You are on page 1of 7

Putri Aryuni

Rina Nur Azizah (260112140067)


DISKUSI
KELARUTAN
Menurut Sheng dan Yasdanian kelarutan ini dibuktikan pada suhu 37 0C
menggunakan metode shake flask dan data tersebut merupakan data yang valid
menurut BCS Guidances. Kriteria kelarutan zat aktif berdasarkan BCS
diklasifikasikan sebagai sangat larut dengan membutuhkan dosis yang tinggi
(US FDA) atau dosis tunggal tertinggi. Zat aktif ini larut pada 370C pada 250 mL
cairan buffer dengan range pH 1,2 6,8 menurut WHO. ( 3 buffer media pH 1.2,
4.5 dan 6.8), pH 1.0 6.8 menurut EMA ( 3 buffer media pH 1.2, 4.5, dan 6.8)
atau pH 1.0 7.5 menurut US FDA. Perbandingan Ketoprofen pada dosis
tertinggi dan dosis tunggal tertinggi berada pada pH yang rendah (1.2 4.0)
melebihi batas kritis dari 250 mL, tetapi memenuhi kriteria penerimaan pada pH
4.6 dan lebih tinggi (termasuk pH 6.8). Menurut semua pedoman BCS, ketoprofen
harus diklasifikasikan sebagai zat aktif yang dalam kelarutan yang rendah,
meskipun memenuhi kriteria kelarutan tinggi pada pH 4.6 dan 6.8.
Kelarutan ketoprofen meningkat saat menjadi asam lemah. Ketoprofen
secara sempurna akan terionisasi dan benar - benar larut pada pH usus. Hal ini
karena pH rata-rata di usus halus sekitar 5,8-6,5, yang setidaknya satu unit lebih
tinggi dari obat pKa, sehingga jelas meningkatkan kelarutan ketoprofen oleh 10100 kali lipat. Berdasarkan pedoman WHO, BCS didefinisikan bahwa biowaiver
dapat digolongkan kepada BCS kelas II asam lemah, jika zat aktif memiliki ratio
dosis dan kelarutan (D/S) sebesar 250 mL atau kurang dari pH 6,8. Oleh karena
itu kelarutan ketoprofen memenuhi persyaratan berdasarkan pada pedoman WHO
untuk biowaiving BCS kelas II asam lemah.
ABSORBSI DAN PERMEABILITAS
Berdasarkan penentuan keseimbangan massa atau perbandingan dengan
dosis pembanding intravena, saat zat aktif diabsorbsi sebanyak 85% atau lebih

(Menurut WHO dan EMA) maka hal itu dianggap sangat permeable. Hal ini
berdasarkan data in vivo yang didukung oleh in situ (Perfusi usus di tikus) dan in
vitro ( Sel Caco-2). Meskipun harga log p berhubungan dengan suatu
kepermeabilitasan pada manusia, log P bukan suatu pedoman yag dapat dianggap
sebagai kriteria permeabilitas.
Ketoprofen dianggap "sangat permeabel" karena BA mutlak dibandingkan
iv pada manusia melebihi 90%. Metode pengganti (studi Caco-2 perfusi usus pada
log p tikus) mengklasifikasikan ketoprofen sebagai senyawa yang "sangat
permeabel" , dan memang telah direkomendasikan sebagai senyawa yang sangat
permeable untuk Caco-2 studi oleh US FDA3 .
The Biopharmaceutics Drug Disposition Classification System (BDDCS),
yang dikembangkan oleh Wu dan Benet, mengklasifikasikan zat aktif ini sebagai
"sangat" permeabel, jika batas metabolisme melebihi 70% (atau 90%).
Metabolisme luas dari ketoprofen juga menunjukkan bahwa zat aktif nya "sangat
permeabel. Singkatnya, ketoprofen memenuhi semua kriteria permeabilitas dan
dapat dengan jelas diklasifikasikan sebagai zat aktif yang "sangat permeabel".
KLASIFIKASI BCS
Menurut semua pedoman yang ada, ketoprofen merupakan BCS kelas II
bahan obat. Yasdanian mengklasifikasikan ketoprofen sebagai BCS kelas I, tetapi
hal ini didasari hanya berdasarkan kelarutan pH 7,4. Wu dan Benet juga
menetapkan ketoprofen sebagai BDDCS kelas I yang merupakan karateristik
disposisi untuk memperkirakan stabilitas. Pendapat lain mengungkapkan bahwa
ketoprofen berada pada batas BCS kelas I dan II. Berdasarkan data yang tersedia
pada monografi ini, ketoprofen termasuk pada BCS kelas II.
Resiko yang berhubungan dengan ekspien atau manufaktur variasi
Tingkat penyerapan ketoprofen tampaknya sangat kuat dan tidak
tergantung pada formulasi atau bahan pengisi (setidaknya untuk formulasi IR),
sehingga risiko bioinequivalence dalam hal AUC sangat rendah. Resiko dapat
lebih dikurangi jika produk hanya berisi eksipien terdapat dalam ketoprofen IR

padat bentuk sediaan oral disetujui di ICH atau negara terkait, seperti yang
ditunjukkan dalam tabel 2 dan jika eksipien dalam jumlah produk tersebut.
Sebaliknya tingkat absorpsi (seperti

Bioekivalensi pada Cmax) dapat

berubah karena faktor - faktor farmasi seperti misalnya konsentrasi surfaktan


dapat meningkatkan kelarutan zat aktif, komponen dari formulasi dapat
meningkatkan pH dalam formulasi, dan fase padat yang dapat membuat menjadi
sangat jenuh, dan meningkatkan laju disolusi pada perut sehingga berpotensi
meningkatkan tingkat penyerapan. Hal ini sudah didiskusikan pada bagian efek
makanan, dimana Tmax akan meningkat ketika diberikan dengan makanan dan
menurunkan tingkat penyerapan. Namun tidak memungkinkan penyerapan Cmax
berpengaruh untuk keberhasilan ketoprofen, karena dapat diberikan dengan atau
tanpa makanan.
Informasi secara in vivo mengenai ketoprofen sangat terbatas. Namun
pernyataan sebelumnya sangat mendukung perbedaan ini vivo dan in vitro BCS
kelas II asam NSAID lemah dengan sifat biofarmasi dan fisikokimia serupa.
Misalnya, studi analisis BE 25 tablet ibuprofen IR dari 200 sampai 600mg di
Jerman menunjukkan bahwa 14 studi tidak mendemonstrasikan BE karena
perbedaan Cmax, tapi setara dalam hal AUC. Beberapa studi BA komparatif
terhadap NSAID lainnya (sulindac, indometasin, flurbiprofen, lornoxicam, diclofenac kalium, dan piroksikam) juga menunjukkan perbedaan Tmax dan Cmax,
antara perbedaan formulasi, dimana AUC tidak berbeda. Dengan demikian,
seluruh NSAID yang berbeda, semua menjadi obat BCS Kelas II dengan kelarutan
tinggi pada usus yang mirip dengan ketoprofen, pola mengejutkan konsisten
dengan pengaruh formulasi pada AUC, tetapi beberapa pengaruh pada Cmax
Menariknya, pengujian disolusi mendekati pH netral tidak mendiskriminasi
beberapa perbedaan yang terdeteksi di Cmax.

Teknik pengganti (Surrogate Tehnique) untuk Pengujian BE In Vivo


Indeks

terapi,

indikasi

terapi,

dan

efek

samping

juga

harus

dipertimbangkan pada saat pemeriksaan API biowaiver. Bioekivalensi terkait


dengan AUC dapat menyebabkan obat bekerja pada level subterapi, sehingga
menurunkan efek analgesic dan anti-inflamasi. Di sisi lain, supra-BA dapat
meningkatkan resiko efek samping pada GI track.
Dalam menerapkan konsep ini pada ketoprofen, hal yang harus
diperhatikan adalah bahwa ketoprofen (oral) digunakan sebagai terapi untuk
penyakit yang tidak mengancam nyawa (non-life-threatening condition) dan juga
memiliki indeks terapi yang luas (tidak termasuk dalam daftar obat dengan indeks
terapi sempit pada US FDA, Canadian, dan Jepang). Selain itu, ketoprofen juga
dinilai telah memenuhi persyaratan BA, dan saat ini ketoprofen juga dibebaskan
dari uji BE in vivo di Jerman.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, uji disolusi in vitro belum tentu
dapat mendeteksi perbedaan kecepatan absorpsi dari obat BCS kelas II dengan
kelarutan tinggi pada pH intestinal. Oleh karena itu, biowaivers untuk zat-zat
tersebut dapat diterima hanya jika hasil yang diperoleh dari uji klinik memiliki
potensial perubahan konsentrasi plasma tertinggi yang tidak kritis.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Famaey bahwa konsentrasi
plasma ketoprofen cukup beragam pada pasien yang diberikan terapi dengan
ketoprofen dan tidak ada korelasi yang nyata antara konsentrasi plasma dengan
efek klinik dari obat ini. Penelitian lain yang dilakukan oleh Orme juga
menunjukkan bahwa tidak ada korelasi nyata antara konsentrasi dengan respon
klinik dari NSAID, tapi dapat diindikasikan bahwa beberapa NSAID
menunjukkan korelasi antara konsentrasi plasma dengan inhibisi produksi
prostaglandin. Tetapi, penelitian lain menunjukkan bahwa efek klinik memiliki
korelasi yang nyata dengan konsentrasi plasma sediaan ketoprofen. Rasa nyeri
yang paling rendah timbul pada jam ke 2 setelah konsentrasi plasma ketoprofen
mencapai tingkat paling tinggi. Selama 10 jam (waktu observasi), penurunan rasa
nyeri semakin signifikan dengan meningkatnya konsentrasi plasma.

Resiko yang timbul terkait perbedaan konsentrasi maksimum dari NSAID


lebih kritis untuk terapi nyeri yang akut dibandingkan yang kronis. Ketoprofen
digunakan untuk keduanya (terapi nyeri akut: analgesic/penghilang rasa nyeri) dan
terapi kronik (anti-inflamasi). Tetapi, diketahui bahwa ketoprofen dapat
dikonsumsi dengan dibantu dengan makanan untuk meminimalisir efek samping
pada GI track. Di sisi lain, penelitian juga menunjukkan bahwa ketika ketoprofen
dikonsumsi bersama makanan, konsentrasi ketoprofen dalam plasma dapat
menurun hingga satu setengah, sementara AUC tetap terjaga. Ini menunjukkan
bahwa resiko pasien terkait dengan hasil terapi yang tidak tercapai akibat variasi
kecepatan absorpsi dan konsentrasi maksimum terhadap dapat dihindari.
Oleh karenanya, dapat disimpulkan bahwa resiko efek samping yang akan
dialami pasien terkait dengan supra-BA atau sub-BA (karena variasi konsentrasi
plasma) tergolong rendah. Resiko bioinekivalensi terkait dengan AUC juga rendah
sehingga resiko keseluruhan juga disimpulkan rendah.

Kesimpulan sebelumnya terkait dengan NSAID yang bersifat asam lemah


(BCS Kelas II)
Berdasarkan pedoman BCS, FDA merekomendasikan obat biowaiver
hanya terdiri dari zat aktif yang termasuk pada BCS kelas I. Namun, selanjutnya
diputuskan bahwa obat biowaiver dapat berasal dari zat aktif yang termasuk pada
BCS Kelas II. Setelah itu, WHO juga mengeluarkan pedoman yang
memperbolehkan zat aktif yang termasuk BCS kelas III dan juga Kelas II yang
memiliki kelarutan yang tinggi pada pH 6.8 dengan alasan bahwa zat-zat tersebut
dapat praktis berperilaku sebagai obat BCS Kelas I karena kelarutannya tinggi di
tempat penyerapannya. Yazdanian et al. juga mengusulkan bahwa definisi
"kelarutan tinggi" mungkin terlalu ketat untuk obat yang bersifat asam dan
menyarankan bahwa obat berbasis BCS biowaivers juga harus berlaku untuk obat
yang bersifat asam lemah dengan kelarutan tinggi pada pH 7.4. Kelompok diskusi
mengenai BCS dan Biowaiver Federasi Farmasis Internasional telah menyiapkan

monografi biowaiver untuk bentuk sediaan padat oral Immediate Release (IR)
yang mengandung ibuprofen dan diklofenak, dimana keduanya termasuk BCS
Kelas II asam lemah dan juga keduanya dianggap sebagai kandidat biowaiver
secara ilmiah. Sifat biofarmasi relevan dengan keputusan biowaiver serupa untuk
ibuprofen dan ketoprofen BCS (lihat Tabel 3).

Setelah ibuprofen direkomendasikan sebagai biowaiver, muncul sebuah


penelitian yang menjelaskan upaya untuk mengembangkan tablet ibuprofen. Hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa prosedur pengujian disolusi biowaiver
dinilai tidak cukup untuk mendeteksi perbedaan Cmax untuk produk ibuprofen
multisource dan obat BCS Kelas II pada umumnya. Sebanyak 4 pengujian BE
secara in vivo telah dilakukan. Dalam semua kasus, AUC telah memenuhi
persyaratan. Namun, pada dua dari empat kasus tersebut, batas kepercayaan
terendah Cmax (lower confidence limit of Cmax) gagal untuk mencapai BE (yaitu
terlalu rendah). Beberapa keterbatasan laporan menghambat aplikasi luas dari
kesimpulan yang sebelumnya telah ditetapkan. Pertama, walaupun data disolusi
pada rpm 50 dan 75 dipresentasikan pada pH biowaiver 1,2; 4,5; dan 6,8, namun
tidak ada perbandingan nilai f2 yang diberikan, sehingga tidak mungkin untuk
menarik kesimpulan tentang BE dari data disolusi. Kedua, karena studi klinis
tidak menunjukkan bioinekuivalensi, penelitian yang lebih lanjut diperlukan
diperlukan agar status BE produk ini dapat terpercaya secara statistik. Ketiga,
produk pembanding mengandung SLS, sedangkan produk yang diujikan (sampel)

dalam pengembangan produk tidak. Perbedaan dalam komposisi eksipien inilah


yang mempersulit penerapan biowaiver pada produk yang diujikan.
Tubic-Grozdanis et al. melakukan simulasi GI untuk lima obat yang
bersifat asam lemah yang termasuk pada BCS Kelas II (ibuprofen, ketoprofen,
diklofenak, asam mefenamat, dan piroksikam). Berdasarkan data simulasi, mereka
mengusulkan bahwa semua obat yang telah dievaluasi, kecuali asam mefenamat,
adalah kandidat biowaiver yang potensial. Rekomendasi ini dibuat dalam
lokakarya BE dan BCS terbaru yang berkaitan dengan API bahwa biowaivers
mungkin tepat jika terdisolusi sempurna (complete dissolution) sebelum mencapai
pertengahan jejunum.
Sehingga dapat disimpulkan, karena ketoprofen sangat larut pada pH usus,
sangat permeabel, efektif pada berbagai tingkat Cmax (dapat diberikan sebelum
atau setelah makan), serta memiliki jangkauan terapi yang luas, hanya ada sedikit
argumen yang menentang persetujuan API dari sediaan IR oral ini sebagai
biowaiver .

You might also like