadap janin dan efek putus litium terhadap ibu harus
didiskusikan.
Valproat (4)
Valproat merupakan obat antiepilepsi yang disetujui oleh FDA sebagai antimania.
Valproat tersedia dalam bentuk:
1. Preparat oral;
a. Sodium divalproat, tablet salut, proporsi antara asam valproat dan sodium
valproat adalah sama (1:1)
b. Asam valproat
c. Sodium valproat
d. Sodium divalproat, kapsul yang mengandung partikel-partikel salut yang dapat
dimakan secara utuh atau dibuka dan ditaburkan ke dalam makanan.
e. Divalproat dalam bentuk lepas lambat, dosis sekali sehari.
2. Preparat intravena
3. Preparat supositoria
Farmakologi
Terikat dengan protein. Diserap dengan cepat setelah pemberian oral. Konsentrasi
puncak plasma valproat sodium dan asam valproat dicapai dalam dua jam sedangkan
sodium divalproat dalam 3-8 jam. Awitan absorbsi divalproat lepas lambat lebih cepat bila
dibandingkan dengan tablet biasa. Absorbsi menjadi lambat bila obat diminum bersamaan
dengan makanan. Ikatan valproat dengan protein meningkat bila diet mengandung rendah
lemak dan menurun bila diet mengandung tinggi lemak.
Dosis
Dosis terapeutik untuk mania dicapai bila konsentrasi valproat dalam serum berkisar
antara 45 -125 mg/mL. Untuk gangguan bipolar II dan siklotimia diperlukan divalproat
dengan konsentrasi plasma < 50 mg/mL. Dosis awal untuk mania dimulai dengan 15-20
mg/kg/hari atau 250 500 mg/hari dan dinaikkan setiap 3 hari hingga mencapai konsentrasi
serum 45- 125 mg/mL. Efek samping, misalnya sedasi, peningkatan nafsu makan, dan
penurunan leukosit serta trombosit dapat terjadi bila konsentrasi serum > 100 mg/mL.
Untuk terapi rumatan, konsentrasi valproat dalam plasma yang dianjurkan adalah antara
75-100 mg/mL.
Indikasi
Valproat efektif untuk mania akut, campuran akut, depresi mayor akut, terapi
rumatan gangguan bipolar, mania sekunder, gangguan bipolar yang tidak berespons dengan
litium, siklus cepat, gangguan bipolar pada anak dan remaja, serta gangguan bipolar pada
lanjut usia.
Efek Samping
Valproat ditoleransi dengan baik. Efek samping yang dapat terjadi, misalnya
anoreksia, mual, muntah, diare, dispepsia, peningkatan (derajat ringan) enzim
transaminase, sedasi, dan tremor. Efek samping ini sering terjadi pada awal pengobatan dan
bekurang dengan penurunan dosis atau dengan berjalannya waktu. Efek samping
gastrointestinal lebih sering terjadi pada penggunaan asam valproat dan valproat sodium
bila dibandingkan dengan tablet salut sodium divalproat.
pada bayi dan kesehatan mental ibu sebelum melanjutkan atau menghentikan pengobatan
lithium. (5)
Pada penelitian juga tercatat bahwa toksisitas lithium akut (dosis di atas 1,2 mM) itu
terjadi, terutama pada pasien membuat rentan setelah operasi, gagal ginjal, gagal jantung, atau
bahkan penyakit berat yang mengakibatkan diare dan muntah. Oleh karena itu, untuk
menghindari toksisitas lithium, setiap 3 bulan dianjurkan melakukan pemeriksaan kadar serum
lithium. (5)
Kadar lithium optimal dalam plasma berkisar 0,4-1,0 mM yang direkomendasikan saat
ini dalam mengobati gangguan bipolar. Penelitian terbaru melaporkan bahwa penggunaan
lithium pada akhir-hidup gangguan bipolar tidak hanya efektif dalam mengobati gejala manik
dan depresif, juga memberikan manfaat yang mengurangi tingkat penurunan kognitif dan
bunuh diri. Namun perlu dicermati pula ketika pemantauan dosis pada pasien yang lebih tua,
karena kadar lithium pada plasma dan otak tidak berkorelasi pada pasien yang lebih tua dengan
cara yang sama seperti pada pasien yang lebih muda. Selain itu, tingkat lithium otak yang lebih
tinggi ditemukan berkorelasi dengan kedua disfungsi lobus frontal dan peningkatan gejala
depresi pada orang dewasa yang lebih tua dengan gangguan bipolar. (5)
Menurut meta-analisis pada efek toksisitas pada valproat didapatkan terjadinya
kenaikan berat badan, penurunan potensi reproduksi, dan peningkatan tiga kali lipat dalam
cacat lahir (spina bifida, anencephaly, cacat jantung, fitur dismorfik, sindrom valproate, dan
kraniofasial, tulang, atau cacat anggota badan). (5) Valproat juga dikontraindikasikan pada
wanita dengan usia subur. Penggunaan valproat dapat meningkatkan prevalensi terjadinya
sindrom polikistik ovarium. (6)
Dalam sebuah tinjauan terbaru survei perawatan obat untuk gangguan mood selama
kehamilan, dilaporkan bahwa penggunaan valproat harus dihindari. Sebaliknya, lithium risiko
terjadinya teratogenik tidak signifikan, sehingga berpotensi cocok untuk mengobati pasien
hamil. Namun lithium kontraindikasi pada pasien dengan kehamilan trimester awal. (5) (7)
Efek samping lain dari pengobatan dengan valproat, termasuk penurunan IQ pada anakanak setelah paparan janin. Ada juga terdapat laporan hepatotoksisitas dan kerusakan
hematopoietik (trombositopenia, disfungsi trombosit, defisiensi faktor XIII, hipofibrinogenemia,
dan kekurangan vitamin faktor tergantung K) setelah pengobatan dengan valproat. Yang
menarik, lithium disarankan untuk digunakan dalam mengobati defisit hematopoietik melalui
peningkatan colony-stimulating factor. Valproat juga dilaporkan meningkatkan prevalensi
penyakit von Wilbrant, kelainan koagulasi yang mengalami peningkatan kecenderungan
perdarahan dalam bentuk mudah memar, mimisan, dan gusi berdarah, dan peningkatan
sembilan kali lipat pada anemia aplastik, suatu kondisi di mana pasien memiliki sel darah merah
yang lebih rendah, sel darah putih, dan trombosit karena sumsum tulang tidak memproduksi
sel-sel baru yang cukup. Sehingga pemilihan penggunaan lithium dan valproat harus
dipertimbangkan keuntungan dan kekurangannya. (5)
DAFTAR PUSTAKA
1. Maslim, Rusdi. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa. Jakarta : PT NUH, 2003.
2. Sadock. Buku Ajar Psikiatri Klinis. Jakarta : EGC, 2014.
3. Soreff, Stepen. Bipolar Affective Disorder. Medscape. [Online] Agustus 18, 2014. [Cited: Oktober 6,
2014.] emedicine.medscape.com.
4. Gilman, Goodman. Manual Farmakologi dan Terapi. Jakarta : EGC, 2011.
5. Therapeutic Potential of Mood Stabilizers Lithium and Valproic Acid : Beyond Bipolar Disorder. Chiu,
Chi-Tso. Maryland : Pharmacological review, 2013, Vol. 65.
6. Polycystic ovary syndrome in women using valproate: A review. Bilo, Leonilda. Napoly, Italy : Pubmed,
2008.
7. Lithium (Rx). Medscape. [Online] [Cited: Oktober 7, 2014.] emedicine.medscape.com.