You are on page 1of 9

TERAPI CAIRAN DAN ELEKTROLIT

I. Cairan Tubuh
Tubuh manusia terdiri dari zat padat dan zat cair. Distribusi cairan tubuh manusia
dewasa:
1. Zat padat

: 40% dari berat badan

2. Zat cair

: 60% dari berat badan

Zat cair (60% BB), terdiri dari:

Cairan intrasel
: 40% dari BB
Cairan ekstrasel
: 20% dari BB, terdiri dari:
- cairan intravaskuler
: 5% dari BB
- cairan interstisial
: 15% dari BB
Cairan transselular (1-3% BB), terdiri dari:
- LCS, sinovial, gastrointestinal dan intraorbital

Bayi mempunyai cairan ekstrasel lebih besar dari intrasel. Perbandingan ini akan berubah
sesuai dengan perkembangan tubuh, sehingga pada dewasa cairan intrasel dua kali cairan
ekstrasel.
Ginjal berfungsi mengatur jumlah cairan tubuh, osmolaritas cairan ekstrasel, konsentrasi
ion-ion penting dan keseimbangan asam basa. Fungsi ginjal sempurna setelah anak mencapai
umur satu tahun, sehingga komposisi cairan tubuh harus diperhatikan pada saat terapi cairan.
Dalam cairan tubuh terlarut elektrolit. Elektrolit yang terpenting dalam:

Ekstrasel
Intrasel

: Na+ dan Cl: K+ dan PO4-

Cairan intravaskuler (5% BB) bila ditambah eritrosit (3% BB) menjadi darah. Jadi
volume darah sekitar 8% dari berat badan. Jumlah darah bila dihitung berdasarkan estimated
blood volume (EBV) adalah:
Neonatus
= 90 ml/kg BB
Bayi
= 80 ml/kg BB
Anak dan dewasa
= 70 ml/kg BB
Kebutuhan Air dan Elektrolit setiap hari

1. Dewasa:
Air

: 30-35 ml/kg, kenaikan 1 derajat Celcius ditambah 10-5%

Na+

: 1,5 mEq/kg (100 mEq/hari atau 5,9g)

K+

: 1 mEq/kg (60 mEq/hari atau 4,5g)

2. Bayi dan anak:


Air

0-10 kg

10-20 kg
: 40 ml + 2 ml/kg/jam setiap kg di atas 10 kg (1000 ml + 50 ml/kg
di atas 10 kg)

>20 kg
: 60 ml + 1 ml/kg/jam setiap kg di atas 20 kg (1500 ml + 20 ml/kg
di atas 20 kg)

: 4 ml/kg/jam (100 ml/kg)

Na+

: 2 mEq/kg

K+

: 2 mEq/kg

Cairan masuk:

Minum

: 800-1700 ml

Makanan

: 500-1000 ml

Hasil oksidasi : 200-300 ml

Hasil metabolisme:

- Dewasa

: 5 ml/kg/hari

- Anak

: 2-14 tahun

= 5-6 ml/kg/hari

: 7-11 tahun

= 5-7 ml/kg/hari

: 5-7 tahun

= 8-8,5 ml/kg/hari

- Balita
Cairan keluar:

- Urin

= 8 ml/kg/hari
: normal > 0,5-1 ml/kg/jam

- Feses

: 1 ml/hari

- Invisble loss :

- dewasa : 15 ml/kg/hari
- anak : {30-usia (tahun)} ml/kg/hari

Perpindahan cairan tubuh dipengaruhi oleh:

Tekanan hidrostatik

Tekanan onkotik

Tekanan osmotik

= mencapai keseimbangan

Gangguan kesimbangan cairan tubuh umumnya menyangkut extracell fluid atau cairan
ekstrasel. Tekanan hidrostatik adalah tekanan yang mempengaruhi pergerakan air melalui
dinding kapiler. Bila albumin rendah maka tekanan hidrostatik akan meningkat dan tekanan
onkotik akan menurun sehingga cairan intravaskuler akan didorong mauk ke interstisial yang
berakibat edema.
Tekanan onkotik atau tekanan osmotik koloid adalah tekanan yang mencegah pergerakan
air. Albumin menghasilkan 80% dari tekanan onkotik plasma, sehingga bila albumin cukup pada
cairan intravaskuler maka cairan tidak akan mudah masuk ke interstisial.

II. Jenis Cairan


Cairan intravena ada tiga jenis:
1. Cairan kristaloid

Cairan yang mengandung zat dengan BM rendah (< 8000 Dalton) dengan atau tanpa
glukosa.

Tekanan onkotik rendah, sehingga cepat terdistribusi ke seluruh ruang ekstraselular.

2. Cairan koloid

Cairan yang mengandung zat dengan BM tinggi (> 8000 Dalton), misal: protein

Tekanan onkotik tinggi, sehingga sebagian besar akan tetap tinggal di ruang intravaskuler.

3. Cairan khusus

Digunakan untuk koreksi atau indikasi khusus, seperti NaCl 3%, Bicnat, Manitol

Cairan Kristaloid
1. Ringer laktat
Cairan paling fisiologis jika sejumlah volume besar diperlukan. Banyak digunakan
sebagai replacement therapy, antara lain untuk syok hipovolemik, diare, trauma, luka bakar.
Laktat yang terdapat di dalam RL akan dimetabolisme oleh hati menjadi bikarbonat untuk
memperbaiki keadaan seperti metabolik asidosis.
Kalium yang terdapat di dalam RL pula tidak cukup untuk maintenance sehari-hari,
apalagi untuk kasus defisit kalium. RL juga tidak mengandung glukosa sehingga bila akan
dipakai sebagai cairan maintenance harus ditambah glukosa untuk mencegah terjadinya ketosis.

2. Ringer
Komposisinya mendekati fisiologis tetapi bila dibandingkan dengan RL ada beberapa
kekurangan, seperti:

Kadar Cl- terlalu tinggi, sehingga bila dalam jumlh besar dapat menyebabkan asidosis
dilusional dan asidosis hiperkloremia.

Tidak mengandung laktat yang dapat dikonversi menjadi bikarbonat untuk memperingan
asidosis.

Dapat digunakan pada keadaan dehidrasi dengan hiperkloremia, muntah-muntah dan lainlain.

3. NaCl 0,9% (normal saline)


Dipakai sebagai cairan resusitasi (replacement therapy) terutama pada kasus:
Kadar Na+ yang rendah

Keadaan di mana RL tidak cocok untuk digunakan seperti pada alkalosis, retensi
kalium
Cairan pilihan untuk kasus trauma kepala
Dipakai untuk mengencerkan sel darah merah sebelum transfusi

Tetapi ia memiliki beberapa kekurangan iaitu:


Tidak mengandung HCO3 Tidak mengandung K+
Kadar Na+ dan Cl- relatif lebih tinggi sehingga dapat terjadi asidosis
hiperkloremia, asidosis delusional dan hipernatremia.
4. Dextrose 5% dan 10%
Digunakan sebagai cairan maintenance pada pasien dengan pembatasan intake natrium
atau cairan pengganti pada pure water deficit. Penggunaan perioperatif untuk:
Berlangsungnya metabolisme
Menyediakan kebutuhan air
Mencegah hipoglikemia
Mempertahankan protein yang ada, dibutuhkan minimal 100g karbohidrat untuk
mencegah dipecahnya kandungan protein tubuh
Menurunkan level asam lemak bebas dan keton
Mencegah ketosis, dibutuhkan minimal 200g karbohidrat
Cairan infus mengandung dextrose, khususnya dextrose 5% tidak boleh diberikan pada
pasien trauma kapitis (neuro trauma). Dextrose dan air dapat berpindah secara bebas ke dalam
sel otak. Sekali berada dalam sel otak, dextrose akan dimetabolisme dengan sisa air yang
menyebabkan edema otak.
5. Darrow
Digunakan pada defisiensi kalium untuk mengantikan kehilangan harian, kalium banyak
terbuang (diare, diabetik asidosis).

Cairan Koloid
Yang termasuk golongan ini adalah:
1. Albumin
2. Bloood product: RBC
3. Plasma protein fraction: plasmanat
4. Koloid sintetik: dextran, hetastarch

Berdasarkan tujuan pemberian cairan, ada 3 jenis:


1. Cairan rumatan
Cairan hipotonis: D5%, D5%+1/4NS dan D5%+1/2NS
2. Cairan pengganti
Cairan hipotonis: RL, NaCl 0,9%, koloid
3. Cairan khusus
Cairan hipertonis: NaCl 3%, Manitol 20%, Bicnat
Kristaloid dibanding Koloid
Resusitasi dengan kristaloid akan menyebabkan ekspansi ke ruang interstisial, sedangkan
koloid yang hiperonkotik akan cenderung menyebabkan ekspansi ke volume intravaskuler
dengan menarik cairan dari ruang interstitial. Koloid isoonkotik akan mengisi ruang
intravaskuler tanpa mengurangi volume interstisial.
Secara fisiologis kristaloid akan lebih menyebabkan edema dibandingkan koloid. Pada
keadaan permeabilitas yang meningkat, koloid ada kemungkinan akan merembes ke dalam ruang
interstisial dan akan meningkatkan tekananan onkotik plasma. Peningkatan tekanan onkotik
plasma ini dapat menghambat kehilangan cairan dari sirkulasi.
Keunggulan koloid terhadap respons metabolik adalah meningkatkan pengiriman oksigen
ke jaringan (DO2) dan konsumsi oksigen (VO2) serta menurunkan laktat serum. DO2 dan VO2
dapat menjadi indikator untuk mengetahui prognosis pasien.

Efek terhadap Volume Intravaskuler


Antara ruang intravaskuler dan interststial dibatasi oleh dinding kapiler yang permiabel
terhadap air dan elektrolit tetapi impermeabel terhadap makro (protein plasma). Cairan dapat
melewati dinding kapiler akibat adanya tekanan hidrostatik. Bila tekanan onkotik menurun maka
tekanan hidrostatik lebih besar, sehingga akan mendorong cairan dari intervaskuler ke
interstisial.
Efek kristaloid terhadap volume intravaskuler jauh lebih singkat dibanding koloid. Ini
karena kristaloid dengan mudah didistribusi ke cairan ekstraseluler, hanya sekitar 20% elektrolit
yang diberikan akan tinggal di ruang intravaskuler. Waktu paruh intravaskuler yang lama sering
dianggap sebagai sifat koloid yang menguntungkan. Hal ini akan merugikan jika terjadi

hemodilusi yang berlebihan atau terjadi hipovolemia yang tidak sengaja, khususnya pada pasien
penyakit jantung.
Kristaloid akan menyebabkan terjadinya hipovolemia pasca resusitasi. Resusitasi dengan
kristaloid dan koloid sampai saat ini masih kontroversi. Untuk menentukan apakah diberikan
kristaloid, harus dilihat kasus per kasus.
Efek terhadap Volume Interstitial
Pasca syok hemoragik akan terjadi perubahan cairan interstitial. Pada syok terjadi defisit
cairan interstitial, pendapat lain yang menyatakan volume cairan interstitial meningkat pasca
syok hemoragik. Kedua pendapat yang bertentangan ini mungkin bias diterima, karena pada syok
hemoragik dini dapat terjadi defisit cairan interstitial sedangkan pada syok hemoragik lanjut atau
syok septik akan terjadi perubhan permeabilitas kapiler sehingga volume cairan interstitial
meningkat. Pada keadaan volume cairan interstitial berkurang maka kristaloid lebih efektif untuk
mengantikan defisit volume dibanding koloid.
Distribusi koloid berbeda antara volume intravaskuler dan interstitial. Jika volume cairan
interstitial bertambah, maka garam hipertonik atau albumin 25% akan lebih efektif, karena cairan
interstitial akan berpindah ke ruang intravaskuler. Pada pemberian koloid dapat terjadi reaksireaksi yang tidak diinginkan, seperto gangguan hemostasis yang berhubungan dengan dosis.
Pada umumnya pemberian koloid maksimal adalah 33 ml/kg BB.

Darah
Transfusi darah masih mempunyai peranan penting pada penanganan syok hemoragik
dan diperlukan bila kehilangan darah mencapau 25% volume darah sirkulasi. Pada syok lainnya
darah berguna untuk mengembalikan curah jantung bila hematokrit rendah atau bila cairan gagal
mempertahankan perfusi. Transfusi darah mempunyai banyak resiko, seperti penularan penyakit
dan reaksi transfusi lainnya.
Kadar hemoglobin merupakan faktor penentu utama pada pengiriman oksigen ke
jarinagan. Pengiriman oksigen ditentukan oleh cardiac output dan kandungan oksigen arterial
(CaO2) berkaitan dengan saturasi oksigen arterial (SO2) dan Hb.
VO2 (oksigen uptake = demand = consumption) dapat digunakan untuk menilai adequate
tissue oxygenation. VO2 meningkat setelah cardiac output meningkat, tetapi VO 2 tidak akan
meningkat setelah peningkatan hematokrit pasca transfusi darah.

Ini menunjukkan bahwa oksigen uptake (VO2) lebih rasinal dipakai sebagai petunjuk
untuk dilakukan transfusi dibanding serum hemoglobin secara individual.
III. Elektrolit
Gangguan elektrolit yang sering mengancam kehidupan pada pasien keadaan kritis adalah
kalium, natrium, kalsium, magnesium dan fosfat. Urgensi terapi tergantung pada keadaan klinis,
bukan kadar absolut (absolute electrolyte value).
a. Kalium
o Kalium penting untuk mempertahankan membran potensial elektrik.
o Gangguan kadar kalium terutama mempengaruhi system kardiovaskuler,
neuromuskuler dan gastrointestinal
o Kadar normal: 3,5-5,5 mEq/L
b. Natrium
o Natrium penting dalam menentukan osmolaritas darah, berperan pada regulasi
volume ekstrasel
o Gangguan natrium mempengaruhi neuronal dan neuromuscular junction
o Kadar normal: 135-145 mg/L

c. Kalsium
o Kalsium berfungsi untuk kontraski otot, transmisi impuls saraf, sekresi hormone,
pembekuan darah, pembelahan dan pergerakan sel dan penyembuhan luka
o Kadar kalsium sebaiknya dinilai dari ionized calcium
o Kadar normal: 1-1,25 m.mol/L
d. Fosfat
o Berperan dalam metabolism energy
e. Magnesium
o Berfungsi untuk transver energy dan stabilitas elektrik.

DAFTAR PUSTAKA
1. Sunatrio. Resusitasi Cairan. Media Aesculapius: Jakarta, 2000 Agustus.
2.Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Parktis Anestesiologi, Edisi Kedua. Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta 2001.
3.Leksana E. Terapi Cairan dan Darah. SMF/Bagian Anestesi dan Terapi Intensif, Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang. 2000 Mei.
4. Leksana E. Terap Cairan dan Elektrolit. SMF/Bagian Anestesi dan Terapi Intensif, Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang.
5. Karijadi, Chasnak S, Rahardjo E, Wahyu Prajitno B. Simposium dan Penanganan Syok.
Surabaya, 1990, 10 Februari.
6. Sunatrio S. Terapi Cairan Kristaloid dan Koloid untuk Resusitasi Pasien Kritis. Second
Fundamental Course on Fliud Therapy. PT Widatra Bhakti: Jakarta, 2003.

You might also like