You are on page 1of 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Peresepan obat pada lanjut usia (lansia) merupakan salah satu masalah yang penting,
karena dengan bertambahnya usia akan menyebabkan perubahan-perubahan farmakokinetik
dan farmakodinamik. Polifarmasi berarti pemakaian banyak obat sekaligus pada seorang
pasien, lebih dari yang dibutuhkan secara logis-rasional dihubungkan dengan diagnosis yang
diperkirakan. Istilah ini mengandung konotasi yang berlebihan, tidak diperlukan, dan
sebagian besar dapat dihilangkan tanpa mempengaruhi outcome penderita dalam hasil
pengobatannya.
Pemakaian obat yang banyak (polifarmasi), lebih sering terjadi efek samping,
interaksi, toksisitas obat, dan penyakit iatrogenik, lebih sering terjadi peresepan obat yang
tidak sesuai dengan diagnosis penyakit dan berlebihan, serta ketidakpatuhan menggunakan
obat sesuai dengan aturan pemakaiannya (inadherence).
lansia cenderung mengalami polifarmasi karena penyakitnya yang lebih dari satu jenis
(multipatologi), dan diagnosis tidak jelas. Polifarmasi adalah peresepan 5 jenis atau lebih
obat, baik obat makan, salep. Adapun lansia yang berisiko tinggi menderita penyakit atau
masalah kesehatan sebagai akibat penggunaan obat, yaitu : berusia lebih dari 85 tahun,
mendapat 9 jenis atau lebih obat atau lebih 12 dosis obat per hari, menderita 6 jenis atau lebih
penyakit kronik yang sedang aktif, terutama gangguan fungsi ginjal. Oleh karena itu, sedapat
mungkin hindarilah polifarmasi, khususnya pada yang berisiko tinggi.
Peresepan Obat Yang Rasional Menurut World Health Organization (1985) bahwa
yang termasuk dalam peresepkan obat yang rasional adalah jika penderita yang mendapat
obat-obatan sesuai dengan diagnosis penyakitnya, dosis dan lama pemakaian obat yang sesuai
dengan kebutuhan pasien, serta biaya yang serendah mungkin yang dikeluarkan pasien
maupun masyarakat untuk memperoleh obat.

Adverse Drug Reaction pada Geriatri

Pasien geriatri akan lebih sering mengalami ADR dibandingkan pasien yang lebih
muda. Hal ini dimungkinkan karena pasien lanjut usia lebih sering mendapatkan terapi obat.
Di samping itu faktor lain yang mempengaruhi terjadinya ADR pada geriatri adalah
perubahan farmakokinetika yang meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi
obat, yang sangat tergantung pada kondisi organ-organ tubuh.
Pada pasien geriatri sering mendapatkan peresepan dengan jumlah obat yang banyak
(polifarmasi). Hal tersebut disebabkan oleh penderita yang mengalami beberapa penyakit
sekaligus. Khususnya penderita yang mengalami gangguan fungsi ginjal dan hati memiliki
risiko yang tinggi bagi kejadian ADR.

Definisi Geriatri
Pembagian terhadap populasi berdasarkan usia lanjut meliputi tiga tingkatan (menurut
WHO), yaitu :
a)

Lansia (elderly) dengan kisaran umur 60-75 tahun,

b)

Tua (old) dengan kisaran umur 75-90 tahun,

c)

Sangat tua (very old) dengan kisaran umur > dari 90 tahun (Walker and Edward, 2003).
Pasien geriatri (elderly) merupakan pasien dengan karakteristik khusus karena

terjadinya penurunan massa dan fungsi sel, jaringan, serta organ. Hal ini menimbulkan perlu
adanya perubahan gaya hidup, perbaikan kesehatan, serta pemantauan pengobatan baik dari
segi dosis maupun efek samping yang mungkin ditimbulkan
Geriatri juga telah mengalami perubahan dalam hal

farmakokinetik

dan

farmakodinamik obat. Perubahan farmakokinetik yang terjadi karena adanya penurunan


kemampuan absorbsi yang disebabkan oleh perubahan dari saluran gastrointestinal,
perubahan distribusi terkait dengan penurunan cardiac output dan ikatan protein-obat,
perubahan metabolisme karena penurunan fungsi hati dan atau ginjal, serta penurunan laju
ekskresi karena terjadinya penurunan fungsi ginjal.
Farmakokinetik

Obat harus berada pada tempat kerjanya dengan konsentrasi yang tepat untuk mencapai
efek terapetik yang didapatkan. Perubahan-perubahan farmakokinetik pada pasien lanjut usia
memiliki peranan penting dalam bioavailabilitas obat tersebut. Proses-proses farmakokinetik
obat pada usia lanjut dijelaskan pada uraian di bawah ini.
1. Absorbsi
Penundaan pengosongan lambung, reduksi sekresi asam lambung dan aliran darah oragan
absorbsi secara teoritis berpengaruh pada absorbs itu sendiri. Namun pada kenyataannya
perubahan yang terkait pada usia ini tidak berpengaruh secara bermakna terhadap
bioavailabilitas total obat yang diabsorbsi. Beberapa pengecualian termasuk pada digoksin
dan obat dan substansi lain (misal thiamin, kalsium, besi dan beberapa jenis gula) (Aslam, et
al., 2003).
1. Distribusi
Farktor-faktor yang menentukan distribusi obat termasuk komposisi tubuh, ikatan plasmaprotein dan aliran darah organ dan lebih spesifik lagi menuju jaringan, semuanya akan
mengalami perubahan dengan bertambahnya usia, akibatnya konsentrasi obat akan berbeda
pada pasien lanjut usia jika dibandingkan dengan pasien yang lebih muda pada pemberian
dosis obat yang sama (Aslam, et al., 2003).
Tabel Pengaruh Usia terhadap Klirens Hepatik pada Beberapa Obat
Age-Related Decrease in Hepatic

No Age-Related Difference

Clearance Found

Found

AlprazolamBarbiturates

EthanolIsoniazid

Carbenoxolone

Lidocaine

Chlordiazepoxide

Lorazepam

Chlormethiazole

Nitrazepam

Clobazam

Oxazepam

Desmethyldiazepam

Prazosin

Diazepam

Salicylate

Flurazepam

Warfarin

Imipramine
Meperidine
Nortriptyline
Phenylbutazone
Propranolol
Quinidine, quinine
Theophylline
Tolbutamide

1. Eliminasi Ginjal
Penurunan aliran darah ginjal, ukuran organ, filtrasi glomerulus dan fungsi tubuler
merupakan perubahan yang terjadi dengan tingkat yang berbeda pada pasien geriatri.
Kecepatan filtrasi glomerolus menurun kurang lebih 1 % per tahun dimulai pada usia 40
tahun. perubahan tesebut mengakibatkan beberapa obat dieliminasi lebih lambat pada lanjut
usia. Beberapa kasus menunjukan bahwa konsentrasi obat dalam jaringan akan meningkat
sebanyak 50% akibat penurunan fungsi ginjal. Penurunan klirens kreatinin terjadi pada dua
pertiga populasi. Penting untuk diketahui bahwa penuruna klirens kreatinin ini tidak
dibarengi dengan peningkatan kadar kreatinin yang setara dalam serum karena produksi
kreatinin juga menurun seiring berkurangnya massa tubuh dengan pertambahan usia. Akibat
yang segera ditimbulkan oleh perubahan ini adalah pemanjangan waktu-paruh banyak obat
dan kemungkinan akumulasinya dalam kadar toksik jika dosis tidak diturunkan dalam hal
ukuran atau frekuensi. Rekomendasi pemberian obat untuk para lansia sering kali mencakup
batasan dosis untuk klirens ginjal yang menurun.
Paru berperan penting pada ekskresi obat volatile. Akibat berkurangnya kapasitas pernapasan
dan peningkatan insidens penyakit paru aktif pada lansia, anesthesia inhalasi menjadi lebih
jarang digunakan dan agen parenteral menjadi lebih sering digunakan pada kelompok usia
ini.

Adverse Drug Reaction (ADR) pada Geriatri


Definisi ADR
Menurut WHO, ADR didefinisikan sebagai respon terhadap suatu obat yang berbahaya dan
tidak diharapkan serta terjadi pada dosis lazim yang dipakai oleh manusia untuk tujuan
profilaksis, diagnosis, maupun terapi.
PENGGOLONGAN ADR
ADR secara umum dibagi menjadi dua kelompok utama, yaitu :
1. Reaksi Tipe A (augmented)
Adverse drug reaction tipe ini merupakan aksi farmakologis yang normal tetapi meningkat.
Reaksi tipe A berhubungan dengan dosis obat yang diminum. Reaksi ini dibagi lagi menjadi
reaksi yang dihasilkan dari aksi farmakologis primer atau sekunder. Contoh reaksi yang
dihasilkan dari aksi farmakologis primer adalah bradikardi karena pemakaian penghambat
adrenoseptor beta (beta-blocker), sedangkan contoh reaksi yang dihasilkan dari aksi
farmakologis sekunder adalah timbulnya mulut kering karena pemakaian antidepresi trisiklik
yangdisebabkan aktivitas antimuskarinik.
2. Reaksi Tipe B (bizarre)
Adverse drug reaction tipe B merupakan reaksi yang aneh dan tidak terkait sama sekali
dengan dosis, misalnya hemolisis dengan methyldopa atau trombositopenia dengan
penghambat ACE(Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors). Reaksi tipe ini berkaitan
dengan sistem metabolisme obat dan sistem imun tubuh penderita. Contoh yang umum terjadi
adalah syok anafilaksis setelah pemakaian antibiotik, hipertermia ganas setelah pemberian
anestesi, anemia aplastik karena pemakaian kloramfenikol.
Berikut merupakan perbedaan ciri-ciri antara ADR tipe A dan tipe B :
Tipe A
Dapat

Tipe B
diprediksi

farmakologinya)

(dari

pengetahuan Tidak dapat diprediksi (dari pengetahuan


farmakologinya)

Tergantung dosis

Jarang tergantung dosis

Morbiditas tinggi

Morbiditas rendah

Mortalitas rendah

Mortalitas tinggi

Dapat ditangani dengan pengurangan Dapat

ditangani

dengan

dosis

pengobatan

Angka kejadian tinggi

Angka kejadian rendah

penghentian

PENCEGAHAN ADR
Menurut British National Formulary beberapa cara untuk mencegah ADR yaitu :
1. Jangan menggunakan obat bila tidak diindikasikan dengan jelas. Jika pasien sedang hamil
jangan gunakan obat kecuali benar-benar diperlukan.
2. Alergi dan idiosinkrasi merupakan penyebab penting ADR. Tanyakan apakah pasien
pernah mengalami reaksi sebelumnya.
3. Tanyakan jika pasien sedang menggunakan obat-obatan lain termasuk obat yang dipakai
sebagai swamedikasi. Hal ini dapat menimbulkan interaksi obat.
4. Usia dan penyakit hati atau ginjal dapat mengubah metabolisme dan ekskresi obat,
sehingga dosis yang lebih kecil diperlukan.
5. Meresepkan obat sesedikit mungkin dan memberikan petunjuk yang jelas kepada pasien
geriatri dan pasien yang kurang memahami petunjuk yang rumit.
6. Jika memungkinkan gunakan obat yang sudah dikenal. Dengan menggunakan suatu
obatbaru perlu waspada akan timbulnya ADR.
7. Jika kemungkinan terjadinya ADR yang serius, pasien perlu diperingatkan.

Obat-Obatan yang Berisiko Terhadap Kejadian ADRs pada Geriatri


OBAT SISTEM SARAF PUSAT
Sedatif-Hipnotik

Waktu paruh obat benzodiazepin dan barbiturat meningkat 50-150% antara usia 30-70 tahun.
Untuk benzodiazepin, baik molekul induk maupun metabolitnya aktif secara farmakologis.
Ginjal dapat mengalami penurunan fungsi seiring dengan pertambahan usia sehingga
berakibat pada penurunan eliminasi senyawa-senyawa ini.
Analgesik
Penggunaan analgesik golongan opioid menunjukkan pengaruh pada fungsi pernapasan pada
kaum lansia.Oleh sebab itu, kelompok ini harus digunakan dengan hati-hati dan perlu
dilakukan penyesuaian dosis untuk pasien agar tercapai efek maksimal.
Obat Antipsikotik dan Antidepresan
Agen psikotik (fenotiazin dan haloperidol) sudah banyak digunakan dalam tatalaksana
berbagai penyakit psikiatrik pada kaum lansia.Agen-agen ini memang tidak diragukan lagi
bermanfaat dalam tatalaksana skizofrenia pada orang tua serta mungkin pula bermanfaat
dalam pengobatan beberapa gejala yang terkait dengan delirium, dementia, agitasi,
agresivitas, dan sindrom paranoid yang dialami beberapa pasien geriatrik.Namun, agen-agen
ini tidak terlalu menunjukkan hasil yang memuaskan ketika digunakan untuk mengobati
penyakit geriatrik ini sehingga dosis agen tidak boleh ditingkatkan berdasarkan asumsi bahwa
hasil maksimal dapat tercapai dengan tindakan ini.Tidak terdapat bukti bahwa obat-obat ini
bermanfaat pada demensia Alzheimer, bahkan menurut teori, efek antimuskarinik fenotiazin
dapat memperburuk gangguan ingatan dan disfungsi intelektual.Banyak dari perbaikan yang
tampaknya dialami oleh pasien agitasi dan agresif sebenarnya hanya menunjukkan efek
sedatif obat.Bila suatu antipsikotik sedatif diperlukan, golongan fenotiazin seperti tioridazin
lebih tepat untuk digunakan.
Karena meningkatnya responsivitas terhadap obat jenis ini, besarnya dosis awal biasanya
dimulai dari sebagian dosis yang digunakan pada dosis orang dewasa.Waktu paruh fenotiazin
meningkat pada geriatrik.
OBAT KARDIOVASKULAR
Obat Antihipertensi
Tekanan darah khususnya tekanan sistolik meningkat seiring bertambahnya usia. Prinsip
dasar terapi hipertensi pada kelompok geriatrik tidak berbeda dengan prinsip terapi hipertensi
pada

orang

dewasa.Tiazid

menjadi

langkah

pertama

yang

tepat

dalam

terapi

obat.hipokalemia, hiperglikemia, dan hiperurisemia yang disebabkan oleh agen-agen ini lebih
bermakna pada kaum lansia karena tingginya insidens aritmia, diabetes tipe 2, dan gout pada
pasien-pasien ini. Jadi, penggunaan dosis antihipertensif yang rendah ketimbang dosis
diuretik maksimum sangatlah penting.

Agen Inotropik Positif


Gagal jantung merupakan suatu penyakit yang umum dan sangat mematikan pada
kaum lansia. Kondisi ini yang menjadi alasan dokter terlalu berlebihan dalam menggunakan
glikosida jantung pada kelompok usia ini. Efek toksik kelompok obat ini sangat berbahaya
karena klirens dan volume distribusi glikosida mengalami penurunan, waktu paruh obat ini
dapat meningkat hingga 50% atau lebih.Karena sebagian besar obat ini dibersihkan oleh
ginjal, fungsi ginjal harus dipertimbangkan dalam merencanakan suatu regimen dosis.
OBAT ANTIINFLAMASI
Obat antiinflamasi non steroid (OAINS) harus digunakan dengan hati-hati pada pasien
geriatrik karena obat-obat ini menyebabkan toksisitas, contoh aspirin toksisitas yang paling
sering timbul adalah iritasi saluran cerna.Selain itu, lebih lanjut dapat menyebabkan
terjadinya kerusakan ginjal yang bersifat ireversibel.
Pada tahun 1991, Beers et al. mempublikasikan kriteria untuk mengevaluasi pengobatan yang
tidak cocok pada penggunaan di rumah perawatan. Daftarnya diturunkan berdasarkan opini
konsensus pada indikator peresepan dari suatu panel oleh 13 orang ahli, terdiri dari 19
pengobatan/kelas yang dihindari pada rumah perawatan, seperti antihipertensif, psikotropik,
agen hipoglikemik oral, NSAID dan analgesik dari diagnosis, dosis dan frekuensi pemberian
dosis.
Pada tahun 1997, berdasarkan opini konsensus dari suatu panel oleh 6 orang ahli, Beers
mempublikasikan revisi dari kriteria untuk penggunaan obat yang secara potensial tidak
cocok yang diasosiasikan dengan 28 pengobatan/kelas untuk menghindari pasien rawat jalan
berusia 65 tahun atau lebih tua di rumah perawatan.
Pada tahun 2001, Zhan et al. menggunakan suatu panel dari ahli untuk mengklasifikasikan
kriteria obat Beers menjadi 3 kategori:

a)

Obat yang harus selalu dihindari pada lansia

b)

Obat yang kemungkinan tidak cocok pada kondisi pelik

c)

Obat yang memiliki beberapa indikasi untuk digunakan pada populasi lansia tapi sering

disalahgunakan.
Obat yang tidak boleh diberikan pada lansia
Beberapa obat yang secara klinis dapat menyebabkan masalah untuk lansia :
1. Meperidin : terkait dengan peningkatan delirium
2. Long-acting benzodiazepine : diazepam, flurazepam terakumulasi setiap hari,
menyebabkan delirium dan pingsan
3. Amitriptyline, imipramine : amina tersier lebih cocok sebagai antikolinergik daripada
amina sekunder nortriptyline dan desipramine
4. Metoclopramide, klorpromazin sering diperkirakan dapat menyebakan reaksi
ektrapiramidal
5. Procyclidine, benztropine : berkontribusi untuk delirium bila dikaitkan dengan
neuroleptik dalam pengobatan delirium

Contoh Regimen Dosis pada beberapa Kelas Terapi:


1. Start low, go slow

benzodiazepine

antidepresan

neuroleptik

antihipertensi agen

1. Keep going

ACE Inhibitor

Antidepresan

1. Stay low

Lithium

Antilonvulsan

Digoxin

Opioid

Benzodiazepine

Antibiotik (dosis yang lebih rendah diperlukan dan terbukti berkhasiat).

Banyak situasi tertentu yang ditemukan untuk menghentikan ketergantungan pasien pada
penggunaan obat dan menghentikan penggunaan obat tidak tepat. Diantaranya, berikut
contoh-contoh yang sering terjadi :

Sering terjadi kegagalan pengobatan jantung diastolik (yang diperlakukan sebagai


sistolik)

Kejang diperlakukan sebagai epilepsy

Agen hipoglikemik oral tidak lagi dibutuhkan setelah penggunaan insulin jangka
panjang, atau dalam regimen yang dibuat tidak dengan hati-hati.

Melupakan penggunaan steroid dalam keadaan stabil (PPOK, rheumatoid, arthritis)

Agen penurun lipid sebagai pencegah primer dalam jangka lama.

Teofilin diresepkan sebagai monoterapi untuk kondisi kelainan pada paru.

Terapi paliatif dimana pengobatan pencegahan primer dan sekunder masih dilakukan.

Diagnosa terbaru yang memungkinkan adanya kejadian yang tidak diinginkan (e.g.,
delirium, hipotensi ortostatik, SIADH (Syndrome of Inappropriate Secretion of
Antidiuretic Hormone)).

Perubahan fisiologis dan patologis pada pasien yang menerima obat untuk beberapa tahun:
perkembangan dari gagal ginjal, demensia. Jangan mengikuti penggunaan obat-obatan yang
tidak sesuai karena sebelumnya keadaan tersebut dapat ditoleransi dulu oleh pasien.
Kriteria STOPP and START
STOPP Screening Tool of Older Persons
STOPP

potentially inappropiate Prescriptions

merupakan alat skrining yang dikembangkan dan dapat

digunakan untuk

meningkatkan kualitas dan keamanan resep obat untuk pasien usia lanjut. Sehingga adanya
polifarmasi irasional dan Adverse Drug Reactions dapat dideteksi.
START - Screening Tool to Alert to Right Treatment
START merupakan alat skrining untuk mendeteksi adanya kemungkinan obat yang perlu
diberikan tetapi tidak diberikan sehingga dapat pula mencegah polifarmasi irasional.

Pada lansia, resep obat adalah masalah yang kompleks sebagai pasien yang lebih tua
cenderung memiliki kondisi yang lebih bersamaan. Sejumlah besar kondisi juga
menyebabkan sejumlah besar perawatan obat bersamaan yang meningkatkan kemungkinan
komplikasi berbahaya dalam kasus pasien. Selain itu, sering ada pengobatan yang akan
bermanfaat bagi pasien individu yang ada dalam rencana pengobatan mereka. Adanya kriteria
START dan STOPP ini dapat membantu memberikan informasi resep dokter dan apoteker
untuk

memastikan

bahwa

pasien

tua

diberi

perawatan

terbaik.

Sehingga dapat difokuskan pada menghindari penggunaan obat-obatan yang berpotensi tidak
pantas

pada

lansia.

Berikut ini adalah kriteria START dan STOPP yang meliputi berbagai sistem organ.

Lansia

Peningkatan jenis
dan durasi
penyakit :

Polifarmasi

Sistem Saraf Pusat

Inappropriate
prescribing
(IP)

Sistem
Kardiovaskular
Sistem
Gastrointestinal
Sistem Respiratori
Sistem
Muskuloskleteal
Sistem Urogenital

Kriteria
START/STOPP

Penuruna
n

Adverse Drug
Reactions

You might also like