You are on page 1of 14

PEMBELAJARAN MENCERITAKAN KEMBALI ISI

CERITA PENDEK
(BAHAN AJAR DIKLAT GURU BAHASA INDONESIA MADRASAH
TSANAWIYAH TINGKAT DASAR)

Oleh: Drs. Heriyanto, M.Pd.


Widyaiswara Muda pada Balai Diklat Keagamaan Surabaya

Abstraksi
Learning of retelling short story is a part of learning speaking. This learning was
benefit for the student especially in directing short story appreciation, in growing
student imagination, and in self-actualization in speaking activity at same time. As a
part of speaking learning, steps in learning of retelling short story also considerated
cognitive aspect and speaking motoric skill. In evaluation tihis teaching learning is
also utilized rubric of speaking learning.
Key words: Pembelajaran berbicara, menceritakan kembali cerita pendek, langkah
pembelajaran, rubrik penilaian.
A. Latar Belakang
Seorang guru, apalagi guru bahasa Indonesia, pasti pernah membaca sebuah
cerita pendek. Paling tidak untuk kepentingan pembelajaran, seorang guru akan
memilih cerita yang menarik bagi siswanya. Namun tidak menutup kemungkinan
seorang guru bahasa Indonesia adalah penghobi membaca cerita pendek sehingga
suatu ketika guru tersebut ingin menceritakannya kembali cerita itu kepada orang
lain.
Dalam kurikulum KTSP (Standar Isi) menceritakan kembali isi cerita pendek
terdapat pada kelas IX semester 1, yaitu: 6.1 Menceritakan kembali secara lisan isi
cerpen. Menceritakan kembali juga merupakan salah satu metode pembelajaran

berbicara. Metode ini digunakan dalam pembelajara berbicara dengan tujuan agar
siswa memiliki kemampuan untuk menceritakan kembali suatu cerita yang
disimaknya dengan bahasa siswa. Metode ini diharapkan akan menjadikan siswa
terampil berbicara dengan nalar yang baik, mampu menyusun kata menjadi kalimat
runtut dan mengkomunikasikan menjadi cerita.

Sementara itu menurut HB Jassin, cerita pendek adalah cerita fiksi yang habis
dibaca dalam sekali duduk. Unsur-unsur cerita pendek, sama dengan cerita rekaan
yang lain, di antaranya (a) tokoh dan penokohan, (b) alur, (c) latar, (d) tema, (e)
amanat, (f) sudut pandang, (g) dan gaya bahasa, yang semuanya saling berhubungan
sehingga membentuk satu cerita yang utuh.
Panjang pendeknya cerita tidak dapat dijadikan patokan untuk suatu genre.
Cerpen biasanya memiliki alur tunggal, pelaku terbatas (jumlahnya sedikit), dan
mencakup peristiwa yang terbatas pula. Kualitas tokoh dalam cerpen jarang
dikembangkan secara penuh. Karena serba dibatasi, tokoh dalam cerpen biasanya
langsung ditunjukkan karakternya. Artinya, karakter tokoh langsung ditunjukkan
oleh pengarangnya melalui narasi, deskripsi, atau dialog. Di samping itu, cerita
pendek biasanya mencakup rentang waktu cerita yang pendek pula, misalnya
semalam, sehari, seminggu, sebulan, atau setahun.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis mengambil topik pembelajaran
menceritakan kembali isi cerita pendek. Adapun rumusan masalah yang hendak
dijawab dalam masalah ini adalah
Bagaimana pembelajaran menceritakan kembali isi cerita pendek?
Jawaban atas pertanyaan rumusan masalah merupakan tujuan dari penulisan
makalah ini.

B. Menceritakan Kembali Isi Cerpen sebagai bagian dari Pembelajaran Berbicara

1. Hakikat Berbicara
Anton M. Moeliono dkk.(1988:114) mengatakan bahwa berbicara adalah
berkata, bercakap, berbahasa, melahirkan pendapat dengan perkataan. Berbicara
merupakan kemampuan yang manusiawi, dalam arti, mengembangkan ide, pikiran
atau gagasan hanya bisa dilakukan oleh manusia. Dalam kehidupan sehari-hari
berbicara selalu menjadi sarana komunikasi yang utama pada manusia. Oleh karena itu,
berbicara memegang peranan yang sangat sentral.
Sementara itu Mulgrave (dalam Tarigan 1981:15) mengemukakan berbicara
merupakan suatu alat untuk mengomunikasikan gagasan-gagasan yang disusun serta
dikembangkan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan sang pendengar. Berbicara
merupakan instrumen yang mengungkapkan kepada penyimak hampir-hampir secara
langsung apakah sang pembicara memahami atau tidak baik bahan pembicaraannya

maupun para penyimaknya; apakah dia bersikap tenang serta dapat menyesuaikan diri
atau tidak, pada saat dia mengkomunikasikan gagasan-gagasannya; dan apakah dia
waspada serta antusias atau tidak.
Berbicara merupakan salah satu aspek keterampilan berbahasa produktif lisan.
Keterampilan berbicara dikatakan merupakan keterampilan produktif lisan karena
dalam perwujudannya keterampilan ini menghasilkan berbagai gagasan melalui lisan.
Berbicara juga merupakan anti-tesis dengan ketrampilan menyimak yang merupakan
ketrampilan reseptif lisan. Berbicara dan menyimak digolongkankan sebagai
komunikasi lisan. Keduanya merupakan kegiatan fungsional bagi komunikasi lisan.
Melalui berbicara orang menyampaikan informasi melalui ujaran kepada orang lain
sementara dengan menyimak seseorang menerima informasi dari orang lain.

2. Tujuan Berbicara
Pada dasarnya orang yang melakukan kegiatan berbicara adalah orang yang
melakukan kegiatan berbahasa. Dapat dikatakan bahwa tujuan utama berbicara adalah
berkomunikasi. Namun demikian, tujuan berbicara dapat dirinci sebagai berikut:
1) Berbicara untuk Menghibur
Menghibur adalah membuat orang senang dan bergembira. Dalam hal ini seorang
pembicara menarik perhatian pendengar dengan cara yang menyenangkan, misalnya
humor, spontanitas, kisah-kisah jenaka, dan sebagainya.
2) Berbicara untuk Menginformasikan
Berbicara untuk tujuan menginformasikan dilaksanakan kalau seseorang berkeinginan
untuk (1) menerangkan atau menjelaskan sesuatu proses; (2) memberi atau
menanamkan pengetahuan; (3) menguraikan, menafsirkan, atau mengiterpretasikan
sesuatu hal; (4) menjelaskan kaitan, hubungan, relasi antara benda, hal, atau peristiwa.
3) Berbicara untuk Menstimulasi
Menstimulasi merupakan kegiatan (berbicara) yang kompleks. Ketika menstimulasi
pendengar pembicara harus pintar merayu atau mempengaruhi pendengarnya. Hal ini
dapat tercapai jika pembicara benar-benar mengetahri minat, kebutuhan, dan cita-cita
pendengarnya.
4) Berbicara untuk Meyakinkan
Meyakinkan merupakan upaya seseorang agar orang lain bersikap tertentu. Melalui
pembicaraan yang meyakinkan, sikap pendengar dapat diubah misalnya dari sikap
menolak menjadi sikap menerima. Melalui pembicara yang terampil dan disertai

dengan bukti, fakta, contoh, dan ilustrasi yang mengena, sikap itu dapat diubah dari
menolak menjadi menerima.
5). Berbicara untuk Menggerakkan
Pernahkah Saudara hadir dalam suatu kampanye? Pembicara dalam kampanye adalah
seseorang yang pandai menggerakkan massa. Dalam berbicara untuk menggerakkan
diperlukan pembicara yang pandai berorasi dan berkharisma. Melalui kepintarannya
berbicara, kelihaiannya membakar emosi, kecakapan memanfaatkan situasi, ditambah
penguasaannya terhadap ilmu jiwa massa, pembicara dapat menggerakkan
pendengarnya.

3. Pembelajaran Berbicara
Pendekatan Komunikatif yang dianut dalam pembelajaran bahasa Indonesia
menyarankan belajar bahasa adalah belajar berkomunikasi. Pernyataan tersebut
berimplikasi pada mekanisme pembelajaran bahasa komunikatif. Sebagaimana yang
dikatakan Thompson (2003:1) yang menyatakan bahwa komunikasi merupakan fitur
mendasar dari kehidupan sosial dan bahasa merupakan komponen utamanya.
Pernyataan Thomson tersebut menyuratkan bahwa kegiatan berkomunikasi tidak bisa
dilepaskan dengan kegiatan berbahasa.
Sesuai dengan kurikulum yang berlaku (KTSP) pengembangan kemampuan
berbicara siswa dibagi menjadi kemampuan berbicara sastra dan kemampuan berbicara
non sastra. Kemampuan berbicara sastra adalah kemampuan melisankan karya sastra
yang berupa menuturkan, membawakan, dan membacakan karya sastra (Depdiknas,
2005:5). Di samping itu siswa juga diharapkan terampil menanggapi pembacaan cerpen,
pementasan drama, dan karya sastra secara lisan.
Adapun kemampuan berbicara non sastra adalah kemampuan mengucapkan
bunyi-bunyi artikulasi/ mengucapkan kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan,
menyampaikan gagasan, pikiran, dan perasaan (Depdiknas, 2005: 7) Dalam
membelajarkan ketrampilan berbicara guru diharapkan mampu memamberikan
pembelajaran yang sesuai dengan mperkembangan usia dan kebutuhan siswa.
Keberhasilan pembelajaran berbicara tentu terkait dengan berbagai faktor, di antaranya
bagaimana guru merumuskan indikator dan tujuan, mengorganisasikan bahan,
mengonstruk alat evaluasi, mengemas kegiatan, memilih metode dan teknik yang sesuai,
serta menggunakan sumber dan media pembelajaran.

C. Pembelajaran Menceritakan Kembali Isi Cerita pendek


Menceritakan kembali isi cerita pendek merupakan pembelajaran berbicara sastra.
Dalam pembelajaran tersebut sesuai dengan kompetensi dasarnya siswa diarahkan
untuk terampil berbicara sekaligus melakukan apresiasi sastra. Terdapat beberapa hal
yang harus dilakukan dalam pembacaan cerita pendek, yaitu pengenalan terhadap
karakteristik cerita pendek dan pengenalan terhadap pendengar/ komunikan dalam
berbicara. Sebagaimana dikatakan oleh Aminuddin (1987) bahwa untuk dapat
memahami sebuah cerita pendek diperlukan pemahaman-pemahaman terhadap tokoh,
alur, konflik, setting, sudut pandang, dan gaya bahasa. Sementara itu untuk
mengefektifkan berbicara Keraf (1984) menyarankan untuk melakukan analisis
pendengar.
Untuk mengetahui lebih dalam tentang pembelajaran menceritakan kembali isi
cerpen mari kita ikuti petunjuk pelatihan berikut:

Tahap Kegiatan 1:
Bacalah cerpen di bawah ini dengan seksama. Rasakan suasana batin tokoh
yang terlibat di dalamnya.
IBU
Oleh Heriyanto
Permusuhanku dengan ibu mencapai puncaknya ketika ibu memaksaku
untuk menikahi Tina. Tentu saja aku menolak, karena dengan adanya pemaksaan itu,
ibu nyata-nyata belum memanusiakan aku. Aku masih dianggapnya belum mampu
mandiri. Perlakuan ini amat sulit kutolerir. Apalagi pada dasarnya aku sangat fanatik
terhadap prinsip-prinsip yang kuyakini. Ancaman yang dicetuskan ibu kemudian
makin melunturkan rasa hormatku pada ibu.
Tina sendiri, gadis yang akan dijodohkan dengan aku, adalah murid
kesayangan ibu. Muridnya dalam mengaji di surau. Karena selain sangat cerdas dan
cepat menangkap pelajaran yang diberikan, Tina sangat patuh terhadap perintahperintah ibu. Juga terhadap perintah yang paling diktator sekalipun. Maka tidak
heranlah jika ibu menyayanginya setengah mati. Wajah Tina sendiri tidak dapat
dikatakan jelek. Diantara murid-murid ibu yang lain, kuakui, Tina lah yang paling
cantik. Namun bila dibandingkan dengan perempuan-perempuan kota, aku tidak
berani mengatakannya.

Semula pandanganku terhadap Tina biasa-biasa saja. Kalau saja ia tidak


terlalu menurut pada ibu, aku mungkin akan jatuh cinta kepadanya. Sikapnya yang
amat sopan dan menghormat pada siapa saja itu amat menarik hatiku. Sewaktu ia
masih berusia sebelas tahun (saat itu usiaku tigabelas), sebelum menjadi murid ibu
aku sudah sering memperhatikannya. Terutama di saat-saat ia menimba di sumur
kami. Bahkan kalau tidak ada orang aku cenderung ingin menggodanya.
Tetapi begitu Tina menjadi murid ibuku perasaanku kepadanya berubah
seratus delapan puluh derajat. Kurasa sikapnya sendiri yang membuat aku begitu
membencinya. Kepatuhannya pada ibu yang amat membuta tak dapat kuterima.
Apalagi baru satu tahun menjadi murid ibu ia telah berani menggoda aku (tentu ini
kehendak ibu!). Aku jadi begitu muak melihat tampangnya sampai akhirnya
kesabaranku habis akibat ulah Tina yang kurasa sudah melampui batas.
Begini kisahnya. Pada suatu malam teman-teman sekolahku belajar
kelompok di rumah. Tujuh orang jumlah temanku. Pada saat itulah tindakan Tina
tampak amat bodoh dan konyol. Di hadapan tujuh orang temanku ia mengaku
sebagai pacarku. Tentu saja ketujuh teman yang semuanya wanita jadi tak enak hati.
Apalagi tindakan Tina betul-betul naf. Ia tidak mau meningalkan kami untuk belajar
lebih tenang. Tina pun kumarahi begitu teman-temanku pulang. Namun betapa
sakitnya hatiku, ibu malah menyalahkanku. Aku dituduh kekanak-kanakan dan tidak
tahu diri. Sepanjang malam aku dimarahi ibu. Gara-gara Tina.
Diperlakukan seperti itu harga diriku bangkit. Aku merasa sudah mulai
dewasa pada usia enam belas tahun. Malam itu juga sekitar pukul satu dini hari aku
mengemasi pakaianku. Tekadku untuk meninggalkan rumah beserta penghuninya
tidak dapat dicegah lagi walaupun sebenarnya aku amat mencintai rumahku, warisan
almarhum bapakku. Sekedar uang transpor kuambil dari lemari ibu. Tentu saja
semua itu kulakukan dengan sembunyi-sembunyi dan dengan hati hancur. Aku
merasa malam itulah puncak kekalahanku terhadap ibu.
Bertahun tahun hidup di perantauan aku mesti mandiri. Aku pun bekerja
sebagai pelayan toko sekaligus sebagai kacung rumah tangga pemilik toko agar
perutku senantiasa terisi. Selama itu surat-surat ibu seringkali datang tetapi tidak
satu pun kubalas. Aku memang selalu ingin menyakiti ibu sejak hatiku hancur.
Karena dari perbuatan itu aku merasa kekalahanku terbalas sedikit. Lagi pula aku
merasa tidak menemukan apa-apa dari surat-surat itu walaupun aku selalu
membacanya berulangkali.

Mau tidak mau aku harus mengakui kesabaran ibu. Walaupun suratsuratnya tidak berbalas sama sekali tetapi setiap bulan surat ibu selalu datang.
Bahkan sampai dua-tiga kali.
Semula aku tidak tahu pasti apa motivasi ibu mengirim surat-surat yang tak
pernah kubalas namun akhirnya aku tahu pula bahwa ternyata dengan surat-surat
itu ibu seolah-olah ingin memamerkan keberhasilan-keberhasilannya sepeninggalku.
Ibu sudah kaya sekarang. Dua buah toko berhasil didirikannya. Toko pakaian
dan toko barang elektronik. Keduanya terletak di plaza yang baru dibangun.
Keduanya dijalankan orang lain. Ibu hanya sebagai penanam modal utamanya saja.
Ibu pun telah mendirikan sebuah pesantren putri. Muridnya banyak. Tidak terbatas
pada santri-santri dalam kota saja. Dari luar kota juga banyak yang meminati
pesantren ibu. Ibu sendiri yang memimpin pesantren itu. Beberapa ustadz muda
ditempatkan di sana sebagai tenaga pengajar. Ibu sendiri tinggal di rumah desa yang
dulu kutinggalkan.
Dikatakan pula bahwa Tina murid kesayangan ibu- adalah orang kedua di
pesantren. Kepandaian Tina sudah setingkat dengan kepandaian ibu. Seringkali Tina
disuruh mewakili ibu dalam urusan kepesantrenan. Bahkan Tina dikatakan sudah
berani pula memberi ceramah. Kurasa dalam menceritakan Tina ibu terlalu
berlebihan. Misalnya beliau tidak bisa tidur bila Tina belum pulang dari tugas yang
dilimpahkannya. Mendengar ini aku jadi geli. Penekanan tentang belum menikahnya
Tina pada usia yang kedua puluh lima malah menimbulkan semacam antipati
terhadap ibu dan juga Tina. Aku sering berpikir apa gunanya ibu mengusik aku
dengan surat-surat yang sifatnya mempromosikan Tina kepadaku. Apakah hal ini
justru tidak merendahkan harga diri Tina? Ah, aku semakin tidak dapat menerima
tindakan-tindakan ibu. Terlebih lagi kegoblokan Tina.
Surat-surat ibu masih juga datang ketika aku telah menikah. Aku sengaja
tidak memberitahu ibu tentang pernikahanku. Istriku adalah anak tunggal majikanku.
Dia tahu hubunganku dengan ibu tetapi dia tidak mau ambil pusing dengan urusanurusan itu. istriku dapat menerima alasan-alasan yang kukemukakan untuk tidak
berkenalan dengan mertuanya. Sebagai istri dia tahu persis sifat-sifatku. Tapi aku
selalu memberikan surat-surat ibu kepadanya begitu aku selesai membacanya.
Suatu ketika surat ibu datang dengan isi yang agak lain. Dia mengharapku
pulang. Agaknya dia merasa kangen denganku. Dikatakannya pula Tina sudah
menikah dan diboyong suaminya. Ibu tinggal sendirian sekarang. Ibu berharap aku

mau mewarisi hartanya yang banyak sebab akulah satu-satunya yang berhak atas
harta-harta ibu. Kecuali kalua ibu telah memberikannya kepada Tina. Kurasa itu
masalah lain.
Terus terang saja aku tidak begitu tertarik dengan warisan ibu. Aku sudah
kaya sekarang. Apalagi sejak meninggalnya kedua mertuaku praktis aku dan
istrikulah yang menguasai seluruh peninggalan mereka. Kurasa kami berdua cukup
mampu untuk mengelola dan mengembangkan peninggalan mertuaku yang cukup
banyak. Aku justru ingin bersaing dengan dengan ibu dalam mengelola usaha.
Aku tidak tahu persis sejak kapan aku mulai tergantung pada surat-surat ibu.
Aku baru menyadarinya ketika surat ibu tidak pernah datang lagi dalam dua bulan
terakhir ini. Aneh, ketidakdatangan surat ibu agaknya membawa pengaruh tersendiri
bagiku. Aku merasa seakan-akan kehilangan sesuatu yang amat berharga dalam
hidupku. Aku rindu goresan-goresan tangan ibu. Aku sering bertanya-tanya sendiri
apa yang terjadi dengan ibu. Namun hal ini aku jaga agar istriku tidak tahu. Aku malu.
Harga diriku terlalu mahal untuk mengakui kelemahan-kelemahanku. Sebagai
kompensasinya aku sering membaca-baca kembali tulisan ibu yang telah kutumpuk
di almari pada saat istriku telah tertidur.
Kau melamun terus sedari tadi, Mas! Takut tidak diterima ibu? goda
istriku. Dokar yang kami tumpangi berjalan kencang sekali. Itu karena jalanan
menuju rumah sudah beraspal. Sebelum kutinggalkan dulu, jalanan belum sebagus
ini. Tak ada dokar yang berjalan sekencang sekarang. Tubuh kami berguncangguncang. Rambut istriku yang panjang agak kacau tertiup angin. Di atas dokar istriku
nampak cantik sekali. Kecantikan yang aneh, yang khas dimiliki orang-orang
berdarah campuran. Sudah tentu amat menarik perhatian orang, termasuk orangorang desaku.
Dokar telah melewati batas desa. Sekitar limapuluh rumah lagi, rumah yang
bertahun-tahun kutinggalkan akan kudapati lagi. Tetapi selama ini tak seorangpun
dapat kukenali. Juga pada kusir dokar ini yang menurut pengakuannya masih
bertetangga dengan ibu. Agaknya aku betul-betul hilang dari desaku sendiri.
Masih jauh, Mas? kesentimentilanku dipecahkan oleh pertanyaan istriku.
Tidak jawabku singkat.
Aku masih bingung memikirkan apa yang hendak kulakukan di hadapan ibu
nanti. Apakah ibu masih mau menerimaku, terlebih lagi memaafkanku, atau malah

makin membenciku. Aku tidak dapat membayangkan. Aku malah lupa sama sekali
wajah ibu ketika kutinggalkan dahulu.
Rumah ibu seperti yang kuperkirakan adalah rumah terbagus di desa. Jauh
lebih bagus dibandingkan dengan rumah kebanyakan orang kota. Sebuah antena
parabola kurasa satu-satunya di desa itu- berdiri megah. Halaman depan sudah
demikian luasnya. Penuh tanaman bunga. Ada juga pelataran tempat menjemur padi.
Agak jauh di belakang (seingatku dulu di tempat itu ada sumurnya) dua buah truk
tengah menurunkan muatan. Beberapa pekerja memasukkan muatan-muatan itu ke
gudang. Ibu betul-beetul menjadi jutawan.
Seorang wanita setengah tua yang masih cantik datang menyambut kami
dengan sorot mata tajam dan amat menusuk. Sorot dari balik kacamata emas itu
dengan cepat sekali membuka luka-luka lamaku. Jiwaku sakit sekali karenanya. Hh,
tampaknya sekali ini pun tidak ada maaf ibu buatku; buat ketidaktahuanku. Secepat
tanganku menowel lengan istriku,secepat itu pula aku berpaling dari tatapan ibu:
An, ini ibuberkenalanlah!
Aku cepat membenahi diri sementara istri dan ibuku saling memperkenalkan
diri. Aku tak ingin kekakuan ini terlihat lebih dalam di mata istriku.
Aku tidak begitu memperhatikan apa yang dibicarakan oleh kedua
perempuan itu. Apa pula yang mereka perbuat kemudian aku tidak tahu. Aku hanya
merasa iri akan kepandaian istriku memikat mertuanya. Dari cara berbicara dan
perlakuan ibu terhadap istriku, aku tahu ibu sangat menyayangi Ana. Begitu juga
sebaliknya. Keduanya sangat akrab. Tak tampak kecanggungan sedikit pun pada
tindak masing-masing.
Tak banyak yang kulakukan di rumah ibu. Aku hanya menginap semalam saja.
Tak kuat rasanya tersiksa lebih lama di bawah sorot mata ibu yang tajamnya sering
tidak tertahankan. Ana sebenarnya ingin menginap lebih lama lagi mengingat baru
kali itulah ia bertemu dengan mertuanya. Tetapi karena aku bersikeras, Ana pun
mengalah. Ana memang satu-satunya wanita yang tahu persis segala perangaiku.
Sejak kedatangan kami ke rumah ibu, surat-surat ibu datang lagi seperti dulu.
Bahkan kadangkala setiap minggu datangnya. Isi suratnya pun sekarang lebih
bervariasi. Sudah menanyakan kabar kami segala. Apakah Ana sudah mengandung
atau belum. Kalau sudah apakah kami telah menyiapkan nama. Tapi satu hal yang
betul-betul tidak pernah dilakukan ibu; dia tidak mau berkunjung ke tempat kami.
Walaupun Ana telah meminta dengan sangat, ibu tetap menolak.

Ketika lahir anak kami yang pertama Ana menangis sedih. Dia meminta agar
aku bisa mengalah pada ibu dengan meminta maaf lebih dahulu. Aku tidak bisa
memenuhi permintaan Ana sebab ketika anak ketiga kami lahir, sorot mata ibu
masih saja terlalu tajam bagiku. Terlalu menusuk. Sinar maaf belum juga kutemukan
di sana. Aku pun terpaksa mengambil sikap yang sama walaupun pada kenyataannya
aku sudah demikian kalah pada ibu.
Aku tak tahu sampai kapan hubunganku dengan ibu berjalan demikian.
Mungkin selamanya. Mungkin pula tidak. Hanya yang jelas aku harus menjaga agar
Ana tidak pernah tahu bahwa wanita setengah baya yang menjadi ibuku tak pernah
sekalipun menyumbangkan susunya pada pembentukan jiwaku. Di antara kami
memang tidak ada pertalian darah. Ana tidak perlu tahu kalau orang itu hanyalah ibu
tiriku.
Biarlah surat-surat ibu saja yang datang padaku, aku akan membalasnya
dengan tulus. Sebab aku lebih merindukan goresan-goresan tangan ibu daripada
sorot matanya yang tajam menusuk.
(Salam buat teman-teman IKIP Malang Jurusan PBS Indonesia Angkatan 1985)

Nah, setelah membaca cerita pendek di atas, Saudara telah mendapat


gambaran yang jelas, bukan? Ada empat tokoh yang ada dalam cerpen itu, yaitu
aku, ibu, ana, dan Tina. Dengan jalinan peristiwa yang tersusun secara datar dapat
diketahui adanya konflik batin yang dialami tokoh. Di satu pihak ia membenci
sosok ibunya di pihak lain aku justru merindukan kehadiran ibunya. Walaupun
hanya ibu tiri. Menurut Saudara apakah tema dan amanat cerita pendek tersebut?

Tahap Kegiatan 2:
Menceritakan kembali merupakan salah satu jenis pembelajaran berbicara
sastra. Metode ini dapat digunakan dalam pembelajara berbicara agar siswa
memiliki kemampuan untuk menceritakan kembali suatu cerita yang disimaknya
dengan bahasa peserta diklat. Hal ini akan menjadikan peserta diklat terampil
berbicara dengan nalar yang baik, mampu menyusun kata menjadi kalimat runtut
dan mengkomunikasikan menjadi cerita.
Agar dapat menceritakan kembali isi cerpen dengan baik Saudara perlu
menyusun kerangka pokok cerita. Kerangka pokok cerita itu dapat digunakan
sebagai panduan agar Saudara dapat menceritakan kembali isi cerita secara runtut.
Cerpen Ibu sebagaimana Saudara baca dapat dikerangkakan sebagai berikut

1. Aku mulai merasa benci dengan ibu


2. Kebencian itu diperparah oleh ulah Tina,
3. Aku tidak mau menikahi Tina bahkan meninggalkan rumah dengan diamdiam.
4. Aku terus berkonflik dengan ibu walaupun ibu telah berkali-kali berkirim
surat kepadaku. Pada saat itu aku juga menikah secara diam-diam.
5. Isteriku ternyata sangat cocok dengan ibu.
6. Walaupun selalu merindukan ibu, aku tetap tidak bisa berdamai dengan
ibu.
Demikianlah kira-kira membuat kerangka cerita untuk menceritakan
kembali isi cerpen.

Tahap Kegiatan 3:
Carilah sebuah cerita pendek yang Saudara sukai kemudian
berdasarkan cerita yang Saudara baca buatlah kerangka ceritanya.

Tahap Kegiatan 4:
Saudara sudah punya kerangka cerita pendek dan siap menceritakan
kembali isi cerita pendek secara lisan. Beberapa diantara peserta pelatihan satu
persatu dipersilakan menceritakan kembali isi cerpen masing-masing. Jangan
lupa cerita pendek aslinya digandakan dan diberikan kepada teman-teman.
Agar penilaian optimal gunakan lembar pengamatan berikut:

LEMBAR PENGAMATAN MENCERITAKAN KEMBALI


ISI CERPEN SECARA LISAN
NAMA

:........................................................

KAB/KO

: ........................................................

NO

KOMPONEN

SKOR
1

1.

Isi cerita sesuai dengan isi cerpen.

2.

Cerita dikisahkankan secara runtut

3.

Bercerita

secara

lancar,

tidak

tersendat-sendat
4.

Gerakan dilakukan secara wajar, tidak


dibuat-buat,

tidak

kaku,

tidak

berlebihan
5.

Ekspresi

wajah

sesuai

dengan

kata/kalimat yang diucapkan


6.

Kata/Kalimatnya

dilafalkan

secara

tepat dan jelas.


7.

Intonasi

bervariasi

sesuai

dengan

suasana yang diceritakan


8.

Menggunakan pilihan kata yang tepat

9.

Menggunakan kalimat yang sederhana


dan komunikatif.
JUMLAH SKOR

Setelah kegiatan berakhir, jumlahkan skornya untuk mengetahui siapa yang


memperoleh skor tertinggi untuk diberi penghargaan.

D. Penutup
Sesuai dengan kurikulum yang berlaku (KTSP) pengembangan kemampuan
berbicara dibagi menjadi kemampuan berbicara sastra dan kemampuan berbicara non
sastra. Kemampuan berbicara sastra adalah kemampuan melisankan karya sastra yang
berupa menuturkan, membawakan, dan membacakan karya sastra. Di samping itu
dalam berbicara sastra siswa diharapkan terampil menanggapi cerita tentang tokoh
idola, pembacaan cerpen, pementasan drama, dan karya sastra secara lisan.
Untuk menentukan metode/strategi yang cocok dalam membelajarkan
berbicara sastra, guru harus mengacu Standar Isi. Semua kompetensi dasar berbicara
sastra pada standar isi kurikulum harus dicocokkan dengan metode/strategi. Jika
metode/strategi yang dipilih sesuai dan benar-benar dapat mengembangkan
keterampilan berbicara setiap peserta pelatihan, maka pembelajaran berbicara akan
disukai peserta pelatihan. Apalagi jika widyaiswara dapat memvariasikan kegiatan

pembelajaran dan pengelolaan kelas, maka pelatihan dapat diharapkan akan


berlangsung lebih optimal.
Yang perlu kita camkan bersama adalah kenyataan bahwa berbicara termasuk
berbicara sastra tidak dapat dilepaskan dari kehidupan sehari-hari. Sebagai suatu
ketrampilan berbahasa, berbicara termasuk berbicara sastra- harus senantiasa
dilatihkan agar kemampuan komunikasi (lisan) kita tetap terasah. Pembicara yang
baik adalah pembicara yang banyak ide dan terampil mengkomunikasikan idenya.
Oleh karena itu, perbanyaklah berlatih dengan cara banyak melakukan kegiatan
berbicara. Jangan pernah menolak tugas untuk berbicara kapanpun dan di manapun.
Ada baiknya pembicara banyak melakukan kegiatan

membaca, berpetualangan,

melakukan pengamatan terhadap alam sekitar, menghadiri seminar atau pertemuan


ilmiah agar memiliki bahan pembicaraan yang selalu up date.

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. 1984. Pengantar Memahami Unsur-unsur Karya Sastra. Malang: FPBS IKIP
Malang.
Aminuddin (ed). 2003. Apresiasi Sastra. Modul Ind A.12 Bahan Pelatihan Terintegrasi
Berbasis Kompetensi Guru Bahasa Indonesia. Jakarta: Dirjen Pendidikan
Dasar dan Menengah.
Arsjad, Maidar G. dan Mukti U.S. 1988. Pembinaan Kemampuan Berbicara Bahasa
Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Darmawan, Taufik (ed). 2003. Apresiasi Prosa Fiksi. Modul Ind A.13 Bahan Pelatihan
Terintegrasi Berbasis Kompetensi Guru Bahasa Indonesia. Jakarta: Dirjen
Pendidikan Dasar dan Menengah.
Depdiknas. 2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 22 tahun 2006
tentang Standar Isi. Jakarta.
Depdiknas. 2005. Bahasa dan Sastra Indonesia Pengembangan Keterampilan Berbicara.
Materi Pelatihan Terinttegrasi Buku 1. Jakarta: Dirjen Pendidikan Dasar
dan Menengah.
Keraf, Gorys. 1984. Komposisi. Ende: Nusa Indah.
Keraf. Gorys. 1995. Eksposisi. Jakarta: Grasindo.
Kisyani-Laksono. 2004. Pengembangan Keterampilan Berbicara. Jakarta: Direktorat
Pendidikan Lanjutan Pertama.
Nurgiyantoro, Burhan. 1988. Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra. Yogyakarta:
BPFE.
OMalley, J. Michael. 1996. Authentic Assesment for English Language Learners: Practical
Approaches for Teachers. Addison-Wesley Publishing Company.
Sudjiman, Panuti. 1998. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Suyatno. 2004. Teknik Pembelajaran Bahasa dan Sastra Berdasarkan Kurikulum
Berbasis Kompetensi. Surabaya: SIC.
Syafiie, Imam (ed). 1990. Bahasa Indonesia Profesi. Malang: IKIP Malang Press.
Tarigan, HG. 1983. Berbicara sebagai Suatu Ketrampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.
Taryono AR. 1999. Berbicara. Malang: FPBS IKIP Malang.

You might also like