You are on page 1of 8

Dari perkawinan si Karo (nenek moyang Karo) dengan Miansari lahir tujuh

orang anak. Anak sulung hingga anak keenam semuanya perempuan, yaitu:
Corah, Unjuk, Tekang, Girik, Pagit, Jile dan akhirnya lahir anak ketujuh
seorang laki-laki diberi nama Meherga yang berarti berharga atau mehaga
(penting) sebagai penerus. Dari sanalah akhirnya lahir Merga bagi orang Karo
yang berasal dari ayah (pathrilineal) sedangkan bagi anak perempuan disebut
Beru berasal dari kata diberu yang berarti perempuan.
Merga akhirnya kawin dengan anak Tarlon yang bernama Cimata. Tarlon
merupakan saudara bungsu dari Miansari (istri Nini Karo). Dari Merga dan
Cimata kemudian lahir lima orang anak laki-laki yang namanya merupakan
lima induk merga etnis Karo, yaitu:
1. Karo. Diberi nama Karo tujuannya bila nanti kakeknya (Nini Karo) telah
tiada Karo sebagai gantinya sebagai ingatan. Sehingga nama
leluhurnya tidak hilang.
2. Ginting, anak kedua.
3. Sembiring, diberi nama si mbiring (hitam) karena dia merupakan yang
paling hitam diantara saudaranya.
4. Peranginangin, diberi nama peranginangin karena ketika ia lahir angin
berhembus dengan kencangnya (angin puting-beliung).
5. Tarigan, anak bungsu.

D Dari perkawinan si Karo (nenek moyang Karo) dengan Miansari lahir tujuh
orang anak. Anak sulung hingga anak keenam semuanya perempuan, yaitu:
Corah, Unjuk, Tekang, Girik, Pagit, Jile dan akhirnya lahir anak ketujuh
seorang laki-laki diberi nama Meherga yang berarti berharga atau mehaga
(penting) sebagai penerus. Dari sanalah akhirnya lahir Merga bagi orang Karo
yang berasal dari ayah (pathrilineal) sedangkan bagi anak perempuan disebut
Beru berasal dari kata diberu yang berarti perempuan.
Merga akhirnya kawin dengan anak Tarlon yang bernama Cimata. Tarlon
merupakan saudara bungsu dari Miansari (istri Nini Karo). Dari Merga dan

Cimata kemudian lahir lima orang anak laki-laki yang namanya merupakan
lima induk merga etnis Karo, yaitu:
6. Karo. Diberi nama Karo tujuannya bila nanti kakeknya (Nini Karo) telah
tiada Karo sebagai gantinya sebagai ingatan. Sehingga nama
leluhurnya tidak hilang.
7. Ginting, anak kedua.
8. Sembiring, diberi nama si mbiring (hitam) karena dia merupakan yang
paling hitam diantara saudaranya.
9. Peranginangin, diberi nama peranginangin karena ketika ia lahir angin
berhembus dengan kencangnya (angin puting-beliung).
10.

Tarigan, anak bungsu.

ari perkawinan si Karo (nenek moyang Karo) dengan Miansari lahir tujuh
orang anak. Anak sulung hingga anak keenam semuanya perempuan, yaitu:
Corah, Unjuk, Tekang, Girik, Pagit, Jile dan akhirnya lahir anak ketujuh
seorang laki-laki diberi nama Meherga yang berarti berharga atau mehaga
(penting) sebagai penerus. Dari sanalah akhirnya lahir Merga bagi orang Karo
yang berasal dari ayah (pathrilineal) sedangkan bagi anak perempuan disebut
Beru berasal dari kata diberu yang berarti perempuan.
Merga akhirnya kawin dengan anak Tarlon yang bernama Cimata. Tarlon
merupakan saudara bungsu dari Miansari (istri Nini Karo). Dari Merga dan
Cimata kemudian lahir lima orang anak laki-laki yang namanya merupakan
lima induk merga etnis Karo, yaitu:
Karo. Diberi nama Karo tujuannya bila nanti kakeknya (Nini Karo) telah tiada
Karo sebagai gantinya sebagai ingatan. Sehingga nama Dari perkawinan si
Karo (nenek moyang Karo) dengan Miansari lahir tujuh orang anak. Anak
sulung hingga anak keenam semuanya perempuan, yaitu: Corah, Unjuk,
Tekang, Girik, Pagit, Jile dan akhirnya lahir anak ketujuh seorang laki-laki
diberi nama Meherga yang berarti berharga atau mehaga (penting) sebagai
penerus. Dari sanalah akhirnya lahir Merga bagi orang Karo yang berasal dari

ayah (pathrilineal) sedangkan bagi anak perempuan disebut Beru berasal dari
kata diberu yang berarti perempuan.
Merga akhirnya kawin dengan anak Tarlon yang bernama Cimata. Tarlon
merupakan saudara bungsu dari Miansari (istri Nini Karo). Dari Merga dan
Cimata kemudian lahir lima orang anak laki-laki yang namanya merupakan
lima induk merga etnis Karo, yaitu:
11.Karo. Diberi nama Karo tujuannya bila nanti kakeknya (Nini Karo) telah
tiada Karo sebagai gantinya sebagai ingatan. Sehingga nama
leluhurnya tidak hilang.
12.

Ginting, anak kedua.

13.
Sembiring, diberi nama si mbiring (hitam) karena dia merupakan
yang paling hitam diantara saudaranya.
14.
Peranginangin, diberi nama peranginangin karena ketika ia lahir
angin berhembus dengan kencangnya (angin puting-beliung).
15.

Tarigan, anak bungsu.

16.

a kemudian lahir lima orang anak laki-laki yang namanya merupakan lima
induk merga etnis Karo, yaitu:
17.
Karo. Diberi nama Karo tujuannya bila nanti kakeknya (Nini Karo)
telah tiada Karo sebagai gantinya sebagai ingatan. Sehingga nama
leluhurnya tidak hilang.
18.

Ginting, anak kedua.

19.
Sembiring, diberi nama si mbiring (hitam) karena dia merupakan
yang paling hitam diantara saudaranya.

20.
Peranginangin, diberi nama peranginangin karena ketika ia lahir
angin berhembus dengan kencangnya (angin puting-beliung).
21.

Tarigan, anak bungsu.

Dari perkawinan si Karo (nenek moyang Karo) dengan Miansari lahir tujuh
orang anak. Anak sulung hingga anak keenam semuanya perempuan, yaitu:
Corah, Unjuk, Tekang, Girik, Pagit, Jile dan akhirnya lahir anak ketujuh
seorang laki-laki diberi nama Meherga yang berarti berharga atau mehaga
(penting) sebagai penerus. Dari sanalah akhirnya lahir Merga bagi orang Karo
yang berasal dari ayah (pathrilineal) sedangkan bagi anak perempuan disebut
Beru berasal dari kata diberu yang berarti perempuan.
Merga akhirnya kawin dengan anak Tarlon yang bernama Cimata. Tarlon
merupakan saudara bungsu dari Miansari (istri Nini Karo). Dari Merga dan
Cimata kemudian lahir lima orang anak laki-laki yang namanya merupakan
lima induk merga etnis Karo, yaitu:
22.
Karo. Diberi nama Karo tujuannya bila nanti kakeknya (Nini Karo)
telah tiada Karo sebagai gantinya sebagai ingatan. Sehingga nama
leluhurnya tidak hilang.
23.

Ginting, anak kedua.

24.
Sembiring, diberi nama si mbiring (hitam) karena dia merupakan
yang paling hitam diantara saudaranya.
25.
Peranginangin, diberi nama peranginangin karena ketika ia lahir
angin berhembus dengan kencangnya (angin puting-beliung).
26.

Tarigan, anak bungsu.

Sejarah Suku Karo


REP | 21 August 2013 | 14:47

Dibaca: 3586

Komentar: 2

Suku Karo adalah suku asli yang mendiami Dataran Tinggi Karo, Kabupaten
Deli Serdang, Kota Binjai, Kabupaten Langkat, Kabupaten Dairi, Kota Medan,
dan Kabupaten Aceh Tenggara.
Nama suku ini dijadikan salah satu nama kabupaten di salah satu wilayah
yang mereka diami (dataran tinggi Karo) yaitu Kabupaten Karo.Suku ini
memiliki bahasa sendiri yang disebut Bahasa Karo, dan memiliki salam khas,
yaitu Mejuah-juah.
Sementara pakaian adat suku Karo didominasi dengan warna merah serta
hitam dan penuh dengan perhiasan emas.Adapun keberadaan Rumah adat
suku Karo atau yang dikenal dengan nama Rumah Si Waluh Jabu yang
berarti rumah untuk delapan keluarga, yaitu Rumah yang terdiri dari delapan
bilik yang masing-masing bilik dihuni oleh satu keluarga. Tiap keluarga yang
menghuni rumah itu memiliki tugas dan fungsi yang berbeda-beda sesuai
dengan pola kekerabatan masing-masing.
Sejarah Suku Karo
Menurut Kol. (Purn) Sempa Sitepu dalam buku Sejarah Pijer Podi, Adat
Nggeluh Suku Karo Indonesia menuliskan secara tegas etnis Karo bukan
berasal dari si Raja Batak. Ia mengemukakan silsilah etnis Karo yang
diperoleh dari cerita lisan secara turun temurun dan sampai kepada beliau
yang didengar sendiri dari kakeknya yang lahir sekitar tahun 1838.

Menurutnya, leluhur etnis Karo berasal dari India Selatan berbatasan dengan
Mianmar.Menurut cerita yang disarikan oleh Sempa Sitepu, bahwa pada
awalnya seorang maharaja yang sangat kaya, sakti dan berwibawa yang
tinggal di sebuah negeri bersama permaisuri dan putra-putrinya, yang terletak
sangat jauh di seberang lautan. Raja tersebut juga mempunyai seorang
panglima perang yang sangat sakti, berwibawa dan disegani semua orang.
Nama panglima itu ialah Karo keturunan India.
Pada suatu ketika, maharaja ingin pergi dari negerinya untuk mencari tempat
yang baru dan mendirikan kerajaan baru. Ia mengumpulkan semua
pasukannya dan menganjurkan semuanya untuk bersiap-siap untuk
berangkat ke negeri seberang. Ia juga mengajak putrinya Si Miansari untuk
ikut merantau. Miansari sangat senang mendengar berita itu, karena ia
sedang jatuh cinta kepada panglima perang tersebut.
Akhirnya maharaja membagi kelompok dan Miansari memilih untuk
bergabung dengan panglima perang. Mereka mulai berlayar menyeberangi
lautan dengan rakit yang mereka buat sendiri.
Demikianlah mereka mulai berlayar dan mereka tiba si sebuah pulau yang
bernama Pulau Pinang. Mereka tinggal di tempat itu untuk beberapa bulan.
Dan mereka berburu untuk mencari makanan mereka. Suatu hari maharaja
memandang ke sebelah selatan dan melihat suatu pulau yang lebih luas dan
lebih hijau lagi. Ia berniat untuk menyeberang ke sana. Sore harinya ia
mengumumkan kepada rakyatnya agar bersiap-siap untuk berlayar ke
seberang.
Dalam perjalanan di tengah laut, mereka mengalami suatu musibah yang
sangat dahsyat, yaitu angin ribut dan ombak yang sangat besar, sehingga
mereka tercerai berai. Mereka sangat ketakutan dan beranggapan bahwa ajal
mereka akan segera tiba. Tak disangka-sangka Miansari beserta panglima
dan rombongannya terdampar di sebuah pulau yang tidak mereka kenal tetapi
maharaja dan rombongannya yang tidak tahu di mana keberadaannya.
Dengan demikian Panglima dan Miansari sepakat untuk melarikan diri dan
menikah. Mereka berangkat dan membawa dua orang dayang-dayang dan
tiga orang pengawal. Mereka mengikuti aliran sungai dan mencari tempat
yang aman untuk bersembunyi.Dan tiba di suatu tempat.
Mereka tinggal di tempat itu beberapa bulan lamanya. Di pulau itu mereka
hidup penuh dengan kebebasan. Pada waktu itu terjadilah peristiwa yang

sangat penting, yakni panglima dan Miansari menikah disaksikan oleh


dayang-dayang dan pengawal mereka.
Setelah itu mereka mulai lagi melanjutkan perjalanan mereka untuk mencari
tempat yang lebih aman. Mereka memasuki sebuah pulau yang tidak begitu
jauh dari tempat mereka, yakni pulau Perca (Sumatra), dan tempat itu
sekarang bernama Belawan.Dari tempat itu mereka kembali melanjutkan
perjalanan menelusuri aliran sungai menuju pedalaman. Dan tibalah mereka
di suatu tempat yang sekarang disebut Durin Tani.
Di sana terdapat sebuah gua yakni gua Umang . Di dalam gua itulah mereka
beristirahat untuk beberapa hari sebelum mencari tempat yang lebih aman.
Karena mereka menganggap tempat itu belum begitu aman maka mereka
memutuskan untuk mencari kembali tempat yang lebih aman. Mereka
menelusuri hutan dan mengikuti aliran sungai menuju daerah pegunungan.
Setelah beberapa hari lamanya mereka berada dan berjalan di tengah hutan
belantara dan mereka melewati beberapa tempat yang bernama Buluhawar,
Bukum, maka tibalah mereka di suatu tempat di kaki gunung. Dan tempat itu
diberi nama Sikeben berdekatan dengan Bandarbaru. Mereka tinggal di situ
beberapa bulan lamanya. Namun karena Si Karo melihat bahwa masih ada
tempat yang lebih indah dari pada tempat itu, ia memutuskan agar mereka
kembali berjalan menelusuri hutan. Akhirnya mereka tiba di kaki gunung
Barus. Dan melanjutkan perjalanan ke gunung Barus tersebut. Mereka sangat
senang melihat pemandangan yang begitu indah dan sejuk.
Mereka sangat senang dan mereka semua setuju bila mereka tinggal di
tempat itu. Tetapi Si Karo kurang setuju dengan permintaan teman-temannya,
karena ia melihat bahwa tanah yang ada di tempat itu tidak sama dengan
tanah yang ada di negeri mereka. Ia kemudian memutuskan untuk mencari
tempat lain. Keesokan harinya mereka beristirahat di bawah sebuah pohon
jabi-jabi (sejenis beringin). Si Karo mengutus seekor anjing untuk
menyeberang sebuah sungai, untuk melihat keadaan. Dan anjing itu kembali
dengan selamat. Maka mereka juga menyeberang sungai itu. Mereka
menamai sungai itu Lau Biang, dan pada saat ini sungai ini masih ada.
Beberapa hari kemudian tibalah mereka di suatu tempat, dan tanah yang
terdapat di tempat itu juga memiliki kemiripan dengan tanah yang ada di
negeri mereka. Mereka sangat bergembira, dan bersorak-sorai. Daerah
tempat mereka tinggal itu bernama Mulawari yang berseberangan dengan si
Capah yang sekarang Seberaya. Dengan demikian si Karo dan

rombongannya adalah pendiri kampung di dataran tinggi, yang sekarang


bernama dataran tinggi Karo (Taneh Karo).
Dari perkawinan si Karo (nenek moyang Karo) dengan Miansari lahir tujuh
orang anak. Anak sulung hingga anak keenam semuanya perempuan, yaitu:
Corah, Unjuk, Tekang, Girik, Pagit, Jile dan akhirnya lahir anak ketujuh
seorang laki-laki diberi nama Meherga yang berarti berharga atau mehaga
(penting) sebagai penerus. Dari sanalah akhirnya lahir Merga bagi orang Karo
yang berasal dari ayah (pathrilineal) sedangkan bagi anak perempuan disebut
Beru berasal dari kata diberu yang berarti perempuan.
Merga akhirnya kawin dengan anak Tarlon yang bernama Cimata. Tarlon
merupakan saudara bungsu dari Miansari (istri Nini Karo). Dari Merga dan
Cimata kemudian lahir lima orang anak laki-laki yang namanya merupakan
lima induk merga etnis Karo, yaitu:
27.
Karo. Diberi nama Karo tujuannya bila nanti kakeknya (Nini Karo)
telah tiada Karo sebagai gantinya sebagai ingatan. Sehingga nama
leluhurnya tidak hilang.
28.

Ginting, anak kedua.

29.
Sembiring, diberi nama si mbiring (hitam) karena dia merupakan
yang paling hitam diantara saudaranya.
30.
Peranginangin, diberi nama peranginangin karena ketika ia lahir
angin berhembus dengan kencangnya (angin puting-beliung).
31.

Tarigan, anak bungsu.

You might also like