You are on page 1of 5

Profil Perusahaan

Kompleks pabrik ASC yang terintegrasi dari proses Klor Alkali hingga proses Polivinil Klorida terletak di Cilegon,
Provinsi Banten, Indonesia. Kompleks ini memproduksi bahan-bahan kimia dasar yang sangat diperlukan oleh
banyak industri hilir.
Pada tahun 1986, ASC berdiri sebagai suatu perusahaan multinasional dengan kantor pusat di Jakarta. Pada tahun
1989 ASC memulai operasinya di kompleks produksi berteknologi mutakhir yang terletak di Provinsi Banten. Dalam
perjalanannya, kompleks produksi tersebut telah mengalami beberapa tahap perluasan sehingga meningkatkan
kapasitas produksinya secara signifikan, dengan total investasi mencapai US$ 545 Juta. Saat ini ASC
mengoperasikan fasilitas produksi yang terintegrasi dari Klor Alkali hingga PVC, yang merupakan salah satu yang
terbesar di Asia Tenggara. Dengan fokus untuk melayani kebutuhan industri kimia dan kebutuhan industri pada
umumnya, ASC memiliki kemampuan dan kapasitas untuk memproduksi Kaustik Soda (Caustic Soda, NaOH), Klorin
(Chlorine, Cl2), Natrium Hipoklorit (Sodium Hypochlorite, NaClO), Asam Klorida (Hydrochloric Acid, HCl), Etilen
Diklorida (Ethylene Dichloride, EDC), Monomer Vinil Klorida (Vinyl Chloride Monomer, VCM) dan Polivinil Klorida
(Polyvinyl Chloride, PVC).
Pemegang saham ASC adalah Asahi Glass Company (Jepang), PT Rodamas (Indonesia), Ableman Finance (British
Virgin Islands) dan Mitsubishi Corporation (Jepang).
ASC memiliki tiga jenis pabrik yang dibangun di kompleks produksi yang luasnya mencapai 91 hektar di Cilegon,
Banten, Indonesia. Dioperasikan menggunakan Distributed Control System dan mengikuti standar operasi terbaik,
pabrik-pabrik ini sangat efisien dan menghasilkan produk-produk yang berkualitas tinggi. ASC memiliki komitmen
yang berkelanjutan untuk meminimalisir biaya operasi, meminimalisir emisi karbon serta terus melakukan perbaikanperbaikan dengan memanfaatkan pengetahuan dan teknologi terkini.
Proses pertama dari tiga proses yang ada di ASC, yaitu proses Klor Alkali (Chlor Alkali), menghasilkan kaustik soda
(caustic soda) dengan produk sampingan berupa gas klorin (chlorine), gas hidrogen, larutan asam klorida dan larutan
natrium hipoklorit (sodium hypochlorite).
Proses yang kedua, yaitu proses EDC/VCM, menghasilkan monomer vinil klorida (vinyl chloride monomer, VCM)
yang merupakan bahan baku utama dalam proses produksi polivinil klorida (PVC). Dalam proses EDC/VCM ini, gas
klorin yang dihasilkan dari proses Klor Alkali direaksikan dengan etilen (ethylene) untuk menghasilkan etilen diklorida
(Ethylene Dichloride, EDC). Selanjutnya EDC di-cracking untuk menghasilkan monomer vinil klorida (VCM).
Proses yang ketiga, yaitu proses PVC, menghasilkan polivinil klorida (polyvinyl chloride, PVC) melalui proses
polimerisasi dari VCM.

Proses
Kompleks produksi ASC yang terintegrasi mulai dari Klor-Alkali hingga Polivinil Klorida
terdiri dari tiga proses utama.
Dalam proses yang pertama yaitu Proses Klor-Alkali, caustic soda (NaOH) merupakan
produk utama yang dihasilkan, disamping produk-produk sampingan berupa gas klorin
(Cl2), gas hydrogen (H2) dan natrium hipoklorit (NaOCl).
Dalam Proses Klor-Alkali ini garam natrium klorida (NaCl) dilarutkan dalam air dan
dimurnikan serta dikonsentrasikan. Larutan garam yang murni dan terkonsentrasi ini
kemudian dielektrolisa melalui teknologi klor-alkali mutakhir yang dkembangkan oleh
Asahi Glass Company (AGC), yaitu teknologi membran penukar kation (cation exchange
membrane) menghasilkan caustic soda, gas klorin dan gas hydrogen. Natrium hipoklorit
merupakan produk turunan yang didapat dengan mereaksikan caustic soda dan gas
klorin. ASC memanfaatkan teknologi Klor-Alkali yang paling ramah lingkungan karena
mengkonsumsi energi secara minimum, bebas polusi dan menghasilkan kualitas produk
yang superior.
Proses yang kedua, yaitu Proses EDC/VCM, menghasilkan monomer vinil klorida (vinyl
chloride monomer atau disingkat dengan VCM) sebagai produk utama. Proses produksi
VCM yang dipraktekkan secara komersil menggunakan dua rute secara bersamaan, yaitu
melalui rute Proses Direct Chlorination (DC) dan rute Proses Oxy-Chlorination (OC).
Dalam Proses Direct Chlorination, gas klorin yang dihasilkan dari Proses Klor-Alkali
direaksikan dengan ethylene untuk menghasilkan ethylene dichloride (EDC) yang
penggunaan utamanya di dunia ini adalah sebagai bahan baku pembuatan VCM.
Dalam Proses Oxy-Chlorination, ethylene direaksikan dengan asam klorida (HCl) dan
oksigen (O2) menghasilkan ethylene dichloride (EDC).
Ethylene dichloride yang dihasilkan melalui kedua rute diatas kemudian di-cracking
menjadi vinil klorida (VCM) sebagai produk utama dan asam klorida (HCl) sebagai produk
sampingan. Sebagian dari asam klorida yang dihasilkan dari proses cracking EDC
kemudian digunakan kembali dalam Proses Oxy-Chlorination untuk menghasilkan EDC,
sementara sebagian lainnya dikirim ke pelanggan.
Dalam proses yang ketiga, yaitu Proses PVC, vinil klorida (VCM) dipolimerisasi menjadi
resin polivinil klorida (PVC) dalam reactor batch. Setelah proses polimerisasi, sisa VCM
yang tidak bereaksi dalam proses polimerisasi kemudian dipisahkan dari resin PVC
melalui proses stripping. Resin PVC kemudian dikeringkan hingga didapat resin PVC
berkualitas tinggi dengan tingkat kemurnian tinggi yang memenuhi standard kesehatan
dan higienis internasional disamping memenuhi standard teknis untuk tuntutan aplikasi
yang tinggi.

130 Tahun PVC


Walau pertama kali ditemukan pada tahun 1872, ketika secara tak sengaja orang menemukan serbuk putih
dalam botol berisi gas vinil klorida yang terekspos oleh sinar Matahari, orang harus menunggu 54 tahun
berikutnya hingga ditemukannya teknik pemanfaatan polivinil klorida, serbuk putih yang biasa disebut PVC itu.
Usaha pemanfaatan PVC pada awalnya banyak menemui jalan buntu karena sifatnya yang mudah rusak jika
dipanaskan padahal pemanasan merupakan cara pengolahan yang paling logis, mengikuti analogi pengolahan
besi, gelas serta beberapa bahan polimer organik yang ketika itu sudah ditemukan. Pada tahun 1926, seorang
peneliti pada perusahaan ban BFGoodyear dalam usaha mencari formulasi lem untuk merekatkan karet ke
logam menemukan bahan elastomer thermoplastik pertama di dunia (bahan elastis yang dapat diubah
bentuknya jika dipanaskan) ketika memanaskan PVC dalam cairan tricresyl phosphate atau dalam dibutyl
phthalate. Yang terjadi adalah bahwa PVC dapat bercampur secara sempurna (miscible) dengan masingmasing zat yang kemudian lazim disebut sebagai plasticizer itu, menghasilkan bahan baru dengan sifat yang
dapat direkayasa, mulai dari yang keras, ketika hanya sedikit plasticizerdicampurkan dengan PVC, hingga
yang sangat elastis, ketika komponen terbesar dalam campuran itu adalah plasticizer . Terobosan teknis ini
merupakan awal dari revolusi penggunaan PVC sebagai commodity plastics, yang melibatkan
penggunaan plasticizer(misalnya tricresyl phosphate atau dibutyl phthalate seperti dalam kisah diatas) guna
mempermudah pemrosesannya serta memberinya sifat elastis yang cocok untuk berbagai aplikasi seperti kulit
imitasi, plastik untuk alas meja, dan sebagainya. Terobosan teknis kedua berupa berkembangnya teknologi
formulasi PVC dengan penggunaan zat-zat yang lazim disebut stabilizer, processing aid dan sebagainya, dan
yang tak kalah penting, perkembangan teknologi mesin pemroses PVC sehingga dimungkinkan pemrosesan
PVC tanpa kandungan plasticizer (rigid application). Kini mayoritas penggunaan PVC adalah pada aplikasi
tanpa plasticizer tersebut terutama di bidang konstruksi, seperti berbagai jenis pipa untuk air bersih maupun
untuk air limbah domestik, pembungkus (isolator) berbagai macam kabel, jendela, lantai, pelapis dinding (wall
paper) dan sebagainya, serta porsi yang jauh lebih kecil untuk produk-produk botol plastik, plastik pembungkus
dan sebagainya. Bisa dibilang PVC merupakan bahan plastik yang paling luwes karena dapat diformulasi dan
diproses menjadi produk dengan sifat yang sangat berbeda, mulai dari yang paling keras seperti pipa, hingga
yang lunak dan fleksibel.
Bagaimana
PVC
Dibuat?
PVC dihasilkan dari dua jenis bahan baku utama: minyak bumi dan garam dapur (NaCl). Minyak bumi diolah
melalui proses pemecahan molekul yang disebut cracking menjadi berbagai macam zat, termasuk etilena (
C2H4 ), sementara garam dapur diolah melalui proses elektrolisa menjadi natrium hidroksida (NaOH) dan gas
klor (Cl2). Etilena kemudian direaksikan dengan gas klor menghasilkan etilena diklorida (CH2Cl-CH2Cl).
Proses cracking/pemecahan molekul etilena diklorida menghasilkan gas vinil klorida (CHCl=CH2) dan asam
klorida (HCl). Akhirnya, melalui proses polimerisasi (penggabungan molekul yang disebut monomer, dalam hal
ini vinil klorida) dihasilkan molekul raksasa dengan rantai panjang (polimer): polivinil klorida (PVC), yang
berupa bubuk halus berwarna putih. Masih diperlukan satu langkah lagi untuk mengubah resin PVC menjadi
berbagai produk akhir yang bermanfaat.
Penampakan resin PVC sangat mirip dengan tepung terigu. Dan resin PVC memang dapat dianalogikan
seperti tepung terigu: keduanya tidak dapat digunakan dalam bentuk aslinya. Seperti halnya tepung terigu yang
harus diolah dengan mencampurkan berbagai kandungan lain hingga menjadi kue tart dan berbagai jenis roti
yang menarik, resin PVC juga harus diolah dengan mencampurkan berbagai jenis zat aditif hingga dapat
menjadi berbagai jenis produk yang berguna dalam kehidupan sehari-hari.
Pemrosesan
Menjadi
Produk
Akhir
Satu tahap penting lagi sebelum resin PVC bisa ditransformasikan menjadi berbagai produk akhir adalah
pembuatan compound/adonan (compounding). Compound adalah resin PVC yang telah dicampur dengan
berbagai aditif yang masing-masing memiliki fungsi tertentu, sehingga siap untuk diproses menjadi produk jadi
dengan sifat-sifat yang diinginkan. Sifat-sifat yang dituju meliputi warna, kefleksibelan bahan, ketahanan
terhadap sinar ultra violet (bahan polimer/plastik cenderung rusak jika terpapar oleh sinar ultra violet yang
terdapat pada cahaya matahari), kekuatan mekanik transparansi, dan lain-lain. PVC dapat direkayasa hingga
bersifat keras untuk aplikasi-aplikasi seperti pipa dan botol plastik, lentur dan tahan gesek seperti pada produk
sol sepatu, hingga bersifat fleksibel/lentur dan relatif tipis seperti aplikasi untuk wall paper dan kulit imitasi. PVC
dapat juga direkayasa sehingga tahan panas dan tahan cuaca untuk penggunaan di alam terbuka. Dengan
segala keluwesannya, PVC cocok untuk jenis produk yang nyaris tak terbatas dan setiap compound PVC
dibuat untuk memenuhi kriteria suatu produk akhir tertentu.
Compound PVC kemudian dapat diproses dengan berbagai cara untuk memenuhi ratusan jenis penggunaan
yang berbeda, misalnya:

PVC dapat diekstrusi, artinya dipanaskan dan dialirkan melalui suatu cetakan berbagai bentuk,
sehingga dihasilkan produk memanjang yang profilnya mengikuti bentuk cerakan tersebut, misalnya
produk pipa, kabel dan lain-lain.
PVC juga dapat di lelehkan dan disuntikkan (cetak-injeksi) ke dalam suatu ruang cetakan tiga dimensi
untuk menghasilkan produk seperti botol, dash board, housing bagi produk-produk elektronik seperti
TV, computer, monitor dll.
Proses kalendering menghasilkan produk berupa film dan lembaran dengan berbagai tingkat
ketebalan, biasanya dipakai untuk produk alas lantai, wall paper, dll.
Dalam teknik cetak-tiup (blow molding), lelehan PVC ditiup di dalam suatu cetakan sehingga
membentuk produk botol, misalnya.
Resin PVC yang terdispersi dalam larutan juga dapat digunakan sebagai bahan pelapis/coating,
misalnya untuk lapisan bawah karpet dll.

PVC
dan
Lingkungan
Hidup
Telah menjadi mitos bahwa khususnya pembakaran sampah PVC memberikan kontribusi yang besar terhadap
terjadinya dioxin. Dioxin dapat dihasilkan dari pembakaran bahan-bahan organoklorin, yang sebenarnya
banyak terdapat di alam (dedaunan, pepohonan). Suatu penelitian yang dilakukan oleh New York Energy
Research and Development Authority pada tahun 1987 menyimpulkan bahwa ada atau tidaknya sampah PVC
tidak berpengaruh terhadap banyaknya dioxin yang dihasilkan dalam proses insinerasi/pembakaran sampah.
Kontribusi terbesar bagi terjadinya dioxin adalah kebakaran hutan, hal yang justru tidak banyak diekspos.
Kandungan klor (Cl) dalam PVC diketahui memberikan sifat-sifat yang unik bagi bahan ini. Tidak seperti
umumnya bahan plastik yang merupakan 100% turunan dari minyak bumi, sekitar 50% berat PVC adalah dari
komponen klor-nya, yang menjadikannya sebagai bahan plastik yang paling sedikit mengkonsumsi minyak
bumi dalam proses pembuatannya. Relatif rendahnya komponen minyak bumi dalam PVC menjadikannya
secara ekonomis lebih tahan terhadap krisis minyak bumi yang akan terjadi di masa datang serta
menjadikannya sebagai salah satu bahan yang paling ramah lingkungan.
Walaupun PVC merupakan bahan plastik dengan volume pemakaian kedua terbesar di dunia, sampah padat di
negara-negara maju yang paling banyak menggunakan PVC-pun hanya mengandung 0,5% PVC. Hal ini
dikarenakan volume pemakaian terbesar PVC adalah untuk aplikasi-aplikasi berumur panjang, seperti pipa dan
kabel. Sampah PVC juga dapat diolah secara konvensional, seperti daur-ulang, ditanam dan dibakar dalam
insinerator (termasuk pembakaran untuk menghasilkan energi).
PVC juga dianggap menguntungkan untuk aplikasi sebagai pembungkus (packaging). Suatu studi pada tahun
1992 tentang pengkajian daur-hidup berbagai pembungkus/wadah dari gelas, kertas kardus, kertas serta
berbagai jenis bahan plastik termasuk PVC menyimpulkan bahwa PVC ternyata merupakan bahan yang
memerlukan energi produksi terendah, emisi karbon dioksida terendah, serta konsumsi bahan bakar dan
bahan baku terendah diantara bahan plastik lainnya. Bahkan sebuah kelompok pecinta lingkungan Norwegia,
Bellona, menyimpulkan bahwa pengurangan penggunaan bahan PVC secara umum akan memperburuk
kualitas lingkungan hidup.

You might also like