You are on page 1of 2

Kemarin (17/4) ada hal yang sangat tidak biasa terjadi di kampus ITB

Ganesha. Terjadi demonstrasi yang menyambut kedatangan Joko Widodo


(Jokowi), Sang Gubernur Jakarta yang digadang-gadang akan menjadi calon
presiden kita, oleh sekelompok mahasiswa yang secara totem pro parte
mengatasnamakan seluruh mahasiswa ITB. Dari yang saya baca, ada dua alasan
dari kelompok tersebut adalah sbb:
1) Kedatangan Jokowi hanyalah pencitraan diri dalam rangka menggalang
suara JIKALAU BELIAU MAJU MENJADI CALON PRESIDEN. Hal ini masuk akal
mengingat Jokowi sudah menolak tawaran mengisi kuliah umum dua kali
sebelum insiden ini dan baru menerima setelah dirinya meramaikan bursa
pemilihan presiden. Selain itu, tema kuliah umum yang akan diberikan pun
sangat tidak jelas. Jika biasanya tema kuliah telah disampaikan jauh-jauh
hari dan dipasang di spanduk, hal ini tidak terdapat pada kuliah umum
kemarin. Sebuah petunjuk bahwa kuliah umum tersebut minim persiapan
dan terkesan diada-adakan.
2) Netralitas kampus adalah hal yang harus dijaga kemurniannya. Hal ini
ditandai dengan tulisan spanduk dan slogan yang mereka pakai: Kampus
Netral Harga Mati dan Tolak Politisasi Kampus
Menurut rancangan yang ada, seharusnya konten dari gerakan kemarin
hanyalah pemastian bahwa kampus tetap netral, tanpa embel-embel penolakan
terhadap Jokowi. Namun, apa daya yang di pikiran tetap berada di pikiran, tanpa
bisa diterjemahkan dalam aksi berkualitas. Ya, yang terlihat kemarin hanyalah
sebuah aksi penuh emosi yang telah melenceng dari konten yang telah
disepakati. Yang terlihat malah sebuah penolakan terhadap sosok Jokowi, bukan
penegasan sikap netral dari kelompok itu sendiri sehingga aksi tersebut kini
rawan disebut sebagai aksi politis oleh pihak kontra-Jokowi. Menarik, karena
beberapa kubu kemahasiswaan ITB pun masih sangat kental dengan roh salah
satu partai politik yang berideologikan Islam yang memang sedang cekcok
dengan PDIP. Ada isu juga bahwa pihak yang mengusung gerakan ini adalah
mereka yang memang dekat dengan partai Islam tersebut.
Dari sudut pandang saya, aksi penolakan terhadap Jokowi adalah sebuah
penghinaan terhadap intelektualitas kampus itu sendiri serta sebuah pengakuan
bahwa penduduk kampus adalah makhluk berintelektual rendah. Kemana
perginya budaya diskusi yang menjadi ciri kaum intelektual? Kemana perginya
sikap sedia mendengarkan tesis sebelum mengeluarkan antitesis? Hal ini sama
sekali tidak terlihat dalam aksi kemarin, dimana dalam aksi tersebut Jokowi
seakan-akan terusir tanpa sempat berbicara.
Aksi tersebut tentu merugikan banyak peserta kuliah umum, civitas
akademika ITB, maupun masyarakat sekitar yang ingin menimba ilmu dari
Jokowi. Jangan lupa bahwa walaupun Jokowi mungkin kalah hebat dengan tokoh
politik lain, sudah pasti Jokowi lebih punya ilmu dan pengalaman dibanding
mayoritas civitas akademika ITB, khususnya mahasiswa yang seakan
terkungkung dalam kampus ini. Egoisme sebagian mahasiswa telah
menghilangkan kesempatan mahasiswa lain untuk belajar.

Menurut saya, sebuah kenetralan dalam kasus ini terjadi saat kita telah
memahami gagasan Jokowi lalu mampu memosisikan diri setelah mencerna
dengan akal sehat kita. Tentunya netral tidaklah buta dan tuli. Buta yang terjadi
akibat praduga buruk yang membuat pandangan kita sempit dan tertutup, tuli
yang membuat kita tidak berkenan mendengar gagasan seseorang sebelum kita
mengambil sikap. Kenetralan tidak terjadi akibat tidak berbicaranya seorang
politikus di kampus, namun bagaimana kita menanggapi omongan mereka.
Sebuah pengusiran sekiranya sama sekali tidak menunjukkan kenetralan
maupun keinsafan dalam berpolitik. Lebih-lebih, pengusiran menunjukkan bahwa
sikap mahasiswa sama dengan sikap suku primitif nun jauh di sana: tanpa etika.
Sering kali dilupakan bahwa ada hal yang lebih mendasar dibandingkan
menjadi netral yaitu menjadi benar. Tidak masalah jika kita memihak salah
jika telah terbukti dan kita yakini pihak tersebut benar. Oleh karena itu, mari kita
buka
keran
informasi
sekencang-kencangnya,
biarkan
semua
pihak
mengutarakan gagasan terlebih dahulu, perkokoh akal sebagai filter, baru
gunakan diri untuk bersikap. Jangan bersikap sebelum berpikir, jangan berpikir
sebelum mendengar!

Ditulis karena jengah dengan logika mainstream aktivis


Maaf jika anda tak berkenan dengan banyak kata yang ada
Selalu membuka keran kritik dan saran, sedia ruang untuk berdiskusi

Gudang SC-W07, 18 April 2014


Putu Indy Gardian 13111012
Anggota biasa HMM ITB
Anggota non-aktif Sospol Kabinet Pelita Muda KM-ITB
Penghuni gudang Loedroek ITB

You might also like