You are on page 1of 11

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hipertensi adalah sebuah keadaan dimana tekanan darah meningkat dan memberikan
gejala yang berkelanjutan pada organ target, seperti Stroke (untuk otak), penyakit jantung
koroner untuk pembuluh darah jantung dan hipertrofi ventrikel kanan (untuk otot jantung).
(Bustan N M, 2007)
Hipertensi dikenal

secara

luas

sebagai

penyakit

kardiovaskular.

Diperkirakan telah menyebabkan 4.5% dari beban penyakit secara global,


dan prevalensinya hampir sama besar di negara berkembang maupun di
negara maju.1 Hipertensi merupakan

salah satu faktor risiko utama

gangguan jantung. Selain mengakibatkan gagal jantung, hipertensi dapat


berakibat terjadinya gagal ginjal maupun penyakit serebrovaskular. Penyakit
ini bertanggung jawab terhadap tingginya biaya pengobatan dikarenakan
alasan tingginya angka kunjungan ke dokter, perawatan di rumah sakit dan /
atau penggunaan obat jangka panjang. Pada kebanyakan kasus, hipertensi
terdeteksi saat pemeriksaan fisik karena alasan penyakit tertentu, sehingga
sering disebut sebagai silent killer. Tanpa disadari penderita mengalami
komplikasi pada organ-organ vital seperti jantung, otak ataupun ginjal.
Gejala-gejala akibat hipertensi, seperti pusing, gangguan penglihatan,
dan sakit kepala, seringkali terjadi pada saat hipertensi sudah lanjut disaat
tekanan darah sudah mencapai angka tertentu yang bermakna. Di Amerika,
menurut National Health and Nutrition Examination Survey (NHNES III); paling
sedikit 30% pasien hipertensi tidak menyadari kondisi mereka, dan hanya
31% pasien yang diobati mencapai target tekanan darah yang diinginkan
dibawah 140/90 mmHg.3 Di Indonesia, dengan tingkat kesadaran akan
kesehatan yang lebih rendah, jumlah pasien yang tidak menyadari bahwa
dirinya menderita hipertensi dan yang tidak mematuhi minum obat
kemungkinan lebih besar.
Tekanan darah yang tinggi dapat mempercepat pelapukan dan kerusakannya terutama

pada organ yang dituju yakni otak, koroner dan ginjal. Oleh karena itu Hipertensi yang tidak

diobati sering mengakibatkan stroke dan serangan jantung yang berbahaya. Stroke dan
serangan jantung yang fatal mempunyai peluang dua kali lebih besar daripada mereka yang
memiliki tekanan darah normal di usia yang sama. Beberapa penyebab hipertensi dikarenakan
asupan makanan yang tinggi sodium, stress, psikologi, kegelisahan dan hiperaktivitas. (Wolff
Peter Hanns 2006).
Di Indonesia, hipertensi merupakan masalah kesehatan yang perlu diperhatikan oleh
karena angka prevalensinya yang tinggi. Di Indonesia, sampai saat ini belum terdapat
penyelidikan yang bersifat nasional, multisenter yang dapat menggambarkan prevalensi
hipertensi secara tepat (Suyono et all,2001).
Perjalanan penyakit hipertensi sangat perlahan, penderita hipertensi mungkin tidak
menunjukkan gejala selama bertahun-tahun. Masa laten ini menyelubungi perkembangan
penyakit sampai terjadi kerusakan organ yang bermakna. Bila terdapat gejala, sifatnya non
spesifik misalnya sakit kepala atau pusing. Kalau hipertensi tidak ditangani dengan baik,
dapat menyebabkan kematian karena payah jantung, infark miokardium atau stroke.
Penemuan dini hipertensi dan perawatana yang efektif dapat mengurangi kemungkinan
morbiditas dan mortalitas. (Sylvia, 1995).
Strategi pengobatan hipertensi harus dimulai dengan perubahan gaya hidup berupa diet
rendah garam, berhenti merokok, mengurangi konsumsi alkohol, aktivitas yang teratur dan
penurunan berat badan. Selain itu, pengobatan tersebut juga harus dilakukan terapi
farmakologis. Dikenal lima obat lini pertama yang lazim digunakan yaitu diuretik, beta
blocker, ACE inhibitor, angiotensin receptor blocker dan antagonis kalsium.
Diuretik bekerja meningkatkan ekskresi natrium, air dan klorida sehingga menurunkan
volume darah dan cairan ekstrasellular. Akibatnya, terjadi penurunan curah jantung dan
tekanan darah. Selain mekanisme tersebut, beberapa diuretik juga menurunkan resistensi
perifer sehingga menambah efek hipotensinya. Efek ini diduga akibat penurunan Natrium di
ruang interstitial dan di dalam sel otot polos pembuluh darah yang selanjutnya menghambat
influks Kalsium. Penelitian besar membuktikan bahwa efek proteksi kardiovaskular diuretik
belum terkalahkan oleh obat lain sehingga diuretik dianjurkan untuk sebagian besar kasus
hipertensi ringan dan sedang. Diuretik, terutama golongan tiazid, adalah obat lini
pertama untuk kebanyakan pasien dengan hipertensi .
2

BAB II
FARMASI
2.1 Tiazid
2.1.1 Sifat Fisiko Kimia
Sifat fisik dari Thiazid berwarna putih atau hampir putih. Bentuknya bubuk kristal.
hampir tidak berbau. Sedikit atau sangat sedikit larut dalam air, sedikit larut dalam alkohol,
larut dalam aseton, bebas larut dalam dimetilformamida, n-butylamine, dan larutan alkali
hidroksida, larut dalam eter, kloroform, dan encer asam mineral (Reynolds, 1989; Budavri,
1989).
2.1.2 Rumus Kimia
Rumus molekul : C7H8ClN3O4S2
Berat molekul

: 297,72

Nama kimia

6-Chloro-3 ,4-dihidro-2H-1 ,2,4-benzothiadiazine-7-sulfonamide 1,1-dioksida.


6-Chloro-3 ,4-dihidro-7-sulfamoil-2H-1 ,2,4-benzothiadiazine 1,1-dioksida
6-Chloro-7-sulfamyl-3 ,4-dihidro-1 ,2,4-benzothiadiazine 1,1 - dioksida
(Budavri, 1989; Reynolds, 1989)
Terdapat beberapa obat yang termasuk golongan tiazid antaralain hidroklorotiazid,
bendroflumetiazid, klorotiazid dan diuretik lain yang memiliki gugus aryl-sulfonamida
(indapamid dan klortalidon).
2.2 Farmasi Umum

Golongan thiazid : Hidroklorothiazid (HCT) merupakan prototipe golongan tiazid dan


dianjurkan untuk sebagian besar kasus hipertensi ringan dan sedang dalam kombinasi dengan
berbagai antihipertensi yang lain. Dalam dosis yang ekuipoten berbagai golongan tiazid
memiliki efek dan efek samping yang kurang lebih sama. Perbedaan utama terletak pada
masa kerjanya. Bendroflumetazid memiliki waktu paruh 3 jam, hidroklorotiazid 10-12 jam
dan indapamid 15-25 jam.
Tabel 2.2 Dosis dan sediaan diuretik Tiazid (Farmakologi dan terapi UI, 2007)
Obat
Hidroklorotiazid
Klortaridon
Indapamid
Bendroflumetiazid
Metolazon
Metolazon rapid acting
Xipamid

Dosis
(mg)
12,5-25
12,5-25
1,25-2,5
2,5-5
2,5-5
0,5-1
10-20

Pemberian
1 x sehari
1 x sehari
1 x sehari
1 x sehari
1 x sehari
1 x sehari
1 x sehari

Sediaan
Tab 25 dan 50 mg
Tab 50 mg
Tab 2,5 mg
Tab 5 mg
Tab 2,5 ; 5 dan10 mg
Tab 0,5 mg
Tab 2,5mg

Penggunaan : sampai sekarang Thiazid merupakan obat utama dalam terapi hipertensi.
Berbagai penelitian besar membuktikan bahwa diuretik terbukti paling efektif dalam
menurunkan resiko kardiovaskular. Tiazid terutama efektif untuk pasien hipertensi dengan
kadar renin yang rendah misalnya pada orang tua. Pada kebanyakan pasien, efek anti
hipertensi mulai terlihat dengan dosis HCT 12,5 mg/hari. Bila digunakan sebagai monoterapi,
dosis maksimal sebaiknya tidak melebihi 25 mg HCT atau klortalidon per hari,
karenapeningkatan dosis selanjutnya akan meningkatkan efek samping. Tiazid dapat
digunakan sebagai obat tunggalpada hipertensi ringan sampai sedang atau dalam kombinasi
dengan antihipertensi yang lain bila TD tidak berhasil diturunkan dengan diuretik saja.
Tiazid sering dikombinasikan dengan antihipertensi yang lain karena dapat meningkatkan
efektivitas antihipertensi yang lain dengan mekanisme kerja yang berbeda sehingga dosisnya
dapat dikurangi, dengan kombinasi tiazid juga dapat mencegah retensi cairan oleh
antihipertensi lain sehingga efek obat tersebut dapat bertahan. (Farmakologi dan terapi UI
2007)
2.4 Farmakokinetik

Tiazid diabsorbsi dengan baik dalam traktus GIT. Hidroklorotiazid memiliki kekuatan
ikat protein yang lebih lemah dibandingkan dengan furosemid. Waktu paruh tiazid lebih
panjang daripada diuretik loop (kuat). Untuk alasan ini tiazid harus diberikan pada pagi hari
untuk menghindari nokturia (berkemih di malam hari)
2.5 Farmakodinamik
Tiazid bekerja langsung pada arteriol menyebabkan vasodilatasi sehingga dapat
menurunkan TD.Thiazid menghambat transport natrium klorida di tubulus distal. Karena
transporter ini hanya menyerap kembali sekitar 5%yang disaring natrium, diuretik ini
sebenarnya kurang ampuh. Awal kerja dari hidrotiazid timbul dalam waktu 2 jam dan untuk
furosemid dalam 1 jam. Konsentrasi puncak berbeda. Tiazid terbagi dalam tiga kelompok
sesuai dengan lama kerjanya, tiazid kerja pendek memiliki lama kerja kurang dari 12 jam,
tiazid kerja menengah lama kerjanya 12-24 jam dan yang bekerja lama lebih dari 24 jam.
Mekanisme Thiazide sangat bergantung padaproduksi prostaglandin ginjal. Karena thiazide
diuretik loopdan natrium meningkatkan pengiriman ke segmen distal tubulus distal,ini akan
meningkatkan kehilangan kalium karena peningkatan konsentrasi natrium distal tubular
aldosteron merangsang pompa natrium sensitif untuk meningkatkan reabsorbsi natrium yang
akan ditukar oleh kaliumdan ion hidrogen yang hilang ke urin.
2.6 Efek samping dan reaksi yang merugikan
Ketidakseimbangan elektrolit (hipokalemia, hipokalsemia, hipomagnesemia dan
kehilangan bikarbonat), hiperglisemia (gula darah meningkat), hiperurisemia (kadar asam
urat serum meningkat), dan hiperlipidemia (kadar lemak darah meningkat).Tanda dan gejala
dari hipokalemia harus dikaji dan kadar kalium serum harus diawasi dengan ketat. Kadar
asam urat dan kalsium harus diperiksa karena tiazid menghambat ekskresi kalsium dan asam
urat, bisa terjadi hiperkalsemia dan hiperurisemia. Tiazid mempengaruhi metabolisme
karbohidrat dan bisa terjadi hiperglikemia terutama pada klien yang memiliki kadar gula
darah tinggi atau diatas normal. Tiazid dapat meningkatkan kolesterol serum, lipoprotein
berdensitas rendah dan kadar trigliserida. Mungkin perlu diberikan obat untuk menurunkan
kadar lemak darah. Efek samping lain mencakup pusing, sakit kepala, mual, muntah,
konstipasi, urtikaria dan diskrasia darah (jarang).
Tiazid dosis tinggi dapat menyebabkan hipokalemia yang dapat berbahaya pada pasien yang
mendapat digitalis. Efek samping ini dapat dihindari bila tiazid diberikan dalam dosis rendah

atau dikombinasikan dengan obat lain seperti diuretik hemat kalium atau penghambat enzim
konversi angiotensin (ACE inhibitor). Sedangkan suplemen kalium tidak lebih efektif.
2.7 Kontraindikasi
Tiazid kehilangan efektivitas diuretik dan antihipertensinya sehingga Tiazid menjadi
Kontraindikasi bila dipakai pada penderita gagal ginjal. Gejala gangguan fungsi ginjal yang
berat meliputi oligouria (penurunan jumlah urin yang sangat jelas), peningkatkan nitrogen
urea darah dan peningkatan kreatinin darah.
2.8 Interaksi obat
Dari berbagai interaksi obat, yang paling serius adalah penggunaannya bersama
digoksin. Tiazid dapat menyebabkan hipokalemia yang menguatkan kerja digoksin dan bisa
terjadi keracunan digitalis. Tanda dari keracunan digitalis (Bradikardi, mual, muntah,
perubahan penglihatan). Tiazid juga menguatkan litium, dan dapat terjadi keracunan litium.
Tiazid memperkuat kerja obat antihipertensi lainnya yang mungkin dipakai secara kombinasi
dengan pengobatan hipertensi.
Efek antihipertensi tiazid mengalami antagonisme oleh anti inflamasi non steroid
(AINS) terutama Indometasin karena AINS menghambat sintesis prostaglandinyang berperan
penting dalam pengaturan aliran darah ginjal dan transport air dan garam. Akibatnya terjadi
retensi natrium dan air yang akan mengurangi efek hampir semua obat antihipertensi.

BAB III
PENELITIAN YANG PERNAH DILAKUKAN
3.1 Evaluasi penggunaan diuretik Thiazide sebagai terapi pilihan dalam penderita
hipertensi esensial (Ronald S. GREENE, Marissa ESCOBAR QUINONES, Krystal L.
EDWARDS diambil dari www.pharmacypractice.org yang dipublikasikan pada tahun
2007)
Diuretik thiazide adalah antihipertensi yang efektif dan terbukti mengurangi
risiko kejadian kardiovaskular dan stroke. Meskipun menjadi pilihan utama yang
penting untuk hipertensi, diuretik thiazide terus kurang dimanfaatkan dalam
pengobatan.
Metode yang digunakan yaitu dengan cara mendata terapi apa yang didapatkan
pasien yang telah di diagnosis sebagai penderita hipertensi. Jumlah total pasien yang
diikutsertakan dalam penelitian tersebut sebanyak Sebanyak 478 pasien yang
memenuhi kriteria inklusi dan ditinjau untuk penelitian ini. Usia rata-rata adalah 57,2
(SD = 12,2) tahun dan 84,3% dari Populasi adalah laki-laki. ACE inhibitor (ACEI)
yang yang paling sering diresepkan antihipertensi kelas obat sebesar 35,4% (n = 169)
diikuti oleh dihydropyridine calcium channel blockers (DHP CCB) dan diuretik
thiazide (thiazide) masing-masing sebesar 20,3% (n = 97). Beta blocker (BB) yang
diwakili 15,7% (n = 75) dari total resep dengan sisanya 8,3% pasien (n = 40)
diresepkan lainnya terapi. Terapi lain terdiri dari nondihydropyridine calcium channel
blockers, alpha-1 antagonis, angiotensin receptor blocker dan alpha-2 agonis dalam
rangka penurunan frekuensi.
Kesimpulan: Diuretik thiazide yang kurang dimanfaatkan sebagai terapi pilihan
pada pasien dengan hipertensi lama atau baru.
3.2 Terapi thiazide Jangka Panjang dalam Hipertensi esensial: Bukti untuk Perubahan
Persistent dalam Volume Plasma dan Aktivitas Renin (Robert c. tarazi, Harriet
p. dustan and Edward d. Frohlich dipublikasikan oleh American Heart
Association)
Volume plasma (RIHSA) dan aktivitas renin plasma perifer (metode Pickens ')
diukur dalam delapan pasien hipertensi esensial diobati dengan diuretik thiazide
sendirian mulai dari 6 sampai 24 bulan. Pengobatan lalu berhenti dan pengukuran
ulang

pada

interval

mingguan

selama

sebulan.

Selama

minggu

pertama

penghentian,berat badan dan volume plasma meningkat di semua (P <0.001 untuk

kedua), sementara aktivitas renin plasma perifer turun 3,66-1,04 ng / ml (P <0,005),


dan serum. Konsentrasi natrium praktis tidak berubah. Selama 3 minggu ke depan,
baik plasma volume dan berat badan secara bertahap jatuh dari tinggi minggu pertama
"Rebound" nilai ke dataran tinggi pada tingkat yang lebih tinggi dari yang diperoleh
selama pengobatan (2.741 vs 2.567 ml, P <0,001 dan 76,1 vs 74,7 kg, P <0,001,
masing-masing). Pada saat yang sama, aktivitas renin plasma perifer tetap stabil dan
jelas lebih rendah daripada selama pengobatan (P <0,001), sementara tekanan darah
berangsur naik. Air ekstraseluler (ECW) diukur serial (radiobromine) dalam lima
pasien, yang memiliki variasi berat badan yang sepenuhnya dijelaskan oleh perubahan
ECW, dan rasio plasma cairan interstitial volume tetap stabil. Data ini menunjukkan
bahwa penurunan tekanan darah dengan jangka panjang berhubungan dengan terapi
thiazide dikaitkan dengan gigih kontraksi volume plasma dan terjadi peningkatan
aktivitas renin perifer. Tidak ada bukti untuk dehidrasi intraseluler kronis, dan variasi
dalam aktivitas renin perifer terkait dengan perubahan volume plasma dan tidak
konsentrasi natrium serum.
3.3 Metoprolol dibandingkan diuretik thiazide dalam hipertensi. Hasil dari studi
Morbiditas MAPHY (John Wikstrand, Ingrid Warnold, Jaakko Tuomilehto,
Gunnar Olsson, Hamish J. Barber, Keith Eliasson, Dag Elmfeldt, Birthe Jastrup,
Nicholas B. Karatzas, John Leer, Fausto Marchetta, Johann Ragnarsson, NMichelle Robitaille,Liba Valkova, Harry Wesseling, and Goran Berglund
dipublikasikan oleh American Heart Association)
Penelitian ini dilakuak pada pria hipertensi (berusia 40-64 tahun) dengan darah
diastolik tidak diobati. Tekanan di atas 100 mm Hg bertujuan menyelidiki apakah
metoprolol (n = 1.609) diberikan sebagai pengobatan awal akan menurunkan risiko
kejadian koroner (kematian mendadak dan infark) lebih efektif daripada diuretik
thiazide (n = 1.625). Sebagian besar dari studi ini adalah lengan metoprolol dari
Serangan Jantung Pencegahan Primer di Hipertensi (HAPPHY) studi. Penelitian
HAPPHY adalah penyatuan efek yang berbeda / J-blocker, terutama metoprolol dan
atenolol, di mana tidak ada efek yang menguntungkan dalam risiko relatif diamati
untuk atenolol dibandingkan dengan diuretik.
Dalam penelitian ini, 255 pasien mengalami kejadian koroner pasti selama
tindak lanjut, 25% dari peristiwa ini adalah fatal, 39% adalah infark miokard akut, dan
36% adalah infark miokard diam. Risiko kejadian koroner secara signifikan lebih
rendah pada pasien metoprolol dibandingkan pada pasien pada diuretik (111 vs 144
kasus, p = 0,001, sesuai dengan 143 dibandingkan 18,8 kasus / tahun 1.000 pasien dan

risiko relatif dari 0,76 pada akhir persidangan, 95% confidence interval 0,58-0,98).
Perbedaan risiko memiliki implikasi potensial penting untuk praktek klinis karena
sejumlah besar pasien hipertensi yang mengalami peningkatan risiko kejadian koroner.
Karena kelompok plasebo, dengan alasan etis, tidak bisa dimasukkan, risiko relatif
hanya dapat dinyatakan dalam kaitannya dengan diuretik. Tidak ada perbedaan antara
dua kelompok perlakuan dalam karakteristik awal, tekanan darah selama masa tindak
lanjut, atau stroke tarif. Dengan demikian, perbedaan risiko kejadian koroner mungkin
dimediasi melalui mekanisme selain mengontrol tekanan darah. Namun, data ini
mungkin menunjukkan bahwa berbeda/ 3-blocker mungkin memiliki khasiat yang
berbeda dalam mencegah kejadian koroner. Alasan untuk ini kemungkinan belum
diketahui.
3.4 Pengaruh Diuretik thiazide pada Volume Plasma, Elektrolit Tubuh, dan Ekskresi
Aldosteron di Hipertensi (RAY W. GIFFORD, JR., VERNON R. MATTOX,
ALAN L. ORVIS, DONALD A. SONES and JOHN W. ROSEVEAR)
Sekelompok 28 pasien hipertensi termasuk dalam penelitian ini, 19 adalah lakilaki, usia dari pasien antara 36 hingga 75 tahun. Semua hipertensi diastolik telah
menderita dari ringan sampai keparahan moderat. Hanya dua memiliki temuan retina
kelompok 3 hipertensi, 'sisanya memiliki perubahan arteriol retina kelompok. Tidak ada
yang memiliki gagal jantung kongestif atau edema terdeteksi dari sebab apapun pada
saat penelitian dilakukan. Urea darah diukur kurang dari 50 mg. per 100 ml.
Hasil yang didapatkan Sebuah penurunan signifikan secara statistik dalam
volume plasma terjadi selama minggu pertama terapi dengan diuretik thiazide.
Penurunan rata-rata selama periode ini adalah 8,8 persen. Sebagai pengobatan
dilanjutkan, Namun, volume plasma cenderung untuk kembali atau ke arah normal, dan
sedikit penurunan volume plasma rata-rata diamati setelah minggu pertama terapi
secara statistik tidak signifikan. Tidak ada perubahan yang signifikan pula pada
konsentrasi elektrolit.Untuk

ekskresi aldosteron, Enam belas penentuan jumlah

aldosteron diekskresikan dalam urin dalam 24 jam dibuat pada sembilan pasien
hipertensi dari 3 hari sampai 2 bulan setelah penggunaan thiazide diuretik dimulai.
Hampir semua nilai berada dalam batas normal (2 sampai 16 kendi. per hari) dan tidak
bervariasi secara signifikan dari tingkat pretreatment.

BAB IV
PEMBAHASAN

BAB V
KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA
1. 2003 World Health Organization (WHO) / International Society of
Statement on Management of Hypertension. J Hypertens 2003;21:1983-1992

Hypertension

2. Chobaniam AV et al. Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention,


Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. JAMA 2003;289:25602572
3. Joyce L Kee dan Evelyn r Hayes. Farmakologi pendekatan proses keperawatan . EGC.
1996. Jakarta

You might also like