You are on page 1of 2

Sistem reproduksi berkaitan dengan perubahan hormonal, merupakan faktor penting

dalam meningkatnya prerevalensi depresi berat dan gangguan mood lainnya pada wanita dari
dewasa muda sampai beberapa tahun setelah menopause (Burt dan Stein, 2002). Dengan
prevalensi 5-10%, sindrom pre-menstrual ini barangkali sangat umum menjadi penyakit
fungsional pada wanita subur dan memiliki karakteristik yang cenderung tidak normal,
bermanifestasi sebagai mood yang terdepresi, labil, dan mudah marah (Eriksson et al., 2002).
Hubungan antara sindrom pre-menstrual dan psikopatologi ini cukup rumit. Mayoritas pasien
memiliki riwayat gejala depresi dan perburukan gejala pre-menstrual yang mengarah ke sakit
mental seperti skizofrenia, gangguan obsesif-kompulsif, dan penyalahgunaan alkohol.
Data diambil dari wanita yang mengalami gangguan psikiatrik dengan gangguan
disforia pre-menstrual, dikumpulkan dari pengalaman investigator psikiater dan ahli bedah di
University Columbia dan Institut Psychiatric New York (Harrison et al., 1989). Para peserta
direkrut melalui media cetak dan elektronik atau diarahkan oleh tenaga kesehatan profesional.
350 orang dianggap memenuhi syarat untuk mengikuti penelitian ini setelah mengikuti
wawancara, 195 orang menyelesaikan kuesioner mengenai gejala yang mereka rasakan
(minimal 1 bulan), riwayat medis, diagnosis dan terapi psikiatrik, dan riwayat keluarga
dengan gangguan jiwa. Akhirnya terpilih 140 subjek. Karena 55 wanita lainnya dianggap
tidak memenuhi syarat: 33 orang memiliki gangguan jiwa lain dan 22 orang lainnya memiliki
sakit secara medis dan riwayat terapi obat hormonal. 140 peserta telah diatur mengisi
instrumen yang mengukur disforia dan evaluasi psikiatrik yang terstruktur. Dibuat 2 grup
yaitu 86 wanita dengan gangguan disforia (PMS) yang nyata tetapi tanpa riwayat gangguan
psikiatrik dan kelompok kontrol yaitu 45 wanita tanpa disforia pre-menstrual dan gangguan
psikiatrik, diukur dengan instrumen yang sama.
Pasien dan subjek kontrol serupa dalam hal usia (rata-rata 32 dan 33 tahun), latar
belakang etnis (82% dan 90% kulit putih), lamanya pendidikan (15 dan 17) dan status
pernikahan (42% dan 32% menikah; 16% dan 12% bercerai). Dibandingkan dengan
kelompok kontrol, peserta dengan sindrom pre-menstrual lebih sering menggambarkan
pernikahan mereka tidak bahagia (39% dan 3%). 80% wanita dengan sindrom pre-menstrual
dan 67% subjek kontrol memiliki riwayat konsumsi obat kontrasepsi oral. Gejala mood (38%
dan 16%) dan gejala fisik (42% dan 11%), ketidakteraturan konsumsi kontrasepsi oral
signifikan lebih besar pada kelompok dengan sindrom pre-menstrual.

Kategori riwayat keluarga dengan gangguan jiwa, pada kelompok dengan sindrom
pre-menstrual yaitu 70% subjek memiliki riwayat gangguan mayor depresi setidaknya dalam
4 minggu. Sedangkan pada kelompok kontrol, hanya 41%. Pasien dengan sindrom premenstrual dilaporkan menjalani terapi pengobatan psikotropika lebih sering dibanding
kelompok kontrol (27% dan 2%). Ide bunuh diri (12% dan 7%), depresi setelah melahirkan
(7% dan 0%), gangguan panik (16% dan 5%), dan penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan
(16% dan 11%) hampir serupa secara statistik. Kedua kelompok tersebut juga serupa dalam
hal riwayat depresi pada minimal 1 orangtua (38% dan 28%) atau minimal 1 saudara kandung
(24% dan 19%). Bagaimanapun, wanita dengan sindrom disforia pre-menstrual secara
signifikan memiliki anggota keluarga dengan gejala pre-menstrual juga.

You might also like