You are on page 1of 29

BAB I

PENDAHULUAN
Asfiksia adalah kumpulan dari pelbagai keadaan dimana terjadi gangguan
dalam pertukaran udara pernafasan yang normal. Gangguan tersebut dapat
disebabkan karena adanya obstruksi pada saluran pernafasan dan gangguan yang
diakibatkan karena terhentinya sirkulasi. Gangguan ini akan menimbulkan suatu
keadaan dimana oksigen dalam darah berkurang yang disertai dengan peningkatan
kadar karbondioksida. Keadaan ini jika terus dibiarkan dapat menyebabkan terjadinya
kematian.
Asfiksia merupakan penyebab kematian terbanyak yang ditemukan dalam
kasus kedokteran forensik. Asfiksia yang diakibatkan oleh karena adanya obstruksi
pada saluran pernafasan disebut asfiksia mekanik. Asfiksia jenis inilah yang paling
sering dijumpai dalam kasus tindak pidana yang menyangkut tubuh dan nyawa
manusia. Mengetahui gambaran asfiksia, khususnya pada postmortem serta keadaan
apa saja yang dapat menyebabkan asfiksia, khususnya asfiksia mekanik mempunyai
arti penting terutama dikaitkan dengan proses penyidikan.
Dalam penyidikan untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban
yang diduga karena peristiwa tindak pidana, seorang penyidik berwenang
mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau
dokter dan atau ahli lainnya. Seorang dokter sebagaimana pasal 179 KUHAP wajib

memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan yang sebenarnya menurut


pengetahuan di bidang keahliannya demi keadilan. Untuk itu, sudah selayaknya
seorang dokter perlu mengetahui dengan seksama perihal ilmu forensik, salah satunya
asfiksia. Makalah ini secara garis besar akan membahas mengenai asfiksia,
khususnya asfiksia mekanik.

BAB II
ASFIKSIA

Terminologi
Asfiksia berasal dari bahasaYunani, yaitu terdiri dari a yang berarti tidak,
dan sphinx yang artinya nadi. Jadi secara harfiah, asfiksia diartikan sebagai
tidak ada nadi atau tidak berdenyut. Pengertian ini sering salah dalam
penggunaannya. Akibatnya sering menimbulkan kebingungan untuk membedakan
dengan status anoksia lainnya (1).

Definisi Asfiksia
Asfiksia atau mati lemas adalah suatu keadaan berupa berkurangnya kadar
oksigen (O2) dan berlebihnya kadar karbon dioksida (CO 2) secara bersamaan dalam
darah dan jaringan tubuh akibat gangguan pertukaran antara oksigen (udara) dalam
alveoli paru-paru dengan karbon dioksida dalam darah kapiler paru-paru. Kekurangan
oksigen disebut hipoksia dan kelebihan karbon dioksida disebut hiperkapnia (1,2,3).
Dalam kenyataan sehari-hari, hipoksia ternyata merupakan gabungan dari
empat kelompok, dimana masing-masing kelompok tersebut memang mempunyai ciri
tersendiri. Walaupun ciri atau mekanisme yang terjadi pada masing-masing kelompok
akan menghasilkan akibat yang sama bagi tubuh. Kelompok tersebut adalah (2,4):

Hipoksik-hipoksia
Dalam keadaan ini oksigen gagal untuk masuk ke dalam sirkulasi darah.
Anemik-hipoksia
Keadaan dimana darah yang tersedia tidak dapat membawa oksigen yang cukup
untuk metabolisme dalam jaringan.
Stagnan-hipoksia
Keadaan dimana oleh karena suatu sebab terjadi kegagalan sirkulasi.
Histotoksik-hipoksia
Suatu keadaan dimana oksigen yang terdapat dalam darah, oleh karena suatu hal,
oksigen tersebut tidak dapat dipergunakan oleh jaringan.

Etiologi Asfiksia
Dari segi etiologi, asfiksia dapat disebabkan oleh hal berikut (1,4):
Penyebab Alamiah, misalnya penyakit yang menyumbat saluran pernafasan
seperti laryngitis difteri, tumor laring, asma bronkiale, atau menimbulkan
gangguan pergerakan paru seperti fibrosis paru, pneumonia, COPD.
Trauma mekanik, yang menyebabkan asfiksia mekanik, misalnya trauma yang
mengakibatkan emboli, pneumotoraks bilateral, sumbatan atau halangan pada
saluran napas dan sebagainya. Emboli terbagi atas 2 macam, yaitu emboli lemak
dan emboli udara. Emboli lemak disebabkan oleh fraktur tulang panjang. Emboli
udara disebabkan oleh terbukanya vena jugularis akibat luka.

Keracunan bahan yang menimbulkan depresi pusat pernafasan, misalnya


barbiturate, narkotika.

Gejala Asfiksia
Ada 4 stadium gejala / tanda dari asfiksia, yaitu (1,5):
Fase dispneu / sianosis
Fase konvulsi
Fase apneu
Fase akhir / terminal / final
Pada fase dispneu / sianosis asfiksia berlangsung kira-kira 4 menit. Fase ini
terjadi akibat rendahnya kadar oksigen dan tingginya kadar karbon dioksida.
Tingginya kadar karbon dioksida akan merangsang medulla oblongata sehingga
terjadi perubahan pada pernapasan, nadi dan tekanan darah. Pernapasan terlihat cepat,
berat, dan sukar. Nadi teraba cepat. Tekanan darah terukur meningkat.
Fase konvulsi asfiksia terjadi kira-kira 2 menit. Awalnya berupa kejang klonik
lalu kejang tonik kemudian opistotonik. Kesadaran mulai hilang, pupil dilatasi,
denyut jantung lambat, dan tekanan darah turun.
Fase apneu asfiksia berlangsung kira-kira 1 menit. Fase ini dapat kita amati
berupa adanya depresi pusat pernapasan (napas lemah), kesadaran menurun sampai
hilang dan relaksasi spingter.

Fase akhir asfiksia ditandai oleh adanya paralisis pusat pernapasan lengkap.
Denyut jantung beberapa saat masih ada lalu napas terhenti kemudian mati.

Gambaran Postmortem pada Asfiksia


Karena asfiksia merupakan mekanisme kematian, maka secara menyeluruh
untuk semua kasus akan ditemukan tanda-tanda umum yang hampir sama, yaitu:
Pada pemeriksaan luar (1,4,5):
Muka dan ujung-ujung ekstremitas sianotik (warna biru keunguan) yang
disebabkan tubuh mayat lebih membutuhkan HbCO2 daripada HbO2.
Tardieu's spot pada konjungtiva bulbi dan palpebra. Tardieu's spot merupakan
bintik-bintik perdarahan (petekie) akibat pelebaran kapiler darah setempat.
Lebam mayat cepat timbul, luas, dan lebih gelap karena terhambatnya
pembekuan darah dan meningkatnya fragilitas/permeabilitas kapiler. Hal ini
akibat meningkatnya kadar CO2 sehingga darah dalam keadaan lebih cair. Lebam
mayat lebih gelap karena meningkatnya kadar HbCO2..
Busa halus keluar dari hidung dan mulut. Busa halus ini disebabkan adanya
fenomena kocokan pada pernapasan kuat.
Pada pemeriksaan dalam (1,4,5):
Organ dalam tubuh lebih gelap & lebih berat dan ejakulasi pada mayat laki-laki
akibat kongesti / bendungan alat tubuh & sianotik.
Darah termasuk dalam jantung berwarna gelap dan lebih cair.

Tardieu's spot pada pielum ginjal, pleura, perikard, galea apponeurotika, laring,
kelenjar timus dan kelenjar tiroid.
Busa halus di saluran pernapasan.
Edema paru.
Kelainan lain yang berhubungan dengan kekerasan seperti fraktur laring, fraktur
tulang lidah dan resapan darah pada luka.

Gambar 1. Ujung-ujung jari yang sianotik pada kasus asfiksia

Gambar 2. Tardieus spot pada konjungtiva palpebrae

Gambar 3. Lebam mayat pada kasus asfiksia

Asfiksia Mekanik (4)


Asfiksia mekanik adalah mati lemas yang terjadi bila udara pernafasan terhalang
memasuki saluran pernafasan oleh berbagai kekerasan (yang bersifat mekanik),
misalnya :
Penutupan lubang saluran pernafasan bagian atas:

Pembekapan (smothering)

Penyumbatan (gagging dan choking)

Penekanan dinding saluran pernafasan:

Penjeratan (strangulation)

Pencekikan (manual strangulation)

Gantung (hanging)

External pressure of the chest yaitu penekanan dinding dada dari luar.
Drawning (tenggelam) yaitu saluran napas terisi air.
Inhalation of suffocating gases.
Karena mekanisme kematian pada kasus tenggelam bukan murni disebabkan oleh
asfiksia, maka ada sementara ahli yang tidak lagi memasukkan tenggelam ke dalam
kelompok asfiksia mekanik, tetapi dibicarakan sendiri.

Berikut akan dibahas

beberapa kasus asfiksia mekanik.

1. PENGGANTUNGAN (HANGING)
1.1 Definisi
Penggantungan (hanging) merupakan suatu strangulasi berupa tekanan pada
leher akibat adanya jeratan yang menjadi erat oleh berat badan korban (1,3,4).

1.2 Etiologi Kematian pada Penggantungan


Ada 4 penyebab kematian pada penggantungan, yaitu (1,3):

Asfiksia

Iskemia otak akibat gangguan sirkulasi

Vagal reflex

Kerusakan medulla oblongata atau medulla spinalis

1.3 Cara Kematian pada Penggantungan


Ada 3 cara kematian pada penggantungan, yaitu (1):
Bunuh diri (paling sering) .
Pembunuhan, termasuk hukuman mati .
Kecelakaan, misalnya bermain dengan tali lasso, tali parasut pada terjun payung,
dan penggunaan tali untuk mendapat kepuasan seks.
Untuk mengetahui lebih jelas cara kematian ini, hal yang perlu diperhatikan, yaitu
(1,3):

10

Ada tidaknya alat penumpu korban, misalnya bangku dan sebagainya.


Arah serabut tali penggantung.
Serabut tali penggantung yang arahnya menuju korban dapat memberi petunjuk
bagi kita bahwa korban melakukan bunuh diri. Sebaliknya, bila arah serabut tali
menjauhi korban menjadi bukti korban dibunuh lebih dahulu sebelum digantung.
Distribusi lebam mayat.
Distribusi lebam mayat harus kita perhatikan secara seksama, apakah sesuai
dengan posisi mayat ataukah tidak.
Jenis simpul tali gantungan.
Hal ini penting diperhatikan karena dapat kita jadikan sebagai patokan apakah
korban melakukan bunuh diri ataukah korban pembunuhan. Simpul tali, baik
simpul hidup maupun simpul mati, bila melewati lingkar kepala korban dapat
menunjukkan korban melakukan bunuh diri. Apabila simpul tali tidak melewati
lingkar kepala korban, berarti korban dibunuh lebih dahulu sebelum digantung.
Simpul hidup harus dilonggarkan secara maksimal untuk membuktikannya.

1.4 Gambaran Postmortem pada Penggantungan


1.4.1 Pemeriksaan luar (1,3):
Kepala.
Muka korban penggantungan akan mengalami sianosis dan terlihat pucat
karena vena terjepit. Selain itu, pucat pada muka korban juga disebabkan

11

terjepitnya arteri. Mata korban dapat melotot akibat adanya bendungan pada
kepala korban. Hal ini disebabkan terhambatnya vena-vena kepala tetapi arteri
kepala tidak terhambat.
Bintik-bintik perdarahan pada konjungtiva korban terjadi akibat pecahnya
vena dan meningkatnya permeabilitas pembuluh darah karena asfiksia.
Lidah korban penggantungan bisa terjulur, bisa juga tidak terjulur. Lidah
terjulur apabila letak jeratan gantungan tepat berada pada kartilago tiroidea.
Lidah tidak terjulur apabila letaknya berada diatas kartilago tiroidea.

Leher.
Alur jeratan pada leher korban penggantungan berbentuk lingkaran (V
shape). Alur jerat berupa luka lecet atau luka memar dengan ciri-ciri :
-

Alur jeratan pucat.

Tepi alur jerat coklat kemerahan.

Kulit sekitar alur jerat terdapat bendungan.

Alur jeratan yang simetris / tipikal pada leher korban penggantungan


(hanging) menunjukkan letak simpul jeratan berada dibelakang leher korban.
Alur jeratan yang asimetris menunjukkan letak simpul disamping leher.

Anggota gerak (lengan dan tungkai).

12

Anggota gerak korban penggantungan dapat kita temukan adanya lebam


mayat pada ujung bawah lengan dan tungkai. Penting juga kita ketahui ada
tidaknya luka lecet pada anggota gerak tersebut.
Dubur dan Alat kelamin.
Dubur korban penggantungan dapat mengeluarkan feses. Alat kelamin
korban dapat mengeluarkan mani, urin, dan darah (sisa haid). Pengeluaran urin
disebabkan kontraksi otot polos pada stadium konvulsi atau puncak asfiksia.
Lebam mayat dapat ditemukan pada genitalia eksterna korban.

1.4.2 Pemeriksaan Dalam (1,3):


Kepala.
Kepala korban penggantungan dapat kita temukan tanda-tanda bendungan
pembuluh darah otak, kerusakan medulla spinalis dan medulla oblongata. Kedua
kerusakan tersebut biasanya terjadi pada hukuman gantung (judicial hanging).
Leher.
Leher korban penggantungan dapat kita temukan adanya perdarahan
dalam otot atau jaringan, fraktur (os hyoid, kartilago tiroidea, kartilago krikoidea,
dan trakea), dan robekan kecil pada intima pembuluh darah leher (vena jugularis).
Dada dan perut.
Pada dada dan perut korban dapat ditemukan adanya perdarahan (pleura,
perikard, peritoneum, dan lain-lain) dan bendungan/kongesti organ.

13

Darah.
Darah dalam jantung korban penggantungan (hanging) warnanya lebih
gelap dan konsistensinya lebih cair.

Tabel 1. Perbedaan antara penggantungan antemortem dan postmortem

No
1

Penggantungan antemortem
Tanda-tanda penggantungan ante-mortem

Penggantungan postmortem
Tanda-tanda post-mortem menunjukkan kematian

bervariasi. Tergantung dari cara kematian

yang bukan disebabkan penggantungan

korban
Tanda jejas jeratan miring, berupa lingkaran

Tanda jejas jeratan biasanya berbentuk lingkaran utuh

terputus (non-continuous) dan letaknya pada

(continuous), agak sirkuler dan letaknya pada bagian

leher bagian atas


Simpul tali biasanya tunggal, terdapat pada

leher tidak begitu tinggi


Simpul tali biasanya lebih dari satu, diikatkan dengan

sisi leher
Ekimosis tampak jelas pada salah satu sisi

kuat dan diletakkan pada bagian depan leher


Ekimosis pada salah satu sisi jejas penjeratan tidak

dari jejas penjeratan. Lebam mayat tampak di

ada atau tidak jelas. Lebam mayat terdapat pada

atas jejas jerat dan pada tungkai bawah

bagian tubuh yang menggantung sesuai dengan posisi

Pada kulit di tempat jejas penjeratan teraba

mayat setelah meninggal


Tanda parchmentisasi tidak ada atau tidak begitu jelas

seperti perabaan kertas perkamen, yaitu tanda


6

parchmentisasi
Sianosis pada wajah, bibir, telinga, dan lain-

Sianosis pada bagian wajah, bibir, telinga dan lain-lain

lain sangat jelas terlihat terutama jika

tergantung dari penyebab kematian

kematian karena asfiksia


Wajah membengkak dan mata mengalami

Tanda-tanda pada wajah dan mata tidak terdapat,

kongesti dan agak menonjol, disertai dengan

kecuali jika penyebab kematian adalah pencekikan

gambaran pembuluh dara vena yang jelas

(strangulasi) atau sufokasi

14

No
8

Penggantungan antemortem
pada bagian kening dan dahi
Lidah bisa terjulur atau tidak sama sekali

Penggantungan postmortem
Lidah tidak terjulur kecuali pada kasus kematian

Penis. Ereksi penis disertai dengan keluarnya

akibat pencekikan
Penis. Ereksi penis dan cairan sperma tidak ada.

cairan sperma sering terjadi pada korban pria.

Pengeluaran feses juga tidak ada

Demikian juga sering ditemukan keluarnya


10

feses
Air liur. Ditemukan menetes dari sudut mulut,

Air liur tidak ditemukan yang menetes pad kasus

dengan arah yang vertikal menuju dada. Hal

selain kasus penggantungan.

ini merupakan pertanda pasti penggantungan


ante-mortem

Tabel 2. Perbedaan penggantungan pada bunuh diri dan pada pembunuhan

No
1

Penggantungan pada bunuh diri


Usia. Gantung diri lebih sering terjadi pada

Penggantungan pada pembunuhan


Tidak mengenal batas usia, karena tindakan

remaja dan orang dewasa. Anak-anak di

pembunuhan dilakukan oleh musuh atau lawan dari

bawah usia 10 tahun atau orang dewasa di

korban dan tidak bergantung pada usia

atas usia 50 tahun jarang melakukan gantung


diri
Tanda jejas jeratan, bentuknya miring, berupa

Tanda jejas jeratan, berupa lingkaran tidak terputus,

lingkaran terputus (non-continuous) dan

mendatar, dan letaknya di bagian tengah leher, karena

terletak pada bagian atas leher


Simpul tali, biasanya hanya satu simpul yang

usaha pelaku pembunuhan untuk membuat simpul tali


Simpul tali biasanya lebih dari satu pada bagian depan

letaknya pada bagian samping leher


Riwayat korban. Biasanya korban mempunyai

leher dan simpul tali tersebut terikat kuat


Sebelumnya korban tidak mempunyai riwayat untuk

riwayat untuk mencoba bunuh diri dengan

bunuh diri

15

No
5

Penggantungan pada bunuh diri


cara lain
Cedera. Luka-luka pada tubuh korban yang

Penggantungan pada pembunuhan


Cedera berupa luka-luka pada tubuh korban biasanya

bisa menyebabkan kematian mendadak tidak

mengarah kepada pembunuhan

ditemukan pada kasus bunuh diri


Racun. Ditemukannya racun dalam lambung

Terdapatnya racun berupa asam opium hidrosianat

korban, misalnya arsen, sublimat korosif dan

atau kalium sianida tidak sesuai pada kasus

lain-lain tidak bertentangan dengan kasus

pembunuhan, karena untuk hal ini perlu waktu dan

gantung diri. Rasa nyeri yang disebabkan

kemauan dari korban itu sendiri. Dengan demikian

racun tersebut mungkin mendorong korban

maka kasus penggantungan tersebut adalah karena

untuk melakukan gantung diri


Tangan tidak dalam keadaan terikat, karena

bunuh diri
Tangan yang dalam keadaan terikat mengarahkan

sulit untuk gantung diri dalam keadaan tangan

dugaan pada kasus pembunuhan

terikat
Kemudahan. Pada kasus bunuhdiri, mayat

Pada kasus pembunuhan, mayat ditemukan tergantung

biasanya ditemukan tergantung pada tempat

pada tempat yang sulit dicapai oleh korban dan alat

yang mudah dicapai oleh korban atau di

yang digunakan untuk mencapai tempat tersebut tidak

sekitarnya ditemukan alat yang digunakan

ditemukan

untuk mencapai tempat tersebut


Tempat kejadian. Jika kejadian berlangsung di

Tempat kejadian. Bila sebaliknya pada ruangan

dalam kamar, dimana pintu, jendela

ditemukan terkunci dari luar, maka penggantungan

ditemukan dalam keadaan tertutup dan

adalah kasus pembunuhan

terkunci dari dalam, maka kasusnya pasti


10

merupakan bunuh diri


Tanda-tanda perlawanan, tidak ditemukan

Tanda-tanda perlawanan hampir selalu ada kecuali

pada kasus gantung diri

jika korban sedang tidur, tidak sadar atau masih anakanak.

16

2. PENJERATAN (STRANGULATION BY LIGATURE)


2.1 Definisi
Jerat (strangulation by ligature) adalah suatu strangulasi berupa tekanan pada leher
korban akibat suatu jeratan dan menjadi erat karena kekuatan lain bukan karena berat
badan korban (1,4).

2.2 Etiologi Kematian pada Penjeratan


Ada 3 penyebab kematian pada jerat (strangulation by ligature), yaitu (1,4,6):
Asfiksia
Iskemia
Vagal refleks

2.3 Cara Kematian pada Penjeratan:


Ada 3 cara kematian pada kasus jeratan (strangulation by ligature), yaitu (1,4,6):
Pembunuhan (paling sering).
Pembunuhan pada kasus jeratan dapat kita jumpai pada kejadian
infanticide dengan menggunakan tali pusat, psikopat yang saling menjerat, dan
hukuman mati (zaman dahulu).
Kecelakaan.

17

Kecelakaan pada kasus jeratan dapat kita temukan pada bayi yang terjerat
oleh tali pakaian, orang yang bersenda gurau dan pemabuk. Vagal reflex menjadi
penyebab kematian pada orang yang bersenda gurau.
Bunuh diri.
Pada kasus bunuh diri dengan jeratan, dilakukan dengan melilitkan tali
secara berulang dimana satu ujung difiksasi dan ujung lainnya ditarik. Antara
jeratan dan leher dimasukkan tongkat lalu mereka memutar tongkat tersebut.

Hal-hal penting yang perlu kita perhatikan pada kasus jeratan, antara lain (1,6):
Arah jerat mendatar / horisontal.
Lokasi jeratan lebih rendah daripada kasus penggantungan.
Jenis simpul penjerat.
Bahan penjerat misalnya tali, kaus kaki, dasi, serbet, serbet, dan lain-lain.
Pada kasus pembunuhan biasanya kita tidak menemukan alat yang digunakan
untuk menjerat.

2.4 Gambaran Postmortem


Pemeriksaan otopsi pada kasus jeratan (strangulation by ligature) mirip kasus
penggantungan (hanging) kecuali pada (1,4):
Distribusi lebam mayat yang berbeda.

18

Alur jeratan mendatar / horisontal.


Lokasi jeratan lebih rendah.

Gambar 4. Jejas jerat pada leher

Gambar 5. Berbagai mekanisme penjeratan

19

3. PENCEKIKAN (MANUAL STRANGULASI)


3.1 Definisi
Pencekikan (manual strangulasi) adalah suatu strangulasi berupa tekanan pada leher
korban yang dilakukan dengan menggunakan tangan atau lengan bawah. Pencekikan
dapat dilakukan dengan 3 cara, yaitu:
Menggunakan 1 tangan dan pelaku berdiri di depan korban.
Menggunakan 2 tangan dan pelaku berdiri di depan atau di belakang korban.

20

Menggunakan 1 lengan dan pelaku berdiri di depan atau di belakang korban.


Apabila pelaku berdiri di belakang korban dan menarik korban ke arah pelaku maka
ini disebut mugging (1,4).

3.2 Etiologi Kematian pada Pencekikan


Ada 3 penyebab kematian pada pencekikan, yaitu (1):
Asfiksia
Iskemia
Vagal reflex

3.3 Cara Kematian pada Pencekikan


Ada 2 cara kematian pada kasus pencekikan, yaitu (1):
Pembunuhan (hampir selalu).
Kecelakaan, biasanya mati karena vagal reflex.

3.4 Gambaran Postmortem Pencekikan


3.4.1 Pemeriksaan Luar:
Yang perlu diperhatikan pada pemeriksaan luar kasus pencekikan, antara lain (1,4):
Tanda asfiksia.

21

Tanda-tanda asfiksia pada pemeriksaan luar otopsi yang dapat kita


temukan antara lain adanya sianotik, petekie, atau kongesti daerah kepala, leher
atau otak. Lebam mayat akan terlihat gelap.
Tanda kekerasan pada leher.
Tanda kekerasan pada leher yang penting kita cari, yaitu bekas kuku dan
bantalan jari. Bekas kuku dapat kita kenali dari adanya crescent mark, yaitu luka
lecet berbentuk semilunar/bulan sabit. Terkadang kita dapat menemukan sidik jari
pelaku. Perhatikan pula tangan yang digunakan pelaku, apakah tangan kanan
(right handed) ataukah tangan kiri (left handed). Arah pencekikan dan jumlah
bekas kuku juga tak luput dari perhatian kita.
Tanda kekerasan pada tempat lain.
Tanda kekerasan pada tempat lain dapat kita temukan di bibir, lidah,
hidung, dan lain-lain. Tanda ini dapat menjadi petunjuk bagi kita bahwa korban
melakukan perlawanan.

3.4.2 Pemeriksaan Dalam:


Hal yang penting pada pemeriksaan dalam bagian leher kasus pencekikan, yaitu (1,4):
Perdarahan atau resapan darah.
Perdarahan atau resapan darah dapat kita cari pada otot, kelenjar tiroid, kelenjar
ludah, dan mukosa & submukosa pharing atau laring.
Fraktur.

22

Fraktur yang paling sering kita temukan pada os hyoid. Fraktur lain pada
kartilago tiroidea, kartilago krikoidea, dan trakea.
Memar atau robekan membran hipotiroidea.
Luksasi artikulasio krikotiroidea dan robekan ligamentum pada mugging.

4. PEMBEKAPAN (SMOTHERING)
4.1 Definisi
Pembekapan (smothering) adalah suatu suffocation dimana lubang luar jalan napas
yaitu hidung dan mulut tertutup secara mekanis oleh benda padat atau partikelpartikel kecil (1).

4.2 Etiologi Kematian pada Pembekapan:


Ada 3 penyebab kematian pada pembekapan (smothering), yaitu (1):
Asfiksia
Edema paru
Hiperaerasi
Edema paru dan hiperaerasi terjadi pada kematian yang lambat dari pembekapan.

4.3 Cara Kematian pada Pembekapan:

23

Cara kematian pada kasus pembekapan, yaitu (1,4):


Kecelakaan (paling sering), misalnya tertimbun tanah longsor atau salju,
alkoholisme, bayi tertutup selimut atau mammae ibu
Pembunuhan, misalnya hidung dan mulut diplester, bantal ditekan ke wajah,
serbet atau dasi dimasukkan ke dalam mulut.
Bunuh diri

4.4 Gambaran Postmortem Pembekapan


Hal-hal penting pada pemeriksaan otopsi kasus pembekapan, yaitu (1,4):
Mencari penyebab kematian.
Menemukan tanda-tanda asfiksia.
Menemukan edema paru, hiperaerasi dan sianosis pada kematian yang lambat.

5. TERSEDAK (CHOCKING)
5.1 Definisi
Tersedak (chocking) adalah suatu suffocation dimana ada benda padat yang masuk
dan menyumbat lumen jalan udara (1).

5.2 Cara Kematian Pada Kasus Tersedak


Ada 2 cara kematian pada kasus tersedak, yaitu (1,4):

24

Kecelakaan (paling sering), seperti gangguan refleks batuk pada alkoholisme,


pada bayi atau anak kecil yang gemar memasukkan benda asing ke dalam
mulutnya, tonsilektomi, aspirasi, dan kain kasa yang tertinggal pada anestesi eter.
Pembunuhan (kasus infanticide)

5.3 Gambaran Postmortem


Hal-hal penting pada pemeriksaan otopsi kasus tersedak (chocking), yaitu (1,4):
Mencari bahan penyebab dalam saluran pernapasan. Juga kadang-kadang ada
tanda kekerasan di mulut korban.
Menemukan tanda asfiksia.
Mencari tanda-tanda edema paru, hiperaerasi dan atelektasis pada kematian
lambat.
Tersedak dapat terjadi sebagai komplikasi dari bronkopneumonia dan abses.

6. ASFIKSIA TRAUMATIK (EXTERNAL PRESSURE OF THE CHEST)


6.1 Definisi
Asfiksia traumatik (external pressure of the chest) adalah terhalangnya udara untuk
masuk dan keluar dari paru-paru akibat terhentinya gerak napas yang disebabkan
adanya suatu tekanan dari luar pada dada korban (1,4).

25

6.2 Cara Kematian Pada Kasus Asfiksia Traumatik


Cara kematian pada kasus asfiksia traumatik, antara lain (1,4):
Kecelakaan (paling sering), misalnya terjepit antara lantai dengan elevator, antara
2 kendaraan, atau antara dinding dengan kendaraan yang mundur, tertimbun
runtuhan benda atau bangunan, pasir, atau batubara atau berdesakan di pintu
sempit akibat panik.
Pembunuhan (misalnya burking)

6.3 Gambaran Postmortem


Ada 2 hal yang penting kita lakukan pada pemeriksaan otopsi korban kasus asfiksia
traumatik (external pressure of the chest), yaitu (1,4):
Mencari tanda kekerasan di dada.
Menemukan tanda asfiksia.

7. INHALATION OF SUFFOCATING GASSES


7.1 Definisi
Inhalation of suffocating gasses adalah suatu keadaan dimana korban menghisap gas
tertentu dalam jumlah berlebihan sehingga kebutuhan O2 tidak terpenuhi (1).

26

7.2 Cara kematian pada kasus Inhalation of suffocating gasses:


Ada 3 cara kematian pada korban kasus inhalation of suffocating gasses, yaitu
menghisap gas (1):
CO
CO2
H2S
Gas CO banyak pada kebakaran hebat. Gas CO 2 banyak pada sumur tua dan gudang
bawah tanah. Gas H2S pada tempat penyamakan kulit.

27

BAB III
PENUTUP

Asfiksia atau mati lemas adalah suatu keadaan berupa berkurangnya kadar
oksigen dan berlebihnya kadar karbon dioksida secara bersamaan dalam darah dan
jaringan tubuh akibat gangguan pertukaran antara oksigen dalam alveoli paru-paru
dengan karbon dioksida dalam darah kapiler paru-paru. Asfiksia mekanik adalah
mati lemas yang terjadi bila udara pernafasan terhalang memasuki saluran pernafasan
oleh berbagai kekerasan (yang bersifat mekanik), misalnya pada kasus pembekapan
(smothering), penyumbatan (gagging dan chocking), penjeratan (strangulation),
pencekikan (manual strangulation), penggantungan (hanging), external pressure of
the chest yaitu penekanan dinding dada dari luar, dan inhalation of suffocating gasses.

DAFTAR PUSTAKA

28

1. Muhammad Al Fatih II. Asfiksia dalam Forensik Klinik.

Available at

http://www.klinikindonesia.com/forensik.php. Diakses tanggal 31 desember 2014


2. Abdul Munin Idries. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik Edisi Pertama.
Binarupa Aksara. 1997. Hal 170-175
3. Anonim. Tanatologi Dan Identifikasi Kematian Mendadak (Khususnya Pada
Kasus

Penggantungan).

Available

at

http://fkuii.org/tiki-

download_wiki_attachment.php?attId=14. Diakses tanggal 31 desember 2014


4. Budiyanto A. Kematian Akibat Asfiksia Mekanik dalam Ilmu Kedokteran
Forensik Edisi I. Jakarta. Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 1997. Hal 55 70.
5. Surya Putra. Penentuan Standar Asfiksia Sebagai Penyebab Kematian di Instalasi
Kedokteran Forensik RSUD DR.Sardjito. Badan Litbang Kesehatan, Departemen
Kesehatan RI. Available at http://digilib.litbang.depkes.go.id. Diakses tanggal 31
desember 2014
6. Amy R. Suicidal Ligature Strangulation: Case Report and Review of the
Literature. 2000. Available at http://www.forensikkasus.fkui.com. Diakses
tanggal 31 desember 2014

29

You might also like