You are on page 1of 44

TENTANG ALLAH, TAUHID DAN MANUNGGALING KAWULA GUSTI

SATU
“Allah itu adalah keadaanku, kenapa kawan-kawan pada memakai penghalang?
Sesungguhnya aku inilah haq Allah pun tiada wujud dua, nanti Allah sekarang Allah,
tetap dzahir batin Allah, kenapa kawan-kawan masih memakai pelindung?” (Babad
Tanah Sunda, Sulaeman Sulendraningrat, 1982, bagian XLIII).

Ucapan spiritual Syekh Siti Jenar tersebut diucapkan pada saat para wali menghendaki
diskusi yang membahas masalah Micara Ilmu tanpa Tedeng Aling-aling. Diskusi para
wali diadakan setelah Dewan Walisanga mendengar bahwa Syekh Siti Jenar mulai
mengajarkan ilmu ma’rifat dan hakikat. Sementara dalam tugas resmi yang diberikan
oleh Dewan Walisanga hanya diberi kewenangan mengajarkan syahadat dan tauhid.
Sementara menurut Syekh Siti Jenar justru inti paling mendasar tentang tauhid adalah
manunggal, di mana seluruh ciptaan pasti akan kembali menyatu dengan yang
menciptakan.

Pada saat itu, Sunan Gunung Jati mengemukakan, “Adapun Allah itu adalah yang
berwujud haq”; Sunan Giri berpendapat, “Allah itu adalah jauhnya tanpa batas, dekatnya
tanpa rabaan.”; Sunan Bonang berkata, “Allah itu tidak berwarna, tidak berupa, tidak
berarah, tidak bertempat, tidak berbahasa, tidak bersuara, wajib adanya, mustahil tidak
adanya.”; Sunan Kalijaga menyatakan, “Allah itu adalah seumpama memainkan
wayang.”; Syekh Maghribi berkata, “Allah itu meliputi segala sesuatu.”; Syekh
Majagung menyatakan, “Allah itu bukan disana atau disitu, tetapi ini.”; Syekh Bentong
menyuarakan, “Allah itu itu bukan disana sini, ya inilah.”; Setelah ungkapan Syekh
Bentong inilah, tiba giliran Syekh Siti Jenar dan mengungkapkan konsep dasar teologinya
di atas. Hanya saja ungkapan Syekh Siti Jenar tersebut ditanggapi dengan keras oleh
Sunan Kudus, yang salah menangkap makna ungkapan mistik tersebut, “Jangan suka
terlanjur bahasa menurut pendapat hamba adapun Allah itu tidak bersekutu dengan
sesama.”

Mulai persidangan itulah hubungan Syekh Siti Jenar dengan para wali memanas, sebab
Syekh Siti Jenar tetap teguh pada pendirian tauhid sejatinya. Sementara para Dewan Wali
mengikuti madzhab resmi yang digariskan oleh kerajaan Demak, Sunni-Syafi’i. Sampai
masa persidangan penentuannya, Syekh Siti Jenar tetap menyuarakan dengan lantang
teologi manunggalnya bahwa, “Utawi Allah iku nyataning sun kang sampurna kang tetep
ing dalem dhohir batin,” (bahwa Allah itu nyatanya aku yang sempurna yang tetap di
dalam dzahir dan batin) . Riwayat yang agak sama juga tercantum dalam Babad Cerbon,
terbitan Brandes (1911) pada Pupuh 23, Kinanti bait 1-8.

DUA
“Jika ada seorang manusia yang percaya kepada kesatuan lain selain dari Tuhan yang
Mahakuasa, ia akan kecewa karena ia tidak akan memperoleh apa yang ia inginkan.” (S.
Soebardi, The Book of ebolek, hlm. 103).

1 of 44
Menurut beberapa sumber, di antaranya Soebardi (1975), beberapa saat setelah Syekh Siti
Jenar wafat, para wali mendengar suara yang berasal dari roh Syekh Siti Jenar yang
berupa ungkapan mistik tersebut. Ungkapan mistik itu merupakan ungkapan terakhir dari
sang sufi sebagai bukti bahwa sampai sesudah wafatnya, dia memperoleh apa yang
diinginkannya, dan menjadi bukti kebenaran ajarannya, yakni kehidupan sejati dalam
kesatuan; manunggaling kawula-Gusti.

TIGA
“… tidak usah kebanyakan teori semu, sesungguhnya ingsun inilah Allah. Nyata Ingsun
Yang Sejati, bergelar Prabu Satmata, yang tidak ada lain kesejatiannya, yang disebut
sebangsa Allah…” (R. Tanoyo: Walisanga, hlm. 124)

Maksud bebas ungkapan tersebut adalah “tidak usah kebanyakan bicara tentang teori
ketuhanan, sesungguhnya ingsun (aku sejati) inilah Allah. Yaitu Ingsun (Kedirian) Yang
Sejati, juga bergelar Prabu Satmata (Tuhan Yang Maha Melihat, mengetahui segala-
galanya), dan tidak boleh ada yang lain yang penyebutannya mengarah kepada Allah
sebagai Tuhan”.

EMPAT
“Mungguh sajatine ananing zdat kang sanyata iku muhung ana anteping tekat kita,
tandhane ora ana apa-apa, ananging kudu dadi sabarang sedya kita kang satuhu”
[Sebenarnya, keberadaan dzat yang nyata itu hanya berada pada mantapnya tekad kita,
tandanya tidak ada apa-apa, akan tetapi harus menjadi segala niat kita yang sungguh-
sungguh]. (Serat Candhakipun Riwayat Jati, hlm. 1).

Menurut Syekh Siti Jenar, keberadaan dzat hanya ada beserta kemantapan hati dalam
merengkuh Tuhan. Dalam diri tidak ada apa-apa kecuali menjadikan menunggal sebagai
niat dan yang mewarnai segala hal yang berhubungan dengan asma, sifat dan af’al
Pribadi. Inilah di antara maksud utama ungkapan di atas. Jadi pemahaman atas ungkapan
itu harus tetap berada dalam lingkup kemanunggalan. Kemanunggalan tidak akan
berhasil jika hanya mengandalkan perangkat syari’at dan tarekat. Apalagi sekedar syari’at
lahiriyah (nominal). Kemanunggalan akan berhasil seiring dengan tekad hati dan
keseluruhan Pribadi dalam merengkuh Allah, sebagaimana roh Allah pada awalnya
ditiupkan atas setiap pribadi manusia.

LIMA
“…marilah kita berbicara dengan terus terang. Aku ini Allah. Akulah yang sebenarnya
disebut Prabu Satmata, tidak ada lain yang bernama Allah…saya menyampaikan ilmu
tertinggi yang membahas ketunggalan. Ini bukan badan, selamanya bukan, karena badan
tidak ada. Yang kita bicarakan ialah ilmu sejati dan untuk semua orang kita membuka
tabir [artinya membuka rahasia yang paling tersembunyi.]” (Serat Siti Jenar
Asmarandana, hlm. 15, bait 20-22).

ENAM
“Tidak usah banyak tingkah, saya inilah Tuhan, Ya, betul-betul saya ini adalah Tuhan
yang sebenarnya, bergelar Prabu Satmata, ketahuilah bahwa tidak ada bangsa Tuhan yang

2 of 44
lain selain saya. …. Saya ini mengajarkan ilmu untuk betul-betul dapat merasakan adanya
kemanunggalan. Sedangkan bangkai itu selamanya kan tidak ada. Adapun yang
dibicarakan sekarang ini adalah ilmu yang sejati yang dapat membuka tabir kehidupan.
Dan lagi, semuanya sama. Sudah tidak ada tanda secara samar-samar, bahwa benar-benar
tidak ada perbedaan lagi. Jika ada perbedaan yang bagaimanapun, saya akan tetap
mempertahankan tegaknya ilmu tersebut.” (Boekoe Siti Djenar, Tan Khoen Swie, hlm.
18-20).

TUJUH
“Jika Anda menanyakan dimana rumah Tuhan, jawabnya tidaklah sulit. Allah berada
pada dzat yang tempatnya tidak jauh, yaitu bersemayam di dalam tubuh. Tetapi hanya
orang yang terpilih yang bisa melihatnya, yaitu orang yang suci.” (Suluk Wali Sanga, R.
Tanaja, hlm. 42-46).

Ungkapan no. 5, 6, dan 7.


Dinyatakan dalam sidang para wali yang dipimpin oleh Sunan Giri bertempat di Giri
Kedaton. Penjelasan Syekh Siti Jenar bahwa dirinya bukan badan menanggapi pernyataan
Maulana Maghribi yang bertanya, “Tetapi yang kau tunjukkan itu hanya badan.” Syekh
Siti Jenar menyampaikan ajaran “ingsun” yang dikemukakan secara radikal, yang
mengajarkan kesamaan tuntas antara san pembicara dengan Allah. Ini sebagai efek dari
berbagai pengalaman spiritualnya yang demikian tinggi, sehingga Manunggaling
Kawula-Gusti juga meniscayakan adanya manunggalnya kalam (pembicaraan, sabda,
firman). Adapun gelar Prabu Satmata memilki makna sama dengan Hyang Manon atau
Yang Maha Tahu. Gelar tersebut juga diberikan kepada para Walisanga kepada Sunan
Giri. Nampak bahwa Syekh Siti Jenar memiliki pendirian tegas, bahwa ilmu spiritual
harus diajarkan kepada semua orang. Karena justru dengan membuka tabir itulah, orang
akan mengetahui hakikat kehidupan dan rahasia hidupnya.

DELAPAN
“Syekh Lemah Abang namaku, Rasulullah ya aku, Muhammad ya aku, Asma Allah itu
sesungguhnya diriku; ya Akulah yang menjadi Allah ta’ala.” (Wawacan Sunan Gunung
Jati terbitan Emon Suryaatmana dan T.D. Sudjana, Pupuh 38 Sinom, bait 13).

Ungkapan mistik Syekh Siti Jenar tersebut menunjukkan, bahwa dalam teologi
manunggaling kawula-Gusti, tidak hanya terjadi proses kefanaan antara hamba dan
pencipta sebagaimana apa yang dialami oleh Bayazid al-Bustami dan Manshur al-Hallaj.
Dalam kasus pengalaman mistik Syekh Siti Jenar, antara syahadat Rasul dan syahadat
Tauhid ikut larut dalam kefanaan.

Sehingga dalam pengalaman mistik manunggal ini, terjadi kemanunggalan diri, Rasul dan
Tuhan. Suatu titik puncak pengalaman spiritual, yang sudah dialami oleh para ulama sufi
sejak abad ke-9, yakni sejak fana’nya Bayazid al-Busthami, Junaid al-Baghdadi, “ana al-
Haqq”-nya Manshur al-Hallaj, juga ‘Aynul Quddat al-Hamadani, dan Syaikh al-Isyraq
Syuhrawardi al-Maqtul, dan akhirnya menemukan titik kulminasinya pada teologi
Manunggaling Kawula-Gusti Syekh Siti Jenar.

3 of 44
SEMBILAN
“Sesungguhnyalah, Lapal Allah yaitu kesaksian akan Allah, yang tanpa rupa dan tiada
tampak, membingungkan orang, karena diragukan kebenarannya. Dia tidak mengetahui
akan diri pribadinya yang sejati, sehingga ia menjadi bingung. Sesungguhnya nama Allah
itu untuk menyebut wakil-Nya, diucapkan untuk menyatakan yang dipuja dan
menyatakan suatu janji. Nama itu ditumbuhkan menjadi kalimat yang diucapkan:
“Muhammad Rasulullah”. Padahal sifat kafir berwatak jisim, yang akan membusuk,
hancur lebur bercampur tanah.” “Lain jika kita sejiwa dengan Zat Yang Maha Luhur. Ia
gagah berani, naha sakti dalam syarak, menjelajahi alam semesta. Dia itu Pangeran saya,
yang menguasai dan memerintah saya, yang bersifat wahdaniyah, artinya menyatukan
diri dengan ciptaan-Nya. Ia dapat abadi mengembara melebihi peluru atau anak sumpitan,
bukan budi bukan nyawa, bukan hidup tanpa asal dari manapun, bukan pula kehendak
tanpa tujuan.” “Dia itu yang bersatu padu menjadi wujud saya. Tiada susah payah, kodrat
dan kehendak-Nya, pergi ke mana saja tiada haus, tiada lelah tanpa penderitaan dan tiada
lapar. Kekuasan-Nya dan kemampuan-Nya tiada kenal rintangan, sehingga pikiran keras
dari keinginan luluh tiada berdaya. Maka timbullah dari jiwa raga saya kearif-bijaksanaan
tanpa saya ketahui keluar dan masuk-Nya, tahu-tahu saya menjumpai Ia sudah ada
disana”. (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sastrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 45-48).

Pernyataan di atas adalah tafsir sederhana dari sasahidan yang menjadi intisari ajaran
Syekh Siti Jenar, dan landasan mistik teologi kemanunggalan. Kalimah syahadat yang
hanya diucapkan dengan lisan dan hanya dihiasi dengan perangkat kerja fisik
(pelaksanaan fiqih Islam dengan tanpa aplikasi spiritual), hakikatnya adalah kebohongan.
Pelaksanaan aspek fisik keagamaan yang tidak disertai dengan implikasi kemanunggalan
roh, sebenarnya jiwa orang itu mencuri, yakni mencuri dari perhatiannya kepada aspek
Allah dalam diri. Itulah sebenar-benarnya munafik dalam tinjauan batin, dan fasik dalam
kacamata lahir. Sebab manusia sebagai khalifah-Nya adalah cermin Ilahiyah yang harus
menampak kepada seluruh alam. Sebagai alatnya adalah kemanunggalan wujudiyah
sebagaimana terdapat dalam Sasahidan. Terdapat kesatupaduan antara Allah, Rasul dan
manusia. Masing-masing bukanlah sesuatu yang saling asing mengasingkan.

Kesejatian Hidup dan Kehidupan

SEPULUH.
“Rahasia kesadaran kesejatian kehidupan, ya ingsun ini kesejatian hidup, engkau
sejatinnya Allah, ya ingsun sejatinya Allah; yakni wujud (yang berbentuk) itu sejatinya
Allah, sir (rahsa=rahasia) itu Rasulullah, lisan (pangucap) itu Allah, jasad Allah badan
putih tanpa darah, sir Allah, rasa Allah, rahasia kesejatian Allah, ya ingsun (aku) ini
sejatinya Allah.” (Wejangan Walisanga: hlm. 5).

Subtansi dari ungkapan spiritual tersebut adalah bahwa kesejatian hidup, rahasia
kehidupan hanya ada pada pengalaman kemanunggalan antara kawula-Gusti. Dan dalam
tataran atau ukuran orang ‘awam hal itu bisa diraih dengan memperhatikan uraian dan
wejangan Syekh Siti Jenar tentang “Shalat Tarek Limang Waktu”.

4 of 44
SEBELAS
“Adanya kehidupan itu karena pribadi, demikian pula keinginan hidup itupun ditetapkan
oleh diri sendiri. Tidak mengenal roh, yang melestarikan kehidupan, tiada turut
merasakan sakit ataupun lelah. Suka dukapun musnah karena tiada diinginkan oleh hidup.
Dengan demikian hidupnya kehidupan itu, berdiri sendiri sekehendak.” (Serat Syaikh Siti
Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 32).

Pernyataan tersebut menunjukkan adanya kebebasan manusia dalam menentukan jalan


hidup. Manusia merdeka adalah manusia yang terbebas dari belenggu kultural maupun
belenggu struktural. Dalam hidup ini, tidak boleh ada sikap saling menguasai antar
manusia, bahkan antara manusia dengan Tuhanpun hakikatnya tidak ada yang menguasai
dan yang dikuasai. Ini jika melihat intisari ajaran manunggalnya Syekh Siti Jenar. Sebab
dalam manusia ada roh Tuhan yang menjamin adanya kekuasaan atas pribadinya dalam
menjalani kehidupan di dunia ini.

Dan allah itulah satu-satunya Wujud. Yang lain hanya sekedar mewujud. Cahaya hanya
satu, selain itu hanya memancarkan cahaya saja, atau pantulannya saja. Subtansi
pernyataan Syekh Siti Jenar tersebut adalah Qs. Al-Baqarah/2;115, “Timur dan Barat
kepunyaan Allah. Maka ke mana saja kamu menghadap di situlah Wajah Allah. ” Wujud
itu dalam Pribadi, dan di dunia atau alam kematian ini, memerlukan wadah bagi pribadi
untuk mengejawantah, menguji diri sejauh mana kemampuannya mengelola keinginan
wadag, sementara Pribadinya tetap suci.

Tuhan dan Kemanusiaan

DUA BELAS
“Zat wajibul maulana adalah yang menjadi pemimpin budi yang menuju ke semua
kebaikan. Citra manusia hanya ada dalam keinginan yang tunggal. Satu keinginan saja
belum tentu dapat melaksanakan dengan tepat, apa lagi dua. Nah, cobalah untuk
memisahkan zat wab/jibul maulana dengan budi, agar supaya manusia dapat menerima
keinginan yang lain”. (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula,
44).

Manusia yang mendua adalah manusia yang tidak sampai kepada derajat kemanunggalan.
Sementara manusia yang manunggal adalah pemilik jiwa yang iradah dan kodratnya telah
pula menyatu dengan Ilahi. Sehingga akibat terpecahnya jiwa dengan roh Ilahi, maka
kehidupannya dikuasai oleh keinginan yang lain, yang dalam al-Qur’an disebut sebagai
hawa nafsu. Maka agar tidak terjadi split personality, dan tidak mengakibatkan kerusakan
dalam tatanan kehidupan, harus ada keterpaduan antara Zat Wajibul Maulana dengan
budi manusia. Dan sang Zat Wajibul Maulana ini berada di dalam kedirian manusia,
bukan di luarnya.

TIGA BELAS
“Hyang Widi, kalau dikatakan dalam bahasa di dunia ini, baka bersifat abadi, tanpa
antara, tiada erat dengan sakit ataupun rasa tidak enak. Ia berada baik di sana, maupun di
sini, bukan itu bukan ini. Oleh tingkah yang banyak dilakukan dan yang tidak wajar,

5 of 44
menuruti raga, adalah sesuatu yang baru. Segala sesuatu yang berwujud, yang tersebar di
dunia ini, bertentangan dengan sifat seluruh yang diciptakan, sebab isi bumi itu angkasa
yang hampa.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 30).

Tuhan adalah yang maha meliputi. Keberadaannya, tidak dibatasi oleh lingkup ruang dan
waktu, keghaiban atau kematerian. Hakikat keberadaan segala sesuatu adalah
keberadaan-Nya. Oleh karenanya keberadaan segala sesuatu di hadapan-Nya sama
dengan ketidakberadaan segala sesuatu, termasuk kedirian manusia. Maka sikap yang
selalu menuruti raga disebut sebagai “sesuatu yang baru” dalam arti tidak mengikuti
iradah-Nya. Raga seharusnya tunduk kepada jiwa yang dinaungi roh Ilahi. Sebab raga
hanyalah sebagai tempat wadag bagi keberadaan roh itu. Jangan terjebak hanya
menghiasi wadahnya, namun seharusnya yang mendapat prioritas untuk dipenuhi
perhiasan dan dicukupi kebutuhannya adalah isi dari wadah.

EMPAT BELAS
“Gagasan adanya badan halus itu mematikan kehendak manusia. Dimanakah adanya
Hyang Sukma, kecuali hanya diri pribadi. Kelilingilah cakrawala dunia, membumbunglah
ke langit yang tinggi, selamilah dalam bumi sampai lapisan ke tujuh, tiada ditemukan
wujud yang Mulia.”
“Ke mana saja sunyi senyap adanya; ke utara, selatan, barat, timur dan tengah, yang ada
di sana-sana hanya di sini adanya. Yang ada di sini bukan wujud saya. Yang ada
didalamku adalah hampa yang sunyi. Isi dalam daging tubuh adalah isi perut yang kotor.
Maka bukan jantung bukan otak yang pisah dari tubuh, laju pesat bagaikan anak panah
lepas dari busur, menjelajah Mekah dan Madinah.”

“Saya ini bukan budi, bukan angan-angan hati, bukan pikiran yang sadar, bukan niat,
bukan udara, bukan angin, bukan panas dan bukan kekosongan atau kehampaan. Wujud
saya ini jasad, yang akhirnya menjadi jenazah, busuk bercampur tanah dan debu. Napas
saya mengelilingi dunia, tanah, api, air dan udara kembali ke tempat asalnya atau aslinya,
sebab semuanya barang baru, bukan asli.”

“Maka saya ini Zat yang sejiwa, menyukma dalam Hyang Widi. Pangeran saya bersifat
jalal dan jamal, artinya Mahamulia dan Mahaindah. Ia tidak mau shalat atas kehendak
sendiri, tidak pula mau memerintahkan untuk shalat kepada siapapun. Adapun orang
shalat, itu budi yang menyuruh, budi yang laknat dan mencelakakan, tidak dapat
dipercaya dan diturut, karena perintahnya berubah-ubah. Perkataannya tidak dapat
dipegang, tidak jujur, jika diturut tidak jadi dan selalu mengajak mencuri.” (Serat Syaikh
Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 33-36).

Menurut Syekh Siti Jenar, Allah bukanlah sesuatu yang asing bagi diri manusia. Allah
juga bukan yang ghaib dari manusia. Walaupun Ia penyandang asma al-Ghayb, namun itu
hanya dari sudut materi atau raga manusia. Secara rohiyah, Allah adalah ke-Diri-an
manusia itu. Dalam diri manusia terdapat roh al-idhafi yang membimbing manusia untuk
mengenal dan menghampirinya. Sebagai sarananya, dalam otak kecil manusia, Allah
menaruh God-spot (titik Tuhan) sebagai filter bagi kerja otak, agar tidak terjebak hanya
berpikir materialistik dan matematis. Inilah titik spiritual yang akan menghubungkan jiwa

6 of 44
dan raga melalui roh al-idhafi. Dari sistem kerja itulah kemudian terjalin kemanunggalan
abadi. Maka kalau ada anggapan bahwa Allah itu ghaib bagi manusia, sesuatu yang jauh
dari manusia, pandangan itu keliru dan sesat.

Sekali lagi apa yang terurai di atas, adalah suatu kedaaan dan kesadaran yang sudah tidak
ada tingkatan lagi. Jika masih ada terdapat tingkatan maka sebaiknya disempurnakan lagi.
Karena tingkatan itu telah dilebur menjadi satu dengan nama keyakinan, sehingga tidak
ada perbedaan atau tingkatan. Semuanya berpulang kepada Allah, Tuhan sekalian Alam,
apa kata Alam ini ialah juga kehendak-Nya yang merupakan wujud ADA dalam
kehidupan manusia beserta makhluk lainnya…allahu akbar.

LIMA BELAS
“Syukur kalo saya sampai tiba di alam kehidupan yang sejati. Dalam alam kematian ini
saya kaya akan dosa. Siang malam saya berdekatan dengan api neraka. Sakit dan sehat
saya temukan di dunia ini. Lain halnya apabila saya sudah lepas dari alam saya kematian
ini. Saya akan hidup sempurna, langgeng tiada ini itu.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki
Sasrawijaya, Pupuh VI Pangkur, 20-21).

Dalam prespektif kemanunggalan, dunia adalah alam kematian yang sesungguhnya,


dikarenakan roh Ilahinya terpenjara dalam badan wadagnya. Dengan badan wadag yang
berhias nafsu itulah, terjadi dosa manusia. Sehingga keberadaan manusia di dunia penuh
dengan api neraka. Ini sangat berbeda kondisinya dengan alam setelah manusia
memasuki pintu kematian. Manusia akan manunggal di alam kehidupan sejati setelah
mengalami mati. Disanalah ditemukan kesejatian Diri yang tidak parsial. Dirinya yang
utuh, sempurna, dengan segala kehidupan yang juga sempurna.

ENAM BELAS
“Menduakan kerja bukan watak saya! Siapa yang mau mati! Dalam alam kematian orang
kaya akan dosa! Balik jika saya hidup yang tak kenal ajal, akan langgeng hidup saya,
tidak perlu ini itu. Akan tetapi bila saya disuruh milih hidup atau mati saya tidak sudi!
Sekalipun saya hidup, biar saya sendiri yang menentukan! Tidak usah Walisanga
memulangkan saya ke alam kehidupan! Macam bukan wali utama saya ini, mau hidup
saja minta tolong pada sesamanya. Nah marilah kamu saksikan! Saya akan pulang sendiri
ke alam kehidupan sejati.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh VIII
Dandanggula, 14-16).

Karena kematian hanya sebagai pintu bagi kesempurnaan hidup yang sesungguhnya,
maka sebenarnya kematian juga menjadi bagian tidak terpisahkan dari keberadaan
manusia sebagai pribadi. Oleh karena itu, kematian bukanlah sesuatu yang menakutkan
bukan sesuatu yang bisa dipilih orang lain. Kematian adalah hal yang muncul dengan
kehendak Pribadi, menyertai keinginan pribadi yang sudah berada dalam kondisi
manunggal. Oleh karena itu, dalam sistem teologi Syekh Siti Jenar, sebenarnya tidak ada
istilah “dimatikan” atau “dipulangkan”, baik oleh Allah atau oleh siapapun. Sebab dalam
hal mati ini, sebenarnya tidak ada unsur tekan-menekan atau paksaan. Pintu kematian
adalah sesuatu hal yang harus dijalani secara sukarela, ikhlas, dan harus diselami
pengetahuannya, agar ia mengetahui kapan saatnya ia menghendaki kematiannya itu.

7 of 44
Barulah jika seseorang memang tidak pernah mempersiapkan diri, dan tidak pernah mau
mempelajari ilmu kematian, tanpa tau arahnya ke mana, dan tidak mengerti apa yang
sedang dialami.

TUJUH BELAS
“…Betapa banyak nikmat hidup manfaatnya mati. Kenikmatan ini dijumpai dalam mati,
mati yang sempurna teramat oleklah dia. Manusia sejati-sejatinya yang sudah meraih
puncak ilmu. Tiada dia mati, hidup selamanya. Menyebutkan mati syirik, lantaran tak
tersentuh lahat, hanya beralih tempatlah dia dengan memboyong kratonnya. Kenikmatan
mati tak dapat dihitung…” “…Tersasar, tersesat, lagi terjerumus, menjadikan kecemasan,
menyusahkan dalam patinya, justru bagi ilmu orang remeh…” (Babad Jaka Tingkir-
Babad Pajang, hlm. 74).

Menurut penuturan Babad Jaka Tingkir, ungkapan mistik itu keluar dari ucapan darah
Syekh Siti Jenar, setelah dipenggal kepalanya oleh Dewan Walisanga. Darah yang
menyembur, jatuh ke tanah melukis kaligrafi la ilaaha illallah, dan mengeluarkan ucapan-
ucapan mistik tersebut. Para wali dan masyarakat yang menyaksikannya terkejut campur
bingung. Setelah beberapa saat, dari lisan kepala yang sudah dipenggal, keluar ucapan
yang memerintahkan agar darah kembali ke jasadnya, demikian pula kepala menyatu
dengan tubuh. Jelas bahwa kematian fisik tak mampu menyentuh Syekh Siti Jenar. Mati
ada dalam hidup, hidup ada dalam mati.hidup selamanya tidak mati, kembali ke tujuan,
langgeng selamanya. Setelah berpamitan dan mengucapkan salam kepada semua yang
menyaksikan, Syekh Siti Jenar dengan diliputi oleh semerbak bau harum terbungkus
cahaya gemerlapan yang menyorot ke atas, kemudian lenyap terserap ke dalam al-Ghaib,
Dia Yang Sudah Dimuliakan. Iringan cahaya bersinar cemerlang, berkilau gemilang,
berkobar menyala, menyuramkan sinar sang mentari, menyilaukan pandang semua orang
yang menyaksikan.

Adapun pelaksanaan hukuman atas dirinya, oleh Syekh Siti Jenar sengaja dibiarkan
terlaksana, guna memenuhi hukum duniawi, sekaligus sebagai monumen kebenaran
ajarannya. Tanpa bukti yang dinampakkan secara dzahir, maka kebenaran ajaran
Manunggaling Kawula-Gusti tidak akan pernah terwujud. Sebab pembuktian itu –
sebagaimana sudah terjadi pada Mansur al-Hallaj, al-Syuhrawardi dan ‘Aynul Quddat al-
Hamadani sebagai pendahulunya – memang menuntut jasad sang Guru sebagai martir
atau syahid bagi kesufiannya. Dengan kemartirannya dan kesediannya sebagai syuhada’
bagi sufisme di Tanah Jawa itulah ia disebut sebagai Syekh Jatimurni, Guru Pemilik Inti
Kesejatian atau Pusar Ilmu Kasampurnan.

AJARAN TENTANG PENERAPAN RUKUN IMAN, ISLAM DAN IHSAN

Materi Pokok Pengajaran Syekh Siti Jenar

DELAPAN BELAS
“…Kepada mereka, Siti Jenar pertama-tama mengajarkan akan asal usul kehidupan,
kedua diberitahukan akan pintu kehidupan. Ketiga, tempat besok bila sudah hidup kekal
abadi, keempat alam kematian yaitu yang sedang dijalani sekarang ini. Lagipula mereka

8 of 44
diberitahu akan adanya Yang Maha Luhur…” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya,
Pupuh IV Sinom, 6-7).

Kepada pada muridnya, Syekh Siti Jenar mengajarkan ilmu ma’rifat secata bertahap,
yang harus dikuasai oleh seseorang, jika ingin menjadi manusia sempurna (al-insan al-
kamil), serta bagi yang ingin menempuh laku manunggal dengan Tuhan. (1) Pertama-
tama Syekh Siti Jenar mengajarkan tentang asal-usul manusia [ngelmu sangkan-paran];
(2) Langkah berikutnya, ia mengajarkan masalah yang berkaitan dengan kehidupan,
khususnya apa yang disebut sebagai pintu kehidupan; (3) Langkah ketiga Syekh Siti
Jenar menunjukkan tempat manusia besok ketika sudah hidup kekal abadi; (4) Taham
keempat, ia menunjukkan tempat alam kematian, yaitu yang sedang dialami dan dijalani
manusia sekarang ini, di dunia ini, serta berbagai kiat cara menghadapinya; (5) Langkah
terakhir Syekh Siti Jenar mengajarkan tentang adanya Tuhan Yang Maha Luhur yang
menjadikan bumi dan angkasa, sebagai pelabuhan akhir bagi kemanunggalan dan
keabadian.

Sasahidan: Intisari Ajaran Syekh Siti Jenar

SEMBILAN BELAS
“Insun anakseni ing Datingsun dhewe, satuhune ora ana Pangeran amung Ingsun, lan
nakseni Ingsun satuhune Muhammad iku utusan Ingsun, iya sajatine kang aran Allah iku
badan Ingsun, Rasul iku rahsaning-Sun, Muhammad iku cahyaning-Sun, iya Ingsun kang
eling tan kena ing lali, iya Ingsun kan langgeng ora kena owah gingsir ing kahanan jati,
iya Ingsun kang waskitha ora kasamaran ing sawiji-wiji, iya Ingsun kang amurba
amisesa, kang kawasa wicaksana ora kukurangan ing pangerti, byar.. sampurna padhang
terawang-an, ora karasa apa-apa, ora ana keton apa-apa, mung Insun kang nglimputi ing
ngalam kabeh, kalawan kodrating-Sun.” (R. Ng. Ranggawarsita, WIRID Punika Serat
Wirid Anyariyo-saken Wewejanganipun Wali VIII, Administrasi Jawi Kandha Surakarta,
penerbit Albert Rusche & Co., Surakarta, 1908, hlm.15-16).

Terjemahan, “Aku angkat saksi di hadapan Dzat-Ku sendiri, sesungguhnya tidak ada
Tuhan kecuali Aku, dan Aku angkat saksi sesungguhnya Muhammad itu utusan-Ku,
sesungguhnya yg disebut Allah Ingsun diri sendiri (badan-Ku), Rasul itu Rahsa-Ku,
Muhammad itu cahaya-Ku, Akulah Dzat yg hidup tidak akan terkena mati, Akulah Dzat
yang selalu ingat tidak pernah lupa, Akulah Dzat yg kekal tidak ada perubahan dalam
segala keadaan, (bagi-Ku) tidak ada yg samar sesuatupun, Akulah Dzat yang Maha
Menguasai, yang Kuasa dan Bijaksana, tidak kekurangan dalam pengertian, sempurna
terang benerang, tidak terasa apa-apa, tidak kelihatan apa-apa, hanya Aku yg meliputi
sekalian alam dengan kodrat-Ku.”

Ajaran tersebut disebut sebagai ajaran atau wejangan Sasahidan Serat Wirid Hidayat Jati
merupakan naskah paling terkenal hasil karya R. Ng. Ranggawarsita. Menurut R. Ng.
Ranggawarsita, naskah tersebut merupakan wejangan wali ke-8. wali VIII yang dimaksud
adalah Sunan Kajenar atau Syekh Siti Jenar. Ini sesuai dengan pernyataan Ranggawarsita
sendiri dalam naskah tersebut pada halaman 5 dan 6, dimana wejangannya adalah
Sasahidan atau Penyaksian. Oleh Ranggawarsita, Sunan Kajenar disebut sebagai wali

9 of 44
dalam dua angkatan, yakni angkatan pertama di awal Kerajaan Demak dan angkatan dua,
yakni pada masa akhir Kerajaan Demak. Melihat pernyataan ini, logis jika tahun
wafatnya Syekh Siti Jenar ditetapkan pada tahun 1517, sebab setelah kekuasaan Raden
Fatah usia Kerajaan Demak tidak berlangsung lama, disambung dengan Kerajaan Pajang.

Dari wejangan Sasahidan itu, nampaklah pengalaman spiritual dan keadaan


kemanunggalan pada diri Syekh Siti Jenar terjadi dalam waktu yang lama, dan
mendominasi keseluruhan wahana batin Syekh Siti Jenar. Nampak juga bahwa dalam
intisari ajaran tersebut, konsistensi sikap batin dan sikap dzahir dari ajaran Syekh Siti
Jenar. Jika ilmu tidak ada yang dirahasiakan dalam pengajaran, maka demikian pula
pengalaman batin dari keagamaan juga tidak bisa disembunyikan. Dan pengalaman
keagamaan yang terlahir tidak harus ditutup-tutupi walaupun dengan dalih dan selubung
syari’at. Dan akhirnya dalam ajaran Sasahidan itulah, semua ajaran Syekh Siti Jenar
tersimpul.

Kemanunggalan Ke-Iman-an

DUA PULUH
“Adapun manunggalnya keimanan, itu menjadi tempat berkumpulnya jauhar (mutiara)
Muhammad, terdiri atas 15 perkara, seperti perincian di bawah ini:

a. Imannya imam, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan,


engkau adalah keberadaan Allah.

b. Imannya tokide (tauhid), maksudnya adalah jangan ragu dan jangan


mensekutukan, engkau adalah panunggale (tempat manunggalnya) Allah.

c. Imannya syahadat, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan,


engkau adalah sifatullah (sifatnya Allah).

d. Imannya ma’rifat, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan,


engkau adalah kewaspadaan Allah.

e. Imannya shalat, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan,


engkau adalah menghadap Allah.

f. Imannya kehidupan, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan,


engkau adalah kehidupannya Allah.

g. Imannya takbir, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan,


engkau adalah kepunyaan keangungan Allah.

h. Imannya saderah, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan,


engkau adalah pertemuan Allah.

10 of 44
i. Imannya kematian, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan,
engkau adalah kesucian Allah.

j. Imannya junud, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan,


engkau adalah wadahnya Allah.

k. Imannya jinabat, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan,


engkau adalah kawimbuhaning (bertambahnya ni’mat dan anugerah) Allah.

l. Imannya wudlu, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan,


engkau adalah asma (Nama) Allah.

m.Imannya kalam (perkataan), maksudnya adalah jangan ragu dan jangan


mensekutukan, engkau adalah ucapan Allah.

n. Imannya akal, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan,


engkau adalah juru bicara Allah.

o. Imannya nur, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau
adalah wujudullah, yaitu tempat berkumpulnya seluruh jagat (makrokosmos),
dunia akhirat, surga neraka, ‘arsy kursi, loh kalam (lauh al-kalam), bumi langit,
manusia, jin, belis (iblis) laknat, malaikat, nabi, wali, orang mukmin, nyawa semua,
itu berkumpul di pucuknya jantung yang disebut alam kiyal (‘alam al-khayal),
maksudnya adalah angan-angannya Tuhan, itulah yang agung yang disebut alam
barzakh, yang dimaksudnya adalah pamoring gusti kawula, yang disebut alam
mitsal, yang dimaksudnya adalah awal pengetahuan, yaitu kesucian dzat sifat asma
af’al, yang disebut alam arwah, maksudnya berkumpulnya nyawa yang adalah
dipenuhi sifat kamal jamal.” (Wedha Mantra, hlm. 54-55).

Ajaran tersebut terkenal dengan sebutan panunggaling iman. Dari aplikasi iman dalam
bentuk keimanan Manunggaling Kawula-Gusti tersebut tampak, bahwa fungsi manusia
sebagai khalifatullah (wakil real Allah) di muka bumi betul-betul nyata. Manusia adalah
cermin dan pancaran wujud Allah, dengan fungsi iradah dan kodrat yang berimbang.
Semua bentuk syari’at agama ternyata memiliki wujud implementasi bagi tekad hatinya,
sekaligus ditampakkan melalui tingkah lahiriyahnya.

Jelas sudah bahwa dalam sistem sufisme Imannya kehidupan, maksudnya adalah jangan
ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah kehidupannya Allah, ajaran “langit” Allah
berhasil “dibumikan” oleh Imannya kehidupan, maksudnya adalah jangan ragu dan
jangan mensekutukan, engkau adalah kehidupannya Allah. Melalui doktrin utama
Manunggaling Kawula-Gusti. Manusia diajak untuk membuktikan keberadaan Allah
secara langsung, bukan hanya memahami “keberadaan” dari sisi nalar-pikir (ilmu) dan
rasa sentimen makhluk (perasaan yang dipaksa dengan doktrin surga dan neraka).
Imannya kehidupan, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau
adalah kehidupannya Allah. Mengajarkan dan mengajak manusia bersama-sama
“merasakan” Allah dalam diri pribadi masing-masing.

11 of 44
DUA PULUH SATU
Adapun yang menjadi maksud:

a. Iman, adalah pangandeling (pusaka andalan), roh.

b. Tokid (tauhid), panunggale (saudara tak terpisah, tempat manunggal) roh.

c. Ma’rifat, penglihatan roh.

d. Kalbu, penerimaan (antena penerima) roh.

e. Akal, pembicaraannya roh.

f. Niat, pakaremaning roh.

g. Shalat, menghadapnya roh.

h. Syahadat, keadaan roh.” (Wedha Mantra, hlm. 54).

Pernyataan Syekh Siti Jenar tersebut mempertegas maksud Manunggalnya Iman di atas.
Di dalam hal ini, Syekh Siti Jenar menjelaskan maksud dari masing-masing doktrin
pokok tauhid dan fiqih ketika dikaitkan dengan spiritual. Iman, tauhid, ma’rifat, qalbu,
dan akal adalah doktrin pokok dalam wilayah tauhid; dan niat, shalat serta syahadat
adalah doktrin pokok fiqih. Oleh Syekh Siti Jenar semua itu sirangkai menjadi bentuk
perbuatan roh manusia, sehingga masing-masing memiliki peran dan fungsi yang dapat
menggerakkan seluruh kepribadian manusia, lahir dan batin, roh dan jasadnya. Itulah
makna keimanan yang sesungguhnya. Sebab rukun iman, rukun Islam dan ihsan pada
hakikatnya adalah suatu kesatuan yang utuh yang membentuk kepribadian illahiyah pada
kedirian manusia.

DUA PULUH DUA


“Yang disebut kodrat itu yang berkuasa, tiada yang mirip atau yang menyamai.
Kekuasaannya tanpa piranti, keadaan wujudnya tidak ada baik luar maupun dalam
merupakan kesantrian yang beraneka ragam. Iradatnya artinya kehendak yang tiada
membicarakan, ilmu untuk mengetahui keadaan, yang lepas jauh dari pancaindera
bagaikan anak gumpitan lepas tertiup.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III
Dandangula, 31).

Bagi Syekh Siti Jenar, kodrat dan iradat bukanlah hal yang terpisah dari manusia, dan
bukan mutlak milik Allah. Kodrat dan iradat menurut Syekh Siti Jenar terkait erat dengan
eksistensi sang Pribadi (manusia). Pribadi adalah eksistensi roh. Maka jika roh adalah
pancaran cahaya-Nya, pribadi adalah tajalli-Nya, penjelmaan Diri-Nya. Pribadi adalah
Allah yang menyejarah. Maka Syekh Siti Jenar mengemukakan bahwa dirinya adalah
sang pemilik dua puluh sifat ketuhanan. Oleh karena itu kodrat merupakan kuasa pribadi,
sifat yang melekat pada pribadi sejak zaman azali dan itu langgeng. Demikian pula
adanya iradat, kehendak atau keinginan.

12 of 44
Antara karsa, keinginan dan kuasa, adalah hal yang selalu berkelindan bagi wujud
keduanya. Tentu menyangkut kehendak, setiap pribadi memiliki karsa yang mandiri dan
yang berhak merumuskan hanyalah “perundingan” antara pemilik iradah dengan Yang
Maha Memiliki Iradah. Kemudian untuk mewujudkan rasa cipta itu, perlu juga
pelimpahan kodrat Allah pada manusia. Untuk itu semua, Syekh Siti Jenar mendidik
manusia untuk mengetahui Yang Maha Kuasa, dan mengetahui letak pintu kehidupan
serta kematian. Tujuannya jelas, agar manusia menjadi Pribadi Sejati, pemilik iradah dan
kodrat bagi dirinya sendiri.

Syahadat

DUA PULUH TIGA


“Inilah maksud syahadat: ‘Ashadu;jatuhnya rasa, ilaha;kesejatian rasa, illallah; bertemu
rasa. Muhammad hasil karya yang maujud, Pangeran; kesejatian kehidupan.”

Dalam hal syahadat ini, Syekh Siti Jenar mengajarkan berbagai macam syahadat dan hal
itu selaras dengan konsep utama ajarannya, manunggaling kawula-Gusti, serta tetap di
atas fondasi ajaran shalat daim. Syahadat dalam hal ini, adalah menjadi keadaan roh,
bukan sekedar ucapan lisan, dan hasil pengolahan nalar-pikiran, atau bisikan hati.
Susunan kalimat syahadat adalah campuran bahasa Arab dan bahasa Jawa. Hal ini
menjadi kebiasaan Syekh Siti Jenar dalam mengajarkan ajaran-ajarannya, sehingga
dengan mudah dan gamblang murid serta pengikutnya mampu memahami dan
mengamalkan ajaran tersebut, tanpa kesulitan akibat kendala bahasa.

Beberapa wali di Jawa, selain Syekh Siti Jenar juga memiliki dan mengajarkan
syahadat. Misalnya syahadat Sunan Giri, “Bismillahirrahmanirrahim, syahadat
kencana sinarawedi, sahadu minangka kencana sinarawedi, dzat sukma kang
ginawa mati, kurungan mas ilang tanpa kerana, sira muliha maring kubur.”
Syahadat Sunan Bonang, “Bismillahirrahmanirrahim, syahadat kencana, linggih
ing maligi mas, ulir sjroh-ning geni muskala, ilang ing kawulat aja kari, ya hu ya hu
ya hu, sirna kurungan tanpa kerana.” Dan syahadat Sunan Kalijaga,
“Bismillahirrahmanirrahim, syahadat kencana, kurungan mas, kuliting jati
sajatining sukma, ginawa mati, sirna tan ana kari, sukma ilang jiwa ilang, kang
lunga padha rupane, dap lap ilang,” (Wejangan Walisanga, hlm. 50).

Dibawah ini adalah aplikasi syahadat menurut Syekh Siti Jenar. Sebagian syahadat yang
ada merupakan dzikir dan wirid ketika Syekh Siti Jenar mengajarkan cara melepaskan air
kehidupan (tirta nirmaya) untuk membuka pintu kematian menuju kehidupan sejati di
alam akhirat. Syahadat-syahadat sejenis juga diajarkan oleh Ki Ageng Pengging kepada
Sunan Kudus, sebelum wafatnya.

Jatunya rasa (tibaning rasa) maksudnya adalah meresapnya Allah dalam kehendak dan
kedalaman jiwa. Ini kemudian dipupuk dengan laku spiritual yang melahirkan sajatining
rasa (kesejatian rasa), di mana ruang keseluruhan jiwa telah terdominasi oleh al-Haqq
(Allah). Kemudian lahirlah ungkapan illallah sebagai puncak, yakni pertemuan rasa,
manunggalnya yang mengungkapkan “asyhadu” dengan sarana ungkapan, yakni Allah.

13 of 44
Kemanunggalan ini memunculkan tenaga dan energi kreativitas positif, dalam bentuk
karya yang berbentuk nyata, bermanfaat dan berdaya guna, serta bersifat langgeng, yang
diidentifikasikan dengan sebutan Muhammad (Yang Memiliki Segala Keterpujian)
sebagai perwujudan riil dari sang Wajib al-Wujud. Maka diri manusia sebagai
”Pangeran” (Tuhan) itulah yang perupakan kesejatian hidup atau kehidupan. Syahadat
dalam sistem ajaran Syekh Siti Jenar bukanlah hanya sekedar bentuk pengakuan lisan
yang berupa syahadat tauhid dan syahadat rasul. Namun syahadat adalah persaksian
batin, yang teraplikasi dalam tindakan dzahir sebagai wujud kemanunggalan kawula-
Gusti. Dengan demikian syahadat mampu melahirkan karya-karya yang bermanfaat.

DUA PULUH EMPAT


“Mengertilah, bahwa sesungguhnya ini syahadat sakarat, jika tidak tau maka sekaratnya
masih mendapatkan halangan, hidupnya dan matinya hanya seperti hewan. Lafalnya
mengucapkan adalah : “Syahadat Sakarat Sajati, iya Syahadat Sakarat, wus gumanang
waluya jati sirne eling mulya maring tunggal, waluya jati iya sajatining rasa, lan dzat
sajatining dzat pesthi anane langgeng tan kenaning owah, dzat sakarat roh madhep ati
muji matring nyawa, tansah neng dzatullah, kurungan mas melesat, eling raga tan rusak
sukma mulya Maha Suci.” (Mantra Wedha, bab 205, hlm. 53).

(Syahadat Sakarat Sejati adalah Syahadat Sakarat [Menjelang dan proses datangnya pintu
kematian], sudah nyata penuh kesempatan hilangnya ingatan kemuliaan kepada yang
tunggal, keselamatan dan kesentosaan itu adalah sejatinya kehidupan, tunggal sejatinya
hidup, hidup sejatinya rasa dan sejatinya rasa dan dzat sejatinya dzat pasti dalam
keberadaan kelanggengan tidak terkena perubahan, dzat sekarat roh menghadap hati
memuji nyawa, selalu berada dalam dzatullah, sangkar mas hilang, mengingat raga tidak
terkena kerusakan sukma mulia Maha Suci).

Syahadat Sakarat adalah syahadat atau persaksian menjelang kematian. Sebagaimana


diketahui, bahwa salah satu ajaran Syekh Siti Jenar adalah kemampuan memadukan
iradah dan qudrat diri dengan iradah dan qudrat Ilahi, sebagai efek kemanunggalan.
Sehingga apa yang menjadi ilmu Allah, maka itu adalah ilmu diri manusia yang
manunggal. Maka orang yang sudah meninggal mencapai al-Insan al-Kamil, juga
mengetahui kapan saatnya dia meninggalkan alam kematian di dunia ini, menuju alam
kehidupan sejati di akhirat, untuk menyatu selamanya dengan Allah. Syahadat sekarat
yang terpapar di atas, adalah syahadat sakarat yang bersifat umum, sebab nanti masih ada
beberapa syahadat. Semua syahadat yang diajarkan Syekh Siti Jenar menjadi lafal harian
atau dzikir, terutama saat menjelang tidur, agar dalam kondisi tidur juga tetap berada
dalam kondisi kemanunggalan iradah dan qodrat. Namun syahadat-syahadat yang ada
tidak hanya sekedar ucapan, sebab saat pengucapan harus disertai dengan laku (meditasi)
dan paling tidak mengheningkan daya cipta, rasa dan karsa, sehingga lafal-lafal yang
berupa syahadat tersebut, menyelusup jauh ke dalam diri atau dalam sukma.

DUA PULUH LIMA


“Syahadat Allah, Allah, Allah lebur badan, dadi nyawa, lebur nyawa dadi cahya,
lebur cahya dadi idhafi, lebur idhafi dadi rasa, lebur rasa dadi sirna mulih maring
sajati, kari amungguh Allah kewala kang langgeng tan kena pati.” (syahadat Allah,

14 of 44
Allah, Allah badan lebur menjadi (roh) idhafi, (roh) idhafi lebur menjadi rasa, rasa
lebur sirna kembali kepada yang sejati, tinggallah hanya Allah semata yang abadi
tidak terkena kematian). [Mantra Wedha, hlm. 53).

Syahadat paleburan diucapkan ketika (menjalani keheningan = samadhi), menyatukan


diri kepada Allah. Lafal tersebut lahir dari pengalaman Syekh Siti Jenar ketika memasuki
relung-relung kemanunggalan, di mana jasad fisiknya ditinggalkan rohnya, sesudah
semua nafs dalam dirinya mengalami kasyaf.

DUA PULUH ENAM


“Ashadu-ananingsun, la ilaha rupaningsun, illallah – Pangeransun, satuhune ora ana
Pangeran angging Ingsun, kang badan nyawa kabeh” (ashadu-keberadaanku, la ilaha –
bentuk wajahku, illallah – Tuhanku, sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Aku, yaitu
badan dan nyawa seluruhnya).

Inilah yang disebut Syahadat Sajati. Pengakuan sejati ini adalah ungkapan yang
sebenarnya bersifat biasa-biasa saja, di mana ungkapan tersebut lahir dari hati dan
rohnya, sehingga dari ungkapan yang ada dapat diketahui sampai di mana tingkatan
tauhidnya (tauhid dalam arti pengenalan akan ke-Esaan Allah), bukan sekedar
pengenalan akan nama-nama Allah.

DUA PULUH TUJUH


“Sakarat pujine pati, maksude napas pamijile napas, kaketek meneng-meneng, iya iku
sing ameneng, pati sukma badan, mulya sukma sampurna, mulih maring dzatullah, Allah
kang bangsa iman, iman kang bangsa nur, nur kang bangsa Rasulullah, iya shalat albar,
Muhammad takbirku, Allah Pangucapku, shalat jati asembahyang kalawan Allah, ora ana
Allah, ora ana Pangeran, amung iku kawula tunggal, kang agung kang kinasihan.”
(mantra Wedha, hlm. 53).

“Sekarat ku kemuliaan kematian, maksudnya adalah napas munculnya napas, yang hilang
berangsur-angsur secara diam-diam, yaitu yang kemudian diam, kematian sebagai sukma
badan-wadag, kemuliaan sukma kesempurnaan, kembali kepada dzatullah, Allah sebagai
labuhan iman, iman yang berbentuk cahaya, cahaya yang berwujud Rasulullah, yaitu
adalah shalat yang agung, Muhammad sebagai takbirku, Allah sebagai ucapanku, shalat
sejati menyembah Allah, tidak ada Allah tidak ada Tuhan, hanyalah aku (kawula) yang
tunggal saja, yang agung dan dikasihi.”

Ini adalah Syahadat Sakarat Permulaan Kematian. Ketika seseorang sudah melihat akhir
hayatnya, maka orang tersebut diajarkan untuk memperbanyak melafalkan dan
mengamalkan “syahadat sakarat wiwitane pati” ini.

DUA PULU DELAPAN


“Ashadu ananingsun, anuduhake marga kang padhang, kang urip tan kenaning pati,
mulya tan kawoworan, elinge tan kena lali, iya rasa iya rasulullah, sirna manjing sarira
ening, sirna wening tunggal idhep jumeneng langgeng amisesa budine, angen-angene
tansah amadhep ing Pangeran.” (mantra Wedha, hlm. 54).

15 of 44
(Ashadu keberadaanku, yang menunjukkan jalan yang terang, yang hidup tidak terkena
kematian, yang mulia tanpa kehinaan, kesadaran yang tidak terkena kematian, yang mulia
tanpa kehinaan, kesadaran yang tidak terkena lupa, itulah rasa yang tidak lain adalah
Rasulullah, selesailah berada di alam terang, itulah hakikat Rasulullah, hilang musnah
ketempat wujud yang hening, hilang keheningan menyatu-tunggal menempati secara
abadi memelihara budi, angan-angan selalu menghadap Tuhan).

Syahadat Sekarat Hati pada hakikatnya adalah syahadat Nur Muhammad. Suatu
penyaksian bahwa kedirian manusia adalah bagian dari Nur Muhammad. Dari inti
syahadat ini, jelas bahwa kematian manusia bukanlah jenis kematian pasif, atau kematian
negatif, dalam arti kematian yang bersifat memusnahkan. Kematian dalam pandangan
sufisme Syekh Siti Jenar hanya sebagai gerbang menuju kemanunggalan, dan itu harus
memasuki alam Nur Muhammad. Bentuk konkretnya, dalam pengalaman kematian itu,
orang tersebut tidaklah kehilangan akan kesadaran manunggal-Nya. Ia melanglang buana
menuju asal muasal hidup. Oleh karenanya keadaan kematiannya bukanlah suatu
kehinaan sebagaimana kematian makhluk selain manusia. Di sinilah arti penting adanya
syafa’at sang Utusan (Rasulullah) dalam bentuk Nur Muhammad atau hakikat
Muhammad. Nur Muhammad adalah roh kesadaran bagi tiap Pribadi dalam menuju
kemanunggalannya. Sehingga dengan Nur Muhammad itulah maka pengalaman kematian
oleh manusia, bagi Syekh Siti Jenar bukan sejenis kematian yang pasif, atau kematian
yang negatif, dalam arti kematian dalam bentuk kemusnahan sebagaimana yang terjadi
terhadap hewan.

Kematian itu adalah sesuatu aktivitas yang aktif. Sebab ia hanyalah pintu menuju
keadaan manunggal. Dalam ajaran Syekh Siti Jenar yang diperuntukkan bagi kaum
‘awam (orang yang belum mampu mengalami Manunggaling Kawula-Gusti secara
sempurna) di atas, nampak bahwa dalam kematian itu, seseorang tetap tidak kehilangan
kesadaran kemanunggalannya. Dengan hakikat Muhammadnya ia tetap sadar dalam
pengalaman kematian itu, bahwa ia sedang menempuh salah satu lorong manunggal.
Melalui lorong itulah kediriannya menuju persatuan dengan Sang Tunggal. Kematian
manusia adalah proses aktif sang al-Hayyu (Yang Maha Hidup), sehingga hanya dengan
pintu yang dinamakan kematian itulah, manusia menuju kehidupan yang sejati, urip kang
tan kena pati, hidup yang tidak terkena kematian.

DUA PULUH SEMBILAN


“Syahadat Panetep panatagama, kang jumeneng roh idlafi, kang ana telenging ati, kang
dadi pancere urip, kang dadi lajere Allah, madhep marang Allah, iku wayanganku roh
Muhammad, iya, iku sajatining manusia, iya iku kang wujud sampurna. Allahumma kun
walikun, jukat astana Allah, pankafatullah ya hu Allah, Muhammad Rasulullah.” (mantra
Wedha, hlm. 54).

(Syahadat Penetap Panatagama, yang menempati roh idlafi, yang ada di kedalaman hati,
yang menjadi sumbernya kehidupan, yang menjadi bertempatnya Allah, menghadap
kepada Allah, bayanganku adalah roh Muhammad, yaitu sejatinya manusia, yaitu
wujudnya yang sempurna. Allahumma kun walikun jukat astana Allah, pankafatullah ya
hu Allah, Muhammad Rasulullah).

16 of 44
Syahadat ini adalah sejenis syahadat netral, yakni yang memiliki fungsi dan esensi yang
umum. Pengucapannya tidak berhubungan dengan waktu, tempat, dan keadaan tertentu
sebagaimana syahadat yang lain. Hakikat syahadat ini hanyalah berfungsi untuk
meneguhkan hati akan tauhid al-wujud.

TIGA PULUH
“Ini adalah syahadat sakaratnya roh (pecating nyawa), yang meliputi empat perkara :

1. Ketika roh keluar dari jasad, yakni ketika roh ditarik sampai pada pusar, maka bacaan
syahadatnya adalah, “la ilaha illalah, Muhammad rasulullah.”

2. Kemudian, ketika roh ditarik dari pusar sampai ke hati, syahadat rohnya adalah “la
ilaha illa Anta”.

3. Kemudian roh ditarik sampai otak, maka syahadatnya “la ilaha illa Huwa”.

4. Maka kemudian roh ditarik dengan halus. Saat itu sudah tidak mengetahui jalannya
keluar roh dalam proses sekarat lebih lanjut. Sekaratnya manusia itu sangat banyak
sakitnya, seakan-akan hidupnya sekejap mata, sakitnya sepuluh tahun. Dalam keadaan
seperti itulah manusia kena cobaan setan, sehingga kebanyakkan kelihatan bahwa kalau
tidak melihat jalan keluarnya roh menjadi lama dalam proses sekaratnya. Jika rohnya
tetap mendominasi kesadarannya, tidak kalah oleh sifat setan, maka syahadatnya roh
adalah “la ilaha illa Ana”. (Mantra Wedha, bab 211, hlm. 57).

Ajaran tentang syahadat pecating nyawa tersebut diberikan oleh Syekh Siti Jenar bagi
orang yang belum mampu menempuh laku manusia manunggal, sehingga diperlukan
prasyarat lahiriyah yang berupa syahadat pecating nyawa tersebut. Bagi yang sudah
mampu menempuh laku manunggal, maka prosesnya seperti yang dilakukan Syekh Siti
Jenar, kematian bukan masalah kapan ajalnya datang, juga bukan masalah waktu.
Kematian termasuk dalam salah satu agenda manunggalnya iradah dan qudrat kawula
Gusti dan sebaliknya.

Kalau diperhatikan secara seksama, ajaran Syekh Siti Jenar yang dikhususkan bagi
kalangan ‘awam (yang tidak mampu mengalami Manunggaling Kawula Gusti secara
sempurna) tersebut hampir sama dengan ajaran Syuhrawardi.

Shalat (tarek dan Daim)

Syekh Siti Jenar mengajarkan dua macam bentuk shalat, yang disebut shalat tarek dan
shalat daim. Shalat tarek adalah shalat thariqah, diatas sedikit dari syari’at. Shalat tarek
diperuntukkan bagi orang yang belum mampu untuk sampai pada tingkatan
Manunggaling Kawula Gusti, sedang shalat daim merupakan shalat yang tiada putus
sebagai efek dari kemanunggalannya. Sehingga shalat daim merupakan hasil dari
pengalaman batin atau pengalaman spiritual. Ketika seseorang belum sanggup melakukan
hal itu, karena masih adanya hijab batin, maka yang harus dilakukan adalah shalat tarek.
Shalat tarek masih terbatas dengan adanya lima waktu shalat, sedang shalat daim adalah

17 of 44
shalat yang tiada putus sepanjang hayat, teraplikasi dalam keseluruhan tindakan
keseharian ( penambahan, mungkin efeknya adalah berbentuk suci hati, suci ucap, suci
pikiran ); pemaduan hati, nalar, dan tindakan ragawi.

Kata “tarek” berasal dari kata Arab “tarki” atau “tarakki” yang memiliki arti pemisahan.
Namun maksud lebih mendalam adalah terpisahnya jiwa dari dunia, yang disusul dengan
tanazzul (manjing)-nya al-Illahiyah dalam jiwa. Shalat tarek yang dimaksud di sini adalah
shalat yang dilakukan untuk dapat melepaskan diri dari alam kematian dunia, menuju
kemanunggalan. Sehingga menurut Syekh Siti Jenar, shalat yang hanya sekedar
melaksanakan perintah syari’at adalah tindakan kebohongan, dan merupakan kedurjanaan
budi.

Pengambilan shalat tarek ini berasal dari Kitab Wedha Mantra bab 221; Shalat Tarek
Limang Wektu. (Sang Indrajit: 1979, hlm. 63-66).

Keterangan bagi yang mengamalkan ilmu shalat tarek lima waktu ini.
(Semua hal yang berkaitan dengan shalat tarek ini diterjemahkan dengan apa adanya dari
Kitab Wedha Mantra. Makna terjemahan yang bertanda kutip hanyalah arti untuk
memudahkan pemahaman. Adapun maksud dan substansi yang ada dalam kalimat-
kalimat asli dalam bahasa Jawa-Kawi, lebih mendalam dan luas dari pemahaman dan
terjemahan diatas.(penulisnya wanti-wanti banget). Pelaksanaan shalat tarek bisa saja
diamalkan bersamaan dengan shalat syari’at sebagaimana biasa, bisa juga dilaksanakan
secara terpisah. Hanya saja terdapat perbedaan dalam hal wudlunya. Jika dalam shalat
syari’at, anggota wudhu yang harus dibasuh adalah wajah, tangan, sebagian kepala, dan
kaki, sementara dalam shalat tarek adalah di samping tempat-tempat tersebut, harus juga
membasuh seluruh rambut, tempat-tempat pelipatan anggota tubuh, pusar, dada, jari
manis, telinga, jidat, ubun-ubun, serta pusar tumbuhnya rambut (Jawa; unyeng-
unyengan). Walhasil wudlu untuk shalat tarek sama halnya dengan mandi besar
(junub/jinabat).

Bahwa kematian orang yang menerapkan ilmu ini masih terhenti pada keduniaan, akan
tetapi sudah mendapatkan balasan surga sendiri. Maka paling tidak ujaran-ujaran shalat
tarek ini hendaknya dihafalkan, jangan sampai tidak, agar memperoleh kesempurnaan
kematian.
Bagi yang akan membuktikan, siapa saja yang sudah melaksanakan ilmu ini, dapat saja
dibuktikan. Ketika kematian jasadnya didudukkan di daratan (di atas tanah), di kain kafan
serta diberi kain lurub (penutup) serta selalu ditunggu, kalau sudah mendapatkan dan
sampai tujuh hari, bisa dibuka, niscaya tidak akan membusuk, (bahkan kalau iradah dan
qudrahnya sudah menyatu dengan Gusti), jasad dalam kafan tersebut sudah sirna. Kalau
dikubur dengan posisi didudukkan, maka setelah mendapat tujuh hari bisa digali
kuburnya, niscaya jasadnya sudah sirna, dan yang dikatakan bahwa sudah menjadi
manusia sempurna. Maka karena itu, orang yang menerapkan ilmu ini, sudah menjadi
manusia sejati.

18 of 44
Sedangkan tentang ilmu ini, bukanlah manusia yang mengajarkan, cara mendapatkannya
adalah hasil dari laku-prihatin, berada di dalam khalwat (meditasi, mengheningkan cipta,
menyatu karsa dengan Tuhan sebagaimana diajarkan Syekh Siti Jenar).

Tentang anjuran untuk pembuktian di atas, sebenarnya tidak diperlukan, sebab yang
terpenting adalah penerapan pada diri kita masing-masing. Justru pembuktian paling
efektif adalah jika kita sudah mengaplikasikan ilmu tersebut. Apalagi pembuktian seperti
itu jika dilaksanakan akan memancing kehebohan, sebagaimana terjadi dalam kasus
kematian Syekh Siti Jenar serta para muridnya.

TIPULUH SATU
Shalat Subuh

Niat yang paling awal, “Niyatingsun shalat, roh Kudus kang shalat, iya iku rohing
Allah. Allah iku lungguh ana ing paningal, shalat iku sajrone shalat ana gusti,
sajroning gusti ana sukma, sajroning sukma ana nyawa, sajroning nyawa ana urip,
sajro-ning urip ana eling, pardhu ta’ala Allahu akbar, tetep mantep weruh ing
awakku.”

(Aku berniat shalat, roh Kudus yang melaksanakan shalat, yaitulah rohnya Allah.
Allah yang menempati penglihatan, shalat yang di dalam shalat itu ada gusti, di
dalam gusti ada sukma, di dalam sukma ada nyawa, di dalam nyawa terdapat
kehidupan, di dalam kehidupan terdapat kesadaran menyeluruh, kewajiban dari
Allah ta’ala, Allahu akbar tetap mantap mengerti akan diriku sendiri).

Malaikatnya adalah Haruman (malaikat Rumman), memujinya dengan “Ya Hu, Ya


Hu.” Seratus kali.

Niatnya, “Niyatingsun shalat, sirku kang shalat, pardlu ta’ala Allahu akbar, tetep
madhep langgeng weruh ing sirku.”

(Aku berniat shalat, sir [rahasia]-ku yang shalat, wajib dari Allah ta’ala, Allahu
akbar, tetap menghadap dengan abadi mengerti akan sir [rahasia]-ku).

Malaikatnya Haruman, pepujiannya, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.

Kemudian memuji; “ya Rajamu, ya Rajaku.” (Arab; Ya maliku al-Mulku). Seratus


kali.

Dilanjutkan, “Sirrullah, darajatullah, sifatullah”. Seratus kali.

Dilanjutkan lagi, “Lah giri-giri Allah, sir jumeneng Allah, nur gumulung,
gumulung agawe jagat,” (Sungguh puncak dari segala puncak adalah Allah, rahasia
tempat berdiam Allah, cahaya tergulung, tergulung membuat semesta). Seratus
kali.

19 of 44
Kemudian berdzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes kena ing Allahku.”
(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh pasti sudah kena pada Allahku).Seratus
kali.

Dilanjutkan dengan dzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata ing Allahku”,
(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada Allahku), Seratus kali.

TIGA PULUH DUA


Shalat Luhur

Niat yang paling awal, “Niyatingsun shalat, roh idlafi kang shalat, iya iku rohing
Pangeran. Pangeran iku lungguhe ana ing kaketek, shalat iku sajroning sukma,
sajroning sukma ana nyawa, sajroning nyawa ana urip, sajroning urip ana eling,
pardhu ta’ala Allahu akbar, tetep mantep weruh ing Pangeranku.” (Aku berniat
shalat, roh Idlafi yang melaksanakan shalat, yaitulah rohnya Tuhan. Tuhan yang
menempati ketiak, shalat yang di dalam sahalat itu ada gusti, didalam gusti
terdapat sukma, di dalam sukma terkandung nyawa, di dalam nyawa adanya
kehidupan, di dalam kehidupan terdapat kesadaran menyeluruh, kewajiban dari
Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap mantap mengerti akan Tuhanku). Malaikatnya
adalah Jabarail (malaikat Jibril), memujinya dengan, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus
kali.

Niatnya, “Niyatingsun shalat, kang shalat osikku, pardlu ta’ala Allahu akbar, tetep
mantep madhep langgeng weruh ing osikku.” (Aku berniat shalat, yang shalat
bisikan dan gerak hatiku, wajib dari Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap mantap
menghadap dengan abadi mengerti akan bisikan nuraniku).
Malaikatnya Jabarail, pepujiannya, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.

Kemudian memuji; “Ya Rajamu, ya rajaku.” (Arab; Ya Maliku al-Mulku). Seratus


kali.

Dilanjutkan, “Sirrullah, darajatullah, sifatullah”. Seratus kali.

Dilanjutkan lagi, “Lah giri-giri Allah, sir jeneng, sir jumeneng Allah, nur
gumulung, gumulung agawe jagat,” (Sungguh puncak dari segala puncak adalah
Allah, rahasia tempat berdiam Allah, cahaya tergulung, tergulung membuat
semesta). Seratus kali.

Kemudian berdzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes kena ing Allahku.”

(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh pasti sudah kena pada Allahku).Seratus
kali.

Dilanjutkan dengan dzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata ing Allahku”,
(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada Allahku), Seratus kali.

20 of 44
TIGA PULUH TIGA
Shalat ‘Ashar

Niat yang paling awal, “Niyatingsun shalat, roh Abadi kang shalat, iya iku rohing
Rasul. Rasul iku lungguhe ana ing poking ilat, shalat iku sajroning sukma,
sajroning sukma ana nyawa, sajroning nyawa ana urip, sajroning urip ana eling,
pardhu ta’ala Allahu akbar, tetep mantep weruh ing Rasulku.”

(Aku berniat shalat, roh keabadian yang melaksanakan shalat, yaitulah rohnya
Utusan. Utusan Tuhan yang menempati ujung lidah, shalat yang di dalam sahalat
itu ada gusti, didalam gusti terdapat sukma, di dalam sukma terkandung nyawa, di
dalam nyawa adanya kehidupan, di dalam kehidupan terdapat kesadaran
menyeluruh, kewajiban dari Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap mantap mengerti
akan Utusanku).

Malaikatnya adalah Mikail, memujinya dengan, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.

Niatnya, “Niyatingsun shalat, angen-angenku kang shalat, pardlu ta’ala Allahu


akbar, tetep mantep madhep langgeng weruh ing angen-angenku.”

(Aku berniat shalat, angan-anganku yang shalat, wajib dari Allah ta’ala, Allahu
akbar, tetap mantap menghadap dengan abadi mengerti akan angan-anganku).

Malaikatnya Mikail, pepujiannya, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.

Kemudian memuji; “Ya Rajamu, ya rajaku.” (Arab; Ya Maliku al-Mulku). Seratus


kali.

Dilanjutkan, “Sirrullah, darajatullah, sifatullah”. Seratus kali.

Dilanjutkan lagi, “Lah giri-giri Allah, sir jeneng, sir jumeneng Allah, nur
gumulung, gumulung agawe jagat,” (Sungguh puncak dari segala puncak adalah
Allah, rahasia tempat berdiam Allah, cahaya tergulung, tergulung membuat
semesta). Seratus kali.

Kemudian berdzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes kena ing Allahku.”
(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh pasti sudah kena pada Allahku).Seratus
kali.

Dilanjutkan dengan dzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata ing Allahku”,
(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada Allahku), Seratus kali.

TIGA PULUH EMPAT


Shalat Maghrib

21 of 44
Niat yang paling awal, “Niyatingsun shalat, rokhani kang shalat, iya iku rohing
Muhammad. Muhammad iku lungguhe ana ing talingan, shalat iku sajroning
sukma, sajroning sukma ana nyawa, sajroning nyawa ana urip, sajroning urip ana
eling, pardhu ta’ala Allahu akbar, tetep mantep weruh ing Muhammadku.”

(Aku berniat shalat, rohani yang melaksanakan shalat, yaitulah rohnya


Muhammad. Muhammad yang menempati ujung telinga, shalat yang di dalam
sahalat itu ada gusti, didalam gusti terdapat sukma, di dalam sukma terkandung
nyawa, di dalam nyawa adanya kehidupan, di dalam kehidupan terdapat kesadaran
menyeluruh, kewajiban dari Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap mantap mengerti
akan Muhammadku).

Malaikatnya adalah Israfil, memujinya dengan, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.

Niatnya, “Niyatingsun shalat, tekadku kang shalat, pardlu ta’ala Allahu akbar,
tetep mantep madhep langgeng weruh ing tekadku.”

(Aku berniat shalat, tekadku yang shalat, wajib dari Allah ta’ala, Allahu akbar,
tetap mantap menghadap dengan abadi mengerti akan tekadku).

Malaikatnya Israfil, pepujiannya, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.

Kemudian memuji; “Ya Rajamu, ya rajaku.” (Arab; Ya Maliku al-Mulku). Seratus


kali.

Dilanjutkan, “Sirrullah, darajatullah, sifatullah”. Seratus kali.

Dilanjutkan lagi, “Lah giri-giri Allah, sir jeneng, sir jumeneng Allah, nur
gumulung, gumulung agawe jagat,” (Sungguh puncak dari segala puncak adalah
Allah, rahasia tempat berdiam Allah, cahaya tergulung, tergulung membuat
semesta). Seratus kali.

Kemudian berdzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes kena ing Allahku.”

(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh pasti sudah kena pada Allahku).Seratus
kali.

Dilanjutkan dengan dzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata ing Allahku”,
(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada Allahku), Seratus kali.

TIGA PULUH LIMA


Shalat ‘Isya’

Niat yang paling awal, “Niyatingsun shalat, roh Robbi kang shalat, iya iku rohing
urip. urip iku lungguhe ana ing napas, shalat iku sajroning sukma, sajroning sukma

22 of 44
ana nyawa, sajroning nyawa ana urip, sajroning urip ana eling, pardhu ta’ala
Allahu akbar, tetep mantep weruh ing uripku.”

(Aku berniat shalat, roh Pembimbing yang melaksanakan shalat, yaitulah rohnya
kehidupan. Utusan Tuhan yang menempati napas, shalat yang di dalam sahalat itu
ada gusti, didalam gusti terdapat sukma, di dalam sukma terkandung nyawa, di
dalam nyawa adanya kehidupan, di dalam kehidupan terdapat kesadaran
menyeluruh, kewajiban dari Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap mantap mengerti
akan kehidupanku).

Malaikatnya adalah Izrail, memujinya dengan, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.

Niatnya, “Niyatingsun shalat, karepku kang shalat, pardlu ta’ala Allahu akbar,
tetep mantep madhep langgeng weruh ing karepku.”

(Aku berniat shalat, keinginanku yang shalat, wajib dari Allah ta’ala, Allahu akbar,
tetap mantap menghadap dengan abadi mengerti akan keinginanku).

Malaikatnya Izrail, pepujiannya, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.

Kemudian memuji; “Ya Rajamu, ya rajaku.” (Arab; Ya Maliku al-Mulku). Seratus


kali.

Dilanjutkan, “Sirrullah, darajatullah, sifatullah”. Seratus kali.

Dilanjutkan lagi, “Lah giri-giri Allah, sir jeneng, sir jumeneng Allah, nur
gumulung, gumulung agawe jagat,” (Sungguh puncak dari segala puncak adalah
Allah, rahasia tempat berdiam Allah, cahaya tergulung, tergulung membuat
semesta). Seratus kali.

Kemudian berdzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes kena ing Allahku.”

(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh pasti sudah kena pada Allahku).Seratus
kali.

Dilanjutkan dengan dzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata ing Allahku”,
(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada Allahku), Seratus kali.

TIGA PULUH ENAM


“Inilah shalat satu raka’at salam, yang dilaksanakan setiap tanggal (bulan
purnama), dengan waktu tengah malam tepat :

a. Inilah niatnya, “Ushalli urip dzatullah Allahu akbar” (Aku berniat


melaksanakan shalat kehidupan dzatullah, Allahu akbar).

23 of 44
b. Membaca surat al-Fatihah, kemudian membaca ayat dengan menyebut, “aku pan
Sukma” (Aku sang pemilik Sukma).

c. Melakukan ruku’ dengan menyebut, “langgeng urip dzatullah” (Kehidupan


abadi dzatullah).

d. Sujud dengan mengucapkan, “ibu bumi dzatullah”.

e. Duduk di antara dua sujud dengan doa, “langgeng urip dzatullah tan kena pati”
(kehidupan abadi dzatullah yang tidak terkena kematian).

f. Sujud lagi dengan bacaan, “Ibu bumi dzatullah”.

g. Tahiyat dengan membaca, “Urip dzatullah”.

h. Membaca syahadat dengan bacaan, “Ashadu uripingsun lan sukma” (Ashadu


kehidupanku dan Sukma).

I. Salam dengan bacaan, “Ingsun kang agung, ingsun kang memelihara kehidupan
yang tidak terkena kema-tian.

j. Membaca doa, “Allahumma papan tulis hadhdhari langgeng urip tan kena pati”
(Allahumma papan tulis segala sesuatu yang abadi hidup yang tak pernah terkena
mati).

k. Kemudian berdoa dalam hati, “Ingsun kang agung ingsun kang wisesa suci
dhiriningsun” (ingsun yang Agung, ingsun yang memelihara, suci diriku sendiri
[ingsun]).

Dalam Islam dikenal shalat satu raka’at, namun itu hanya sebagian dari shalat
witir (shalat penutup akhir malam dengan raka’at yang ganjil).

Shalat satu raka’at salam dalam ajaran Syekh Siti Jenar bukanlah shalat witir,
namun shalat ngatunggal, atau shalat yang dilaksanakan dalam rangka mencapai
kemanunggalan diri dengan Gusti.

Bacaan-bacaan shalat ngatunggal tidak semuanya memakai bahasa Arab, hanya


lafazh takbir dan al-Fatihah serta ayat-ayat yang dibaca satu madzhab fiqih Islam
sekalipun (yakni madzhab Imam Hanafi, dan di Indonesia terutama madzhab
Hasbullah Bakri), bacaan dalam shalat selain takbir dan al-Fatihah boleh
diucapkan dengan bahasa ‘ajam (selain bahasa Arab).

TIGA PULUH TUJUH


“Shalat lima kali sehari, puji dan dzikir itu adalah kebijaksanaan dalam hati menurut
kehendak pribadi. Benar atau salah pribadi sendiri yang akan menerima, dengan segala

24 of 44
keberanian yang dimiliki.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III
Dandanggula, 33).

Syekh Siti Jenar menuturkan bahwa sebenarnya shalat sehari-hari itu hanyalah bentuk
tata krama dan bukan merupakan shalat yang sesungguhnya, yakni shalat sebagai wahana
memasrahkan diri secara total kepada Allah dalam kemanunggalan. Oleh karenanya
dalam tingkatan aplikatif, pelaksanaannya hanya merupakan kehendak masing-masing
pribadi.

Demikian pula, masalah salah dan benarnya pelaksanaan shalat yang lima waktu dan
ibadah sejenisnya, bukanlah esensi dari agama. Sehingga merupakan hal yang tidak
begitu penting untuk menjadi perhatian manusia. Namanya juga sebatas krama, yang
tentu saja masing-masing orang memiliki sudut pandang sendiri-sendiri.

TIGA PULUH DELAPAN


“Pada waktu saya shalat, budi saya mencuri, pada waktu saya dzikir, budi saya
melepaskan hati, menaruh hati kepada seseorang, kadang-kadang menginginkan
keduniaan yang banyak. Lain dengan Zat Allah yang bersama diriku. Nah, saya inilah
Yang Maha Suci, Zat Maulana yang nyata, yang tidak dapat dipikirkan dan tidak dapat
dibayangkan.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 37).

Pada kritik yang dikemukakan Syekh Siti Jenar terhadap Islam formal Walisanga
tersebut, namun jelas penolakan Syekh Siti Jenar atas model dan materi dakwah
Walisanga. Pernyataan tersebut sebenarnya berhubungan erat dengan pernyataan-
pernyataan pada point 37 diatas, dan juga pernyataan mengenai kebohongan syari’at yang
tanpa spiritualitas di bawah.
Menurut Syekh Siti Jenar, umumnya orang yang melaksanakan shalat, sebenarnya akal-
budinya mencuri, yakni mencuri esensi shalat yaitu keheningan dan kejernihan busi, yang
melahirkan akhlaq al-karimah. Sifat khusyu’nya shalat sebenarnya adalah letak aplikasi
pesan shalat dalam kehidupan keseharian.

Sehingga dalam al-Qur’an, orang yang melaksanakan shalat namun tetap memiliki sifat
riya’ dan enggan mewujudkan pesan kemanusiaan disebut mengalami celaka dan
mendapatkan siksa neraka Wail. Sebab ia melupakan makna dan tujuan shalat (QS. Al-
Ma’un/107;4-7). Sedang dalam Qs.Al-Mukminun/23; 1-11 disebutkan bahwa orang yang
mendapatkan keuntungan adalah orang yang shalatnya khusyu’. Dan shalat yang khusyu’
itu adalah shalat yang disertai oleh akhlak berikut : (1) menghindarkan diri dari hal-hal
yang sia-sia dan tidak berguna, juga tidak menyia-siakan waktu serta tempat dan setiap
kesempatan; (2) menunaikan zakat dan sejenisnya; (3) menjaga kehormatan diri dari
tindakan nista; (4) menepati janji dan amanat serta sumpah; (5) menjaga makna dan
esensi shalat dalam kehidupannya. Mereka itulah yang disebutkan akan mewarisi tempat
tinggal abadi; kemanunggalan.

Namun dalam aplikasi keseharian, apa yang terjadi? Orang muslim yang melaksanakan
shalat dipaksa untuk berdiam, konsentrasi ketika melaksanakan shalat. Padahal pesan
esensialnya adalah, agar pikiran yang liar diperlihara dan digembalakan agar tidak liar.

25 of 44
Sebab pikiran yang liar pasti menggagalkan pesan khusyu’ tersebut. Khusyu’ itu adalah
buah dari shalat. Sedangkan shalat hakikatnya adalah eksperimen manunggal dengan
Gusti. Manunggal itu adalah al-Islam, penyerahan diri . Sehingga doktrin manunggal
bukanlah masalah paham qadariyah atau jabariyah, fana’ atau ittihad.

Namun itu adalah inti kehidupan. Khusyu’ bukanlah latihan konsentrasi, bukan pula
meditasi. Konsentrasi dan meditasi hanya salah satu alat latihan menggembalaan pikiran.
Wajar jika Syekh Siti Jenar menyebut ajaran para wali sebagai ajaran yang telah
dipalsukan dan menyebut shalat yang diajarkan para Wali adalah model shalatnya para
pencuri.

Puasa Zakat dan Haji

TIGA PULUH SEMBILAN


“Syahadat, shalat dan puasa itu, sesuatu yang tidak diinginkan, jadi tidak perlu. Adapun
zakat dan naik haji ke Mekah, itu semua omong kosong (palson kabeh). Itu seluruhnya
kedurjanaan budi, penipuan terhadap sesama manusia. Orang-orang dungu yg menuruti
aulia, karena diberi harapan surga di kelak kemudian hari, itu sesungguhnya keduanya
orang yang tidak tahu. Lain halnya dengan saya, Siti Jenar. Tiada pernah saya menuruti
perintah budi, bersujud-sujud di mesjid mengenakan jubah, pahalanya besok saja, bila
dahi sudah menjadi tebal, kepala berbelulang. Sesungguhnya hal ini tidak masuk akal! Di
dunia ini semua manusia adalah sama. Mereka semua mengalami suka-duka, menderita
sakit dan duka nestapa, tiada beda satu dengan yang lain. Oleh karena itu saya, Siti Jenar,
hanya setia pada satu hal saja, yaitu Gusti Zat Maulana.” .

Syekh Siti jenar menyebutkan bahwa syariat yang diajarkan para wali adalah “omong
kosong belaka”, atau “wes palson kabeh”(sudah tidak ada yang asli). Tentu istilah ini
sangat amat berbeda dengan anggapan orang selama ini, yang menyatakan bahwa Syekh
Siti Jenar menolak syari’at Islam. Yang ditolak adalah reduksi atas syari’at tersebut.
Syekh Siti Jenar menggunakan istilah “iku wes palson kabeh”, yg artinya “itu sudah
dipalsukan atau dibuat palsu semua.” Tentu ini berbeda pengertiannya dengan kata “iku
palsu kabeh” atau “itu palsu semua.”

Jadi yang dikehendaki Syekh Siti Jenar adalah penekanan bahwa syari’at Islam pada
masa Walisanga telah mengalami perubahan dan pergeseran makna dalam pengertian
syari’at itu. Semuanya hanya menjadi formalitas belaka. Sehingga manfaat melaksanakan
syariat menjadi hilang. Bahkan menjadi mudharat karena pertentangan yang muncul dari
aplikasi formal syariat tsb.

Bagi Syekh Siti Jenar, syariat bukan hanya pengakuan dan pelaksanaan, namun berupa
penyaksian atau kesaksian. Ini berarti dalam pelaksanaan syariat harus ada unsur
pengalaman spiritual. Nah, bila suatu ibadah telah menjadi palsu, tidak dapat dipegangi
dan hanya untuk membohongi orang lain, maka semuanya merupakan keburukan di
bumi. Apalagi sudah tidak menjadi sarana bagi kesejahteraan hidup manusia. Ditambah
lagi, justru syariat hanya menjadi alat legitimasi kekuasaan (seperti sekarang ini
juga).Yang mengajarkan syari’at juga tidak lagi memahami makna dan manfaat syari’at

26 of 44
itu, dan tidak memiliki kemampuan mengajarkan aplikasi syari’at yg hidup dan berdaya
guna. Sehingga syari’at menjadi hampa makna dan menambah gersangnya kehidupan
rohani manusia.

Nah, yg dikritik Syekh Siti Jenar adalah shalat yg sudah kehilangan makna dan tujuannya
itu. Shalat haruslah merupakan praktek nyata bagi kehidupan. Yakni shalat sebagai
bentuk ibadah yg sesuai dgn bentuk profesi kehidupannya. Orang yg melakukan
profesinya secara benar, karena Allah, maka hakikatnya ia telah melaksanakan shalat
sejati, shalat yg sebenarnya. Orientasi kepada yang Maha Benar dan selalu berupaya
mewujudkan Manunggaling Kawula Gusti, termasuk dalam karya, karsa-cipta itulah
shalat yg sesungguhnya. Itulah pula yang menjadi rangkaian antara iman, Islam, dan
Ihsan. Lalu bagaimana posisi shalat lima waktu? Shalat lima waktu dalam hal ini menjadi
tata krama syari’at atau shalat nominal.

Makna Ihsan

EMPAT PULUH
“Itulah yang dianggap Syekh Siti Jenar Hyang Widi. Ia berbuat baik dan menyembah atas
kehendak-NYA. Tekad lahiriahnya dihapus. Tingkah lakunya mirip dengan pendapat yg
ia lahirkan. Ia berketetapan hati untuk berkiblat dan setia, teguh dalam pendiriannya,
kukuh menyucikan diri dari segala yg kotor, untuk sampai menemui ajalnya tidak
menyembah kepada budi dan cipta. Syekh Siti Jenar berpendapat dan menggangap
dirinya bersifat Muhammad, yaitu sifat rasul yg sejati, sifat Muhammad yg kudus.”

EMPAT PULUH SATU


“Gusti Zat Maulana. Dialah yg luhur dan sangat sakti, yg berkuasa maha besar, lagipula
memiliki dua puluh sifat, kuasa atas kehendak-NYA. Dialah yg maha kuasa, pangkal
mula segala ilmu, maha mulia, maha indah, maha sempurna, maha kuasa, rupa warna-
NYA tanpa cacat seperti hamba-NYA. Di dalam raga manusia Ia tiada nampak. Ia sangat
sakti menguasai segala yg terjadi dan menjelajahi seluruh alam semesta, Ngidraloka”.

Dua kutipan di atas adalah aplikasi dari teologi Ihsan menurut Syekh Siti Jenar, bahwa
sifatullah merupakan sifatun-nafs. Ihsan sebagaimana ditegaskan oleh Nabi dalam salah
satu hadistnya (Sahih Bukhari, I;6), beribadah karena Allah dgn kondisi si ‘Abid dalam
keadaan menyaksikan (melihat langsung) langsung adanya si Ma’bud. Hanya sikap inilah
yg akan mampu membentuk kepribadian yg kokoh-kuat, istiqamah, sabar dan tidak
mudah menyerah dalam menyerukan kebenaran.

Sebab Syekh Siti Jenar merasa, hanya Sang Wujud yg mendapatkan haq untuk dilayani,
bukan selain-NYA. Sehingga, dgn kata lain, Ihsan dalam aplikasinya atas pernyataan
Rasulullah adalah membumikan sifatullah dan sifatu-Muhammad menjadi sifat pribadi.

Dengan memiliki sifat Muhammad itulah, ia akan mampu berdiri kokoh menyerukan
ajarannya dan memaklumkan pengalamannya dalam “menyaksikan langsung” ada-NYA
Allah. “Persaksian langsung” itulah terjadi dalam proses manunggal.

27 of 44
EMPAT PULUH DUA
“Bonang, kamu mengundang saya datang di Demak. Saya malas untuk Datang, sebab
saya merasa tidak di bawah atau diperintah oleh siapapun, kecuali oleh hati saya. Perintah
hati itu yang saya turutinya, selain itu tidak ada yang saya patuhi perintahnya. Bukankah
kita sesama mayat? Mengapa seseorang memerintah orang lain? Manusia itu sama satu
dengan yang lain, sama-sama tidak mengetahui siapa Hyang Sukma itu. Yang disembah
itu hanya nama-Nya saja. Meskipun demikian ia bersikap sombong, dan merasa berkuasa
memerintah sesama bangkai.” .

Ihsan berasal dari kondisi hati yg bersih. Dan hati yg bersih adalah pangkal serta cermin
seluruh eksistensi manusia di bumi. Keihsanan melahirkan ketegasan sikap dan
menentang ketundukan membabi-buta kepada makhluk. Ukuran ketundukan hati adalah
Allah atau Sang Pribadi. Oleh karena itu, sesama manusia dan makhluk saling memiliki
kemerdekaan dan kebebasan diri. Dan kebebasan serta kemerdekaan itu sifatnya pasti
membawa kepada kemajuan dan peradaban manusia, serta tatanan masyarakat yg baik,
sebab diletakkan atas landasan Ke-Ilahian manusia. Penjajahan atas eksistensi manusia
lain hakikatnya adalah bentuk dari ketidaktahuan manusia akan Hyang Widhi…Allah
(seperti Rosul sering sekali mengatakan bahwa “Sesungguhnya mereka tidak mengerti”).

Karena buta terhadap Allah Yang Maha Hadir bagi manusia itulah, maka manusia sering
membabi-buta merampas kemanusiaan orang lain. Dan hal ini sangat ditentang oleh
Syekh Siti Jenar. Termasuk upaya sakralisasi kekuasaan Kerajaan Demak dan Sultannya,
bagi Syekh Siti Jenar harus ditentang, sebab akan menjadi akibat tergerusnya ke-Ilahian
ke dalam kedzaliman manusia yang mengatasnamakan hamba Allah yg shalih dan
mengatasnamakan demi penegakan syari’at Islam.

EMPAT PULUH TIGA


“Hyang Widi, wujud yg tak nampak oleh mata, mirip dengan ia sendiri, sifat-sifatnya
mempunyai wujud, seperti penampakan raga yg tiada tampak. Warnanya melambangkan
keselamatan, tetapi tanpa cahaya atau teja, halus, lurus terus-menerus, menggambarkan
kenyataan tiada berdusta, ibaratnya kekal tiada bermula, sifat dahulu yg meniadakan
permulaan, karena asal dari diri pribadi.”

Pribadi adalah pancaran roh, sebagai tajalli atau pengejawantahan Tuhan. Dan itu hanya
terwujud dengan proses wujudiyah, Manuggaling Kawula-Gusti, sebagai puncak dan
substansi tauhid. Maka manusia merupakan wujud dari sifat dan dzat Hyang Widi itu
sendiri. Dengan manusia yg manunggal itulah maka akan menjadikan keselamatan yg
nyata bukan keselamatan dan ketentraman atau kesejahteraan yg dibuat oleh rekayasa
manusia, berdasarkan ukurannya sendiri. Namun keselamatan itu adalah efek bagi
terejawantah-NYA Allah melalui kehadiran manusia.

Sehingga proses terjadinya keselamatan dan kesejahteraan manusia berlangsung secara


natural (sunnatullah), bukan karena hasil sublimasi manusia, baik melalui kebijakan
ekonomi, politik, rekayasa sosial dan semacamnya sebagaimana selama ini terjadi.

28 of 44
Maka dapat diketahui bahwa teologi Manuggaling Kawula Gusti adalah teologi bumi yg
lahir dengan sendirinya sebagai sunnatullah. Sehingga ketika manusia
mengaplikasikannya, akan menghasilkan manfaat yg natural juga dan tentu pelecehan
serta perbudakan kemanusiaan tidak akan terjadi, sifat merasa ingin menguasai, sifat
ingin mencari kekuasaan, memperebutkan sesama manusia tidak akan terjadi. Dan tentu
saja pertentangan antar manusia sebagai akibat perbedaan paham keagamaan, perbedaan
agama dan sejenisnya juga pasti tidak akan terjadi.

EMPAT PULUH EMPAT


“Sabda sukma, adhep idhep Allah, kang anembah Allah, kang sinembah Allah, kang
murba amisesa.” .

Pernyataan Syekh Siti Jenar di atas sengaja penulis nukilkan dalam bahasa aslinya,
dikarenakan multi-interpretasi yang dapat muncul dari mutiara ucapan tersebut. Secara
garis besar maknanya adalah, “Pernyataan roh, yang bertemu-hadapan dengan Allah,
yang menyembah Allah, yang disembah Allah, yang meliputi segala sesuatu.”

Inilah adalah salah satu sumber pengetahuan ajaran Syekh Siti Jenar yang maksudnya
adalah sukma (roh di kedalaman jiwa) sebagai pusat kalam (pembicaraan dan ajaran). Hal
itu diakibatkan karena di kedalaman roh batin manusia tersedia cermin yang disebut
mir’ah al-haya’ (cermin yang memalukan). Bagi orang yang sudah bisa mengendalikan
hawa nafsunya serta mencapai fana’ cermin tersebut akan muncul, yang menampakkan
kediriannya dengan segala perbuatan tercelanya. Jika ini telah terbuka maka tirai-tirai
rohani juga akan tersingkap, sehingga kesejatian dirinya beradu-satu (adhep-idhep), “aku
ini kau, tapi kau aku”. Maka jadilah dia yang menyembah sekaligus yang disembah,
sehingga dirinya sebagai kawula-Gusti memiliki wewenang murba amisesa, memberi
keputusan apapun tentang dirinya, menyatu iradah dan kodrat kawula-Gusti.

EMPAT PULUH LIMA


“Hidup itu bersifat baru dan dilengkapi dengan pancaindera. Pancaindera ini merupakan
barang pinjaman yang jika sudah diminta oleh yang empunya, akan menjadi tanah dan
membusuk, hancurlebur bersifat najis. Oleh karena itu pancaindera tidak dapat dipakai
sebagai pedoman hidup. Demikian pula budi, pikiran, angan-angan dan kesadaran,
berasal dari pancaindera, tidak dapat dipakai sebagai pegangan hidup. Akal dapat
menjadi gila, sedih, bingung, lupa tidur, dan seringkali tidak jujur. Akal itu pula yang
siang malam mengajak dengki, bahkan merusak kebahagiaan orang lain. Dengki dapat
pula menuju perbuatan jahat, menimbulkan kesombongan, untuk akhirnya jatuh dalam
lembah kenistaan, sehingga menodai nama dan citranya. Kalau sudah sampai sedemikian
jauhnya, baru orang menyesalkan perbuatannya.” .

Menurut Syekh Siti Jenar, baik pancaindera maupun perangkat akal tidak dapat dijadikan
pegangan dan pedoman hidup. Sebab semua itu bersifat baru, bukan azali. Satu-satunya
yang bisa dijadikan gondhelan dan gandhulan hanyalah Zat Wajibul Maulana, Zat Yang
Maha Melindungi. Pancaindera adalah pintu nafsu, dan akal adalah pintu bagi ego.
Semuanya harus ditundukkan di bawah Zat Yang Wajib Memimpin.

29 of 44
Karena itu Dialah yang menunjukkan semua budi baik. Jadi pencaindera harus dibimbing
oleh budi dan budi dipimpin oleh Sang Penguasa Budi atau Yang Maha Budi.

Sedangkan Yang Maha Budi itu tidak terikat dalam jeratan dan jebakan nama tertentu.
Sebab nama bukanlah hakikat. Nama itu bisa Allah, Hyang Widhi, Hyang Manon, Sang
Wajibul Maulana, dan sebagainya. Semua itu produk akal sehingga nama tidak perlu
disembah. Jebakan nama dalam syari’at justru malah merendahkan Nama-Nya.

EMPAT PULUH LIMA


“Apakah tidak tahu bahwa penampilan bentuk daging, urat, tulang, sungsum, bisa rusak
dan bagaimana cara Anda memperbaikinya? Biarpun bersembahyang seribu kali setiap
harinya akhirnya mati juga. Meskipun badan Anda, Anda tutupi akhirnya menjadi debu
juga. Tetapi jika penampilan bentuknya seperti Tuhan, Apakah para Wali dapat
membawa pulang dagingnya, saya rasa tidak dapat. Alam semesta ini baru. Tuhan tidak
akan membentuk dunia ini dua kali dan juga tidak akan membuat tatanan baru, dalilnya
layabtakiru hilamuhdil yang artinya tidak membuat sesuatu wujud lagi tentang terjadinya
alam semesta sesudah dia membuat dunia.” .

Dari pernyataan Syekh Siti Jenar tersebut, nampak bahwa Syekh Siti Jenar memandang
alam semesta sebagai makrokosmos sama dengan mikrokosmos (manusia). Sekurangnya
kedua hal itu merupakan barang baru ciptaan Tuhan yang sama-sama akan mengalami
kerusakan, tidak kekal dan tidak abadi.

Pada sisi yang lain, pernyataan Syekh Siti Jenar tersebut juga memiliki muatan makna
pernyataan sufistik, “Barangsiapa mengnal dirinya, maka ia pasti mengenal Tuhannya.”
Sebab bagi Syekh Siti Jenar, manusia yang utuh dalam jiwa raganya merupakan wadag
bagi penyanda, termasuk wahana penyanda alam semesta. Itulah sebabnya pengelolaan
alam semesta menjadi tanggungjawab manusia. Maka, mikrokosmos manusia tidak lain
adalah blueprint dan gambaran adanya jagat besar termasuk semesta.

Bagi Syekh Siti Jenar, manusia terdiri dari jiwa dan raga yang intinya ialah jiwa sebagai
penjelmaan dzat Tuhan (sang Pribadi). Sedangkan raga adalah bentuk luar dari jiwa yang
dilengkapi pancaindera, berbagai organ tubuh seperti daging, otot, darah dan tulang.
Semua aspek keragaan atau ketubuhan adalah barang pinjaman yang suatu saat setelah
manusia terlepas dari pengalaman kematian di dunia ini, akan kembali berubah menjadi
tanah. Sedangkan rohnya yang menjadi tajalli Ilahi, manunggal ke dalam keabadian
dengan Allah.

Manusia tidak lain adalah ke-Esa-an dalam af’al Allah. Tentu ke-Esa-an bukan sekedar
af’al, sebab af’al digerakkan oleh dzat. Sehingga af’al yang menyatu menunjukkan
adanya ke-Esa-an dzat, ke mana af’al itu dipancarkan.

EMPAT PULUH LIMA


“Segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini pada hakikatnya adalah af’al (perbuatan)
Allah. Berbagai hal yang dinilai baik maupun buruk pada hakikatnya adalah dari Allah
juga. Jadi keliru dan sesat pandangan yang mengatakan bahwa yang baik dari Allah dan

30 of 44
yang buruk selain Allah.” “…Af’al Allah harus dipahami dari dalam dan luar diri. Saat
manusia menggoreskan pena misalnya, di situlah terjadi perpaduan dua kemampuan
kodrati yang dipancarkan oleh Allah kepada makhluk-Nya, yakni kemampuan kodrati
gerak pena. Di situlah berlaku dalil Wa Allahu khalaqakum wa ma ta’malun (QS. Ash-
Shaffat:96), yang maknanya Allah yang menciptakan engkau dan segala apa yang engkau
perbuat. Di sini terkandung makna mubasyarah. Perbuatan yang terlahir dari itu disebut
al-tawallud. Misalnya saya melempar batu. Batu yang terlempar dari tangan saya itu
adalah berdasar kemampuan kodrati gerak tangan saya. Di situ berlaku dalil Wa ma
ramaitaidz ramaita walakinna Allaha rama (QS. Al-Anfal:17), maksudnya bukanlah
engkau yang melempar, melainkan Allah jua yang melempar ketika engkau melempar.
Namun pada hakikatnya antara mubasyarah dan al-tawallud hakikatnya satu, yakni af’al
Allah sehingga berlaku dalil la haula wa la quwwata illa bi Allahi al-‘aliyi al-adzimi.
Rasulullah bersabda la tataharraku dzarratun illa bi idzni Allahi, yang maksudnya tidak
bergerak satu dzarah pun melainkan atas izin Allah.” .

EMPAT PULUH DELAPAN


Menurut Syekh Siti Jenar, bahwa al-Fatihah adalah termasuk salah satu kunci sahnya
orang yang menjalani laku manunggal (ngibadah). Maka seseorang wajib mengetahui
makna mistik surat al-Fatihah. Sebab menurut Syekh Siti Jenar, lafal al-Fatihah disebut
lafal yang paling tua dari seluruh sabda-Sukma. Inilah tafsir mistik al-Fatihah Syekh Siti
Jenar. .

Bis………………………… kedudukannya…………. ubun-ubun.


Millah………………………kedudukannya….. ………rasa.
Al-Rahman-al-Rahim…….kedudukannya……………penglihatan (lahir batin).
Al-hamdu…………………kedudukannya………… …hidupmu (manusia).
Lillahi………………………kedudukannya…. ……….cahaya.
Rabbil-‘alamin…………….kedudukannya…………..n yawa dan napas.
Al-Rahman al-Rahim…….kedudukannya……………leher dan jakun.
Maliki……………………..kedudukannya…… ………dada.
Yaumiddin………………..kedudukannya……… ……jantung (hati).
Iyyaka……………………kedudukannya…….. …….hidung.
Na’budu…………………..kedudukannya…….. …….perut.
Waiyyaka nasta’in………kedudukannya…………….dua bahu.
Ihdinash………………….kedudukannya…….. ……..sentil (pita suara).
Shiratal…………………..kedudukannya……. ………lidah.
Mustaqim…………………kedudukannya……… ……tulang punggung (ula-ula).
Shiratalladzina…………..kedudukannya……… …….dua ketiak.
An’amta…………………..kedudukannya…….. ……..budi manusia.
‘alaihim……………………kedudukannya…… ………tiangnya (pancering) hati.
Ghairil…………………….kedudukannya…… ……….bungkusnya nurani.
Maghdlubi………………..kedudukannya……… …….rempela/empedu.
‘alaihim……………………kedudukannya…… ……….dua betis.
Waladhdhallin……………kedudukannya………. ……mulut dan perut (panedha).
Amin………………………kedudukannya……. ………penerima.

31 of 44
Tafsir mistik Syekh Siti Jenar tetap mengacu kepada Manunggaling Kawula-Gusti,
sehingga baik badan wadag manusia sampai kedalaman rohaninya dilambangkan sebagai
tempat masing-masing dari lafal surat al-Fatihah. Tentu saja pemahaman itu disertai
dengan penghayatan fungsi tubuh seharusnya masing-masing, dikaitkan dengan makna
surahi dalam masing-masing lafadz, maka akan ditemukan kebenaran tafsir tersebut,
apalagi kalau sudah disertai dengan pengalaman rohani/spiritual yang sering dialami.

Konteks pemahaman yang diajukan Syekh Siti Jenar adalah, bahwa al-Qur’an merupakan
“kalam” yang berarti pembicaraan. Jadi sifatnya adalah hidup dan aktif. Maka taksir
mistik Syekh Siti Jenar bukan semata harfiyah, namun di samping tafsir kalimat, Syekh
Siti Jenar menghadirkan tafsir mistik yang bercorak menggali makna di balik simbol
yang ada (dalam hal ini huruf, kalimat dan makna historis).

EMPAT PULUH SEMBILAN


“Di di dunia ini kita merupakan mayat-mayat yang cepat juga akan menjadi busuk dan
bercampur tanah…Ketahuilah juga, apa yang dinamakan kawula-Gusti tidak berkaitan
dengan seorang manusia biasa seperti yang lain-lain. Kawula dan Gusti itu sudah ada
dalam diriku, siang malam tidak dapat memisahkan diriku dari mereka. Tetapi hanya
untuk saat ini nama kawula-Gusti itu berlaku, yakni selama saya mati. Nanti, kalau saya
sudah hidup lagi, gusti dan kawula lenyap, yang tinggal hanya hidupku sendiri,
ketentraman langgeng dalam Ada sendiri. Bila kau belum menyadari kebenaran kata-
kataku maka dengan tepat dapat dikatakan, bahwa kau masih terbenam dalam masa
kematian. Di sini memang terdapat banyak hiburan aneka warna. Lebih banyak lagi hal-
hal yang menimbulkan hawa nafsu. Tetapi kau tidak melihat, bahwa itu hanya akibat
pancaindera. Itu hanya impian yang sama sekali tidak mengandung kebenaran dan
sebentar lagi akan cepat lenyap. Gilalah orang yang terikat padanya. Saya tidak merasa
tertarik, tak sudi tersesat dalam kerajaan kematian. Satu-satunya yang kuusahakan, ialah
kembali kepada kehidupan.” .

Syekh Siti Jenar menyatakan secara tegas bahwa dirinya sebagai Tuhan, ia memiliki
hidup dan Ada dalam dirinya sendiri, serta menjadi Pangeran bagi seluruh isi dunia.
Sehingga didapatkan konsistensi antara keyakinan hati, pengalaman keagamaan, dan
sikap perilaku dzahirnya. Juga ditekankan satu satu hal yang selalu tampil dalam setiap
ajaran Syekh Siti Jenar. Yakni pendapat bahwa manusia selama masih berada di dunia
ini, sebetulnya mati, baru sesudah ia dibebaskan dari dunia ini, akan dialami kehidupan
sejati. Kehidupan ini sebenarnya kematian ketika manusia dilahirkan. Badan hanya
sesosok mayat karena ditakdirkan untuk sirna. (bandingkan dengan Zotmulder; 364).
Dunia ini adalah alam kubur, di mana roh suci terjerat badan wadag yang dipenuhi oleh
berbagai goda-nikmat yang menguburkan kebenaran sejati, dan berusaha mengubur
kesadaran Ingsun Sejati.

LIMA PULUH
“Syekh Siti Jenar berpendapat dan mengganggap dirinya bersifat Muhammad, yaitu sifat
Rasul yang sejati, sifat Muhammad yang kudus. Ia berpendapat juga, bahwa hidup itu
bersifat baru dan dilengkapi dengan pancaindera. Pancaindera ini merupakan barang
pinjaman, yang jika sudah diminta oleh empunya akan menjadi tanah dan membusuk,

32 of 44
hancur-lebur bersifat najis. Oleh karena itu pancaindera tidak dapat dipakai sebagai
pedoman hidup.”

“Demikian pula budi, pikiran, angan-angan dan kesadaran, berasal dari pancaindera, tidak
dapat dipakai sebagai pegangan hidup. Akal dapat menjadi gila, sedih, bingung, lupa
tidur, dan sering kali tidak jujur. Akal itu pula yang siang malam mengajak dengki,
bahkan merusak kebahagiaan orang lain. Dengki dapat pula menuju perbuatan jahat,
menimbulkan kesombongan, untuk akhirnya jatuh dalam lembah kenistaan, sehingga
menodai nama dan citranya.” .

“Kalau kamu ingin berjumpa dengan dia, saya pastikan kamu tidak akan menemuinya,
sebab Kyai Ageng berbadan sukma, mengheningkan puja ghaib. Yang dipuja dan yang
memuja, yang dilihat dan melihat yang bersabda sedang bertutur, gerak dan diam bersatu
tunggal. Nah, buyung yang sedang berkunjung, lebih baik kembali saja.” .

Ini adalah pandangan Syekh Siti Jenar tentang psikologi dan pengetahuan. Menurut
Syekh Siti Jenar, sumber ilmu pengetahuan itu terdiri atas tiga macam; pancaindera, akal-
nalar, dan intuisi (wahyu). Hanya saja pancaindera dan nalar tidak bisa dijadikan
pedoman pasti. Hanya intuisi yang berasal dari orang yang sudah manunggallah yang
betul-betul diandalkan sebagai pengetahuan.

Oleh karenanya, konsistensi dengan pendapat tersebut, Syekh Siti Jenar menegaskan
bahwa baginya Muhammad bukan semata sosok utusan fisik, yang hanya memberikan
ajaran Islam secara gelondongan, dan setelah wafat tidak memiliki fungsi apa-apa,
kecuali hanya untuk diimani.

Justru Syekh Siti Jenar menjadikan Pribadi Rasulullah Muhammad sebagai roh yang
bersifat aktif. Dalam memahami konsep syafa’at, Syekh Siti Jenar berpandangan bahwa
syafa’at tidak bisa dinanti dan diharap kehadirannya kelak di kemudian hari. Justru
syafa’at Muhammad hanya terjadi bagi orang yang menjadikan dirinya Muhammad, me-
Muhammad-kan diri dengan keseluruhan sifat dan asmanya. Rahasia asma Allah dan
asma Rasulullah adalah bukan hanya untuk diimani, tetapi harus merasuk dalam Pribadi,
menyatu-tubuh dan rasa. Itulah perlunya Nur Muhammad, untuk menyatu cahaya dengan
Sang Cahaya. Dan itu semua bisa terjadi dalam proses Manunggaling Kawula-Gusti.

LIMA PULUH SATU


“Bukan kehendak, angan-angan, bukan ingatan, pikir atau niat, hawa nafsu pun bukan,
bukan juga kekosongan atau kehampaan. Penampilanku bagai mayat baru, andai menjadi
gusti jasadku dapat busuk bercampur debu, napasku terhembus ke segala penjuru dunia,
tanah, api, air, kembali sebagai asalnya, yaitu kembali menjadi baru. Syekh Siti Jenar
belum mau menuruti perintah sultan. Hal ini disebabkan karena bumi, langit, dan
sebagainya adalah kepunyaan seluruh manusia. Manusialah yang memberikan nama.
Buktinya sebelum saya lahir tidak ada.

Syekh Siti Jenar menghubungkan antara alam yang diciptakan Allah, dengan konteks
kebebasan dan kemerdekaan manusia. Kebebasan alam mencerminkan kebebasan

33 of 44
manusia. Segala sesuatu harus berlangsung dan mengalami hal yang natural (alami),
tanpa rekayasa, tanpa pemaksaan iradah dan qudrah. Maka ketidakmauannya memenuhi
penggilan sultan, dikarenakan dirinya hanyalah milik Dirinya Sendiri. Jadi seluruh
manusia masing-masing mamiliki hak mengelola alam. Alam bukan milik negara atau
raja, namun milik manusia bersama. Maka setiap orang harus memiliki dan diberi hak
kepemilikan atas alam. Ada yang harus dimiliki secara privat dan ada juga yang harus
dimiliki secara kolektif.

Dari wejangan Syekh Siti Jenar tersebut, juga diketahui bahwa hakikat seluruh alam
semesta adalah tajaliyat Tuhan (penampakan wajah Tuhan). Adapun mengenai alam yang
kemudian memiliki nama, bukanlah nama yang sesungguhnya, sebab segala sesuatu yang
ada di bumi ini, manusialah yang memberi nama, termasuk nama Tuhanpun, dalam
pandangan Syekh Siti Jenar, diberikan oleh manusia. Dan nama-nama itu seluruhnya
akan kembali kepada Sang Pemilik Nama yang sesungguhnya. . Maka memang nama itu
perlu, namun jangan sampai menjebak manusia hanya untuk memperdebatkan nama.

Tarekat dan Jalan Mistik Syekh Siti Jenar

LIMA PULUH DUA


“Adapun asalnya kehidupan itu, berdasar kitab Ma’rifat al’iman, seperti dijelaskan di
bawah ini, terbebani 16 macam titipan;
Yang dari Muhammad : roh, napas.
Yang dari Malaikat : budi, iman.
Yang dari Tuhan : pendengaran, penciuman, pengucapan, penglihatan.
Yang dari Ibu : kulit, daging, darah, bulu.
Yang dari Bapak : tulang, sungsum, otot, otak.

Inilah maksud dari lafal “kulusyaun halikun ilawajahi”, maksudnya semua itu akan rusak
kecuali dzat Allah yang tidak rusak. .

Kitab Ma’rifat al-Iman adalah karya dari Maulana Ibrahim al-Ghazi, al-Samarqandi, yang
menjadi salah satu sumber bacaan Syekh Siti Jenar.

Kalimat “kulusyaun halikun ilawajahi” lebih tepatnya berbunyi “kullu syai-in halikun illa
wajhahu” (Segala sesuatu itu pasti hancur musnah, kecuali wajah-Nya (penampakan
wajah Allah)) [QS : Al-Qashashash / 28:88]. Dari kalimat inilah Syekh Siti Jenar
mengungkapkan pendapatnya, bahwa badan wadag akan hancur mengikuti asalnya,
tanah. Sedangkan Ingsun Sejati (Jiwa) mengikuti “illa wajhahu”, (kecuali wajah-Nya). Ini
juga menjadi salah satu inti dan kunci dalam memahami teori kemanunggalan Syekh Siti
Jenar. Maka kata wajhahu di sini diberikan makna Dzatullah.

Bagi Syekh Siti Jenar, antara Nur Muhammad, Malaikat, dan Tuhan, bukanlah unsur
yang saling berdiri sendiri-sendiri sebagaimana umumnya dipahami manusia. Nur
Muhammad dan malaikat adalah termasuk dalam Ingsun Sejati. Ini berhubungan erat
dengan pernyataan Allah, bahwa segala sesuatu yang diberikan kepada manusia (seperti
pendengaran, penglihatan dan sebagainya) akan dimintakan pertanggungjawabannya

34 of 44
kepada Allah, maksudnya adalah apakah dengan alat titipan itu, manusia bisa manunggal
dengan Allah atau tidak. Sedangkan proses kejadian manusia yang melalui orangtua,
adalah sarana pembuatan jasad fisik, yang di alam kematian dunia, roh berada dalam
penjara badan wadag tersebut.

LIMA PULUH TIGA


“Kehilangan adalah kepedihan. Berbahagialah engkau, wahai musafir papa, yang tidak
memiliki apa-apa. Sebab, engkau yang tidak memiliki apa-apa maka tidak pernah
kehilangan apa-apa.” .

Hakikat Zuhud bukanlah meninggalkan atau mengasingkan diri dari dunia. Zuhud adalah
perasaan tidak memiliki apa-apa terhadap makhluk lain, sebab teologi kepemilikan itu
hakikatnya tunggal. Manusia baru memiliki segalanya ketika ia telah berhasil Manunggal
dengan Gustinya, sebab Gusti adalah Yang Maha Kuasa, otomatis Yang Maha Memiliki.
Sehingga dalam menjalani kehidupan di dunia ini, sikap yang realistis adalah perasaan
tidak memiliki, karena sebatas itu antara makhluk (manusia) dengan makhluk lain (apa
pun yang bisa ‘dimiliki’ manusia) tidak bisa saling memiliki dan dimiliki. Karena semua
itu merupakan aspek dari ketunggalan.

Orang yang masih selalu merasa ‘memiliki’ akan makhluk lain, pasti tidak akan berhasil
menjadi salik (penempuh jalan spiritual) yang akan sampai ke tujuan sejatinya, yakni
Allah Yang Maha Tunggal, karena memang ia belum mampu untuk manunggal. Nah,
zuhud dalam pandangan Syekh Siti Jenar adalah menjadi satu maqamat menuju
kemanunggalan dan menjadi salah satu poros keihsanan dan keikhlasan.

LIMA PULUH EMPAT


“Jika engkau kagum kepada seseorang yang engkau anggap Wali Allah, janganlah
engkau terpancang pada kekaguman akan sosok dan perilaku yang diperbuatnya. Sebab
saat seseorang berada pada tahap kewalian maka keberadaan dirinya sebagai manusia
telah lenyap, tenggelam ke dalam al-Waly. Kewalian bersifat terus-menerus, hanya saja
saat Sang Wali tenggelam dalam al-Waly. Berlangsungnya Cuma beberapa saat. Dan saat
tenggelam ke dalam al-Waly itulah sang wali benar-benar menjadi pengejawantahan al-
Waly. Lantaran itu, sang wali memiliki kekeramatan yang tidak bisa diukur dengan akal
pikiran manusia, di mana karamah itu sendiri pada hakikatnya adalah pengejawantahan
dari kekuasaan al-Waly. Dan lantaran itu pula yang dinamakan karamah adalah sesuatu di
luar kehendak sang wali pribadi. Semua itu semata-mata kehendak-Nya mutlak.

Kekasih Allah itu ibarat cahaya. Jika ia berada di kejauhan, kelihatan sekali terangnya.
Namun jika cahaya itu di dekatkan ke mata, mata kita akan silau dan tidak bisa
melihatnya dengan jelas. Semakin dekat cahaya itu ke mata maka kita akan semakin buta
tidak bisa melihatnya. Engkau bisa melihat cahaya kewalian pada diri seseorang yang
jauh darimu. Namun, engkau tidak bisa melihat cahaya kewalian yang memancar dari diri
orang-orang yang terdekat denganmu.” .

Doktrin kewalian Syekh Siti Jenar sangat berbeda dengan doktrin kewalian orang Islam
pada umumnya. Bagi Syekh Siti Jenar, yang menentukan seseorang itu wali atau bukan

35 of 44
hanyalah pemilik nama al-Waliy, yaitu Allah. Sehingga seorang wali tidak akan pernah
peduli dengan berbagai tetek-bengek pandangan manusia dan makhluk lain terhadapnya.
Demikian pula terhadap orang yang memandang kewalian seseorang.

Syekh Siti Jenar menasihatkan agar jangan terkagum-kagum dan menetukan kewalian
hanya karena perilaku serta kewajiban yang muncul darinya. Yang harus diingat adalah
bahwa para auliya’ Allah adalah pengejawantahan dari Allah al-Waliy. Sehingga apapun
yang lahir dari wali tersebut, bukanlah perilaku manusia dalam wadagnya, namun itu
adalah perbuatan Allah. Seorang wali dalam pandangan Syekh Siti Jenar tidak lain adalah
manusia yang manunggal dengan al-Waliy dan itu berlangsung terus-menerus. Hanya
saja perlu diingat, setiap tajalliyat-Nya adalah bagian dari si Wali tersebut, namun tidak
semua sisi dan perbuatan si wali adalah perbuatan atau af’al al-Waliy.

Oleh karena itu sampai di sini, kita harus menyikapi dengan kritis terhadap sebagian
naskah-naskah Jawa Tengahan yang menyatakan bahwa Syekh Siti Jenar pernah
mengungkapkan pernyataan, “di sini tidak ada Syekh Siti Jenar, yang ada hanya Allah,”
serta ungkapan sebaliknya “di sini tidak ada Allah, yang ada hanya Siti Jenar.” Kisah
yang berhubungan dengan pernyataan tersebut, hanya anekdot atau kisah konyol dan
bukan kisah yang sebenarnya. Dan itu merupakan bentuk penggambaran ajaran
anunggaling Kawula Gusti yang salah kaprah. Pernyataan pertama “di sini tidak ada
Syekh Siti Jenar, yang ada hanya Allah,” memang benar adanya. Namun pernyataan
kedua, “di sini tidak ada Allah, yang ada hanya Siti Jenar,” tidak bisa dianggap benar,
dan jelas keliru.

Teologi Manunggaling Kawula Gusti bukanlah teologi Fir’aun yang menganggap


kedirian-insaniyahnya menjadi Tuhan, sekaligus dengan keberadaan manusia sebagai
makhluk di dunia ini. Jadi kita harus ekstra hati-hati dalam memilah dan memilih naskah-
naskah tersebut., sebab banyak juga pernyataan yang disandarkan kepada Syekh Siti
Jenar, namun nyatanya itu bukan berasal dari Syekh Siti Jenar.

Ajaran Syekh Siti Jenar menurut Ki Lonthang Semarang

“Kalau menurut wejangan guru saya, orang sembahyang itu siang malam tiada putusnya
ia lakukan. Hai Bonang ketahuilah keluarnya napasku menjadi puji. Maksudnya napasku
menjadi shalat. Karena tutur penglihatan dan pendengaran disuruh melepaskan dari
angan-angan, jadi kalau kamu shalat masih mengiaskan kelanggengan dalam alam
kematian ini, maka sesungguhnyalah kamu ini orang kafir.”

“Jika kamu bijaksana mengatur tindakanmu, tanpa guna orang menyembah Rabbu’l
‘alamien, Tuhan sekalian alam, sebab di dunia ini tidak ada Hyang Agung. Karena orang
melekat pada bangkai, meskipun dicat dilapisi emas, akhirnya membusuk juga, hancur
lebur bercampur dengan tanah. Bagaimana saya dapat bersolek?”

“Menurut wejangan Syekh Siti Jenar, orang sembahyang tidak memperoleh apa-apa, baik
di sana, maupun di sini. Nyatanya kalau ia sakit, ia menjadi bingung. Jika tidur seperti
budak, disembarang tempat. Jika ia miskin, mohon agar menjadi kaya tidak dikabulkan.

36 of 44
Apalagi bila ia sakaratul maut, matanya membelalak tiada kerohan. Karena ia segan
meninggalkan dunia ini. Demikianlah wejangan guru saya yang bijaksana.”

“Umumnya santri dungu, hanya berdzikir dalam keadaan kosong dari kenyataan yang
sesungguhnya, membayangkan adanya rupa Zat u’llahu, kemudian ada rupa dan inilah
yang ia anggap Hyang Widi.”

“Apakah ini bukan barang sesat? Buktinya kalau ia memohon untuk menjadi orang kaya
tidak diluluskan. Sekalipun demikian saya disuruh meluhurkan Dzat’llahu yang rupanya
ia lihat waktu ia berdzikir, mengikuti syara’ sebagai syari’at, jika Jum’at ke mesjid
berlenggang mengangguk-angguk, memuji Pangeran yang sunyi senyap, bukan yang di
sana, bukan yang di sini.”
“Saya disuruh makbudullah, meluhurkan Tuhan itu, serta akan ditipu diangkat menjadi
Wali, berkeliling menjual tutur, sambil mencari nasi gurih dengan lauknya ayam betina
berbulu putih yang dimasak bumbu rujak pada selamatan meluhurkan Rasulullah. Ia
makan sangat lahap, meskipun lagaknya seperti orang yang tidak suka makan. Hal itulah
gambaran raja penipu!”
“Bonang, jangan berbuat yang demikian. Ketahuilah dunia ini alam kematian, sedang
akhirat alam kehidupan yang langgeng tiada mengenal waktu. Barang siapa senang pada
alam kematian ini, ia terjerat goda, terlekat pada surga dan neraka, menemui panas, sedih,
haus, dan lapar”. .

“Tiada usah merasa enggan menerima petuahku yang tiga buah jumlahnya. Pertama
janganlah hendaknya kamu menjalankan penipuan yang keterlaluan, agar supaya kamu
tidak ditertawakan orang di kelak kemudian hari. Yang kedua, jangan kamu merusak
barang-barang peninggalan purba, misalnya : lontar naskah sastra yang indah-indah,
tulisan dan gambar-gambar pada batu candhi. Demikian pula kayu dan batu yang
merupakan peninggalan kebudayaan zaman dulu, jangan kamu hancur-leburkan.
Ketahuilah bagi suku Jawa sifat-sifat Hindu-Budha tidak dapat dihapus. Yang ketiga, jika
kamu setuju, mesjid ini sebaiknya kamu buang saja musnahkan dengan api. Saya berbelas
kasihan kepada keturunanmu, sebab tidak urung mereka menuruti kamu, mabuk do’a,
tersesat mabuk-tobat, berangan-angan lam yakunil.”

“…orang menyembah nama yang tiada wujudnya, harus dicegah. Maka dari itu jangan
kamu terus-teruskan, sebab itu palsu.” .

Khotbah Perpisahan Sunan Panggung

“Banyak orang yang gemar dengan ksejatian, tapi karena belum pernah berguru maka
semua itu dipahami dalam konteks dualitas. Yang satu dianggap wjud lain.
Sesungguhnya orang yng melihat sepeti ini akan kecewa. Apalagi yang ditemui akan
menjadi hilang. Walaupun dia berkeliling mencari, ia tidak akan menemukan yang dicari.
Padahal yang dicari, sesungguhnya telah ditimang dan dipegang, bahkan sampai
keberatan membawanya. Dan karena belum tahu kesejatiannya, ciptanya tanpa guru
menyepelekan tulisan dan kesejatian Tuhan.”

37 of 44
“Walaupun dituturkan sampai capai, ditunjukkan jalannya, sesungguhnya dia tidak
memahaminya karena ia hanya sibuk menghitung dosa besar dan kecil yg diketahuinya.
Tentang hal kufur kafir yang ditolaknya itu, bukti bahwa ia adalah orang yang masih
mentah pengetahuannya. Walaupun tidak pernah lupa sembahyang, puasanya dapat
dibangga-banggakan tanpa sela, tapi ia terjebak menaati yang sudah ditentukan Tuhan.

Sembah puji dan puasa yang ditekuni, membuat orang justru lupa akan sangkan paran
(asal dan tujuan). Karena itu, ia lebih konsentrasi melihat dosa besar-kecil yang
dikhawatirkan, dan ajaran kufur kafir yang dijauhi justru membuat bingung sikapnya.
Tidak ada dulu dinulu. Tidak merasa, tidak menyentuh. Tidak saling mendekati, sehingga
buta orang itu. Takdir dianggap tidak akan terjadi, salah-salah menganggap ada dualisme
antara Maha Pencipta dan Maha Memelihara.
Jika aku punya pemikiran yang demikian, lebih baik aku mati saja ketika masih bayi.
Tidak terhitung tidak berfikir, banyak orang yang merasa menggeluti tata lafal, mengkaji
sembahyang dan berletih-letih berpuasa. Semua itu dianggap akan mampu mengantarkan.
Padahal salah-salah menjadikan celaka dan bahkan banyak yang menjadi berhala.”

“Pemikiran saya sejak kecil, Islam tidak dengan sembahyang, Islam tidak dengan
pakaian, Islam tidak dengan waktu, Islam tidak dengan baju dan Islam tidak dengan
bertapa. Dalam pemikiran saya, yang dimaksud Islam tidak karena menolak atau
menerima yang halal atau haram.
Adapun yang dimaksud orang Islam itu, mulia wisesa jati, kemuliaan selamat sempurna
sampai tempat tinggalnya besok. Seperti bulu selembar atau tepung segelintir, hangus tak
tersisa. Kehidupan di dunia seperti itu keberadaannya.”

“Manusia, sebelum tahu makna Alif, akan menjadi berantakan….Alif menjadi panutan
sebab uintuk semua huruf, alif adalah yang pertama. Alif itu badan idlafi sebagai
anugerah. Dua-duanya bukan Allah. Alif merupakan takdir, sedangkan yang tidak bersatu
namanya alif-lapat. Sebelum itu jagat ciptaan-Nya sudah ada. Lalu alif menjadi gantinya,
yang memiliki wujud tunggal. Ya, tunggal rasa, tunggal wujud. Ketunggalan ini harus
dijaga betul sebab tidak ada yang mengaku tingkahnya. ALif wujud adalah Yang Agung.
Ia menjadi wujud mutlak yang merupakan kesejatian rasa. Jenisnya ada lima, yaitu alif
mata, wajah, niat jati, iman, syari’at.”

“Allah itu penjabarannya adalah dzat Yang Maha Mulia dan Maha Suci. Allah itu
sebenarnya tidak ada lain, karena kamu itu Allah. Dan Allah semua yang ada ini, lahir
batin kamu ini semua tulisan merupakan ganti dari alif, Allah itulah adanya.”

“Alif penjabarannya adalah permulaan pada penglihatan, melihat yang benar-benar


melihat. Adapun melihat Dzat itu, merupakan cermin ketunggalan sejati menurun kepada
kesejatianmu. Cahaya yang keluar, kepada otak keberadaan kita di dunia ini merupakan
cahaya yang terang benderang, itu memiliki seratus dua puluh tujuh kejadian. Menjadi
penglihatan dan pendengaran, napas yang tunggal, napas kehidupan yang dinamakan
Panji. Panji bayangan dzat yang mewujud pada kebanyakkan imam. Semua menyebut
dzikir sejati, laa ilaaha illallah.” .

38 of 44
Kematian di Mata Sunan Geseng

“Banyak orang yang salah menemui ajalnya. Mereka tersesat tidak menentu arahnya,
pancaindera masih tetap siap, segala kesenangan sudah ditahan, napas sudah tergulung
dan angan-angan sudah diikhlaskan, tetapi ketika lepas tirta nirmayanya belum mau.
Maka ia menemukan yang serba indah.”

“Dan ia dianggap manusia yang luar biasa. Padahal sesungguhnya ia adalah orang yang
tenggelam dalam angan-angan yang menyesatkan dan tidak nyata. Budi dan daya
hidupnya tidak mau mati, ia masih senang di dunia ini dengan segala sesuatu yang hidup,
masih senang ia akan rasa dan pikirannya. Baginya hidup di dunia ini nikmat, itulah
pendapat manusia yang masih terpikat akan keduniawian, pendapat gelandangan yang
pergi ke mana-mana tidak menentu dan tidak tahu bahwa besok ia akan hidup yang tiada
kenal mati. Sesungguhnyalah dunia ini neraka.”

“Maka pendapat Kyai Siti Jenar betul, saya setuju dan tuan benar-benar seorang mukmin
yang berpendapat tepat dan seyogyanya tuan jadi cermin, suri tauladan bagi orang-orang
lain. Tarkumasiwalahu (Arab asli : tarku ma siwa Allahu), di dunia ini hamba campur
dengan kholiqbta, hambanya di surga, khaliknya di neraka agung.”

Syari’at Palsu Para Wali Menurut Ki Cantula

“Menurut ajaran guruku Syekh Siti Jenar, di dunia ini alam kematian. Oleh karena itu,
dunia yang sunyi ini tidak ada Hyang Agung serta malaikat. Akan tetapi bila saya besok
sudah ada di alam kehidupan saya akan berjumpa dan kadang kala saya menjadi Allah.
Nah, di situ saya akan bersembahyang.”

“Jika sekarang saya disuruh sholat di mesjid saya tidak mau, meskipun saya bukan orang
kafir. Boleh jadi saya orang terlantar akan Pangeran Tuhan. Kalau santri gundul, tidak
tahunya yang ada di sini atau di sana. Ia berpengangan kandhilullah, mabuk akan Allah,
buta lagi tuli.”

“Lain halnya dengan saya, murid Syekh Siti Jenar. Saya tidak menghiraukan ujar para
Wali, yang mengkukuhkan Syari’at palsu, yang merugikan diri sendiri. Nah, Syekh
Dumba, pikirkanlah semua yang saya katakan ini. Dalam dadamu ada Al-Qur’an. Sesuai
atau tidak yang saya tuturkan itu, kanda pasti tahu.” .

Jawaban Ki Bisono Tentang Semesta, Tuhan dan Roh

Ki Bisana menyanggupi kemudian menjawab pertanyaan dari Sultan Demak:

“Pertanyaan pertama : Pertanyaan, bahwa Allah menciptakan alam semesta itu adalah
kebohongan belaka. Sebab alam semesta itu barang baru, sedang Allah tidak membuat
barang yang berwujud menurut dalil : layatikbiyu hilamuhdil, artinya tiada berkehendak
menciptakan barang yang berwujud. Adapun terjadinya alam semesta ini ibaratnya :
drikumahiyati : artinya menemukan keadaan. Alam semesta ini : la awali. Artinya tiada

39 of 44
berawal. Panjang sekali kiranya kalau hamba menguraikan bahwa alam semesta ini
merupakan barang baru, berdasarkan yang ditulis dalam Kuran.”

“Pertanyaan yang kedua : Paduka bertanya di mana rumah Hyang Widi. Hal itu bukan
merupakan hal yang sulit, sebab Allah sejiwa dengan semua zat. Zat wajibul wujud itulah
tempat tinggalnya, seumpamanya Zat tanahlah rumahnya. Hal ini panjang sekali kalau
hamba terangkan. Oleh karena itu hamba cukupkan sekian saja uraian hamba.”

“Selanjutnya pertanyaan ketiga : berkurangnya nyawa siang malam, sampai habis ke


manakah perginya nyawa itu. Nah, itu sangat mudah untuk menjawabnya. Sebab nyawa
tidak dapat berkurang, maka nyawa itu bagaikan jasad , berupa gundukan, dapat aus,
rusak dimakan anai-anai. Hal inipun akan panjang sekali untuk hamba uraikan. Meskipun
hamba orang sudra asal desa, akan tetapi tata bahasa kawi hamba mengetahui juga, baik
bahasa biasa maupun yang dapat dinyanyikan. Lagu tembang sansekerta pun hamba
dapat menyanyikan juga dengan menguraikan arti kalimatnya, sekaligus hamba bukan
seorang empu atau pujangga, melainkan seorang yang hanya tahu sedikit tentang ilmu.”

“Itu semua disebabkan karena hamba berguru kepada Syekh Siti Jenar, di Krendhasawa,
tekun mempelajari kesusasteraan dan menuruti perintah guru yang bijaksana. Semua
murid Syekh Siti Jenar menjadi orang yang cakap, berkat kemampuan mereka untuk
menerima ajaran guru mereka sepenuh hati.”

“Adapun pertanyaan yang keempat : paduka bertanya bagaimanakah rupa Yang Maha
Suci itu. Kitab Ulumuddin sudah memberitahukan : walahu lahir insan, wabatinul insani
baitu-baytullahu (Arab asli : wa Allahu dzahir al-insan, wabathin, al-insanu baytullahu),
artinya lahiriah manusia itulah rupa Hyang Widi. Batiniah manusia itulah rumah Hyang
Widi. Banyak sekali yang tertulis dalam Kitab Ulumuddin, sehingga apabila hamba
sampaikan kepada paduka, Kanjeng Pangeran Tembayat tentu bingung, karena paduka
tidak dapat menerima, bahkan mungkin paduka mengira bahwa hamba seorang majenun.
Demikianlah wejangan Syekh Siti Jenar yang telah hamba terima.”

“Guru hamba menguraikan asal-usul manusia dengan jelas, mudah diterima oleh para
siswa, sehingga mereka tidak menjadi bingung. Diwejang pula tentang ilmu yang utama,
yang menjelaskan tentang dan kegunaan budi dalam alam kematian di dunia ini sampai
alam kehidupan di Akhirat. Uraiannya jelas dapat dilihat dengan mata dan dibuktikan
dengan nyata.”

“Dalam memberikan pelajaran, guru hamba Syekh Siti Jenar, tiada memakai tirai
selubung, tiada pula memakai lambang-lambang. Semua penjelasan diberikan secara
terbuka, apa adanya dan tanpa mengharapkan apa-apa sedikitpun. Dengan demikian
musnah segala tipu muslihat, kepalsuan dan segala perbuatan yang dipergunakan untuk
melakukan kejahatan. Hal ini berbeda dengan apa yang dilakukan para guru lainnya.
Mereka mengajarkan ilmunya secara diam-diam dan berbisik-bisik, seolah-olah menjual
sesuatu yang gaib, disertai dengan harapan untuk memperoleh sesuatu yang
menguntungkan untuk dirinya.”

40 of 44
“Hamba sudah berulang kali berguru serta diwejang oleh para wali mu’min, diberitahu
akan adanya Muhammad sebagai Rosulullah serta Allah sebagai Pangeran hamba. Ajaran
yang dituntunkan menuntun serta membuat hamba menjadi bingung dan menurut
pendapat hamba ajaran mereka sukar dipahami, merawak-rambang tiada patokan yang
dapat dijadikan dasar atau pegangan. Ilmu Arab menjadi ilmu Budha, tetapi karena tidak
sesuai kemudian mereka mengambil dasar dan pegangan Kanjeng Nabi. Mereka
mematikan raga, merantau kemana-mana sambil menyiarkan agama. Padahal ilmu Arab
itu tiada kenal bertapa, kecuali berpuasa pada bulan Romadan, yang dilakukan dengan
mencegah makan, tiada berharap apapun.”

“Jadi jelas kalau para wali itu masih manganut agama Budha, buktinya mereka masih
sering ketempat-tempat sunyi, gua-gua, hutan-hutan, gunung-gunung atau tepi samudera
dengan mengheningkan cipta, sebagai laku demi terciptanya keinginan mereka agar dapat
bertemu dengan Hyang Sukma. Itulah buktinya bahwa mereka masih dikuasai setan ijajil.
Menurut cerita Arab Ambiya, tiada orang yang dapat mencegah sandang pangan serta
tiada untuk kuasa berjaga mencegah tidur kecuali orang Budha yang mensucikan dirinya
dengan jalan demikian. Nah, silahkan memikirkan apa yang hamba katakan, sebagai
jawaban atas empat pertanyaan paduka.”.

Wasiat dan Ajaran Syekh Amongraga

”Syekh Amongraga adalah salah seorang pewaris ajaran Syekh Siti Jenar pada masa
Sultan Agung Hanyokusumo (1645). Mengenai rincian kehidupan dan ajaran Syekh
Amongraga dapat dibaca di serat Centini”.

Syekh Amongraga mewasiatkan berbagai inti ajaran yang meliputi (Primbon Sabda
Sasmaya; hlm. 24):

1. Rahayu ing Budhi (selamat akhlak dan moral).

2. Mencegah dan berlebihnya makanan.

3. Sedikit tidur.

4. Sabar dan tawakal dalam hati.

5. Menerima segala kehendak dan takdir Tuhan.

6. Selalu mensyukuri takdir Tuhan.

7. Mengasihi fakir dan miskin.

8. Menolong orang yang kesusahan.

9. Memberi makan kepada orang yang lapar.

41 of 44
10. Memberi pakaian kepada orang yang telanjang.

11. Memberikan payung kepada orang yang kehujanan.

12. Memberikan tudung kepada orang yang kepanasan.

13. Memberikan minum kepada orang yang haus.

14. Memberikan tongkat penunjuk kepada orang yang buta.

15. Menunjukkan jalan kepada orang yang tersesat.

16. Menyadarkan orang yang lupa.

17. Membenarkan ilmu dan laku orang yang salah.

18. Mengasihi dan memuliakan tamu.

19. Memberikan maaf kepada kesalahan dan dosa sanak-kandung, saudara, dan semua
manusia.

20. Jangan merasa benar, jangan merasa pintar dalam segala hal, jangan merasa memiliki,
merasalah bahwa semua itu hanya titipan dari Tuhan yang membuat bumi dan langit, jadi
manusia itu hanyalah sudarma (memanfaatkan dengan baik dengan tujuan dan cara yang
baik pula) saja. Pakailah budi, syukur, sabar, menerima, dan rela. <Ajaran Syekh
Amongraga itu sebenarnya meliputi semua tindakan manusia di dalam menyelami
kehidupan di bumi ini, yang disebut Syekh Siti Jenar sebagai alam kematian. Dalam
memahami 20 ajaran tersebut, hendaknya jangan terjebak dalam segi kontekstualnya saja,
namun hendaknya diselami dengan segenap nalar dan rasa batin.

Ajaran Syekh Siti Jenar Menurut Pangeran Panggung

“….Saya mencari ilmu sejati yang berhubungan langsung dengan asal dan tujuan hidup,
dan itu saya pelajari melalui tanajjul tarki. Menurut saya , untuk mengharapkan hidayah
hanyalah bias didapat dengan kesejatian ilmu. Demi kesentausaan hati menggapai gejolak
jiwa, saya tidak ingin terjebak dalam syariat.”

“Jika saya terjebak dalam syariat, maka seperti burung sudah bergerak, akan tetapi
mendapatkan pikiran yang salah. Karena perbuatan salah dalam syariat adalah pada
kesalahpahaman dalam memahami larangan. Bagi saya kesejatian ilmu itulah yang
seharusnya dicari dan disesuaikan dengan ilmu kehidupan. Kebanyakan manusia itu, jika
sudah sampai pada janji maka hatinya menjadi khawatir, wataknya selalu was-was…
senantiasa takut gagal….Alam dibawah kolong langit, diatas hamparan bumi dan semua
isi didalamnya hanyalah ciptaan Yang Esa, tidak ada keraguan. Lahir batin harus bulat,
mantap berpegang pada tekad.” (Serat Suluk Malang Sumirang, Pupuh 1-2).

42 of 44
“Yang membuat kita paham akan diri kita, Pertama tahu akan datang ajal, karena itu tahu
jalan kemuliaannya, Kedua, tahu darimana asalnya ada kita ini sesungguhnya, berasal
dari tidak ada. Kehendak-Nya pasti jadi, dan kejadian itu sendiri menjadi misal. Wujud
mustahil pertandanya sebagai cermin yang bersih merata keseluruh alam. Yang pasti
dzatnya kosong, sekali dan tidak ada lagi. Dan janganlah menyombongkan diri,
bersikaplah menerima jika belum berhasil. Semua itu kehendak Sang Maha Pencipta.
Sebagai makhluk ciptaan, manusia didunia ini hanya satu repotnya. Yaitu tidak
berwenang berkehendak, dan hanya pasrah kepada kehendak Allah.”

“Segala yang tercipta terdiri dari jasad dan sukma, serta badan dan nyawa. Itulah sarana
utama, yakni cahaya, roh, dan jasad. Yang tidak tahu dua hal itu akan sangat menyesal.
Hanya satu ilmunya, melampaui Sang Utusan. Namun bagi yang ilmunya masih dangkal
akan mustahil mencapai kebenaran, dan manunggal dengan Allah. Dalam hidup ini, ia
tidak bisa mengaku diri sebagai Allah, Sukma Yang Maha Hidup. Kufur jika menyebut
diri sebagai Allah. Kufur juga jika menyamakan hidupnya dengan Hidup Sang Sukma,
karena sukmaitu adalah Allah.” .

” Waktu shalat merupakan pilihan waktu yang sesungguhnya berangkat dari ilmu yang
hebat. Mengertikah Anda, mengapa shalat dzuhur empat raka’at? Itu disebabkan kita
manusia diciptakan dengan dua kaki dan dua tangan. Sedang shalat ‘Ashar empat raka’at
juga, adalah kejadian bersatunya dada dengan Telaga al-Kautsar dengan punggung kanan
dan kiri. Shalat Maghrib itu tiga raka’at, karena kita memiliki dua lubang hidung dan satu
lubang mulut. Adapun shalat ‘Isya’ enjadi empat raka’at karena adanya dua telinga dan
dua buah mata. Adapun shalat Subuh, mengapa dua raka’at adalah perlambang dari
kejadian badan dan roh kehidupan. Sedangkan shalat tarawih adalah sunnah muakkad
yang tidak boleh ditinggalkan dua raka’atnya oleh yang melakukan, men-jadi perlambang
tumbuhnya alis kanan dan kiri.”

“Adapun waktu yang lima, bahwa masing-masing berbeda-beda yang memilikinya.


Shalat Subuh, yang memiliki adalah Nabi Adam. Ketika diturunkan dari surga mulia,
berpisah dengan istrinya Hawa menjadi sedih karena tidak ada kawan. Lalu ada wahyu
dari melalui malaikat Jibril yang mengemban perintah Tuhan kepada Nabi Adam,
“Terimalah cobaan Tuhan, shalat Subuhlah dua raka’at”. Maka Nabi Adampun siap
melaksanakannya. Ketika Nabi Adam melaksanakan shalat Subuh pada pagi harinya,
ketika salam. Telah mendapati istrinya berada dibelakangnya, sambil menjawab salam.
Shalat Dzuhur dimaksudkan ketika Kanjeng Nabi Ibrahim pada zaman kuno
mendapatkan cobaan besar, dimasukkan ke dalam api hendak dihukum bakar. Ketika itu
Nabi Ibrahim mendapat wahyu ilahi, disuruh untuk melaksanakan shalat Dzuhur empat
raka’at. Nabi Ibrahim melaksanakan shalat, api padam seketika. Adapun shalat Ashar,
dimaksudkan ketika Nabi Yunus sedang naik perahu dimakan ikan besar. Nabi Yunus
merasakan kesusahan ketika berada di dalam perut ikan. Waktu itu terdapat wahyu Ilahi,
Nabi Yunus diperintahkan melaksanakan shalat Ashar empat raka’at. Nabi Yunus segera
melaksanakan, dan ikan itu tidak mematikannya. Malah ikan itu mati, kemudian Nabi
Yunus keluar dari perut ikan. Sedangkan shalat Maghrib pada zaman kuno yang
memulainya adalah Nabi Nuh. Ketika musibah banjir bandang sejagat, Nabi Nuh
bertaubat merasa bersalah. Dia diterima taubatnya disuruh mengerjakan shalat. Kemudian

43 of 44
Nabi Nuh melaksanakan shalat Maghrib tiga raka’at, maka banjirpun surut seketika.
Shalat ‘Isya sesungguhnya Nabi Isa yang memulainya. Ketika kalah perang melawan
Raja Harkiyah (Juga disebut Raja Herodes, atasan Gubernur Pontius Pilatus) semua
kaumnya bingung tidak tahu utara, selatan, barat, timur dan tengah. Nabi Isa merasa
susah, dan tidak lama kemudian datang malaikat Jibril membawa wahyu dengan uluk
salam. Nabi Isa diperintahkan melaksanakan shalat ‘Isya. Nabi Isa menyanggupinya, dan
semua kaumnya mengikutinya, dan malaikat Jibril berkata, “Aku yang membalaskan
kepada Pendeta Balhum.” .

“Menurut pemahaman saya, sesuai petunjuk Syekh Siti Jenar dahulu, anasir itu ada empat
yang berupa anasir batin dan ansir lahir. Pertama, anasir Gusti. Perlu dipahami dengan
baik dzat, sifat, asma dan af’al (perbuatan) kedudukannya dalam rasa. Dzat maksudnya
adalah bahwa diri manusia dan apapun yang kemerlap di dunia ini tidak ada yang
memiliki kecuali Tuhan Yang Maha Tinggi, yang besar atau yang kecil adalah milik
Allah semua. Ia tidak memiliki hidupnya sendiri. Hanya Allah yang Hidup, yang
Tunggal. Adapun sifat sesungguhnya segala wujud yang kelihatan yang besar atau kecil,
seisi bumi dan langit tidak ada yang memiliki hanya Allah Tuhan Yang Maha Agung.
Adapun asma sesungguhnya, nama semua ciptaan seluruh isi bumi adalah milik Tuhan
Allah Yang Maha Lebih Yang Maha Memiliki Nama. Sedangkan artinya af’al adalah
seluruh gerak dan perbuatan yang kelihatan dari seluruh makhluk isi bumi ini adalah
tidak lain dari perbuatan Allah Yang Maha Tinggi, demikian maksud anasir Gusti.”

“Anasir roh, ada empat perinciannya yang berwujud ilmu yang dinamai cahaya
persaksian (nur syuhud). Maksudnya adalah sebagai berikut : pertama, yang disebut
wujud sesungguhnya adalah hidup sejati atau amnusia sejati seperti pertempuran yang
masih perawan itulah yang dimaksud badarullah yang sebenarnya. Kedua, yang disebut
ilmu adalah pengetahuan batin yang menjadi nur atau cahaya kehidupan atau roh idhafi,
cahaya terang menyilaukan seperti bintang kejora. Ketiga, yang dimaksud syuhud adalah
kehendak batin kejora. Ketiga, yang dimaksud syuhud adalah kehendak batin tatkala
memusatkan perhatian terutama ketika mengucapkan takbir. Demikianlah penjelasan
tentang anasir roh, percayalah kepada kecenderungan hati.”

“Anasir manusia maksudnya hendaklah dipahami bahwa manusia itu terdiri dari bumi,
api, angin dan air. Bumi itu menjadi jasad, api menjadi cahaya yang bersinar, angin
menjadi napas keluar masuk, air, menjadi darah. Keempatnya bergerak tarik menarik
secara ghaib. Demikianlah penjelasan saya tentang anasir. .

44 of 44

You might also like