Professional Documents
Culture Documents
Filsafat Eksistensialisme
Dosen:
merupakan hakikat perbedaan cara berada manusia dengan cara berada benda-benda yang
lain. Manusia adalah subjek atas dirinya sendiri, sementara benda-benda di luar manusia
adalah objek. Dengan demikian eksistensialisme menjadi pukulan besar bagi materialisme.
Dua aliran filsafat yang ditentang oleh eksistensialisme ini merupakan dua ekstrem
yang berseberangan. Idealisme memandang manusia melulu sebagai subjek dan semata-mata
berada hanya karena kemampuan akal budi. Materialisme, sebaliknya, melihat manusia
semata-mata objek yang tidak berbeda dengan benda-benda di luarnya. Di sini kita melihat
bahwa eksistensialisme menjadi penengah di antara kedua ekstrem ini. Kebebasan berpikir
dan tanggung jawab pribadi ini membuat para eksistensialis melihat kebenaran bukan sebagai
suatu hal yang mutlak. Kebenaran bergantung pada bagaimana seorang individu menilainya
berdasarkan kemampuan berpikirnya. Kebenaran bersifat relatif.
Para filosof eksistensialis menyepakati adanya tiga hal yaitu: 4 pertama, kesedihan dan
penderitaan adalah kondisi yang diperlukan yang harus dialami. Ketika seseorang berpurapura memilih sesuatu di mana hampir tidak ada kesedihan dan penderitaan, orang tersebut
sebenarnya tidak memilih sama sekali. Tanpa penderitaan, seorang bisa menjadi apa pun
namun bukan yang terbaik.
Kedua, pengalaman umum setiap manusia ketika berhadapan dengan hal yang tak
dapat dihindari, penderitaan mengambil rupa kebosanan atau kecemasan, sikap apatis atau
rasa takut. Fungsi nilai eksistensialis adalah membebaskan manusia dari penderitaan yang
melemahkan manusia.
Ketiga, nilai eksistensialis menitikberatkan pada kesadaran, membangkitkan hasrat,
dan tekad seseorang untuk melibatkan segenap kemampuannya. Kierkegaard mengatakan, dia
ingin mendapatkan nilai di mana dia siap untuk hidup dan bahkan bersedia mati. Biarkan
orang lain mengeluh bahwa dunia itu kejam, serunya, Keluhanku adalah sungguh celaka
jika tidak ada hasrat. Atau, dalam kata-kata Nietzsche: Rahasia kemakmuran terbesar dan
kebahagiaan terbesar adalah eksistensi hidup dalam bahaya.
Singkatnya, nilai eksistensialis memiliki sumber yang sama, fungsi yang sama, dan
identifikasi karakter yang sama. Sumbernya adalah kesadaran akan penderitaan yang melekat
dalam kondisi manusia. Fungsinya adalah untuk membebaskan manusia dari rasa takut dan
frustrasi karena beban kehidupan sehari-hari atau karena kebosanan akan lamunan filosofis.
Identifikasi karakteristiknya adalah intensitas.
Kebebasan manusia yang ingin dicapai oleh eksistensialisme, kendati kebebasan
adalah hal yang mutlak, bukanlah kebebasan dalam arti harfiah untuk berbuat segala sesuatu
sesuka hati dengan dasar dorongan insting manusiawi. Kebebasan yang dimaksud adalah
kebebasan akal budi yang berasal dari dalam diri manusia itu sendiri untuk menentukan apa
yang akan dilakukan dalam hidupnya. Setiap manusia bisa menjadi apa saja, namun apakah
hal itu berasal dari dorongan akal budi yang terbebas dari segala tekanan dan ketakutan.
Bahwa penderitaan tidak dapat lepas dari setiap pilihan benar manusia, adalah konsekuensi
yang harus dibayar untuk menempatkan diri dalam kebebasan eksistensial.
Tokoh-Tokoh Eksistensialisme
Filsafat eksistensialisme ini berkembang cukup lama. Jika dilihat dari para filosofnya,
bisa dikatakan bahwa aliran filsafat ini terus berkembang selama hampir satu abad. Ada
beberapa filosof eksistensialis. Para eksistensialis yang pernah dikenal antara lain filosof
Denmark, Soren Aabye Kierkegaard (1831-1855); filosof Rusia, Fyodor Mikhailovich
Dostoyevsky (1821-1881) dan Nikolai Alexandrovich Berdyaev (1874-1948); filosof Jerman,
Friedrich Wilhelm Nietzsche (1844-1900), Karl Theodor Jaspers (1883-1969), dan Jean-Paul
Sartre (1905-1980). Beberapa di antaranya akan diuraikan secara singkat.
Tulisan ini menunjukkan kekaguman Kierkegaard terhadap Tuhan. Kemurnian hati yang ia
cantumkan dalam judul bukunya bisa jadi merupakan cita-cita jiwanya ketika berhadapan
dengan Tuhan.
Karya-karya penting Kierkegaard antara lain:9 Om Begrebet Ironi med stadigt Hensyn
til Socrates (1841), Enten - Eller (1843), Frygt og Bven (1843), Gjentagelsen (1843),
Philosophiske Smuler (1844), Begrebet Angest (1844), Stadier paa Livets Vei (1845),
Afsluttende uvidenskabelig Efterskrift (1846), Opbyggelige Taler i forskjellig Aand (1847),
Kjerlighedens Gjerninger (1847), Christelige Taler (1848), Sygdommen til Dden (1849), dan
Indvelse i Christendom (1850).
Friedrich Wilhelm Nietzsche
Nietzsche melihat manusia sebagai makhluk yang harus terus menerus bereksistensi,
yaitu manusia yang memiliki cita-cita yang tinggi untuk menjadi manusia super (berMensch) yang bermental pemimpin. Satu-satunya jalan untuk menjadi ber-Mensch adalah
penderitaan sebab melalui penderitaan manusia mencoba untuk menggunakan akal budinya
dengan lebih giat sampai ia menemukan jati dirinya. Dia mengatakan My formula is Amor
fati: . . . not only to bear up under every necessity, but to love it.10 Nietzsche tidak hanya
berusaha menghadapi penderitaan, tetapi juga mencintainya, karena itulah jalan menuju
ber-Mensch. Demikianlah manusia bereksistensi.
Sartre menyebutkan Lhomme est condamn tre libre bukan berarti manusia dapat
mencapai segala keinginannya berkat kebebasan yang dia miliki. Kebebasan yang dimaksud
adalah kebebasan untuk mengarahkan diri pada apa yang ingin dicapai, artinya manusia harus
bebas dalam menentukan pilihan hidupnya. Kesuksesan bukanlah hal yang terpenting dalam
kebebasan Sartrean.
Secara ironis kebebasan Sartrean ini dapat ditafsirkan pula menjadi hukuman ketika
kebebasan itu bertemu dengan kebebasan lain. Lenfer, cest les autres. Neraka adalah
orang lain. Demikianlah Sartre melihat orang lain. Kebebasan mengalami degradasi
pemaknaan ketika manusia berhadapan dengan kebebasan orang lain. Kebebasan menjadi
terbatas ketika eksistensi seorang individu bertemu dengan eksistensi individu yang lain.
Seseorang menjadi tidak bebas dengan apa yang dilakukannya. Namun Sartre tidak berhenti
pada keterbatasan ini. Perjumpaan antar-individu ini justru menimbulkan tanggung jawab
bagi manusia. Thus the first effect of existentialism is that puts every man possesses of
himself as he is, and places the entire responsibility for his existence squarely upon his own
shoulders.15 Tanggung jawab menjadi konsekuensi dari eksistensi manusia. Segala hal yang
dilakukan manusia, karena dilakukan atas kebebasan pikirannya, memuat tanggung jawab
terhadap eksistensi manusia lainnya.
Karya-karya penting Sartre antara lain:16 LImagination (1936), La Transcendance de
lEgo (1937), La Nause (1938), Le Mur (1939), LImaginaire (1940), Les Mouches (1943),
Ltre et le nant: Essai dontologie phnomnologique (1943), Huis-clos (1945), Morts sans
spulture (1946), La Putain respectueuse (1946), Baudelaire (1947), Les Jeux sont faits
(1947), Les Mains sales (1948), Critique de la raison dialectique (1960), Les Mots (1964),
Situations (I - X) (1947-1976), LIdiot de la famille (1971-1973), dan Cahiers pour une
morale (1983).
4
Eksistensialisme Sekarang
Eksistensialisme saat ini masih aktual untuk dibahas, melihat maraknya degradasi
kehidupan bermasyarakat karena kebebasan, terutama kebebasan berpendapat. Sebagian
orang memahami kebebasan secara salah dan memandangnya sebagai celah untuk melakukan
serangan terhadap pihak lain. Kebebasan seperti ini justru menentang hakikat kebebasan itu
sendiri. Letak pertentangan itu ialah dalam tindakan pihak-pihak yang berlaku sewenangwenang. Mereka hanya menggunakan dorongan atau impuls-impuls instingtif untuk
menguasai, mendominasi, unjuk kekuatan dsb. sembari bersembunyi di balik kelompok besar.
Mereka tidak menggunakan akal budi secara bebas karena mereka berada di bawah tekanan
ekonomi dan tekanan psikologis. Dalih eksistensi yang mereka maksud untuk unjuk diri,
secara ironis justru mengaburkan eksistensi manusia mereka sendiri. Eksistensi yang tampak
adalah eksistensi kelompok, sementara eksistensi individu diabaikan.
Dalam dunia pendidikan, eksistensialisme perlu dilihat sebagai metode pembinaan di
mana anak didik dapat mengeksplorasi kreativitas berpikirnya. Kurikulum yang terlalu
terpaku pada buku pegangan akan menimpangkan perkembangan anak didik. Pendidikan
menjadi bentuk indoktrinasi tanpa membuka kemungkinan-kemungkinan akan adanya
pemikiran-pemikiran baru, cerdas dan genial. Eksistensialisme menyadarkan kaum pendidik
untuk memacu eksplorasi dan kreativitas anak didik. Pendidikan tidak lagi menjadikan anak
didik sebagai objek pasif, melainkan sebagai subjek aktif untuk membina dirinya sendiri dan
membina relasi yang saling membangun antara anak didik maupun dengan tenaga pendidik.
Eksistensialisme Kierkegaard juga menawarkan kepada kita suatu sikap iman pasrah
kepada Tuhan. Dalam buku Frygt og Bven, Kierkegaard mengatakan:
Infinite resignation is the last stage before faith, so anyone who has not made this
movement does not have faith, for only in infinite resignation does an individual
become conscious of his eternal validity, and only then can one speak of grasping
existence by virtue of faith.17
Kita perlu belajar dari Kierkegaard untuk berhadapan dengan berbagai ketakutan dan
kegentaran hidup. Sikap pasrah merupakan satu langkah menuju iman. Tanpa kepasrahan,
iman tidak akan tercapai. Demikianlah kita semestinya berpasrah dengan takut dan gentar.