You are on page 1of 5

Manneke Budiman

Universitas Indonesia

Sihir yang Membebaskan:

Demistifikasi Perempuan Patriarki


dalam Sihir Perempuan

Sihir Perempuan

Oleh Intan Paramadhita

Depok, Katakita, Mei 2005

150 halaman

Diantara maraknya karya-karya penulis perempuan muda yang bermunculan

pada saat ini, secara kasar ada dua kecenderungan utama yang dapat kita lihat. Yang
pertama adalah karya-karya penulis perempuan yang secara sadar mengangkat tubuh dan
seksualitas sebagai persoalan serius. Kedua, karya-karya penulis perempuanyang tidak
secara khusus bergelut dengan soal-soal keperempuanan, meskipun tokoh-tokoh
utamanya kebanyakan adalah perempuan. Termasuk dalam kelompok pertama adalah
Ayu Utami, Dinar Rahayu, dan djenar Maesa Ayu,untuk menyebut beberapa diantaranya.
Sementara itu, nama-nama seperti Linda Christianty, Nukila Amal, Nova Riyanti Yusuf,
dan beberapa yang lain cenderung menjadi bagian dari kelompok kedua.
Intan Paramadhita, dari segi pilihan topik, tampaknya lebih mudah
dikelompokkan bersama mereka yang tidak terlalu pusat perhatiannya pada soal-soal
tubuh perempuan dan seksualitasnya. Namun, ada dua hal penting yang membedakan
Intan dari kebanyakan penulis perempuan dalam kelompok ini. Pertama, Intan
menempatkan perspektif perempuan sebagai aspek utama dalam banyak cerpennya.
Karya-karyanya tak hanya berbicara tentang tokoh-tokoh perempuan dan apa yang
dialami mereka, melainkan juga memandang kesemuanya itu dari kacamata perempuan.
Persoalan sudut pandang ini penting, terutama dalam membingkai pesan yang hendak
disampaikan lewat cerita dan mengarahkan identifikasi pembaca pada tokoh-tokoh
perempuan dalam cerita.
Hal kedua, yang juga menarik untuk diperbincangkan, adalah teknik penceritaan.
Dalam hal inilah barangkali Intan Paramadhita membedakan dirinya dari para penulis
segenerasinya. Intan bertutur dengan strategi yang diperhitungkan secara cermat dan
metodik untuk mencapai efek tunggal yang klimaktik pada akhir setiap ceritanya. Dalam
hal ini, ia setia betul dengan diktum cerita pendek yang pernah digariskan cerpenis
Amerika tersohor, Edgar Allan Poe, yang menegaskan bahwa sebuah cerpen dinilai
efektif apabila mampu mengarahkan segala peranti kreatif yang dimilikinya untuk
mencapai sebuah efek yang tunggal dan dramatik pada penghujung cerita. Dalam
praktiknya, Poe sendiri dikenal sebagai seorang penulis cerita horor bernuansa gothik
yang selalu menghadirkan kejutan pada akhir setiap karyanya. Jejak-jejak resep Poe ini
juga dapat dilacak dalam banyak cerpen karya O. Henry, yang gemar menghadirkan
kejutan bahkan pada kalimat terakhir sebelum cerita betil-betul tamat.
Pada karya-karya Intan, teknik bercerita yang khas ini juga dibalut oleh suasana
horor yang membuat cerita kian mencekam seiring dengan perkembangannya, ditambah
lagi dengan perspektif perempuan yang digunakan olehnya untuk membangun penokohan
dan alur. Beberapa tahun yang lampau, Haryati Soebadyo, dengan nama samaran
Aryanti, juga pernah menulis cerpen-cerpen bergenre misteri dan horor uang melibatkan
makhluk-makhluk supernatural, tetapi perbedaan prinsip antara karya-karya haryati dan
Intan terletak pada perspektifnya. Meskipun banyak tokoh perempuan dalam kumpulan
cerpen Sihir Perempuan bersosok hantu atau mahkluk gaib lainnya, lewat perspektif
perempuan yang digunakan Intan keberpihakan dan simpati pembaca berhasil digiring ke
tokoh-tokoh hantu yang secara tradisional dipandang sebagai momok yang menakutkan
itu.
Dalam “Pemintal Kegelapan”, misalnya, seorang anak perempuan memendam
rasa ingin tahunya tentang apa yang ada dibalik dinding kamar misterius yang selalu
terkunci di loteng rumahnya. Aksesnya ke isi ruangan itu hanyalah dongengan ibunya
tentang seorang hantu perempuan patah hati yang tak pernah berhenti memintal selimut
untuk suaminya yang pergi meninggalkan dirinya. Klimaks cerita terjadi ketika sang
tokoh tumbuh menjadi seorang dewasa, dan ibunya yang usianya tak lagi panjang akibat
menderita kanker itu memutuskan untuk mengungkap rahasia hantu pemintal di atas
loteng. Pembaca dihadapkan pada kengerian, tetapi juga pada kepedihan dan pemahaman
akan derita dan keterasingan seorang perempuan yang tak lagi punya tempat terhormat di
mata masyarakat.
Sementara itu, dalam legenda kedua, “Vampir”, cerita dibingkai oleh legenda
vampirpenghisap darah yang sudah sangat tersohor. Tidak ada yang istimewa dalam hal
ini andai saja Intan tidak membawa legenda tersebut ke tataran kenyataan masa kini,
sehingga pakem kisah vampir tak harus diikuti secara ketat. Barangkali, kisahnya lebih
mirip dengan kisah-kisah yang ada dalam seri kisah vampir karya penulis Anne Rice,
atau bahkan dengan seri teve Buffy the Vampire Slayer daripada dengan kisah klasik
drakula versi Bram Stoker misalnya. Lewat strategi yang dibangun secara sabar dan
cermat dalam ruang cerpen yang sesungguhnya sangat terbatas, akhir cerita memang
menyajikan suatu kejutan. Meskipun pembaca selalu diberikan petunjuk di sana-sini, tak
urung akhir cerita tetap mencengangkan. Ada adegan yang biasanya menjadi momen
paling dramatik dalam kisah-kisah vampir, yakni momen ketika sang vampir menghisap
darah korbannya yang selalu terlambat menyadari apa yang sedang dihadapinya. Oleh
Intan, justru momen ini tampaknya sengaja tak digambarkan. Pembaca hanya melihat
aftermath apa yang terjadi melalui kesimpulan yang harus ditariknya sendiri setelah
cerita usai. Teknik ini justru memberi bobot lebih kepada cerpen “Vampir”, dan ia pun
menjadi sebuah kisah vampir yang tidak biasa.
“Perempuan Buta tanpa Ibu Jari” adalah salah satu cerpen dalam kumpulan ini
yang cukup mengusik perasaan bahkan setelah pembacaan usai. Beberapa yang lainnya
dalah “Mak Ipah dan Bunga-Bunga”, serta “Pintu Merah” dan “Jeritan dalam Botol”.
Keempatnya tidak membiarkan kita menikmati cerita hanya sebagai hiburan belaka
karena ada sesuatu yang mengusik dan tak mau pergi begitu saja dari benak pembaca.
Mungkin ini terkait erat tidak hanya dengan demistifikasi sosok perempuan dalam
wacana patriarki, tetapi lebih karena ia menjadi suatu upaya de-demonisai perempuan.
Tokoh-tokoh perempuan dalam cerpen-cerpen dibungkam dan dipinggirkan lewat stigma
kegilaan (tokoh Mak Ipah) dan kejahatan (tokoh cacat tak bernama dalam “Perempuan
Buta”) yang dikenakan pada mereka. Hanya sudut pandang jurucerita yang berperspektif
perempuan sajalah yang mampu memperlihatkan kegilaan dan kejahatan itu tetapi tidak
sebagai suatu aib atau cacat sebagaimana yang mungkin akan dilihat dalam patriarki.
Dalam kedua cerpen itu, para tokoh ‘gila’ dan ‘jahat’ dibiarkan bersaksi dan
mengartikulasikan versi kenyataan menurut perspektif mereka.
Dalam “Pintu Merah” dan “Jeritan dalam Botol” warna cerita agak surrealistik,
yang lebih memperkuat efek horor sebagai tiang utama cerita. Namun, bukan ini yang
membuat pembaca terusik. “Pintu Merah” amat kaya dengan metafor yang melukiskan
kontestasi antara patriarki dan perempuan. Uniknya, pertarungan ini dalam tataran dunia
nyata diwujudkan dalam hubungan antara seorang ayah dan anak perempuannya yang
tampaknya dilandasi oleh cinta tetapi sesungguhnya merupakan sebuah relasi kuasa yang
berat sebelah Intan memilih untuk menyelsaikan konflik pada tataran dunia mimpi, yang
pada akhir cerita tak lagi menunjukan garis batas yang jelas dengan dunia nyata.
Sementara itu, “Jeritan dalam Botol” terkesan unik dan mengganggu justru karena
strategi penyelsaian cerita yang diambilnya berbeda dari cerpen-cerpen lainnya dalam
kumpulan yang sama. Akhir cerita tidak konklusif, meskipun alurnya tak kalah
mencekam dibandingkan kisah-kisah lainnya. Persoalan yang dihadapi Gita, tokoh utama
cerita, yang merupakan persoalan khas perempuan──suara yang terbungkam dan
terbisukan──tetap disangkali oleh Gita sendiri, walaupun ada indikaso pada akhir cerita
untuk memperlihatkan bahwa persoalan itu nyata dan serius.
“Darah” juga merupakan sebuah cerpen yang unik. Ia berbicara pada tataran yang
sangat biologis tentang tubuh perempuan yang mengalami demonisasi, tetapi pembebasan
dari demonisasi itu tidak dinyatakan lewat perayaan seksualitas tubuh, seperti yang
dilakukan oleh beberapa penulis perempuan sebayanya. Intan mendekati persoalan tubuh
perempuan dari fenomena yang paling kuat digunakan sebagai signifier perempuan dan
yang, pada saat yang sama, paling ditakuti oleh laki-laki, yaitu fenomena haid. Keunikan
cerpen ini juga muncul dari nadanya yang ambivalen. Disatu pihak, Intan
memperlihatkan bahwa darah yang keluar dari tubuh perempuan di saat haid adalah
“bibir” yang “merah basah”, “segar”, dan “indah”. Ia, singkat kata, adalah “hidup”.
Namun, di lain pihak, kesemuanya itu disampaikan bersama dengan kekotoran: latar
toilet, sampah pembalut wanita, jok mobil yang berlumuran darah, dan anjing-anjing
yang mengendus dengan lidah menjulur. Memang, kekotoran ini sendiri tampaknya
hendak didekonstruksi, tetapi ia tinggal tersisa hingga akhir cerita sebagai sebuah mitos
yang melawan untuk diakhiri riwayatnya.
Secara keseluruhan, apa yang dikatakan Nirwan Dewanto maupun Melani
Budianta pada halaman belakang sampul memang cukup tepat menggambarkan
kumpulan cerpen Sihir Perempuan ini. Genre kisah menyeramkan yang bertujuan
menghibur pembaca dengan sangat efektif untuk mengkomunikasikan pengalaman
perempuan, memberi mereka suara, dan mendemistifikasi mitos perempuan sebagai
demon yang telah terlanjur disebarluaskan oleh patriarki. Sudut pandang perempuan
berperan sentral dalam menjadikan genre kisah hantu ini berperan lebih sebagai sarana
penyampai pesan daripada sekedar urusan bentuk. Dalam cerpen-cerpen Intan, sudut
pandang perempuan tersebut digunakan secara konsisten tanpa disertai aneka macam
kredo dan jargon, yang bisa saja mereduksi kumpulan ini menjadi propaganda feminis
dan berpotensi menjadi kontra-produktif terhadap demistiikasi yang hendak ditawarkan.
Intan telah mengambil jalan yang berbeda untuk membiarkan perempuan
berbicara, dan kumpulan cerpennya menjadi alternatif bagi strategi baru yang dengan
cepat mulai menjadi usang, yakni membuat perempuan berbicara tentang dirinya
(tubuhnya) melalui seksualitasnya, seperti yang ditempuh oleh sebagian penulis selama
ini. Berbeda dari mereka, Intan jusru memilih berhadapan langsung dengan demonisasi
perempuan yang dilakukan patriarki dan mengubahnya menjadi sarana efektif untuk
mendekonstruksi demonisasi itu. Ia mengundang pembacanya untuk berani melihat apa
yang sesungguhnya ada di balik wajah hantu bernama ‘perempuan’ dan menyadari bahwa
tidak ada yang menyeramkan di sana kecuali bahwa kita sedang melihat refleksi diri kita
sendiri. Inilah sumbangan paling signifikan yang diberikan oleh Sihir Perempuan pada
khasanah sastra perempuan di Indonesia kini.

You might also like