You are on page 1of 15

DEMAM TIFOID

PENYUSUN : Ramos

(100100125)

KEPANITERAAN KLINIK RSUP HAJI ADAM MALIK


DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN2014

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang
telah memberikan berkat dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
sari pustaka yang berjudul demam tifoid .
Penulis menyadari laporan kasus ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu,
penulis mohon maaf dan juga mengharapkan masukan berupa kritik dan saran
yang membangun demi kesempurnaan laporan kasus ini. Semoga makalah ini
dapat berguna bagi kita semua.
Medan, September 2014
Penulis

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .......................................................................................... i
DAFTAR ISI .......................................................................................................ii
PENDAHULUAN ................................................................................................. 1
TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................3
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 13

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan
oleh Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai oleh panas yang berkepanjangan, ditopang
dengan bakteremia tanpa keterlibatan struktur endotelial atau endokardial dan invasi
bakteri sekaligus multipikasi ke dalam sel fagosit mononuklear dari hati, limpa, kelenjar
limpe usus, dan peyers patch.1
Beberapa terminologi lain yang erat kaitannya adalah demam paratifoid dan demam
enterik. Demam paratifoid secara patologik maupun klinis adalah sama dengan demam
tifoid namun biasanya lebih ringan, penyakit ini disebabkan oleh spesies Salmonela
enteriditis sedangkan demam enterik dipakai baik pada demam tifoid maupun demam
paratifoid. Terdapat 3 bioserotipe Salmonela enteriditis yaitu parathypi A, parathypi B,
dan parathypi. 1
Manifestasi klinis dari demam tifoid membuat penyakit ini menjadi tantangan dalam
hal diagnostik. Gambaran klasik terdiri dari demam, malaise, nyeri abdomen yang difuse,
dan konstipasi. Penyakit ini dapat berbahaya jika tidak ditangani dan dapat berkembang
menjadi delirium, penarahan usus halus, perforasi usus, dan kematian.2
Salmonella typhi telah menjadi patogen bagi manusia sejak ribuan tahun lalu. Bakteri
ini hidup di daerah dengan sanitasi yang buruk, padat penduduk, dan kondisi sosial yang
buruh. Nama Salmonella typhi diambil dari bahasa Yunani typhos, sebuah kabut atau
awan abadi yang dipercaya dapat menimbulkan penyakit dan kegilaan. Pada tingkat
lanjut penyakit ini dapat menimbulkan gangguan kesadaran pada pasien. Walaupun
antibiotik sudah digunakan dengan baik untuk menurunkan isendensi penyakit ini namun
tetap menjadi endemik di negara berkembang.2
Demam tifoid masih merupakan penyakit endemik di Indonesia. Penyakit ini
termasuk penyakit menular yang tercantum dalam Undang Undang nomor 6 tahun 1962
tentang wabah. Kelompok penyakit menular ini merupakan pernyakit yang mudah
menular dan dapat menyerang banyak orang sehingga menimbulkan wabah. 3
1.2. Tujuan
Tujuan penulisan sari pustaka ini adalah :
1. Untuk memahami tinjauan teoritis penyakit demam tifoid
2. Sebagai dasar melakukan penyuluhan kesehatan terhadap pasien

1.3. Manfaat Penulisan


Beberapa manfaat yang didapat dari penulisan laporan kasus ini adalah :
1. Untuk lebih memahami dan memperdalam secara teoritis demam tifoid
2. Sebagai bahan informasi dan pengetahuan bagi pembaca mengenai demam tifoid

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.

Defenisi
Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang
disebabkan oleh Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai oleh panas yang
berkepanjangan, ditopang dengan bakteremia tanpa keterlibatan struktur endotelial
atau endokardial dan invasi bakteri sekaligus multipikasi ke dalam sel fagosit
mononuklear dari hati, limpa, kelenjar limpe usus, dan peyers patch.1

2.2.

Epidemiologi
Demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan yang penting di berbagai
negara berkembang. Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia ini sangat
sukar ditentukan, sebab penyakit ini mempunyai gejala dengan sepktum klinis yang
luas. Diperkirakan angka kejadian dari 150/100.000/tahun di Amerika Selatan dan
900/100.000 di Asia. Umur penderita yang terkena di Indonesia dilaporkan antara 319 tahun mencapai 91% kasus.1
Surveilans Departemen Kesehatan RI, frekuensi kejadian demam tifoid di
Indonesia pada tahun 1994 terjadi peningkatan frekuensi menjadi 15,4/10.000
penduduk. Dari survei berbagai rumah sakit di Indonesia dari tahun 1981 sampai 1986
memperlihatkan peningkatan jumlah penderita sekitar 35,8% dari 19.596 menjadi
26.606 kasus.3
Case fatality rate (CFR) demam tifoid di tahun 1996 sebesar 1,08% dari
seluruh kematian di Indonesia. Namun demikian, berdasarkan survei Kesehatan
Rumah Tangga Departemen Kesehatan Indonesia demam tifoid tidak termasuk dalam

kategori 10 penyakit dengan mortalitas tertinggi.3


2.3.
Etiologi
Salmonella typhi sama dengan Salmonela yang lain merupakan bakteri gram
negatif, mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, fakultatif
anaerob. Mempunyai antigen somatik (O) yang teridiri dari oligosakarida, antigen
flagela (H) yang teridiri dari protein, dan antigen kapsul (K) yang teridiri dari
polisakarida.

Mempunyai

makromolekular

lipopolisakarida

komleks

yang

membentuk lapis luar dari dinding sel dan dinamakan endotoksin. Salmonella typhi
juga dapat memperoleh plasmis faktor R yang berkaitan dengan resistensi
terhadapat multipel antibiotik.1,4
2.4.

Patogenesis

Salmonella typhi masuk ke dalam tubuh melalui makan yang terkomtaminasi.


Sebagian bakteri dimusnahkan dalam lambung, sebagian lagi lolos masuk ke dalam
usus dan selanjutnya berkembang biak dalam usus. Bila repson imunitas humoral
mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel sel epitel (terutama
sel-M) dan selanjutkan ke lamia propia. Di lamia propia bakteri berkembang biak dan
difagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak dalam
makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyers patch ileum distal dan kemudian ke
kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus thorasikus bakteri
yang terdapat dalam macrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (bakterimia
pertama yang asimptomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh
teruta hati dan limpa. Di organ organ ini kemudian bakteri meninggalkan sel sel
fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya
masuk kembali ke peredaran darah yang merupakan bakterimia kedua yang disertai
dengan tanda tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.1,2,3,4,5
Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak,
dan bersama engan cairan empedu dieksresikan secara intermitten ke dalam usus.
Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses, sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi
setelah menembus usus, siklus yang sama terulang kembali, berhubung macrofag
telah teraktifasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman salmonela terjadi
pelepasan beberapa mediator inflmasi yang selanjutnya menimbulkan gejala inflamasi
sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas
vaskular, gangguan mental, dan koagulasi.2,3
Di dalam peyers patch macrofag hiperreaktif menimbulkan reaksi hiperplasia
jaringan. Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar
daerah tersebut yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel
sel mononuklear di dinding usus. Prosis ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot,
serosa usus, dan dapat menyebabkan perforasi.2,3
Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler engan akibat
timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatri, kardiovaskular, pernafasan,
dan organ lainnya.3
2.5.
Manifestasi klinis
Pada anak, periode inkubasi demam tifoid antara 5-40 hari dengan rata rata
10-14 hari. Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi, dari gejala klinis ringan dan
tidak memerlukan perawatan khusus sampai dengan berat sehingga harus dirawat.

Variasi gejala ini disebabkan faktor galur salmoela, status nutrisi dan imunologik
penjamu serta lama sakit di rumahnya.1,5
Semua pasien demam tifoid selalu menderita demam pada awal penyakit. Pada
era pemakaian antibiotik belum seperti ini, penampilan demam pada kasus demam
tifoid mempunyai istilah khusus yaitu step-ladder temperature chart yang ditandai
dengan demam timbul insidus, kemudian naik secara bertahap tiap harinya dan
mencapai titik tertinggi pada akhir minggu pertama, setelah itu demam akan bertahan
tinggi, dan pada akhir minggu ke 4 demam turun perlahan secara lisis, kecuali apabila
terdapat fokal infeksi seperti kolesistitits, abses jaringan lunak maka demam akan
menetap. Banyak orang tua pasien demam tifoid mengatakan bahwa demam dirasakan
lebih tinggi pada sore dan malam hari dibandingkan dengan dengan pagi harinya.
Pada saat demam sudah tinggi, dapat disertai dengan gejala sistem saraf pusat, seperti
kesadaran berkabut atau delirium, penurunan kesadaran mulai apati sampai koma.1,5
Gejala sistemik lain yang menyertai timbulnya demam adalah nyeri kepala,
malaise, anoreksia, nausea, mialgia, nyeri perut, dan radang tenggorokan. Pada kasus
yang berpenampilan klinis berat, pasien akan nampak toksik dan sakit berat. Bahkan
dijumpai demam tifoid dengan shock hipovolemik akibat kekurangan asupan cairan
atau makanan. Gejala gastrointestinal pada kasus demam tifoid sangat bervariasi,
pasien dapat mengelukan diare, konstipasi, atau gabungan keduanya. Lidah pasien
dapat tampak kotor dengan putih di tengah sedangkan pinggir dan ujungnya
kemerahan. Banyak dijumpai meteorismus, hepatomegali, dan spleenomegali.1,5
Rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 15 mm seringkali dijumpai pada daerah abdomen, thorax, ekstremitas, dan punggung
pada orang kulit putih, dan jarang dijumpai pada anak Indonesia. Ruam ini muncul
pada hari ke 7-10 demam dan bertahan selama 2-3 hari.1

2.6.
1.
1.
2.
3.
2.
1.

Komplikasi
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi di dalam :
Komplikasi intestinal
Perdarahan usus
Perforasi usus
Ileus paralitik
Komplikasi ekstraintetstinal
Komplikasi kardiovaskular: kegagalan sirkulasi perifer (renjatan/sepsis),

miokarditis, trombosis dan tromboflebitis.

2.

Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia dan atau koagulasi

3.
4.
5.
6.
7.

intravaskular diseminata dan sindrom uremia hemoltilik.


Komplikasi paru: penuomonia, empiema dan peluritis.
Komplikasi hepar dan kandung kemih: hepatitis dan kolelitiasis.
Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis dan perinefritis.
Komplikasi tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis dan artritis.
Komplikasi neuropsikiatrik: delirium, mengingismus, meningitis,
polineuritis perifer, sindrim Guillain-Barre, psikosis dan sindrom katatonia

2.7.

Diagnosis
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam
tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu : (1) pemeriksaan darah tepi; (2)
pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman; (3) uji serologis; dan (4)
pemeriksaan kuman secara molekuler.1,3,5
1. PEMERIKSAAN DARAH TEPI
Pada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit normal,
bisa menurun atau meningkat, mungkin didapatkan trombositopenia dan hitung jenis
biasanya normal atau sedikit bergeser ke kiri, mungkin didapatkan aneosinofilia dan
limfositosis relatif, terutama pada fase lanjut. Penelitian oleh beberapa ilmuwan
mendapatkan bahwa hitung jumlah dan jenis leukosit serta laju endap darah tidak
mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai ramal yang cukup tinggi untuk
dipakai dalam membedakan antara penderita demam tifoid atau bukan, akan tetapi
adanya leukopenia dan limfositosis relatif menjadi dugaan kuat diagnosis demam
tifoid.
2. IDENTIFIKASI KUMAN MELALUI ISOLASI / BIAKAN
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi
dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau dari rose
spots. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah
ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada
stadium berikutnya di dalam urine dan feses.
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif
tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor.
Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang
diambil; (2) perbandingan volume darah dari media empedu; dan (3) waktu
pengambilan darah.

Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak kecil
dibutuhkan 2-4 mL. Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur
hanya sekitar 0.5-1 mL. Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit
dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini dapat menjelaskan
teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila dibandingkan
dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit dan sudah
mendapatkan

terapi

antibiotika

sebelumnya.

Media

pembiakan

yang

direkomendasikan untuk S.typhi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana
dikatakan media Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S. typhi
dan S. paratyphi yang dapat tumbuh pada media tersebut.
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada
perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80% atau
70-90% dari penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir
minggu ketiga. Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita yang telah
mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume darah dan rasio darah
dengan media kultur yang dipakai. Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari
minggu pertama (10-15%) hingga minggu ketiga (75%) dan turun secara perlahan.
IDENTIFIKASI KUMAN MELALUI UJI SEROLOGIS
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid
dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi maupun
mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini
adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan. 4 Beberapa
uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi : (1) uji Widal; (2)
tes TUBEX; (3) metode enzyme immunoassay (EIA); (4) metode enzyme-linked
immunosorbent assay (ELISA); dan (5) pemeriksaan dipstik.
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai
penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan adanya
variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S.
typhi oleh karena tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang diperiksa, teknik
yang dipakai untuk melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang digunakan dalam uji
(poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen (stadium dini atau
lanjut dalam perjalanan penyakit).
UJI WIDAL

Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan sejak
tahun 1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi antara antibodi aglutinin dalam
serum penderita yang telah mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap antigen
somatik (O) dan flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga
terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi
menunjukkan titer antibodi dalam serum.
Teknik aglutinasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan uji hapusan (slide
test) atau uji tabung (tube test). Uji hapusan dapat dilakukan secara cepat dan
digunakan dalam prosedur penapisan sedangkan uji tabung membutuhkan teknik yang
lebih rumit tetapi dapat digunakan untuk konfirmasi hasil dari uji hapusan.
Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan beberapa faktor antara lain
sensitivitas, spesifisitas, stadium penyakit; faktor penderita seperti status imunitas dan
status gizi yang dapat mempengaruhi pembentukan antibodi; gambaran imunologis
dari masyarakat setempat (daerah endemis atau non-endemis); faktor antigen; teknik
serta reagen yang digunakan.
Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta
sulitnya

melakukan

interpretasi

hasil

membatasi

penggunaannya

dalam

penatalaksanaan penderita demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang positif akan
memperkuat dugaan pada tersangka penderita demam tifoid (penanda infeksi). 3 Saat
ini walaupun telah digunakan secara luas di seluruh dunia, manfaatnya masih
diperdebatkan dan sulit dijadikan pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai
standar aglutinasi (cut-off point). Untuk mencari standar titer uji Widal seharusnya
ditentukan titer dasar (baseline titer) pada anak sehat di populasi dimana pada daerah
endemis seperti Indonesia akan didapatkan peningkatan titer antibodi O dan H pada
anak-anak sehat.
TES TUBEX
Tes TUBEX merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang
sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang
berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan
menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada
Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena
hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam
waktu beberapa menit.

Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX ini,


beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas
dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal. 4 Penelitian oleh Lim dkk (2002)
mendapatkan hasil sensitivitas 100% dan spesifisitas 100%. 15 Penelitian lain
mendapatkan sensitivitas sebesar 78% dan spesifisitas sebesar 89%.9 Tes ini dapat
menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk pemeriksaan secara rutin
karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di negara berkembang.
METODE ENZYME IMMUNOASSAY (EIA) DOT
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM
dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM menunjukkan
fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG
menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis
dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi
peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan antara kasus
akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-M yang merupakan modifikasi
dari metode Typhidot telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga
menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen
terhadap Ig M spesifik.
Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-tifoid
bila dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan dengan uji
Widal, sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif yang bermakna
tidak selalu diikuti dengan uji Widal positif.2,8 Dikatakan bahwa Typhidot-M ini dapat
menggantikan uji Widal bila digunakan bersama dengan kultur untuk mendapatkan
diagnosis demam tifoid akut yang cepat dan akurat.
Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan
spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi silang
dengan penyakit demam lain, murah (karena menggunakan antigen dan membran
nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan alat yang khusus sehingga dapat digunakan
secara luas di tempat yang hanya mempunyai fasilitas kesehatan sederhana dan belum
tersedia sarana biakan kuman. Keuntungan lain adalah bahwa antigen pada membran
lempengan nitroselulosa yang belum ditandai dan diblok dapat tetap stabil selama 6
bulan bila disimpan pada suhu 4C dan bila hasil didapatkan dalam waktu 3 jam
setelah penerimaan serum pasien.
METODE ENZYME-LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY (ELISA)

10

Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak


antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap antigen
flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang sering
dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis adalah
double antibody sandwich ELISA. Chaicumpa dkk (1992) mendapatkan sensitivitas
uji ini sebesar 95% pada sampel darah, 73% pada sampel feses dan 40% pada sampel
sumsum tulang. Pada penderita yang didapatkan S. typhi pada darahnya, uji ELISA
pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65% pada satu kali pemeriksaan dan 95%
pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 100%. 18 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004)
terhadap sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar
100% pada deteksi antigen Vi serta masing-masing 44% pada deteksi antigen O9 dan
antigen Hd. Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian
lebih lanjut akan tetapi tampaknya cukup menjanjikan, terutama bila dilakukan pada
minggu pertama sesudah panas timbul, namun juga perlu diperhitungkan adanya nilai
positif juga pada kasus dengan Brucellosis.
PEMERIKSAAN DIPSTIK
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana
dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi dengan
menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi sebagai pita
pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen kontrol.
Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan
alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai fasilitas
laboratorium yang lengkap.
2.8.

Diagnosis Banding
Pada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit kadang kadang secara klinis
dapat menjadi diangnosis bandingnya yaitu influenza, gastroenteritis, bonkitis,
bronkopneumonia Pada demam tifoid yang berat,sepsis, leukimia, limfoma dan
penyakit hodgkin dapat sebagai dignosis banding.1

2.9.

Tatalaksana
Pasien yang di rawat dengan diagnosis observasi tifus abdominalis harus dianggap

dan diperlakukan langsung sebagai pasien tifus abdominalis dan di berikan perawatan
sebagai berikut1,3:

11

1. Perawatan
o Anak diistirahatkan 7 hari sampai demam hilang atau 14 hari untuk mencegah
komplikasi perdarahan usus.
o Mobilisasi bertahap bila tidak ada panas, sesuai dengan pulihnya kondisi bila ada
komplikasi perdarahan.
2. Diet
o Makanan mengandung cukup cairan, kalori dan tinggi protein
o Bahan makanan tidak boleh mengandung banyak serat, tidak merangsang kerja
usus dan tidak mengandung gas, dapat diberikan susu 2 gelas sehari
o Pada penderita yang akut dapat diberi bubur saring.
o Setelah bebas demam diberi bubur kasar selama 2 hari lalu nasi tim.
o Dilanjutkan dengan nasi biasa setelah penderita bebas dari demam selama 7 hari.
3. Obat-obatan
Obat-obat yang dapat di berikan pada anak dengan thypoid yaitu :
o Klorampenikol dengan dosis tinggi, yaitu 100mg/kgBB/hari (maksimum) 2
gram/hari, diberikan peroral atau intravena. Pemberian kloramfenikol dengan
dosis tinggi tersebut mempersingkat waktu perawatan dan mencegah relaps. Efek
negatifnya adalah mungkin pembentulan zat anti berkurang karena basil terlalu
cepat di musnahkan. Dapat juga diberikan Tiampenikol, Kotrimoxazol, Amoxilin
dan ampicillin disesuaikan dengan keluhan anak. Kloramfenikol digunakan untuk
memusnahkan dan menghentikan penyebaran kuman. Diberikan sebagai pilihan
utama untuk mengobati demam thypoid di Indonesia.
o Bila terdapat komplikasi, terapi disesuaikan dengan penyakitnya. Bila terjadi
dehidrasi dan asidosis diberikan cairan intravena.
2.10 Pencegahan
Menurut Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (2006), ada 3 strategi pokok untuk
memutuskan transmisi thypoid yaitu:
- Identifikasi dan eradikasi Salmonella thypii baik pada kasus demam thypoid maupun
-

pada kasus carrier thypoid.


Pencegahan transmisi langsung dari pasien terinfeksi Salmonella thypii akut maupun
carrier.
Proteksi pada orang yang beresiko terinfeksi.
Cara pencegahan yang dilakukan pada demam typhoid adalah cuci tangan setelah

dari toilet dan khususnya sebelum makan atau mempersiapkan makanan, hindari minum
susu mentah (yang belum dipasteurisasi), hindari minum air mentah, rebus air sampai
mendidih dan hindari makanan pedas karena akan memperberat kerja usus dan
pemberian vaksin.1

12

DAFTAR PUSTAKA
1. Soedarmo SSP, et.al. (Ed.). 2012. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis.Edisi
Kedua. Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI): Jakarta.

2. Brusch J. Thypoid fever. Medsacape Website. Available from :


http://emedicine.medscape.com/article/231135-overview. Accsessed 09 december
2014.
3. Widodo D. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Kelima. 2010, Pusat penerbitan
Ilmu penyakit dalam : Jakarta.
4. Sujudi H. 1994. Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran. Binarupa Aksara : Jakarta.
5. Behrman R, Kliegman R, Jenson H. Nelson Textbook of Pediatrics 19th ed. 2003.
Elsevier Helath Science : Philadelphia.

You might also like