You are on page 1of 5

1.

Pengertian Moral
Moral dalam arti yang luas mencakup bagaimana hubungan dengan
Tuhan, hubungan sesama manusia dan hubungan dengan alam semesta.
Menurut Syahrin (2005: 45) orang yang memiliki moral yang baik adalah yang
mampu menyeimbangkan ketiga hubungan di atas pada setiap tempat dan
setiap waktu. Moral juga harus dipandang sebagai suatu yang memiliki nilai
otonom dan universal sehingga ia dapat berlaku pada lintas waktu, lintas aktivitas
dan lintas tempat.
Secara etimologis istilah moral berasa! dari kata latin mos (mores) yang
berarti tata cara, adat istiadat atau kebiasaan. Kata moral mempunyai arti yang
sama dengan kata Yunani ethos, yang menurunkan kata etika. Bahasa Arab kata
moral disebut dengan akhlak yang berarti budi pekerti, sedangkan dalam bahasa
Indonesia kata moral dikenal dengan arti kesusilaan (Adiwardhana, 1991).
Hurlock (1978) mengemukakan bahwa tingkah laku moral berarti tingkah
laku yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial. Pengertian ini hampir
sama dengan pendapat sebagian besar ahli psikologi dalam menerangkan
masalah moral. Penganut teori behaviorisme menyatakan bahwa moral itas
identik dengan konfonnitas terhadap aturan-aturan sosial. Nilai moral merupakan
evaluasi dari tindakan yang dianggap baik oleh anggota masyarakat tertentu.
Dengan

demikian

jelas

bahwa

pemahaman

moral

merupakan

proses

internalisasi dari norma budaya atau norma dari orangtua (Setiono, 1993).
Moral (akhlak) dalam ajaran Islam berfungsi sebagai sarana untuk
mencapai derajat al-Insn Kam l (manusia sempurna). Ibnu Miskawaih (1994:
61-65) berpendapat bahwa kesempurnaan manusia diawali dari kesempurnaan
individu, karena dari individu-individu yang sempurna akan melahirkan
masyarakat yang beradab yang pada akhirnya akan berimplikasi pada
kesempurnaan moral.
Sementara itu Aristoteles sebagaimana dijelaskan oleh Simon (2004: 70)
berpendapat bahwa moral (etika) berfungsi sebagai alat untuk mencapai
kebahagiaan. Lebih lanjut sebagaimana diuraikan Russel (2004: 234) bahwa
pencapaian kebahagiaan dapat dilakukan dengan melalui dua keutamaan yaitu

keutamaan intelektual ( rasio ) dan moral. Keutamaan intelektual dihasilkan dari


pengajaran, sedangkan keutamaan moral berasal dari kebiasaan. Senada
dengan Aristoteles, al-Ghazali sebagaimana dikemukakan Quasem (1988: 3671) mengemukakan bahwa sesungguhnya fungsi dari moral adalah sarana untuk
mencapai kebahagiaan jiwa.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa
moral tidak dapat dipelajari karena moral adalah perbuatan baik dan buruk yang
dilakukan manusia tanpa direnungkan atau dipikirkan terlebih dahulu.
Teori perkembangan moral dapat dilihat dalam tiga paradigma. Pertama,
teori genetik determination yang memandang bahwa moralitas seseorang
ditentukan secara genetik dan dibawa sejak lahir. Kedua, teori social
enforcement

yang

menyatakan

bahwa

masyarakat

dan

kebudayaan

menanamkan ideologi dan moralitas seseorang melalui pemaksaan dan


indoktrinasi. Ketiga, teori education and development, yang memandang bahwa
seseorang berkembang penalaran moralnya melalui lingkungan pendidikan (Lind
G, 2002).
Lawrence Kohlberg merupakan salah satu tokoh psikologi yang menaruh
perhatian terhadap masalah perkembangan moral dalam paradigma yang ketiga.
Lawrence Kohlberg dilahirkan pada tanggal 25 Oktober 1927 di Bronxeille, New
York. Pada tahun 1967 ia diangkat sebagai professor dalam bidang psikologi
sosial dan ilmu pendidikan. Sejak tahun 1971, Kohlberg berkonsentrasi pada
pendidikan moral dengan berbagai penelitian tentang pengajaran moral (John de
Santo, 1995: 11-14). Teori perkembangan moral Kohlberg secara formal disebut
dengan the cognitive-developmental theory of moralization (Reimer, et all., 1983:
43). Pada dasarnya teori perkembangan moral Kohlberg memiliki akar pada
karya Jean Piaget, khususnya The Moral Judgment of the Child. Pandangan
kognitif-developmental menegaskan bahwa pada intinya moralitas mewakili
seperangkat pertimbangan dan putusan rasional yang berlaku untuk setiap
kebudayaan yaitu prinsip kesejahteraan manusia dan keadilan (John de Santo,
1995: 66).
Pada dasarnya Kohlberg membagi tahap perkembangan moral dalam
enam

tahap

perkembangan.

Keenam

tahap

perkembangan

tersebut

dikelompokkan dalam tiga tingkat perkembangan yaitu:

prakonvensional,

konvensional dan pascakonvensional.


Untuk memahaminya, maka berikut ini akan disajikan urutan tahap-tahap
perkembangan moral Kohlberg sebagai berikut (Bertens, 2007: 78-87)
1. Tingkat prakonvensional
Tahap 1: orientasi pada kepatuhan dan hukuman
Tahap 2: orientasi relativis instrumental.
2. Tingkat konvensional
Tahap 3: penyesuaian dengan kelompok
Tahap 4: orientasi pada hukum dan ketertiban (law and order)
3. Tingkat pascakonvensional
Tahap 5: orientasi kontrak-sosial legalitas
Tahap 6: orientasi prinsip etika yang universal
Menurut Kohlberg, tahap keenam merupakan tahap yang paling tinggi dan
sempurna. Jika kita melihat isi tahap keenam, pasti kita akan menilai tahap
tersebut merupakan puncak dari perkembangan moral seseorang. Oleh
karenanya, menurut Kohlberg tahap keenam harus menjadi tujuan pendidikan
moral, meskipun pada kenyataannya hanya sedikit orang yang mencapai tahap
ini (Bertens, 2007: 87).
2. Prinsip moral
Menurut Suseno (1995) prinsip-prinsip moral, yaitu:
a. Prinsip Sikap Baik
Prinsip moral dasar pertama dapat di sebut sebagai prinsip sikap baik.
Prinsip itu mendahului dan mendasari semua prinsip moral lain. Prinsip ini
mempunyai arti yang amat besar bagi kehidupan manusia. Hanya karena
prinsip itu memang diresapi dan rupa-rupanya mempunyai dasar dalam
struktur psikis manusia, seseorang dapat bertemu dengan orang yang belum
dikenal

tanpa

takut.

Sikap

dasar

itu

membuat

seseorang

dapat

mengendalikan bahwa orang lain, kecuali mempunyai alasan khusus, tidak


langsung mengancam atau merugikannya. Sikap dasar itu membuat

seseorang seialu mengumpamakan bahwa yang memerlukan alasan bukan


sikap yang baik, meiainkan sikap yang buruk. Jadi yang biasa pada manusia
bukan sikap memusuhi dan mau membunuh, meiainkan sikap bersedia
untuk menerima baik dan membantu. Oleh karena itu, berulang kali
seseorang dapat mengalami bahwa orang yang sama sekali tidak dikenal,
secara spontan membantunya dalam kesusahan.
Jadi, prinsip sikap baik bukan hanya sebuah prinsip yang dipahami
secara rasional, melainkan juga suatu kecondongan yang memang sudah
ada dalam watak manusia. Prinsip sikap baik, menyangkut sikap dasar
manusia yang harus meresapi segala sikap konkret, tindakan dan
kelakuannya. Prinsip ini menyatakan bahwa pada dasarnya, kecuali ada
alasan yang khusus, manusia harus mendekati siapa saja dan apa saja
dengan positif, dengan menghendaki yang baik bagi dia. Bukan sematamata perbuatan baik dalam arti sempit, melainkan sikap hati positif terhadap
orang

lain,

kemampuan

baik

terhadapnya.

Bersikap

baik

berarti,

memandang seseorang dan sesuatu tidak hanya sejauh berguna bagi saya,
melainkan menghendaki, menyetujui, membenarkan, mendukung, membela,
membiarkan dan menunjang perkembangannya, mendukung kehidupan dan
mencegah kematiannya demi dia itu sendiri. Bagaimana sikap baik itu harus
dinyatakan secara kongkret tergantung pada apa yang baik dalam situasi
kongkret itu. Prinsip ini menuntut suatu pengetahuan tepat tentang realita
supaya dapat diketahui apa yang masing-masing baik bagi yang
bersangkutan. Kalau itu sudah diketahui, maka diketahui juga bagaimana
prinsip sikap baik mesti diterapkan dalam situasi itu. Prinsip sikap baik
mendasari semua norma moral karena hanya atas dasar prinsip itu masuk
akal bahwa manusia harus bersikap adil, atau jujur, atau setia kepada orang
lain.
b. Prinsip Keadilan
Prinsip sikap keadilan mengungkapkan kewajiban untuk memberikan
perlakuan yang sama terhadap semua orang lain yang berada dalam situasi
yang sama dan untuk menghormati hak semua pihak yang bersangkutan.
Suatu perlakuan yang tidak sama adalah tidak adil, kecuali dapat
diperlihatkan mengapa ketidaksamaan dapat dibenarkan (misalnya karena
orang itu tidak membutuhkan bantuan). Suatu perlakuan yang tidak sama

selalu dibenarkan secara khusus, sedangkan perlakuan yang sama dengan


sendirinya betul kecuali terdapat alasan-alasan khusus. Secara singkat
keadilan menuntut agar manusia jangan mau mencapai tujuan-tujuan,
termasuk yang baik, dengan melanggar hak seseorang.
c. Prinsip Hormat Terhadap Diri Sendiri
Prinsip ini mengatakan bahwa

manusia

wajib

untuk

selalu

memperlakukan diri sebagai sesuatu yang bernilai pada dirinya sendiri.


Prinsip ini berdasarkan paham bahwa manusia adalah person, pusat
pengertian dan kehendak, yang memiliki kebebasan dan suara hati, makhluk
berakal budi. Manusia tidak boleh dianggap sebagai sarana semata-mata
demi suatu tujuan lebih lanjut. la adalah tujuan yang bernilai pada dirinva
sendiri. Nilainya bukan sekedar sebagai sarana untuk mencapai suatu
maksud atau tujuan lebih jauh. Hal ini juga berlaku bagi diri sendiri. Maka
manusia juga wajib memperlakukan dirinya sendiri dengan hormat.
Seseorang wajib menghormati martabat dirinya sendiri.
Kesimpulannya dapat dikatakan bahwa kebaikan dan keadilan yang di
tunjukkan kepada orang lain, perlu diimbangi dengan sikap yang
menghormati diri sendiri sebagai makhluk yang bernilai. Seseorang
semestinya mau berbaik kepada orang lain dan bertekad untuk bersikap adil,
tetapi tidak dengan membuang diri. Dalam pandangan Kohlberg (dalam
Nashori, 1995) prinsip moral merupakan gabungan nilai-nilai moral pada
tingkat poskonvensional, baik tahap kelima maupun tahap keenam.
Sumber :
Syahrin Harahap. 2005. Penegakan Moral Akademik Di Dalam dan Di Luar
Kampus. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada

You might also like