You are on page 1of 7

TUGAS FILSAFAT BARAT MODERN

Filsafat Eksistensialisme
Dosen:

Rm. Prof. Dr. F.X. Eko Armada Riyanto CM

Marcellius Ari Christy CP


(09.09042.000071)

SEKOLAH TINGGI FILSAFAT TEOLOGI


WIDYA SASANA MALANG
2012

Eksistensialisme berkembang dalam periode filsafat modern. Kehadirannya dalam


dunia filsafat turut menyemarakkan perbincangan filosofis tentang siapakah manusia. Tulisan
ini akan membahas pemahaman eksistensialisme, perkembangannya, tokoh-tokohnya dan
aktualitasnya dalam kehidupan manusia saat ini.
Quiditas dan Perkembangan Eksistensialisme
Secara etimologis eksistensialisme memiliki akar kata eksistensi (Latin existentia, dari
kata exsistere menjadi ada, dari ex- keluar + sistere mengambil tempat).1 Secara umum
eksistensi dapat diartikan sebagai berdiri sendiri sebagaimana adanya sembari keluar dari
dirinya, cara berada manusia. Eksistensialisme adalah salah satu aliran filsafat yang
memusatkan perhatiannya pada kebebasan manusia, tanggung jawab pribadi, dan pentingnya
seorang individu untuk menentukan pilihannya. 2 Filsafat ini memandang segala apa yang ada
dengan berpangkal pada eksistensi.3 Eksistensi berbeda dengan esensi yang merupakan
sesuatu yang menjadikan individu itu ada. Secara umum, eksistensialisme dapat dipahami
sebagai paham di mana seseorang memiliki kebebasan mutlak atas pikirannya dan setiap
pribadi bertanggung jawab pada dirinya sendiri. Pokok permenungan filsafat eksistensialisme
adalah keseluruhan realitas manusia.
Aliran ini, sebagaimana aliran filsafat lainnya, muncul sebagai reaksi atas pemikiranpemikiran filosofis sebelumnya. Filsafat modern berawal dari filsafat rasionalisme yang
dicetuskan oleh Ren Descartes. Ungkapannya Je pense donc je suis atau lebih dikenal
dengan Cogito ergo sum membuka cakrawala permenungan filsafat untuk menggunakan
akal budi sebagai pengalaman yang menunjukkan keberadaan seseorang. Sejak saat itu
bermunculan pula aliran-aliran filsafat modern seperti empirisme, historisisme, romantisme,
idealisme, materialisme, nihilisme, esensialisme, eksistensialisme, dan nihilisme.
Eksistensialisme sendiri merupakan tanggapan atau bisa dibilang perlawanan terhadap
idealisme, dan materialisme yang pada zaman filsafat modern didominasi oleh pemikiran
Ludwig Feuerbach. Idealisme, terutama idealisme metafisis Hegelian, mengatakan bahwa
manusia merupakan sintesis dari tesis dan antitesis. Hal ini mau mengatakan bahwa segala
sesuatu termasuk manusia hanyalah suatu representasi akal budi. Segala apa yang ada tidak
bersifat fisik dan tidak memiliki materi. Rasionalitas yang dicetuskan oleh Descartes
mengalami radikalisasi dalam idealisme. Realitas dijelaskan melalui ide-ide, akal budi
mutlak, dsb. Eksistensialisme yang dibawa oleh Kierkegaard melawan paham ini.
Eksistensialisme menjatuhkan idealisme melalui pandangan bahwa manusia memiliki cara
berada dari eksistensinya. Karenanya, akal budi bukanlah pewujud nyata realitas. Akal budi
merupakan cara manusia untuk mencerap keberadaan segala apa yang ada.
Eksistensialisme juga melawan materialisme. Materialisme melihat manusia pada
prinsipnya hanya sebagai benda, sama dengan benda-benda lain seperti binatang, tumbuhan,
atau bahkan benda mati seperti meja, kursi, dll. Manusia hanyalah bentuk ragawi yang dari
padanya manusia dikatakan penuh. Materi manusia adalah kepenuhannya. Dengan demikian,
manusia hanya dipandang sebagai objek sebagaimana benda-benda lainnya. Eksistensialisme
Kierkegaard lagi-lagi menggugat pemikiran ini dengan mengatakan bahwa manusia bukanlah
objek. Materi tubuh manusia hanyalah sebagian aspek kemanusiaan. Manusia memiliki cara
berada yang berbeda dari ada-ada yang lain. Kendati manusia memiliki materi yang pada
akhirnya menjadi sama dengan tanah, manusia tidak dapat diperlakukan seperti halnya tanah
material. Manusia memiliki cara berada eksistensial yaitu melalui kebebasan berpikirnya.
Manusia adalah subjek yang memiliki akal budi. Sejalan dengan akal budi tersebut, manusia
memiliki kesadaran akan dirinya dan memiliki kemampuan untuk memetik makna dari setiap
hal yang ada di sekitarnya. Hal ini jelas-jelas membedakan manusia dari benda-benda yang
lain. Kemampuan manusia untuk berpikir, merenung dan memaknai setiap bagian hidupnya

merupakan hakikat perbedaan cara berada manusia dengan cara berada benda-benda yang
lain. Manusia adalah subjek atas dirinya sendiri, sementara benda-benda di luar manusia
adalah objek. Dengan demikian eksistensialisme menjadi pukulan besar bagi materialisme.
Dua aliran filsafat yang ditentang oleh eksistensialisme ini merupakan dua ekstrem
yang berseberangan. Idealisme memandang manusia melulu sebagai subjek dan semata-mata
berada hanya karena kemampuan akal budi. Materialisme, sebaliknya, melihat manusia
semata-mata objek yang tidak berbeda dengan benda-benda di luarnya. Di sini kita melihat
bahwa eksistensialisme menjadi penengah di antara kedua ekstrem ini. Kebebasan berpikir
dan tanggung jawab pribadi ini membuat para eksistensialis melihat kebenaran bukan sebagai
suatu hal yang mutlak. Kebenaran bergantung pada bagaimana seorang individu menilainya
berdasarkan kemampuan berpikirnya. Kebenaran bersifat relatif.
Para filosof eksistensialis menyepakati adanya tiga hal yaitu: 4 pertama, kesedihan dan
penderitaan adalah kondisi yang diperlukan yang harus dialami. Ketika seseorang berpurapura memilih sesuatu di mana hampir tidak ada kesedihan dan penderitaan, orang tersebut
sebenarnya tidak memilih sama sekali. Tanpa penderitaan, seorang bisa menjadi apa pun
namun bukan yang terbaik.
Kedua, pengalaman umum setiap manusia ketika berhadapan dengan hal yang tak
dapat dihindari, penderitaan mengambil rupa kebosanan atau kecemasan, sikap apatis atau
rasa takut. Fungsi nilai eksistensialis adalah membebaskan manusia dari penderitaan yang
melemahkan manusia.
Ketiga, nilai eksistensialis menitikberatkan pada kesadaran, membangkitkan hasrat,
dan tekad seseorang untuk melibatkan segenap kemampuannya. Kierkegaard mengatakan, dia
ingin mendapatkan nilai di mana dia siap untuk hidup dan bahkan bersedia mati. Biarkan
orang lain mengeluh bahwa dunia itu kejam, serunya, Keluhanku adalah sungguh celaka
jika tidak ada hasrat. Atau, dalam kata-kata Nietzsche: Rahasia kemakmuran terbesar dan
kebahagiaan terbesar adalah eksistensi hidup dalam bahaya.
Singkatnya, nilai eksistensialis memiliki sumber yang sama, fungsi yang sama, dan
identifikasi karakter yang sama. Sumbernya adalah kesadaran akan penderitaan yang melekat
dalam kondisi manusia. Fungsinya adalah untuk membebaskan manusia dari rasa takut dan
frustrasi karena beban kehidupan sehari-hari atau karena kebosanan akan lamunan filosofis.
Identifikasi karakteristiknya adalah intensitas.
Kebebasan manusia yang ingin dicapai oleh eksistensialisme, kendati kebebasan
adalah hal yang mutlak, bukanlah kebebasan dalam arti harfiah untuk berbuat segala sesuatu
sesuka hati dengan dasar dorongan insting manusiawi. Kebebasan yang dimaksud adalah
kebebasan akal budi yang berasal dari dalam diri manusia itu sendiri untuk menentukan apa
yang akan dilakukan dalam hidupnya. Setiap manusia bisa menjadi apa saja, namun apakah
hal itu berasal dari dorongan akal budi yang terbebas dari segala tekanan dan ketakutan.
Bahwa penderitaan tidak dapat lepas dari setiap pilihan benar manusia, adalah konsekuensi
yang harus dibayar untuk menempatkan diri dalam kebebasan eksistensial.
Tokoh-Tokoh Eksistensialisme
Filsafat eksistensialisme ini berkembang cukup lama. Jika dilihat dari para filosofnya,
bisa dikatakan bahwa aliran filsafat ini terus berkembang selama hampir satu abad. Ada
beberapa filosof eksistensialis. Para eksistensialis yang pernah dikenal antara lain filosof
Denmark, Soren Aabye Kierkegaard (1831-1855); filosof Rusia, Fyodor Mikhailovich
Dostoyevsky (1821-1881) dan Nikolai Alexandrovich Berdyaev (1874-1948); filosof Jerman,
Friedrich Wilhelm Nietzsche (1844-1900), Karl Theodor Jaspers (1883-1969), dan Jean-Paul
Sartre (1905-1980). Beberapa di antaranya akan diuraikan secara singkat.

Sren Aabye Kierkegaard


Filsafat eksistensialisme dicetuskan oleh seorang filosof berkebangsaan Denmark,
Kierkegaard. Dialah bapak eksistensialisme dalam sejarah filsafat dunia. Pemikiranpemikiran Kierkegaard banyak dipengaruhi oleh filsafat Hegel yang lantas dijatuhkannya
dengan eksistensialisme. Sebagian besar pemikirannya telah dibahas sebelumnya, antara lain
perlawanannya terhadap idealisme Hegel dan materialisme. Ia juga melihat bahwa manusia
terus-menerus mengadakan dirinya melalui akal budi dan pengalaman hidupnya. Eksistensi
manusia senantiasa menghantar manusia dari harapan menuju kenyataan. Kendati menjadi
tokoh terkemuka dalam dunia filsafat, Kierkegaard tidak memberikan suatu formula khusus
atau gambaran untuk kehidupan. Filsafatnya memberikan teori nilai filosofis di mana sebuah
konsep asli kehidupan manusia dikembangkan.5
Kierkegaard, selain dikenal sebagai filosof juga dikenal sebagai teolog walaupun
semula dia tidak tertarik pada teologi. Tulisan-tulisannya tentang relasi antara manusia dan
Tuhan cukup banyak dan mendorong pembacanya untuk memiliki iman yang lebih teguh.
Salah satu pemahaman Copleston tentang teologi Kierkegaard ialah, The highest selfactualization of the individual is the relating of oneself to God, not as the universal, absolute
Thought, but as the absolute Thou.6 Relasi antara manusia dengan Tuhan tidak dilihat
sebagai relasi dengan semesta alam atau dengan pemikiran absolut, melainkan sebagai relasi
aku Engkau.
Copleston menyebut Kierkegaard sebagai pemikir religius pertama dan terkemuka.7
Hal ini dapat kita lihat dari salah satu karyanya yang berjudul Purity of Heart is to Will One
Thing yang ditulisnya pada tahun 1847. Pada bagian pengantar ia menuliskan:
FATHER IN HEAVEN! What is a man without Thee! What is all that he knows, vast
accumulation though it be, but a chipped fragment if he does not know Thee! What is
all his striving, could it even encompass a world, but a half-finished work if he does
not know Thee: Thee the One, who art one thing and who art all! So may Thou give
to the intellect, wisdom to comprehend that one thing; to the heart, sincerity to
receive this understanding; to the will, purity that wills only one thing. . .8

Tulisan ini menunjukkan kekaguman Kierkegaard terhadap Tuhan. Kemurnian hati yang ia
cantumkan dalam judul bukunya bisa jadi merupakan cita-cita jiwanya ketika berhadapan
dengan Tuhan.
Karya-karya penting Kierkegaard antara lain:9 Om Begrebet Ironi med stadigt Hensyn
til Socrates (1841), Enten - Eller (1843), Frygt og Bven (1843), Gjentagelsen (1843),
Philosophiske Smuler (1844), Begrebet Angest (1844), Stadier paa Livets Vei (1845),
Afsluttende uvidenskabelig Efterskrift (1846), Opbyggelige Taler i forskjellig Aand (1847),
Kjerlighedens Gjerninger (1847), Christelige Taler (1848), Sygdommen til Dden (1849), dan
Indvelse i Christendom (1850).
Friedrich Wilhelm Nietzsche
Nietzsche melihat manusia sebagai makhluk yang harus terus menerus bereksistensi,
yaitu manusia yang memiliki cita-cita yang tinggi untuk menjadi manusia super (berMensch) yang bermental pemimpin. Satu-satunya jalan untuk menjadi ber-Mensch adalah
penderitaan sebab melalui penderitaan manusia mencoba untuk menggunakan akal budinya
dengan lebih giat sampai ia menemukan jati dirinya. Dia mengatakan My formula is Amor
fati: . . . not only to bear up under every necessity, but to love it.10 Nietzsche tidak hanya
berusaha menghadapi penderitaan, tetapi juga mencintainya, karena itulah jalan menuju
ber-Mensch. Demikianlah manusia bereksistensi.

Berbeda dengan Kierkegaard, Nietzsche dikenal sebagai seorang eksistensialis atheis


bahkan disebut pembunuh Tuhan karena cetusannya Gott ist tot. Manusialah yang
menjadi ber-Mensch dan menjadi pencipta, pendobrak nilai-nilai baru.11 Nietzsches hatred
of Christianity proceeds principally from his view of its supposed effect on man, whom it
renders weak, submissive, resigned, humble or tortured in conscience and unable to develop
himself freely.12 Manusia tidak berkembang sebagaimana mestinya. ber-Mensch tidak akan
tercapai dengan adanya Tuhan.
Karya-karya penting Nietzsche antara lain:13 Die Geburt der Tragdie (1872),
Unzeitgeme Betrachtungen (1873-1876), Menschliches, Allzu menschliches (1878-1880),
Morgenroth (1881), Die frhliche Wissenschaft (1882); Also sprach Zarathustra (1883-1885),
Jenseits von Gut und Bse (1886), Zur Genealogie der Moral (1887), Der Fall Wagner
(1888), Gtzen-Dmmerung (1889), Der Antichrist (1889), Ecce Homo (1889), DionysosDithyramben (1889), dan Nietzsche contra Wagner (1889).
Jean-Paul Sartre (1905-1980)
Kutipan yang paling terkenal dari tokoh ini adalah Lexistence prcde lessence.
Sartre melihat bahwa cara berada adalah yang pertama-tama menjadikan manusia ada.
Manusia mengada ketika manusia merencanakan dan menjalani hidupnya.
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa kebenaran bagi para eksistensialis
bersifat relatif. Kebenaran ini mendapatkan batasannya ketika kebebasan berpikir seorang
individu bertemu dengan kebebasan individu yang lain. Sartre, sebagai seorang tokoh
eksistensialis abad dua puluh mengatakan:
The very being of the for itself which condemned to be free and must forever choose itself
i.e., make itself. To be free does not mean to obtain what one has wished but rather by
oneself to determine oneself to wish (in the broad sense choosing) in other words success is
not important to freedom.14

Sartre menyebutkan Lhomme est condamn tre libre bukan berarti manusia dapat
mencapai segala keinginannya berkat kebebasan yang dia miliki. Kebebasan yang dimaksud
adalah kebebasan untuk mengarahkan diri pada apa yang ingin dicapai, artinya manusia harus
bebas dalam menentukan pilihan hidupnya. Kesuksesan bukanlah hal yang terpenting dalam
kebebasan Sartrean.
Secara ironis kebebasan Sartrean ini dapat ditafsirkan pula menjadi hukuman ketika
kebebasan itu bertemu dengan kebebasan lain. Lenfer, cest les autres. Neraka adalah
orang lain. Demikianlah Sartre melihat orang lain. Kebebasan mengalami degradasi
pemaknaan ketika manusia berhadapan dengan kebebasan orang lain. Kebebasan menjadi
terbatas ketika eksistensi seorang individu bertemu dengan eksistensi individu yang lain.
Seseorang menjadi tidak bebas dengan apa yang dilakukannya. Namun Sartre tidak berhenti
pada keterbatasan ini. Perjumpaan antar-individu ini justru menimbulkan tanggung jawab
bagi manusia. Thus the first effect of existentialism is that puts every man possesses of
himself as he is, and places the entire responsibility for his existence squarely upon his own
shoulders.15 Tanggung jawab menjadi konsekuensi dari eksistensi manusia. Segala hal yang
dilakukan manusia, karena dilakukan atas kebebasan pikirannya, memuat tanggung jawab
terhadap eksistensi manusia lainnya.
Karya-karya penting Sartre antara lain:16 LImagination (1936), La Transcendance de
lEgo (1937), La Nause (1938), Le Mur (1939), LImaginaire (1940), Les Mouches (1943),
Ltre et le nant: Essai dontologie phnomnologique (1943), Huis-clos (1945), Morts sans
spulture (1946), La Putain respectueuse (1946), Baudelaire (1947), Les Jeux sont faits
(1947), Les Mains sales (1948), Critique de la raison dialectique (1960), Les Mots (1964),
Situations (I - X) (1947-1976), LIdiot de la famille (1971-1973), dan Cahiers pour une
morale (1983).
4

Eksistensialisme Sekarang
Eksistensialisme saat ini masih aktual untuk dibahas, melihat maraknya degradasi
kehidupan bermasyarakat karena kebebasan, terutama kebebasan berpendapat. Sebagian
orang memahami kebebasan secara salah dan memandangnya sebagai celah untuk melakukan
serangan terhadap pihak lain. Kebebasan seperti ini justru menentang hakikat kebebasan itu
sendiri. Letak pertentangan itu ialah dalam tindakan pihak-pihak yang berlaku sewenangwenang. Mereka hanya menggunakan dorongan atau impuls-impuls instingtif untuk
menguasai, mendominasi, unjuk kekuatan dsb. sembari bersembunyi di balik kelompok besar.
Mereka tidak menggunakan akal budi secara bebas karena mereka berada di bawah tekanan
ekonomi dan tekanan psikologis. Dalih eksistensi yang mereka maksud untuk unjuk diri,
secara ironis justru mengaburkan eksistensi manusia mereka sendiri. Eksistensi yang tampak
adalah eksistensi kelompok, sementara eksistensi individu diabaikan.
Dalam dunia pendidikan, eksistensialisme perlu dilihat sebagai metode pembinaan di
mana anak didik dapat mengeksplorasi kreativitas berpikirnya. Kurikulum yang terlalu
terpaku pada buku pegangan akan menimpangkan perkembangan anak didik. Pendidikan
menjadi bentuk indoktrinasi tanpa membuka kemungkinan-kemungkinan akan adanya
pemikiran-pemikiran baru, cerdas dan genial. Eksistensialisme menyadarkan kaum pendidik
untuk memacu eksplorasi dan kreativitas anak didik. Pendidikan tidak lagi menjadikan anak
didik sebagai objek pasif, melainkan sebagai subjek aktif untuk membina dirinya sendiri dan
membina relasi yang saling membangun antara anak didik maupun dengan tenaga pendidik.
Eksistensialisme Kierkegaard juga menawarkan kepada kita suatu sikap iman pasrah
kepada Tuhan. Dalam buku Frygt og Bven, Kierkegaard mengatakan:
Infinite resignation is the last stage before faith, so anyone who has not made this
movement does not have faith, for only in infinite resignation does an individual
become conscious of his eternal validity, and only then can one speak of grasping
existence by virtue of faith.17

Kita perlu belajar dari Kierkegaard untuk berhadapan dengan berbagai ketakutan dan
kegentaran hidup. Sikap pasrah merupakan satu langkah menuju iman. Tanpa kepasrahan,
iman tidak akan tercapai. Demikianlah kita semestinya berpasrah dengan takut dan gentar.

Bdk. http://oxforddictionaries.com/definition/english/existence?q=existence, diakses 30 September 2012.


Bdk. Grolier Encyclopedia of Knowledge, (Connecticut: Grolier Incorporated, 1995), hlm. 172-173.
3
Bdk. Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 2005), hlm. 185.
4
Bdk. Robert G. Olson, An Introduction to Existentialism, (New York: Dover Publications, 1962), hlm. 18.
5
John Douglas Mullen, Kierkegaards Philosophy: Self Deception and Cowardice in the Present Age, (New York: A
Mentor Book New American Library, 1981), hlm. 160.
6
Frederick Copleston, A History of Philosophy Volume 7: 18th and 19th Century German Philosophy, (London:
Continuum, 1963), hlm. 341.
7
Ibid, hlm. 350.
8
Sren Aabye Kierkegaard, Purity of Heart is to Will One Thing, translated by Douglas V. Steere, (New York:
Harper Torchbook, 1956), hlm. 31.
9
http://id.wikipedia.org/wiki/Sren_Kierkegaard, diakses 30 September 2012.
10
Dikutip dari Prof. Dr. Fuad Hassan, Berkenalan dengan Eksistensialisme, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1973), hlm. 39.
11
Ibid., hlm. 54.
12
Frederick Copleston, op. cit., hlm. 404.
13
http://id.wikipedia.org/wiki/Friedrich_Nietzsche, diakses 30 September 2012.
14
Jean Paul Sartre, Being and Nothingness, translated by Hazal E. Barnes, (New York: Philosophical Library, 1965), hlm.
803.
15
Jean Paul Sartre, Existentialism and Humanism, translated by Ph. Mairet, (London: Methuen, 1948), hlm. 29.
16
http://id.wikipedia.org/wiki/Jean-Paul_Sartre, diakses 30 September 2012.
17
Sren Aabye Kierkegaard, Fear and Trembling, (New Jersey: Princeton University Press, 1954), hlm. 46.
2

You might also like