Professional Documents
Culture Documents
elektronik,
terhadap perhatian dan pikiran publik serta daya jangkaunya tergolong luas karena
bisa masuk ke pelosok-pelosok desa dengan seketika. Secara audio visual, publik bisa
menyaksikan kampanye dan penayangan para kandidat presiden dan wakil presiden.
Pengaruh dan kesan dari media audio visual seperti televisi tentu lebih kuat dan
bertahan lama dalam memori publik ketimbang koran, selebaran, atau majalah.
Kekuatan dan pengaruh seperti itulah yang ikut membentuk pilihan dan sikap politik
masyarakat dalam pilpres 5 Juli.
Melalui kekuatan media massa elektronik seperti televisi, tim kampanye
capres-cawapres memplubikasikan jago-jagonya dan membuat pencitraan diri agar
bisa diterima oleh masyarakat. Capres-cawapres dan tim suksesnya yang mempunyai
kekuatan dana besar tentu akan gampang untuk menguasai media massa demi
menyukseskan kampanyenya.
Akibat lebih jauh dari kekuatan media massa seperti itu, muncullah kemudian
budaya politik populer di kalangan masyarakat. Budaya politik ini oleh Nurdien H.
Kistanto, Ph.D. disebutnya sebagai konsekuensi zaman, karena media massa menjadi
suatu
sarana yang luar biasa berikut akibat dan dampak yang ditimbulkannya.
Menurut Dosen Fak. Sastra Universitas Diponegoro Semarang ini, popularitas pada
zaman sekarang ini memang sudah sangat jelas sebagai konsekuensi dari
perkembangan media massa.
Dengan demikian bisa dikatakan, kemenangan
pasangan capres-cawapres
dalam pemilu 5 Juli kemarin itu dibantu oleh pengaruh media massa, meskipun
seperti yang dikemukakan Nurdien H. Kistanto, hal itu tidak terjadi secara instan,
karena para kandidat yang menang itu telah melalui proses sebelumnya. Meski
begitu, menurut Muhammad Hilmi Faiq (Peneliti di Center for Religious and Social
Studies, Malang), kemenangan pilpres kemarin adalah sebagai kemenangan kultur
politik populer.
Pandangan tersebut sepertinya semakin menguatkan pengaruh media massa
sendiri yang selama ini telah banyak berperan dalam mempromosikan budaya populer
Pendidikan Politik
Budaya politik populer itu disinyalir kuat memiliki dampak buruk bagi
kehidupan masyarakat. Kultur politik seperti itu jelas tidak sehat, karena rakyat
kehilangan daya kritis sejatinya. Pilihan-pilihan politiknya adalah pilihan semu yang
tidak didasari oleh kesadaran akalnya, tetapi pada keterkaguman sejenak, tegas
Muhammad Hilmi Faiq.
Dengan kata lain, kultur politik populer akan menyuburkan pragmatisme
politik yang hanya memikirkan kepentingan jangka pendek dan sesaat, mudah
terpukau dengan figur seseorang yang dcitrakan secara manipulatif melalui media
massa, dan bisa tidak peduli dengan nilai-nilai etika dan agama. Menurut Prof. Dr. H.
Ambo Enre Abdullah, Rektor Unismuh Makassar, pragmatisme politik itu marak
karena kemiskinan rakyat yang berkepanjangan, sehingga rakyat lebih cenderung
memilih yang praktis saja dan dapat menyelesaikan masalah jangka pendek.
Fenomena sosial politik yang memprihatinkan ini bisa dipandang sebagai
kegagalan pendidikan politik kepada masyarakat. Kita harus mengakui bahwa
kegagalan pendidikan politik dapat berujung pada pragmatisme politik, karena
masyarakat kita dewasa ini cenderung melupakan politik spiritualnya, demikian
pendapat Nasrudien Razak, Ketua PWM Sulawesi Selatan. Untuk menanggulangi hal
itu, seperti dikatakan Sukardi Makobombang, infrastruktur politik harus diperkuat
dengan bekal pendidikan politik. Mahasiswa Universitas Trisakti Jakarta dan aktivis
Forkot ini menjelaskan, peran LSM, relawan dan lembaga kemahasiswaan sangat
penting dalam memberdayakan politik rakyat. Sayangnya LSM dan lembaga yang
bergerak dalam pemberdayaan itu cenderung terbentur dengan masalah kucuran dana.
Manakala dananya menipis atau tidak ada, maka mereka juga berhenti untuk
melakukan aktivitasnya.
Melalui pendidikan politik itulah idealisme politik kembali bisa disemaikan
dalam kehidupan masyarakat. Di tengah dominasi pragmatisme politik dan kehidupan
masyarakat yang masih terkena dampak krisis multidimensi, memang tidak mudah
untuk berpihak pada idealisme politik itu. Seperti diakui oleh Dr. H. Qomari Anwar,
MA, untuk menegakkan idealisme politik itu sangat sulit, karena kejujuran sudah
tidak ada lagi. Rektor Uhamka Jakarta ini kemudian menuturkan, idealisme itu
identik dengan kejujuran. Selama para pelaku politik tidak berani jujur, maka
idealisme akan luntur. Jadi kalau sudah tidak ada kejujuran, maka dari segi
kemanusiaan sudah tidak menguntungkan bahkan akan muncul kebohongankebohongan publik dan berbagai bentuk penyimpangan.
Sedangkan dalam pandangan Prof. Dr. H. Ambo Enre Abdullah, kita masih
mungkin menegakkan kembali idealisme politik dengan memenuhi kebutuhan rakyat
seperti pendidikan, kesehatan, pangan, dan sebagainya. Rektor Unismuh Makassar ini
yakin bahwa lembaga pendidikan sangat signifikan untuk memberdayakan rakyat,
sehingga akan ikut berperan untuk menegakkan idealisme politik.
Persoalan budaya politik tersebut diakui oleh Muhammad Arifin sebagai
kelemahan dari pendidikan politik. Menurut ketua Umum BEM Universitas
Muhammadiyah Sumatera Utara ini, pendidikan politik tidak pernah dibebaskan
sejak dulu. Hak berdemokrasi rakyat di Indonesia sudah lama dipasung. Karena itu
perlu ada perbaikan perangkat lunak dan perangkat keras untuk mendidikan rakyat
dengan betul.
Bisa jadi fenomena politik sekarang ini oleh Prof. Dr. Suyatno Kartodirjo
disebutnya sebagai episode pertaruhan. Bisa saja kinerja pemerintah besok tidak
beres dan tidak sesuai dengan keinginan rakyat, ya pasti akan dilengserkan oleh
rakyat. Reformasi akan kembali digulirkan, jelas Dosen Pascasarjana UNS ini.
Pada akhirnya pendidikan politik diharapkan akan bisa mendewasakan
masyarakat dalam berpolitik, sehingga mereka tidak salah pilih lagi dalam
menentukan pemimpin bangsa. Proses pendidikan politik tidak membutuhkan
popularitas. Kita membutuhkan karya, kinerja, proses, dan efek, demikian kata
Novel Ali. Lebih jauh, idealisme politik yang dihasilkan lewat pendidikan tadi
setidaknya akan mengurangi kultur politik populer yang melupakan substansi politik
dan program jangka panjang agenda bangsa. [tulisan: tiar; bahan: husni, kies, rif,
sen, ton]
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 16 2004