You are on page 1of 33

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Lanjut usia menurut WHO adalah orang yang berusia lebih dari 65 tahun. Orang lanjut
usia (lansia) menderita kebih banyak gangguan dan penyakit, yang menyebabkan mereka
diresepkan lebih banyak obat. Jumlah lansia di Indonesia diperkirakan meningkat 414 % pada
tahun 2025 dibandingkan tahun 1990. Survey di Indonesia menunjukkan bahwa 78 % dari lansia
menderita 4 macam penyakit, 38 % menderita 6 macam penyakit dan 13 % menderita 8 macam
penyakit. Penelitian terbaru di Amerika Serikat menyatakan 12 % dari lansia di atas 65 tahun
menerima 10 macam obat. Penggunaan beberapa obat berpotensi menimbulkan polifarmasi.
Polifarmasi diketahui meningkatkan kejadian Adverse Drug Reaction (ADR). Hal tersebut
menyebabkan lansia lebih banyak menderita Adverse Drug Events dibanding usia muda, yang
berakibat meningkatnya angka mortalitas dan morbiditas pada lanjut usia (lansia). Namun, tidak
jarang ditemukan para lansia menolak obat yang diberikan oleh dokter padahal memiliki indikasi
klinis dan menguntungkan bagi mereka tanpa alasan yang bermakna. (unud)
Di Amerika Serikat, hampir 40 % lansia (usia lebih dari 60 tahun) atau lebih menerima
lima macam obat. Perubahan fisiologis yang terkait usia (penurunan fungsi renal, penurunan
massa otot) menyebabkan terjadinya Adverse Drug Reaction pada lansia. Sebanyak 25 % lansia
datang ke Unit Gawat Darurat karena kejadian Adverse Drug Reaction. (unud)
Perkembangan pengetahuan dan ditemukannya obat-obat baru untuk pengobatan,
pencegahan, maupun diagnosis menuntut kita untuk lebih mengetahui lebih banyak mengenai
farmakodinamik dan farmakokinetik dari obat. Selain efek yang diharapkan pada saat pemberian
obat kepada pasien, dapat pula terjadi reaksi yang tidak diinginkan, dengan kata lain adverse
drug reaction (ADR). Adverse drug reaction dapat timbul dari yang paling ringan hingga dapat
menjadi sangat berat yang dapat menimbulkan kematian.
Adverse drug reaction yang terjadi dapat memperburuk penyakit dasar yang akan diobati,
menambah permasalahan baru dan bahkan kematian. Keracunan dan syok anafilaktik merupakan
contoh ADR yang berat yang dapat menyebabkan kematian, sedangkan sebagai contoh yang
ringan adalah rasa gatal dan mengantuk.Jenis ADR sangatlah banyak, dari yang dapat
diperkirakanakan timbul sampai yang tidak kita perkirakan yang potensial membahayakan
1

keselamatan jiwa pasien. Karena hal ini cukup sering didapatkan di klinik, amatlah penting
artinya bagi kita untuk mengetahui bagaimana cara mendiagnosis, penatalaksanaan serta
pencegahan apabila terdapat reaksi akibat ADR.
ADRs pada lansia saat ini menjadi masalah kesehatan masyarakat. Polifarmasi dan
inappropriate prescribing (IP) diketahui menjadi faktor resiko dari ADRs. Pada tahun 2008 telah
diperkenalkan kriteria START/STOPP. Kriteria START adalah cara deteksi adanya pemakaian
obat yang terlalu banyak dan irasional pada lansia (Screening Tool to Alert to Right Treatment).
Kriteria STOPP (Screening Tool of Older Peoples Prescriptions) adalah kriteria untuk deteksi
adverse drug reactions (ADRs) pada lansia.Berdasarkan penelitian Mahony at al ahun 2014, 114
kriteria START/STOPP yang digunakan terbukti menurunkan kejadian inappropriate prescribing
(IP) yang menurunkan angka ADRs pada lansia. Strategi menurunkan dapat meningkatkan
pencegahan dari ADRs yang dibutuhkan pada lansia.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah dalam penelitian
ini dalam bentuk pernyataan sebagai berikut :
Apakah ada hubungan polifarmasi dan inappropriate prescribing dengan adverse
drug reactions (ADRs) pada lansia di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Tebet, Jakarta
Selatan.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1
Tujuan Umum
Menganalisis hubungan polifarmasi dan pengobatan irasional denganadverse drug
reactions (ADRs) pada lansia di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Tebet, Jakarta
1.3.2

Selatan.
Tujuan Khusus
1. Menilai prevalensi polifarmasi pada lansia yang berobat di wilayah Puskesmas
Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan.
2. Dilakukannya penjaringan pasien lansia denganpotensi pengobatan irasional
dengan menggunakan kriteria START dan STOPP di wilayah kerja Puskesmas
Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan.

3. Dilakukannya penjaringan pasien lansia dengan adverse drug reactions (ADRs)


dengan menggunakan kriteria Nahanjo di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan
Tebet, Jakarta Selatan.
4. Menilai hubungan polifarmasi danpengobatan irasional dengan adverse drug
reactions (ADRs) pada lansia Puskesmas Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan.
1.4 Hipotesis
Terdapat hubungan polifarmasi dan inappropriate prescribing dengan adverse drug
reactions (ADRs) pada lansia Puskesmas Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan.
1.5 Manfaat Penelitian
a. Bagi Instalasi/Profesi Kesehatan
1. Sebagai informasi baru bagi petugas kesehatan mengenai penyebab terjadinya
adverse drug reactions (ADRs) pada lansia, khususnya akibat polifarmasi dan
pengobatan irasional
2. Institusi yang terkait dapat melakukan upaya promotif dan preventif yang
berkenaan dengan masalah adverse drug reactions (ADRs) akibat polifarmasi
dan pengobatan irasional
b. Bagi Pengembangan Penelitian
Untuk meningkatkan wawasan dan pengetahuan mengenai hubungan antara
polifarmasi danpengobatan irasional denganadverse drug reactions (ADRs) pada
lansia Puskesmas Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan.
c. Bagi Pelayanan Masyarakat
1. Sebagai sumber informasi bagi anggota keluarga lansia khususnya care giver
lansia tersebut agar dapat mengetahui dan memberikan perhatian serta
dukungan untuk mencegah terjadinya adverse drug reactions (ADRs).
2. Dapat mencegah pengobatan yang tidak perlu sehingga dapat berkontribusi
dalam menekan biaya pengobatan pada pasien lansia.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3

2.1 Pengertian Lansia


Penderita usia lanjut umumnya mengalami beberapa penyakit secara bersamaan, dan ada
kemungkinan dokter (beberapa dokter) berusaha memberikan obat untuk setiap penyakit. Jumlah
obat-obat yang banyak ini dapat menimbulkan masalah baru antara lain karena efek samping dan
interaksi obat. Walaupun tidak mudah mengelola penderita lanjut usia dengan multipatologi,
beberapa pedoman dapat dipakai sebagai pegangan, antara lain: Langkah-langkah untuk
menghindari polifarmasi.
Penampilan penyakit pada lanjut usia (lansia) sering berbeda dengan pada dewasa muda,
karena penyakit pada lansia merupakan gabungan dari kelainan-kelainan yang timbul akibat
penyakit dan proses menua, yaitu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan
jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti diri serta mempertahankan struktur dan fungsi
normalnya, sehingga tidak dapat berthan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki
kerusakan yang diderita.
Demikian juga, masalah kesehatan yang sering terjadi pada lansia berbeda dari orang
dewasa, yang menurut Kane dan Ouslander sering disebut dengan istilah 14 I, yaitu immobility
(kurang bergerak), instability (berdiri dan berjalan tidak stabil atau mudah jatuh), incontinence
(beser buang air kecil dan atau buang air besar), intellectual impairment (gangguan
intelektual/dementia), infection (infeksi), impairment of vision and hearing, taste, smell,
communication,

convalescence,

skin

integrity

(gangguan

pancaindera,

komunikasi,

penyembuhan, dan kulit), impaction (sulit buang air besar), isolation (depresi), inanition (kurang
gizi), impecunity (tidak punya uang), iatrogenesis (menderita penyakit akibat obat-obatan),
insomnia (gangguan tidur), immune deficiency (daya tahan tubuh yang menurun), impotence
(impotensi).
2.2 Konsep Dasar Pemakaian Obat .
Ada tiga faktor yang menjadi acuan dasar dalam pembuatan atau peresepan obat :
1. Diagnosis dan patofisiologi penyakit
2. Kondisi organ tubuh
3. Farmakologi klinik obat
Setelah dokter mendiagnosis penyakit pasien, maka sebelum penentuan obat yang diberikan
perlu dipertimbangkan kondisi organ tubuh serta farmakologi dari obat yang akan diresepkan.
4

Pada usia lanjut banyak hal-hal yang lainnya yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan
obat, karena pada golongan lansia berbagai perubahan fisiologik pada organ dan sistema
tubuh akan mempengaruhi tanggapan tubuh terhadap obat. Adapun prinsip umum penggunaan
obat pada usia lanjut :
1. Berikan obat hanya yang betul-betul diperlukan artinya hanya bila ada indikasi yang
tepat. Bila diperlukan efek plasebo berikan plasebo yang sesungguhnya
2. Pilihlah obat yang memberikan rasio manfaat yang paling menguntungkandan tidak
berinteraksi dengan obat yang lain atau penyakit lainnya
3. Mulai pengobatan dengan dosis separuh lebih sedikit dari dosis yang biasa diberikan
pada orang dewasa yang masih muda.
4. Sesuaikan dosis obat berdasarkan dosis klinik pasien, dan bila perlu dengan
memonitor kadar plasma pasien. Dosis penunjang yang tepat umumnya lebih rendah.
5. Berikan regimen dosis yang sederhana dan sediaan obat yang mudah ditelan untuk
memelihara kepatuhan pasien
6. Periksa secara berkala semua obat yang dimakan pasien, dan hentikan obat yang tidak
diperlukan lagi (Manjoer, 2004)
2.3 Farmakokinetik pada Lansia
Pada usia lanjut perubahan terjadi pada saluran cerna yang diduga mengubah
absorbsi obat, misalnya meningkatnya pH lambung, menurunnya aliran darah ke usus
akibat penurunan curah jantung dan perubahan waktu pengosongan lambung dan gerak
saluran cerna. Oleh karena itu, kecepatan dan tingkat absorbsi obat tidak berubah pada usia
lanjut, kecuali pada beberapa obat seperti fenotain, barbiturat, dan prozasin (Bustami,
2001).
Pada distribusi obat terdapat hubungan antara penyebaran obat dalam cairan tubuh
dan ikatannya dengan protein plasma (biasanya dengan albumin, tetapi pada beberapa obat
dengan protein lain seperti asam alfa 1 protein), dengan sel darah merah dan jaringan tubuh
termasuk organ target. Pada usia lanjut terdapat penurunan yang berarti pada massa tubuh
tanpa lemak dan cairan tubuh total, penambahan lemak tubuh dan penurunan albumin
plasma. Penurunan albumin sedikit sekali terjadi pada lansia yang sehat dapat lebih
menjadi berarti bila terjadi pada lansia yang sakit, bergizi buruk atau sangat lemah. Selain
5

itu juga dapat menyebabkan meningkatnya fraksi obat bebas dan aktif pada beberapa obat
dan kadang-kadang membuat efek obat lebih nyata tetapi eliminasi lebih cepat.
Munculnya efek obat sangat ditentukan oleh kecepatan penyerapan dan cara
penyebarannya. Durasi (lama berlangsungnya efek) lebih banyak dipengaruhi oleh
kecepatan ekskresi obat terutama oleh penguraian di hati yang biasanya membuat obat
menjadi lebih larut dalam air dan menjadi metabolit yang kurang aktif atau dengan ekskresi
metabolitnya oleh ginjal. Sejumlah obat sangat mudah diekskresi oleh hati, antara lain
melalui ambilan (uptake) oleh reseptor di hati dan melalui metabolisme sehingga
bersihannya tergantung pada kecepatan pengiriman ke hati oleh darah. Pada usia lanjut,
penurunan aliran darah ke hati dan juga kemungkinan pengurangan ekskresi obat yang
tinggi terjadi pada labetolol, lidokain, dan propanolol. Efek usia pada ginjal berpengaruh
besar pada ekskresi beberapa obat. Umumnya obat diekskresi melalui filtrasi glomerolus
yang sederhana dan kecepatan ekskresinya berkaitan dengan kecepatan filtrasi glomerolus
(oleh karena itu berhubungan juga dengan bersihan kreatinin). Misalnya digoksin dan
antibiotik golongan aminoglikosida. Pada usia lanjut, fungsi ginjal berkurang, begitu juga
dengan aliran darah ke ginjal sehingga kecepatan filtrasi glomerolus berkurang sekitar 30
% dibandingkan pada orang yang lebih muda. Akan tetapi, kisarannya cukup lebar dan
banyak lansia yang fungsi glomerolusnya tetap normal. Fungsi tubulus juga memburuk
akibat bertambahnya usia dan obat semacam penicilin dan litium, yang secara aktif
disekresi oleh tubulus ginjal, mengalami penurunan faali glomerolus dan tubulus (Bustami,
2001).
2.4 Penurunan Fungsi Organ pada Lansia
2.4.1

Fungsi Ginjal
Perubahan paling berarti saat memasuki usia lanjut ialah berkurangnya fungsi ginjal

dan menurunnya creatinine clearance, walaupun tidak terdapat penyakit ginjal atau kadar
kreatininnya normal. Hal ini menyebabkan ekskresi obat sering berkurang, sehingga
memperpanjang intensitas kerjanya. Obat yang mempunyai half-life panjang perlu diberi
dalam dosis lebih kecil bila efek sampingnya berbahaya.
Dua obat yang sering diberikan kepada lansia ialah glibenklamid dan digoksin.
Glibenklamid, obat diabetes dengan masa kerja panjang (tergantung besarnya dosis)

misalnya, perlu diberikan dengan dosis terbagi yang lebih kecil ketimbang dosis tunggal
besar yang dianjurkan produsen. Digoksin juga mempunyai waktu-paruh panjang dan
merupakan obat lansia yang menimbulkan efek samping terbanyak di Jerman karena dokter
Jerman memakainya berlebihan, walaupun sekarang digoksin sudah digantikan dengan
furosemid untuk mengobati payah jantung sebagai first-line drug (Darmansjah, 1994).
Karena kreatinin tidak bisa dipakai sebagai kriteria fungsi ginjal, maka harus digunakan
nilai creatinine-clearance untuk memperkirakan dosis obat yang renal-toxic, misalnya
aminoglikoside seperti gentamisin. Penyakit akut seperti infark miokard dan pielonefritis
akut juga sering menyebabkan penurunan fungsi ginjal dan ekskresi obat.
Dosis yang lebih kecil diberikan bila terjadi penurunan fungsi ginjal, khususnya bila
memberi obat yang mempunyai batas keamanan yang sempit. Alopurinol dan petidin, dua
obat yang sering digunakan pada lansia dapat memproduksi metabolit aktif, sehingga
kedua obat ini juga perlu diberi dalam dosis lebih kecil pada lansia.
2.4.2

Fungsi Hati
Hati memiliki kapasitas yang lebih besar daripada ginjal, sehingga penurunan
fungsinya tidak begitu berpengaruh. Ini tentu terjadi hingga suatu batas. Batas ini lebih
sulit ditentukan karena peninggian nilai ALT tidak seperti penurunan creatinine-clearance.
ALT tidak mencerminkan fungsi tetapi lebih merupakan marker kerusakan sel hati dan
karena kapasitas hati sangat besar, kerusakan sebagian sel dapat diambil alih oleh sel-sel
hati yang sehat.
ALT juga tidak bisa dipakai sebagai parameter kapan perlu membatasi obat tertentu.
Hanya anjuran umum bisa diberlakukan bila ALT melebihi 2-3 kali nilai normal sebaiknya
mengganti obat dengan yang tidak dimetabolisme oleh hati. Misalnya pemakaian
methylprednisolon, prednison dimetabolisme menjadi prednisolon oleh hati. Hal ini tidak
begitu perlu untuk dilakukan bila dosis prednison normal atau bila hati berfungsi normal.
Kejenuhan metabolisme oleh hati bisa terjadi bila diperlukan bantuan hati untuk
metabolisme dengan obat-obat tertentu. (Boestami, 2001)
2.5

Beberapa Contoh Obat yang Harus Diperhatikan pada Lansia

1. Digoksin. Obat ini dapat menyebabkan respon intoksikasi akibat filtrasi glomerulus
yang berkurang, penurunan berat badan (indeks massa tubuh) terhadap distribusi obat,
adanya gangguan elektrolit pada lansia dan penyakit kardiovaskular yang lanjut.
2. Antihipertensi (terutama penghambat adrenergik). Efek toksisitas obat ini dapat
mengakibatkan sinkope akibat hipotensi postural dan insufisiensi koroner karena
penurunan mekanisme homeostatik kardiovaskular pada lansia.
3. Diuretik (tiazid, furosemid). Efek toksisitas pada obat ini dapat mengakibatkan
hipotensi, hipokalemia, hipovolemia, hiperglikemia dan hiperurikemia. Efek tersebut
berkaitan dengan berat badan pada pasien lansia yang sudah sangat berkurang,
penurunan fungsi ginjal dan penurunan mekanisme homeostatik kardiovaskular.
4. Obat-obat glaukoma seperti beta bloker topikal dan asetazolamid dapat
mengakibatkan efek samping sistemik seperti bradikardi, asma dan gagal jantung.
Sementara

anti

emetik

seperti

metoklopramid

dan

proklorperazin

dapat

mengakibatkan drug-induced parkinsonism.


5. Antikoagulan. Efek toksisitas obat ini dapat menyebabkan perdarahan akibat
penurunan respon homeostatik vaskular pada pasien lansia.
6. Barbiturat dapat menyebabkan kebingungan mental (gelisah sampai psikosis).
Diazepam, nitrazepam dan flurazepam dapat meningkatkan depresi pada Susunan
Saraf Pusat (SSP). Fenotiazin dapat menyebabkan hipotensi postural, hipotermia dan
reaksi koreiform.
7. Triheksifenidil dapat menyebabkan kebingungan mental, halusinasi, konstipasi dan
retensi urin. Respon berlebihan pada obat ini terjadi akibat peningkatan sensitivitas
otak terhadap obat-obat tersebut, penurunan metabolisme obat-obat tersebut di hepar
serta penurunan eliminasi obat. Isoniazid juga termasuk obat yang dimetabolisme di
hati. Oleh karena itu harus diwaspadai pula sebab dapat mengakibatkan
hepatotoksisitas.
8. Obat lainnya yang harus diperhatikan antara lain antibiotik seperti penisilin dalam
dosis besar, aminoglikosida, streptomisin dan tetrasiklin, klorpropamid serta
simetidin. Streptomisin yang berlebihan dalam tubuh akan memberikan respon
berupa ototoksisitas, sementara klorpropamid akan mengakibatkan hipoglikemia.

Semua obat ini dikaitkan dengan penurunan fungsi ginjal pada lansia sehingga sulit
diekskresi melalui ginjal.

2.5 Polifarmasi pada Lansia


2.5.1 Pengertian Polifarmasi
Polifarmasi yaitu penggunaan bersamaan 5 macam atau lebih obat obatan oleh
pasien yang sama dalam satu resep, terutama tidak sesuai dengan kriteria klinis.
Polifarmasi meningkatkan resiko interaksi antara obat atau obat dengan penyakit.
Polifarmasi di Indonesia umumnya terjadi pada pasien berusia lanjut dan pasien anakanak.
Peresepan Obat Yang Rasional Menurut World Health Organization (1985) bahwa
yang termasuk dalam peresepkan obat yang rasional adalah jika penderita yang mendapat
obat-obatan sesuai dengan diagnosis penyakitnya, dosis dan lama pemakaian obat yang
sesuai dengan kebutuhan pasien, serta biaya yang serendah mungkin yang dikeluarkan
pasien maupun masyarakat untuk memperoleh obat.
2.5.2

Peresepan Obat yang Tidak Rasional pada Lansia


Sehubungan dengan kejadian polifarmasi di atas, maka di dalam meningkatkan mutu
pengobatan terhadap pasien perlulah diperhatikan hal-hal yang dapat menimbulkan
peresepan obat yang tidak rasional pada lansia. Di bawah ini diuraikan beberapa bentuk
peresepan obat yang tidak rasional pada lansia, yaitu:
1. Meresepkan obat dengan boros (extravagantly drug prescribing). Hal ini terjadi
karena meresepkan obat yang mahal, sedangkan masih ada obat pilihan lain yang
lebih murah dengan manfaat dan keamanan yang sama atau hampir sama. Termasuk
juga disini berupa pemberian obat-obat yang hanya mengurangi gejala-gejala dan
tanda-tanda tanpa memperhatikan penyebab penyakit yang lebih penting.
2. Meresepkan obat secara berlebihan (over drug prescribing). Hal ini terjadi jika dosis,
lama pemberian, jumlah atau jenis obat yang diresepkan melebihi dari yang
diperlukan, termasuk juga di sini meresepkan obat-obat yang sebenarnya tidak
diperlukan untuk pengobatan penyakitnya.

3. Meresepkan obat yang salah (incorrect drug prescribing). Hal ini terjadi akibat
menggunakan obat untuk hal-hal yang tidak merupakan indikasi, pemakaian obat
tanpa memperhitungkan keadaan lain yang diderita pasien secara bersamaan.
4. Meresepkan obat lebih dari satu jenis (multiple drugs prescribing/polypharmacy). Hal
ini dapat terjadi pada pemberian dua jenis atau lebih kombinasi obat, sedangkan
sebenarnya cukup hanya diperlukan satu jenis obat saja, termasuk pula disini berupa
pemberian obat terhadap segala gejala dan tanda-tanda yang timbul, tanpa
memberikan obat yang dapat mengatasi penyebab utamanya.
5. Meresepkan obat yang kurang (under drug prescribing). Hal ini dapat terjadi jika obat
yang seharusnya diperlukan tidak diberikan, dosis obat yang diberikan tidak
mencukupi maupun lama pemberian terlalu singkat dibandingkan dengan yang
sebenarnya diperlukan.
2.5.3

Masalah pemberian obat pada lansia


1. Polifarmasi. Lansia cenderung mengalami polifarmasi karena penyakitnya yang
lebih dari satu jenis (multipatologi).
2. Takaran obat. Akibat perubahan farmakokinetik dan farmakodinamik pada lansia
maka takaran obat perlu diberikan serendah mungkin yang masih mempunyai efek
untuk menyembuhkan
3. Efek samping, interaksi, toksisitas obat dan penyakit iatrogenik (penyakit yang
disebabkan obat yang digunakan) didapati hubungan positif antara jumlah obat
yang digunakan dan usia dengan risiko terjadinya efek samping, interaksi,
toksisitas obat dan penyakit iatrogenik.
4. Ketidakpatuhan menggunakan obat menurut aturan pemakaian, memegang
peranan untuk timbulnya efek samping obat. Dalam hal ini, sebaiknya digunakan
obat dengan satu kali pemberian per hari. Jika terjadi efek samping obat,
sebaiknya obat yang menimbulkan efek samping tadi dihentikan dan jangan
ditambahkan obat lain untuk mengatasi efek samping tersebut.
5. Ketidakpatuhan menggunakan obat menurut aturan pemakaian menjadi meningkat
dengan bertambah banyaknya jenis obat dan kepikunan.

2.6

Adverse Drug Reaction

2.6.1 Definisi
10

Beberapa definisi telah dikemukakan untuk adverse drug reaction. Menurut WHO
1972, ADR adalah setiap efek yang tidak diinginkan dari obat yang timbul pada
pemberian obat dengan dosis yang digunakan untuk profilaksis, diagnosis dan terapi.
Menurut FDA, 1995, ADR didefinisikan sebagai efek yang tidak diinginkan yang
berhubungan dengan penggunaan obat yang timbul sebagai bagian dari aksi farmakologis
dari obatyang kejadiannya mungkin tidak dapat diperkirakan. Laurence, 1998 ADR
adalah efek yang membahayakan atau tidak mengenakkan yang disebabkan oleh dosis
obat yang digunakan sebagai terapi (atau profilaksis atau diagnosis) yang mengharuskan
untuk mengurangi dosis atau menyetop pemberian dan meramalkan adanya bahaya pada
pemberian selanjutnya. Menurut Edward, ADR adalah reaksi yang berbahaya atau tidak
mengenakkan akibat penggunaan produk medis yang memperkirakan adanya bahaya
pada pemberian berikutnya sehingga mengharuskan pencegahan, terapi spesifik,
pengaturan dosis atau penghentian obat. Beberapa reaksi obat dapat timbul pada semua
orang, sedangkan lainnya hanya dapat timbul pada orang yang suseptibel. Alergi obat
merupakan reaksi imunologis yang spesifik (timbul pada orang yang suseptibel) dan
berulang bila terpapar kembali oleh obat yang mencetuskannya.

2.6.2 Insiden
Efek samping obat sering kita jumpai di praktek sehari-hari. Pada sebuah penelitian
di Perancis, dari 2067 dewasa berusia 2067 tahun yang datang ke pusat kesehatan untuk
pemeriksaan kesehatan dilaporkan bahwa 14,7% memiliki riwayat efek samping sistemik
terhadap satu atau lebih obat. Penelitian di Swiss dari 5568 pasien rawat inap, 17%
diantaranya mendapatkan efek samping obat. Reaksi obat yang fatal terjadi pada 0,1%
pasien medik dan 0,01% pasien bedah. Obat yang tersering adalah antibiotik dan obat anti
inflamasi non steroid. Banyak mekanisme ADR yang diperkirakan, tetapi mekanisme
pasti reaksi obat yang menimbulkan ADR belum jelas diketahui. Hal ini menyebabkan
sangat sulit untuk membedakan antara alergi obat dengan bentuk lain reaksi obat serta
dalam menilai insiden alergi obat, mengevaluasi faktor risiko dan menentukan
panatalaksanaannya.
11

ADR diperkirakan terjadi hampir 15% dari pemberian obat. Risiko terjadinya dapat
meningkat hingga dua kali lipat di rumah sakit. Reaksi obat yang dapat menimbulkan
kematian dapat timbul sebesar 0,1% pada pasien medik rawat inap dan 0,01% pada
penderita bedah. Hanya 5 10% dari ADR merupakan alergi obat.
2.6.3

Klasifikasi ADR
ADR dapat dibagi menjadi dua kategori besar, yaitu yang dapat diperkirakan,
umum terjadi dan berhubungan dengan aksi farmakologis obat (reaksi tipe A) dan yang
tidak dapat diperkirakan, jarang terjadi dan biasanya tidak berhubungan dengan aksi
farmakologis obat (reaksi tipe B). Hampir 80% ADR adalah tipe A contohnya adalah
toksisitas obat, efek samping, efek sekunder, dan interaksi obat. Reaksi termediasi sistem
imun atau alergi termasuk tipe B, timbulnya jarang, hanya 6 10% dari keseluruhan ADR.
Tipe B seringkali tidak terlihat sampai obat tersebut dipasarkan, dependen terhadap faktor
genetik dan lingkungan. Yang termasuk reaksi tipe B adalah intoleransi obat (efek tidak
diinginkan yang timbul pada dosis terapi atau subterapi), reaksi idiosinkrasi (reaksi tidak
spesifik yang tidak dapat dijelaskan oleh reaksi farmakologis obat) dan alergi atau reaksi
hipersensitifitas (reaksi yang sesuai dengan mekanisme imunologi). Alergi dapat
diklasifikasikan berdasarkan sistem klasifikasi Gell dan Coombs, menjadi reaksi
hipersensitivitas tipe cepat (diperantarai IgE), reaksi sitotoksik dan imun kompleks
(diperantarai IgG dan IgM) dan reaksi tipe lambat (diperantarai limfosit T). Meskipun
kategorinya jelas, tetapi mengklasifikasikannya amat sulit karena mekanisme yang belum
jelas.
ADR dalam segi praktis klinis dapat diklasifikasikan untuk memudahkan dalam
mengetahui terjadin ADR pada penggunaan obat dalam praktek sehari-hari, salah satu
klasifikasi yang dapat digunakan adalah:
1. Reaksi yang dapat timbul pada setiap orang:
a. Overdosis obat: efek farmakologis toksik yang timbul pada pemberian obat
yang timbul akibat kelebihan dosis ataupun karena gangguan ekskresi obat

12

b. Efek samping obat: efek farmakologis yang tidak diinginkan yang timbul pada
dosis terrekomendasi.
c. Interaksi obat: aksi farmakologis obat pada efektivitas maupun toksisitas obat
yang lain.
2. Reaksi yang hanya timbul pada orang yang suseptibel:
a. Intoleransi obat: ambang batas yang rendah pada aksi farmakologis normal dari
obat.
b. Idiosinkrasi obat: respon abnormal dari obat yang berbeda dari efek
farmakologisnya. Hal ini timbul pada pasien yang suseptibel dan kejadian bisa /
tidak bisa diperkirakan. Terjadi karena metabolisme obat ataupun defisiensi
enzim.
c. Alergi obat
d. Reaksi pseudoalergik/anafilaktoid: reaksi yang secara klinis mirip dengan reaksi
alergi tanpa peranan imunologis (tidak diperantarai IgE).

2.6.4

Faktor Resiko ADR


Peranan adanya riwayat atopi dalam keluarga yang memudahkan terjadinya reaksi

obat masih diperdebatkan. Atopi mungkin berperan pada reaksi yang timbul akibat
pemberian kontras yodium tetapi tidak untuk penisilin maupun obat anestesi. Faktor
risiko yang berhubungan dengan obat itu sendiri termasuk ukuran molekulnya, molekul
yang besar dapat dianggap sebagai antigen komplit, contoh insulin;bivalensi, yaitu
kemampuan untuk berikatan dengan beberapa reseptor (cross link) contohnya suksinil
kolin; serta kemampuannya berperan sebagai hapten. Sensitisasi dapat tergantung pada
13

cara pemberian, lebih sering timbul pada cara pemberian lokal atau topikal, lebih jarang
pada pemberian secara parenteral, dan paling jarang pada penggunaan secara oral.
Pemberian secara intravena akan dapat menimbulkan reaksi yang lebih berat.
Penggunaan obat-obatan penyekat akan mengurangi respon penderita terhadap
adrenalin yang diberikan untuk menangani anafilaksis. Asma akan memperberat
penanganan apabila terjadi reaksi anafilaksis, karena konstriksi bronkus yang terjadi
dapat disebabkan oleh asmanya sendiri maupun akibat reaksi dengan obat yang
diberikan. Kehamilan juga akan menyulitkan dalam penatalaksanaan, seperti pemilihan
obat serta kita harus memikirkan nasib janin yang dikandung selain menangani
kegawatan yang terjadi pada si ibu. Secara singkat, faktor resiko terjadinya ADR adalah
sebagai berikut:
1.

Berhubungan dengan pasien

a.

Usia

b.

Jenis Kelamin

c.

Genetik

d.

Atopi

e.

AIDS

2.

Berhubungan dengan obat

a.

Makromolekul

b.

Bivalensi

c.

Hapten

d.

Rute pemberian
14

e.

Dosis

f.

Lama terapi

3.

Faktor pendukung

a.

Beta bloker

b.

Asma

c.

Kehamilan

Berikut ini faktor resiko terjadinya ADR yang berhubungan dengan polifarmasi pada lansia

2.6.5

Diagnosis ADR

15

Tes diagnosis ADR untuk reaksi hipersensitivitas yang baik termasuk anamnesis
yang detail dan pemeriksaan fisik sangat penting untuk mengklasifikasikan reaksi,
menentukan terapi, mengidentifikasi obat yang menimbulkan reaksi tersebut dan untuk
mengetahui insiden alergi terhadap obat tersebut. Anamnesis yang mendetail dan pasti
harus didapatkan dari pasien. Hal hal yang harus didapatkan pada saat anamnesis adalah
a. Gejala klinis serta waktu timbulnya gejala serta jarak timbul gejala dari paparan
obat yang dicurigai
b. Kemungkinan onset timbulnya gejala:

Immediate (segera) timbul beberapa detik hingga 6 jam dari paparan,


gejala klinis yang dapat timbul adalah anafilaksis, urtica, angioudem,
bronkospasme

Accelerated, timbul antara 6 hingga 72 jam setelah paparan. Gejala


yang mungkin didapatkan antara lain urtika dan asma

Delayed, timbul gejala lebih dari 72 jam setelah paparan. Gejala yang
mungkin didapatkan antara lain sidrom mukokutan (rash, dermatitis
eksfoliatif)

atau

tipe

hematologis

(anemia,

trombositopenia,

netropenia)

16

2.6.6

Penatalaksanaan ADR
Sekarang ini hanya sedikit alat yang dapat membantu evaluasi dan penatalaksanaan
pasien dengan reaksi akibat obat. Alat tersebut belum ada karena keterbatasan
pengetahuan mengenai patofisiologi dan faktor predisposisi timbulnya kebanyakan reaksi
tersebut. Meski dengan segala keterbatasan pasien tetap harus dapat ditangani.
Pendekatan terhadap pasien alergi obat harus secara metodologis. Pertama hubungannya
dengan obat harus dapat dibuktikan. Setelah hal tersebut dapat dibuktikan, tipe reaksi
harus dapat ditentukan sebisa mungkin. Untuk reaksi tipe A, modifikasi dosis sebelum
diberikan merupakan satu satunya hal yang perlu dikerjakan. Toksisitas, serta efek
samping dan efek sekunder dapat membaik dengan menurunkan dosis obat. Untuk reaksi
tipe B, obat masih dapat diberikan kembali bila reaksi sebelumnya ringan (tinitus pada
pemberian aspirin). Untuk reaksi idiosinkrasi, kewaspadaan yang lebih perlu
dipertimbangkan. Pada reaksi yang berat atau mengancam nyawa penderita, obat tersebut
tidak boleh diberikan kembali. Pada reaksi yang tidak terlalu berat, tes provokasi dapat
dipertimbangkan.
17

Untuk reaksi tipe B, penatalaksanaannya tergantung dari mekanisme yang


mendasari timbulnya reaksi. Bila tes konfirmasi tersedia dan telah divalidasi, tes tersebut
harus digunakan untuk menentukan status alergi pasien (tes untuk IgE spesifik penisilin
dengan Pre-Pen dan determinan campuran minor). Bila tes tersebut tidak tersedia dan
pada

kebanyakan

kasus

memang

tidak

ada,

beberapa

pendekatan

dapat

dilakukan.Pendekatan yang paling mudah adalah dengan menghindari obat bila obat
alternatif tersedia. Bila obat alternatif tidak ada, challenge test bertahap dapat dikerjakan
bila reaksi yang timbul sebelumnya bukan merupakan reaksi yang diperantarai IgE dan
tidak merupakan reaksi yan berat dan membahayakan nyawa penderita. Bila reaksi yang
sebelumnya timbul merupakan reaksi yang diperantarai IgE, desensitisasi harus
dikerjakan.
2.7

Inappropriate Prescribing (IP)

Polifarmasi telah diidentifikasi sebagai prediktor yang signifikan adanya peresepan


yang tidak pantas (Inappropriate Prescribing/ IP). Beberapa studi menyatakan bahwa
kejadian IP pada lansia (terutama yang lebih dari 65 tahun) merupakan pemberi
kontribusi yang besar pada kejadian Adverse Drug Reactions (ADR) pada lansia.
Peningkatan ADR dilaporkan memiliki korelasi dengan peningkatan morbiditas dan
mortalitas.
2.7.1 Pengertian
Appropriate Prescribing (peresepan yang pantas), adalah :
1.

Peresepan obat sesuai apa yang pasien inginkan

2.

Peresepan obat sesuai apa yang pasien butuhkan

3.

Rasional sesuai farmakologi klinis

Inappropriate Prescribing (IP)


Merupakan suatu bentuk praktek peresepan klinis, yaitu obat yang diresepkan lebih
banyak mengandung resiko dibanding keuntungannya, dimana terdapat obat lain yang
lebih aman. Konsep IP dalam aspek peresepan, diantaranya :
1. Over prescribing of medication; contohnya polifarmasi, berkaitan dengan praktek
pemberian obat multipel atau pemberian obat melebihi kondisi klinis yang
18

dibutuhkan. Selain itu Over prescribing juga mengarah pada pemberian obat dengan
dosis, frekuensi dan durasi yang lebih dibandingkan yang dibutuhkan secara klinis.
2. IP berkaitan dengan peningkatan resiko terjadinya Adverse Drug Reaction jika
penggunaan obat tidak dipikirkan adanya rasio untung ruginya, dimana obat yang
diberikan lebih banyak memberikan resiko dibanding keuntungannya.
3. IP juga meningkatkan resiko terjadinya interaksi antar obat
4. Underuse of medications atau under prescribing
2.7.2

Deteksi IP dapat dengan menggunakan kriteria START / STOPP

STOPP (Screening Tool of Older Persons potentially inappropiate Prescription),


merupakan alat skrining yang dikembangkan dan dapat

digunakan untuk

meningkatkan kualitas dan keamanan resep obat untuk pasien usia lanjut. Sehingga
adanya polifarmasi irasional dan Adverse Drug Reactions dapat dideteksi.

START (Screening Tool to Alert to Right Treatment), START

merupakan alat

skrining untuk mendeteksi adanya kemungkinan obat yang perlu diberikan tetapi
tidak diberikan sehingga dapat pula mencegah polifarmasi irasional.
Berikut ini adalah kriteria START dan STOPP yang meliputi berbagai sistem organ.
KERANGKA TEORI

19

20

21

BAB III
KERANGKA KONSEP, VARIABEL PENELITIAN
DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 KERANGKA KONSEP


22

Polifarmasi

Adverse Drug Reactions


(ADRs)

Pengobatan irasional
3.2 VARIABEL PENELITIAN
1. Variabel bebas / Independent
Polifarmasi
Pengobatan irasional
2. Variabel tergantung / Dependent
-

Adverse Drug Reactions (ADRs)

3.3 DEFINISI OPERASIONAL


Tabel Definisi operasional
No
1.

Variabel
Adverse
Drug
Reactions
(ADRs)

Definisi
ADRs adalah setiap
efek yang tidak diinginkan
dari obat yang timbul pada
pemberian obat dengan
dosis yang digunakan
untuk
profilaksis, diagnosis dan
terapi

2.

Pengobatan Penggunaan
Obat
irasional
Rasional adalah apabila
pasien
menerima
pengobatan
sesuai
dengan
kebutuhan
klinisnya, dalam dosis
yang sesuai dengan
kebutuhan,
dalam
periode waktu yang
sesuai dan dengan biaya
yang terjangkau oleh
dirinya dan kebanyakan

Alat Ukur
Kuesioner
Naranjo

Cara Ukur
Wawancara
dan
pemeriksaan
fisik

Kuesioner
START
dan
STOPP

Wawancara

Hasil Ukur
Hasil Skor ADRs
berdasarkan
kuesioner
Naranjo:
1 - 3 Possible
(Kemungkinan
ADRs)
4 - 8 Probable
(Kemungkinan
Besar ADRs)
9 - 13 Definite
(Pasti ADRs)
- Irasional : bila
jawaban
kuesioner (+)
- Rasional : bila
sesuai
kebutuhan dan
jawaban
kuesioner (-)

Skala Ukur
Nominal

Referensi
WHO

Nominal

WHO

23

3.

Polifarmasi

masyarakat.
Polifarmasi
adalah Data
penggunaan bersamaan pasien
5 macam atau lebih obat
- obatan oleh pasien
yang sama dalam satu
resep, terutama tidak
sesuai dengan kriteria
klinis.

Wawancara
dan
pemeriksaan
fisik

1. Polifarmasi :
obat >5/hari
(tidak termasuk
vitamin dan
suplemen)
2. Bukan
polifarmasi:
obat 5/hari

Nominal

POM

Daftar Pustaka
1. OMahony D, OSullivan D, Byrne S, OConnor MN, Ryan C. STOPP/START Criteria for
Potentially Inappropriate Prescribing in Older People : Version 2. In: Age and Ageing. 2014;
0:

p.

16.

Available

at

http://ageing.oxfordjournals.org/content/early/2014/11/18/ageing.afu145.long

Accesed

January 22, 2015


2. Hamilton H, Gallagher P, Ryan C, Byrne S, OMahony D. Potentially Inappropriate
Medications Definedby STOPP Criteria and the Risk of Adverse DrugEvents in Older
Hospitalized Patients. In: Arch Intern Med. 2011; vol. 171(11): p. 1013-1019. Available at
http://archinte.jamanetwork.com/article.aspx?articleid=227481Accesed January 22, 2015
3. WHO.

Rational

Use

of

Medicines.

2012.Available

at

http://www.who.int/medicines/areas/rational_use/en/Accessed January 23, 2015


4. Mariyono HH, Suryana K. Adverse Drug Reactions. In: J Peny Dalam. 2008; vol 9(2)
Available at http://ojs.unud.ac.id/index.php/jim/article/viewFile/3862/2857Accesed January
22, 2015

24

25

BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1.

Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasional
analitik, dimana peneliti mencari hubungan antara satu variabel dengan variabel
lainnya.Berdasarkan klasifikasi waktu, pendekatan dilakukan dengan mengunakan studi
potong lintang (cross sectional), dimana subjek diamati pada satu waktu, dimana
pengukuran variabel subjek dilakukan pada saat pemeriksaan tersebut, namun tidak dapat
menentukan pengelompokan antara sebab dan akibat dari variabel-variabel yang diteliti.

4.2.

Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian dilakukan di Puskesmas Kecamatan Tebet pada periode Januari
Februari 2014.

4.3.

Populasidan Sampel Penelitian


4.3.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini terdiri dari populasi target dan populasi terjangkau.
Populasi target (target population) adalah populasi yang menjadi sasaran akhir penerapan
hasil penelitian yaitu seluruh lansia berusia 65 tahun dengan gejala penyakit akibat
gangguan dari sistem kardiovaskuler, sistem gastrointestinal, sistem respiratorius, dan
sistem musculoskeletal di wilayah Puskesmas Kecamatan Tebet.
Populasi terjangkau (accessible population) adalah bagian dari populasi target
yang dapat dijangkau oleh peneliti yaitu bagian dari populasi target yang dibatasi dengan
tempat dan waktu yang dalam penelitian ini adalah lansia berusia 65 tahun dengan
gejala penyakit akibat gangguan dari sistem kardiovaskuler, sistem gastrointestinal,
sistem respiratorius, dan sistem musculoskeletal yang datang berobat ke Poli Lansia
Puskesmas Kecamatan Tebet periode 1 Februari 2015 - 20 Februari 2015 sebanyak 48
orang.
4.3.2

Kriteria Inklusi dan Eksklusi


26

a. Kriteria Inklusi
1. Lansia usia 65 tahun
2. Datang dengan keluhan/gejala penyakit akibat gangguan dari sistem
kardiovaskuler, sistem gastrointestinal, sistem respiratorius, dan
sistem musculoskeletal
3. Mengalami dan tidak mengalami reaksi obat yang tidak diinginkan
b. Kriteria Eksklusi
1. Sedang mengkonsumsi obat tradisional atau jamu-jamuan
2. Pasien yang memiliki gangguan kesadaran dan kesulitan untuk
berkomunikasi
4.3.3

Sampel Penelitian
Teknik pengambilan sampel adalah dengan consecutive non probability
sampling, yaitu diambil berdasarkan subyek yang datang berurutan dan memenuhi
kriteria pemilihan dimasukan dalam penelitian sampai jumlah subyek terpenuhi.
Besar sampel minimal dalam penelitian ini sesuai dengan rumus berikut ini:
Besar sampel
Perkiraan besar sampel yang digunakan pada penelitian ini menggunakan rumus:
Rumus populasi infinit:
No
=
Z2 x P x Q
d2
Z
= Tingkat kemaknaan yang dikehendaki 95% besarnya 1,96
P
= Prevalensi kelompok yang polifarmasi 24% = 0.24
Q
= Prevalensi/proporsi yang tidak polifarmasi 1 0.24 = 0.76
d
= Akurasi dari ketepatan pengukuran untuk p > 10% adalah 0.05
= (1.96)2 x 0.24x 0.76= 280.2 , Pembulatan 280
(0.05)2
Rumus populasi finit:
n
=
n0
(1 + n0/N)
= Besar sampel yang dibutuhkan untuk populasi yang finit.
= Besar sampel dari populasi yang infinit
= Besar sampel populasi finit (Jumlah lansiausia 65 tahun yang berobat di
No

n
n0
N

Puskesmas Kecamatan Tebetperiode 1- 20 Januari 2015 = 50 pasien)


n
=
280.2
(1 + 280.2/50)
= 42,45 pembulatan 42
antisipasi drop out = 10% x n
antisipasi drop out = 10% x 44 = 4,2 pembulatan 4
27

Total sampel = n + antisipasi drop out


Total sampel = 42+4 = 46 orang

4.4 Alur Pengambilan Sampel


Poli Lansia Puskesmas Kecamatan Tebet

Pasien lansia periode 1 Februari - 20 Februari 2015 yang memenuhi kriteria inklusi

Informed consent

Keluhan tentang reaksi obat


yang tidak diinginkan (-)

Keluhan tentang reaksi obat


yang tidak diinginkan (+)

Kuesioner Naranjo, anamnesis


dan pemeriksaan fisik

Kuesioner START dan STOPP skrining


pengobatan irasional
- Skrining ada atau tidaknya polifarmasi

4.5 Bahan dan Instrumen Penelitian


4.5.1 Pengumpulan Data

Data primer
Data yang diperoleh dengan cara langsung yaitu menggunakan alat bantu
berupa anamnesis dan pemeriksaan fisik yang berkaitan dengan diagnosis pasien

dan keluhan yang mengarah ke adverse drug reactions (ADRs) pada pasien.
Data sekunder
Data yang diperoleh dari dokumen-dokumen, catatan-catatan, arsip resmi,
serta

literatur

lainnya

yang

relevan

dalam

melengkapi

data

primer

penelitian.Berupa hasil pemeriksaan penunjang pasien (bila diperlukan dalam


28

mendiagnosis), data diagnosis dan obat yang diresepkan untuk dicocokkan dengan
kriteria START dan STOPP yang berisi daftar obat dan indikasinya yang dapat
mengarahkan kepada adanya pengobatan irasionaldan polifarmasi pada pasien.

4.5.2 Instrumen Penelitian

No
1.

Instrumen
Kuesioner

kriteria

START dan STOPP

2.

Kuesioner Naranjo

Fungsi
START mendeteksi adanya pengobatan yang mungkin
sebenarnya perlu ditambahkan dalam terapi pasien
STOPP mendeteksi adanya pengobatan yang sebenarnya
tidak perlu diberikan
Berisi 10 pertamyaan untuk menentukan apakah keluhan
efek obat yang tidak diinginkan merupakan adverse drug
reactions (ADRs) dari obat yang diberikan pada pasien

4.6Alur Kerja Penelitian


Skrining lansia yang datang untuk berobat
kePoli Lansia Puskesmas Kecamatan Tebet

Lansia usia 65 tahun dengan keluhan/gejala penyakit akibat gangguan

dari sistem kardiovaskuler, sistem gastrointestinal, sistem respiratorius, dan


sistem muskuloskeletal

Keluhan tentang reaksi obat


yang tidak diinginkan (+)

Keluhan tentang reaksi obat yang


29
tidak diinginkan (-)

Pengisian kuesioner Naranjo


Anamnesis
Pemeriksaan fisik

Pengelompokan polifarmasi dan bukan polifarmasi

Pengisian kuesioner kriteria START dan STOPP

Keterangan:
-

Termasuk kelompok polifarmasi bila mendapat terapi >5 obat dalam sehari. Vitamin dan

suplemen tidak termasuk dalam perhitungan obat.


Termasuk kelompok bukan polifarmasi bila mendapat terapi 5 obat dalam sehari.

4.7 Pengolahan Data


1. Editing
Memeriksa kelengkapan data yang diperoleh dari hasil kriteria START dan STOPP,
wawancara, pemeriksaan fisik dan penunjang lainnya.
2. Koding
Memberi kode pada masing-masing jawaban untuk dilakukan pengolahan data.
3. Data entry
Pemindahan data ke dalam komputer agar diperoleh data masukan yang siap diolah.
4.8 Analisis Data
1. Analisis Univariat
30

Analisis ini dilakukan pada masing-masing variabel. Hasil ini berupa distribusi dan
persentase pada variabel-variabel yang diteliti.
2. Analisis Bivariat
Analisis yang dilakukan untuk melihat ada tidaknya hubungan antara variabel bebas
dengan variabel tergantung.
4.9 Penyajian Data
Data yang telah terkumpul dan diolah akan disajikan dalam bentuk, yaitu :
a. Tekstular
Penyajian data hasil penelitian dengan menggunakan kalimat.
b. Tabular
Penyajian data hasil penelitian dengan menggunakan tabel.

31

Daftar Pustaka :
1. Mariyono

H.

Suryana

K.

Adverse

Drug

Reaction.

Available

at:

file:///C:/Users/hi/Downloads/usu%20adrs.pdf. Accessed on: 27 January 2015.


2. Definition
of
an
older
or
elderly
person.
Available
http://www.who.int/healthinfo/survey/ageingdefnolder/en.
Accessed
on:
January2015.

at:
27

3. Gallagher P. Ryan C. Byrne S. Kennedy J. O'Mahony D. STOPP (Screening Tool of


Older Person's Prescriptions) and START (Screening Tool to Alert doctors to Right
Treatment). Consensus validation. International Journal of Clinical Pharmacology and
Therapeutics.
2008;
46(2):72-83].
Available
at:
http://europepmc.org/abstract/med/18218287. Accessed on: 27 January 2015.
4. STARTing and STOPPing Medications in the Elderly. In: PHARMACISTS
LETTER
/
PRESCRIBERS
Letter.
Available
at:
file:///C:/Users/hi/Downloads/STARTandSTOPP%20in%20elderly.pdf.
Updated:
September 2011. Accessed on: 27 January 2015.
5. Hamilton HJ. Gallagher PF. Mahony DO. Inappropriate prescribing and adverse drug
events in older people. In: BMC Geriatrics. 2009; 9: 5. Available at:
www.bmcgeriatrics.com Accessed on: 27 January 2015. ]
6. Gillespie U, Alassaad A, Udenaes MA, Mrlin C, Henrohn D, Bertilsson M, Melhus
H. Effects of Pharmacists' Interventions on Appropriateness of Prescribing and
Evaluation of the Instruments' (MAI, STOPP and STARTs') Ability to Predict
HospitalizationAnalyses from a Randomized Controlled Trial. In: PLOS. 2013.
Available
at:http://journals.plos.org/plosone/article?
id=10.1371/journal.pone.0062401#pone-0062401-g001. Accessed on: 27 January
2015.
7. Rahmawati F, Pramantara ID, Rohmah W, Sulaiman SA. Polypharmacy and Unnecessary
Drug Therapy on Geriatric Hospitalized Patients in Yogyakarta Hospitals, Indonesia. In:
International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences. 2009; vol.1(1): p.1-11
Available at http://www.ijppsjournal.com/Vol1Suppl1/195.pdfAccesedJanuary 26, 2015
8. Franceschi M, Scarcelli C, Niro V, Seripa D, Pazienza AM, Pepe G, et al. Prevalence,
clinical features and avoidability of adverse drug reactions as cause of admission to a
32

geriatric unit: a prospective study of 1756 patients. In: Pub Med. 2008;vol.31(6): p.54556Available at http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18484788AccesedJanuary 26, 2015
9. OMahony D, OSullivan D, Byrne S, OConnor MN, Ryan C. STOPP/START Criteria
for Potentially Inappropriate Prescribing in Older People : Version 2.
Ageing.

2014;

0:

p.

16.

In: Age and

Available

at

http://ageing.oxfordjournals.org/content/early/2014/11/18/ageing.afu145.long

:
Accesed

January 22, 2015


10. Hamilton H, Gallagher P, Ryan C, Byrne S, OMahony D. Potentially Inappropriate
Medications Definedby STOPP Criteria and the Risk of Adverse DrugEvents in Older
Hospitalized Patients. In: Arch Intern Med. 2011; vol. 171(11): p. 1013-1019. Available
at http://archinte.jamanetwork.com/article.aspx?articleid=227481Accesed January 22,
2015
11. WHO.

Rational

Use

of

Medicines.

2012.Available

at

http://www.who.int/medicines/areas/rational_use/en/Accessed January 23, 2015


12. Mariyono HH, Suryana K. Adverse Drug Reactions. In: J Peny Dalam. 2008; vol 9(2)
Available

at

http://ojs.unud.ac.id/index.php/jim/article/viewFile/3862/2857Accesed

January 22, 2015.

33

You might also like