Professional Documents
Culture Documents
PENYUSUN : Ramos
(100100125)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang
telah memberikan berkat dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
sari pustaka yang berjudul demam tifoid .
Penulis menyadari laporan kasus ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu,
penulis mohon maaf dan juga mengharapkan masukan berupa kritik dan saran
yang membangun demi kesempurnaan laporan kasus ini. Semoga makalah ini
dapat berguna bagi kita semua.
Medan, September 2014
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .......................................................................................... i
DAFTAR ISI .......................................................................................................ii
PENDAHULUAN ................................................................................................. 1
TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................3
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 13
BAB I
PENDAHULUAN
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Defenisi
Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang
disebabkan oleh Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai oleh panas yang
berkepanjangan, ditopang dengan bakteremia tanpa keterlibatan struktur endotelial
atau endokardial dan invasi bakteri sekaligus multipikasi ke dalam sel fagosit
mononuklear dari hati, limpa, kelenjar limpe usus, dan peyers patch.1
2.2.
Epidemiologi
Demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan yang penting di berbagai
negara berkembang. Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia ini sangat
sukar ditentukan, sebab penyakit ini mempunyai gejala dengan sepktum klinis yang
luas. Diperkirakan angka kejadian dari 150/100.000/tahun di Amerika Selatan dan
900/100.000 di Asia. Umur penderita yang terkena di Indonesia dilaporkan antara 319 tahun mencapai 91% kasus.1
Surveilans Departemen Kesehatan RI, frekuensi kejadian demam tifoid di
Indonesia pada tahun 1994 terjadi peningkatan frekuensi menjadi 15,4/10.000
penduduk. Dari survei berbagai rumah sakit di Indonesia dari tahun 1981 sampai 1986
memperlihatkan peningkatan jumlah penderita sekitar 35,8% dari 19.596 menjadi
26.606 kasus.3
Case fatality rate (CFR) demam tifoid di tahun 1996 sebesar 1,08% dari
seluruh kematian di Indonesia. Namun demikian, berdasarkan survei Kesehatan
Rumah Tangga Departemen Kesehatan Indonesia demam tifoid tidak termasuk dalam
Mempunyai
makromolekular
lipopolisakarida
komleks
yang
membentuk lapis luar dari dinding sel dan dinamakan endotoksin. Salmonella typhi
juga dapat memperoleh plasmis faktor R yang berkaitan dengan resistensi
terhadapat multipel antibiotik.1,4
2.4.
Patogenesis
Variasi gejala ini disebabkan faktor galur salmoela, status nutrisi dan imunologik
penjamu serta lama sakit di rumahnya.1,5
Semua pasien demam tifoid selalu menderita demam pada awal penyakit. Pada
era pemakaian antibiotik belum seperti ini, penampilan demam pada kasus demam
tifoid mempunyai istilah khusus yaitu step-ladder temperature chart yang ditandai
dengan demam timbul insidus, kemudian naik secara bertahap tiap harinya dan
mencapai titik tertinggi pada akhir minggu pertama, setelah itu demam akan bertahan
tinggi, dan pada akhir minggu ke 4 demam turun perlahan secara lisis, kecuali apabila
terdapat fokal infeksi seperti kolesistitits, abses jaringan lunak maka demam akan
menetap. Banyak orang tua pasien demam tifoid mengatakan bahwa demam dirasakan
lebih tinggi pada sore dan malam hari dibandingkan dengan dengan pagi harinya.
Pada saat demam sudah tinggi, dapat disertai dengan gejala sistem saraf pusat, seperti
kesadaran berkabut atau delirium, penurunan kesadaran mulai apati sampai koma.1,5
Gejala sistemik lain yang menyertai timbulnya demam adalah nyeri kepala,
malaise, anoreksia, nausea, mialgia, nyeri perut, dan radang tenggorokan. Pada kasus
yang berpenampilan klinis berat, pasien akan nampak toksik dan sakit berat. Bahkan
dijumpai demam tifoid dengan shock hipovolemik akibat kekurangan asupan cairan
atau makanan. Gejala gastrointestinal pada kasus demam tifoid sangat bervariasi,
pasien dapat mengelukan diare, konstipasi, atau gabungan keduanya. Lidah pasien
dapat tampak kotor dengan putih di tengah sedangkan pinggir dan ujungnya
kemerahan. Banyak dijumpai meteorismus, hepatomegali, dan spleenomegali.1,5
Rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 15 mm seringkali dijumpai pada daerah abdomen, thorax, ekstremitas, dan punggung
pada orang kulit putih, dan jarang dijumpai pada anak Indonesia. Ruam ini muncul
pada hari ke 7-10 demam dan bertahan selama 2-3 hari.1
2.6.
1.
1.
2.
3.
2.
1.
Komplikasi
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi di dalam :
Komplikasi intestinal
Perdarahan usus
Perforasi usus
Ileus paralitik
Komplikasi ekstraintetstinal
Komplikasi kardiovaskular: kegagalan sirkulasi perifer (renjatan/sepsis),
2.
3.
4.
5.
6.
7.
2.7.
Diagnosis
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam
tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu : (1) pemeriksaan darah tepi; (2)
pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman; (3) uji serologis; dan (4)
pemeriksaan kuman secara molekuler.1,3,5
1. PEMERIKSAAN DARAH TEPI
Pada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit normal,
bisa menurun atau meningkat, mungkin didapatkan trombositopenia dan hitung jenis
biasanya normal atau sedikit bergeser ke kiri, mungkin didapatkan aneosinofilia dan
limfositosis relatif, terutama pada fase lanjut. Penelitian oleh beberapa ilmuwan
mendapatkan bahwa hitung jumlah dan jenis leukosit serta laju endap darah tidak
mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai ramal yang cukup tinggi untuk
dipakai dalam membedakan antara penderita demam tifoid atau bukan, akan tetapi
adanya leukopenia dan limfositosis relatif menjadi dugaan kuat diagnosis demam
tifoid.
2. IDENTIFIKASI KUMAN MELALUI ISOLASI / BIAKAN
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi
dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau dari rose
spots. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah
ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada
stadium berikutnya di dalam urine dan feses.
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif
tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor.
Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang
diambil; (2) perbandingan volume darah dari media empedu; dan (3) waktu
pengambilan darah.
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak kecil
dibutuhkan 2-4 mL. Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur
hanya sekitar 0.5-1 mL. Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit
dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini dapat menjelaskan
teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila dibandingkan
dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit dan sudah
mendapatkan
terapi
antibiotika
sebelumnya.
Media
pembiakan
yang
direkomendasikan untuk S.typhi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana
dikatakan media Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S. typhi
dan S. paratyphi yang dapat tumbuh pada media tersebut.
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada
perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80% atau
70-90% dari penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir
minggu ketiga. Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita yang telah
mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume darah dan rasio darah
dengan media kultur yang dipakai. Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari
minggu pertama (10-15%) hingga minggu ketiga (75%) dan turun secara perlahan.
IDENTIFIKASI KUMAN MELALUI UJI SEROLOGIS
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid
dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi maupun
mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini
adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan. 4 Beberapa
uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi : (1) uji Widal; (2)
tes TUBEX; (3) metode enzyme immunoassay (EIA); (4) metode enzyme-linked
immunosorbent assay (ELISA); dan (5) pemeriksaan dipstik.
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai
penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan adanya
variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S.
typhi oleh karena tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang diperiksa, teknik
yang dipakai untuk melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang digunakan dalam uji
(poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen (stadium dini atau
lanjut dalam perjalanan penyakit).
UJI WIDAL
Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan sejak
tahun 1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi antara antibodi aglutinin dalam
serum penderita yang telah mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap antigen
somatik (O) dan flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga
terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi
menunjukkan titer antibodi dalam serum.
Teknik aglutinasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan uji hapusan (slide
test) atau uji tabung (tube test). Uji hapusan dapat dilakukan secara cepat dan
digunakan dalam prosedur penapisan sedangkan uji tabung membutuhkan teknik yang
lebih rumit tetapi dapat digunakan untuk konfirmasi hasil dari uji hapusan.
Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan beberapa faktor antara lain
sensitivitas, spesifisitas, stadium penyakit; faktor penderita seperti status imunitas dan
status gizi yang dapat mempengaruhi pembentukan antibodi; gambaran imunologis
dari masyarakat setempat (daerah endemis atau non-endemis); faktor antigen; teknik
serta reagen yang digunakan.
Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta
sulitnya
melakukan
interpretasi
hasil
membatasi
penggunaannya
dalam
penatalaksanaan penderita demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang positif akan
memperkuat dugaan pada tersangka penderita demam tifoid (penanda infeksi). 3 Saat
ini walaupun telah digunakan secara luas di seluruh dunia, manfaatnya masih
diperdebatkan dan sulit dijadikan pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai
standar aglutinasi (cut-off point). Untuk mencari standar titer uji Widal seharusnya
ditentukan titer dasar (baseline titer) pada anak sehat di populasi dimana pada daerah
endemis seperti Indonesia akan didapatkan peningkatan titer antibodi O dan H pada
anak-anak sehat.
TES TUBEX
Tes TUBEX merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang
sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang
berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan
menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada
Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena
hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam
waktu beberapa menit.
10
Diagnosis Banding
Pada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit kadang kadang secara klinis
dapat menjadi diangnosis bandingnya yaitu influenza, gastroenteritis, bonkitis,
bronkopneumonia Pada demam tifoid yang berat,sepsis, leukimia, limfoma dan
penyakit hodgkin dapat sebagai dignosis banding.1
2.9.
Tatalaksana
Pasien yang di rawat dengan diagnosis observasi tifus abdominalis harus dianggap
dan diperlakukan langsung sebagai pasien tifus abdominalis dan di berikan perawatan
sebagai berikut1,3:
11
1. Perawatan
o Anak diistirahatkan 7 hari sampai demam hilang atau 14 hari untuk mencegah
komplikasi perdarahan usus.
o Mobilisasi bertahap bila tidak ada panas, sesuai dengan pulihnya kondisi bila ada
komplikasi perdarahan.
2. Diet
o Makanan mengandung cukup cairan, kalori dan tinggi protein
o Bahan makanan tidak boleh mengandung banyak serat, tidak merangsang kerja
usus dan tidak mengandung gas, dapat diberikan susu 2 gelas sehari
o Pada penderita yang akut dapat diberi bubur saring.
o Setelah bebas demam diberi bubur kasar selama 2 hari lalu nasi tim.
o Dilanjutkan dengan nasi biasa setelah penderita bebas dari demam selama 7 hari.
3. Obat-obatan
Obat-obat yang dapat di berikan pada anak dengan thypoid yaitu :
o Klorampenikol dengan dosis tinggi, yaitu 100mg/kgBB/hari (maksimum) 2
gram/hari, diberikan peroral atau intravena. Pemberian kloramfenikol dengan
dosis tinggi tersebut mempersingkat waktu perawatan dan mencegah relaps. Efek
negatifnya adalah mungkin pembentulan zat anti berkurang karena basil terlalu
cepat di musnahkan. Dapat juga diberikan Tiampenikol, Kotrimoxazol, Amoxilin
dan ampicillin disesuaikan dengan keluhan anak. Kloramfenikol digunakan untuk
memusnahkan dan menghentikan penyebaran kuman. Diberikan sebagai pilihan
utama untuk mengobati demam thypoid di Indonesia.
o Bila terdapat komplikasi, terapi disesuaikan dengan penyakitnya. Bila terjadi
dehidrasi dan asidosis diberikan cairan intravena.
2.10 Pencegahan
Menurut Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (2006), ada 3 strategi pokok untuk
memutuskan transmisi thypoid yaitu:
- Identifikasi dan eradikasi Salmonella thypii baik pada kasus demam thypoid maupun
-
dari toilet dan khususnya sebelum makan atau mempersiapkan makanan, hindari minum
susu mentah (yang belum dipasteurisasi), hindari minum air mentah, rebus air sampai
mendidih dan hindari makanan pedas karena akan memperberat kerja usus dan
pemberian vaksin.1
12
DAFTAR PUSTAKA
1. Soedarmo SSP, et.al. (Ed.). 2012. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis.Edisi
Kedua. Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI): Jakarta.