Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Lanjut usia menurut WHO adalah orang yang berusia lebih dari 65 tahun. Orang lanjut
usia (lansia) menderita kebih banyak gangguan dan penyakit, yang menyebabkan mereka
diresepkan lebih banyak obat. Jumlah lansia di Indonesia diperkirakan meningkat 414 % pada
tahun 2025 dibandingkan tahun 1990. Survey di Indonesia menunjukkan bahwa 78 % dari lansia
menderita 4 macam penyakit, 38 % menderita 6 macam penyakit dan 13 % menderita 8 macam
penyakit. Penelitian terbaru di Amerika Serikat menyatakan 12 % dari lansia di atas 65 tahun
menerima 10 macam obat. Penggunaan beberapa obat berpotensi menimbulkan polifarmasi.
Polifarmasi diketahui meningkatkan kejadian Adverse Drug Reaction (ADR). Hal tersebut
menyebabkan lansia lebih banyak menderita Adverse Drug Events dibanding usia muda, yang
berakibat meningkatnya angka mortalitas dan morbiditas pada lanjut usia (lansia). Namun, tidak
jarang ditemukan para lansia menolak obat yang diberikan oleh dokter padahal memiliki indikasi
klinis dan menguntungkan bagi mereka tanpa alasan yang bermakna. (unud)
Di Amerika Serikat, hampir 40 % lansia (usia lebih dari 60 tahun) atau lebih menerima
lima macam obat. Perubahan fisiologis yang terkait usia (penurunan fungsi renal, penurunan
massa otot) menyebabkan terjadinya Adverse Drug Reaction pada lansia. Sebanyak 25 % lansia
datang ke Unit Gawat Darurat karena kejadian Adverse Drug Reaction. (unud)
Perkembangan pengetahuan dan ditemukannya obat-obat baru untuk pengobatan,
pencegahan, maupun diagnosis menuntut kita untuk lebih mengetahui lebih banyak mengenai
farmakodinamik dan farmakokinetik dari obat. Selain efek yang diharapkan pada saat pemberian
obat kepada pasien, dapat pula terjadi reaksi yang tidak diinginkan, dengan kata lain adverse
drug reaction (ADR). Adverse drug reaction dapat timbul dari yang paling ringan hingga dapat
menjadi sangat berat yang dapat menimbulkan kematian.
Adverse drug reaction yang terjadi dapat memperburuk penyakit dasar yang akan diobati,
menambah permasalahan baru dan bahkan kematian. Keracunan dan syok anafilaktik merupakan
contoh ADR yang berat yang dapat menyebabkan kematian, sedangkan sebagai contoh yang
ringan adalah rasa gatal dan mengantuk.Jenis ADR sangatlah banyak, dari yang dapat
diperkirakanakan timbul sampai yang tidak kita perkirakan yang potensial membahayakan
1
keselamatan jiwa pasien. Karena hal ini cukup sering didapatkan di klinik, amatlah penting
artinya bagi kita untuk mengetahui bagaimana cara mendiagnosis, penatalaksanaan serta
pencegahan apabila terdapat reaksi akibat ADR.
ADRs pada lansia saat ini menjadi masalah kesehatan masyarakat. Polifarmasi dan
inappropriate prescribing (IP) diketahui menjadi faktor resiko dari ADRs. Pada tahun 2008 telah
diperkenalkan kriteria START/STOPP. Kriteria START adalah cara deteksi adanya pemakaian
obat yang terlalu banyak dan irasional pada lansia (Screening Tool to Alert to Right Treatment).
Kriteria STOPP (Screening Tool of Older Peoples Prescriptions) adalah kriteria untuk deteksi
adverse drug reactions (ADRs) pada lansia.Berdasarkan penelitian Mahony at al ahun 2014, 114
kriteria START/STOPP yang digunakan terbukti menurunkan kejadian inappropriate prescribing
(IP) yang menurunkan angka ADRs pada lansia. Strategi menurunkan dapat meningkatkan
pencegahan dari ADRs yang dibutuhkan pada lansia.
Selatan.
Tujuan Khusus
1. Menilai prevalensi polifarmasi pada lansia yang berobat di wilayah Puskesmas
Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan.
2. Dilakukannya penjaringan pasien lansia denganpotensi pengobatan irasional
dengan menggunakan kriteria START dan STOPP di wilayah kerja Puskesmas
Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
convalescence,
skin
integrity
(gangguan
pancaindera,
komunikasi,
penyembuhan, dan kulit), impaction (sulit buang air besar), isolation (depresi), inanition (kurang
gizi), impecunity (tidak punya uang), iatrogenesis (menderita penyakit akibat obat-obatan),
insomnia (gangguan tidur), immune deficiency (daya tahan tubuh yang menurun), impotence
(impotensi).
2.2 Konsep Dasar Pemakaian Obat .
Ada tiga faktor yang menjadi acuan dasar dalam pembuatan atau peresepan obat :
1. Diagnosis dan patofisiologi penyakit
2. Kondisi organ tubuh
3. Farmakologi klinik obat
Setelah dokter mendiagnosis penyakit pasien, maka sebelum penentuan obat yang diberikan
perlu dipertimbangkan kondisi organ tubuh serta farmakologi dari obat yang akan diresepkan.
4
Pada usia lanjut banyak hal-hal yang lainnya yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan
obat, karena pada golongan lansia berbagai perubahan fisiologik pada organ dan sistema
tubuh akan mempengaruhi tanggapan tubuh terhadap obat. Adapun prinsip umum penggunaan
obat pada usia lanjut :
1. Berikan obat hanya yang betul-betul diperlukan artinya hanya bila ada indikasi yang
tepat. Bila diperlukan efek plasebo berikan plasebo yang sesungguhnya
2. Pilihlah obat yang memberikan rasio manfaat yang paling menguntungkandan tidak
berinteraksi dengan obat yang lain atau penyakit lainnya
3. Mulai pengobatan dengan dosis separuh lebih sedikit dari dosis yang biasa diberikan
pada orang dewasa yang masih muda.
4. Sesuaikan dosis obat berdasarkan dosis klinik pasien, dan bila perlu dengan
memonitor kadar plasma pasien. Dosis penunjang yang tepat umumnya lebih rendah.
5. Berikan regimen dosis yang sederhana dan sediaan obat yang mudah ditelan untuk
memelihara kepatuhan pasien
6. Periksa secara berkala semua obat yang dimakan pasien, dan hentikan obat yang tidak
diperlukan lagi (Manjoer, 2004)
2.3 Farmakokinetik pada Lansia
Pada usia lanjut perubahan terjadi pada saluran cerna yang diduga mengubah
absorbsi obat, misalnya meningkatnya pH lambung, menurunnya aliran darah ke usus
akibat penurunan curah jantung dan perubahan waktu pengosongan lambung dan gerak
saluran cerna. Oleh karena itu, kecepatan dan tingkat absorbsi obat tidak berubah pada usia
lanjut, kecuali pada beberapa obat seperti fenotain, barbiturat, dan prozasin (Bustami,
2001).
Pada distribusi obat terdapat hubungan antara penyebaran obat dalam cairan tubuh
dan ikatannya dengan protein plasma (biasanya dengan albumin, tetapi pada beberapa obat
dengan protein lain seperti asam alfa 1 protein), dengan sel darah merah dan jaringan tubuh
termasuk organ target. Pada usia lanjut terdapat penurunan yang berarti pada massa tubuh
tanpa lemak dan cairan tubuh total, penambahan lemak tubuh dan penurunan albumin
plasma. Penurunan albumin sedikit sekali terjadi pada lansia yang sehat dapat lebih
menjadi berarti bila terjadi pada lansia yang sakit, bergizi buruk atau sangat lemah. Selain
5
itu juga dapat menyebabkan meningkatnya fraksi obat bebas dan aktif pada beberapa obat
dan kadang-kadang membuat efek obat lebih nyata tetapi eliminasi lebih cepat.
Munculnya efek obat sangat ditentukan oleh kecepatan penyerapan dan cara
penyebarannya. Durasi (lama berlangsungnya efek) lebih banyak dipengaruhi oleh
kecepatan ekskresi obat terutama oleh penguraian di hati yang biasanya membuat obat
menjadi lebih larut dalam air dan menjadi metabolit yang kurang aktif atau dengan ekskresi
metabolitnya oleh ginjal. Sejumlah obat sangat mudah diekskresi oleh hati, antara lain
melalui ambilan (uptake) oleh reseptor di hati dan melalui metabolisme sehingga
bersihannya tergantung pada kecepatan pengiriman ke hati oleh darah. Pada usia lanjut,
penurunan aliran darah ke hati dan juga kemungkinan pengurangan ekskresi obat yang
tinggi terjadi pada labetolol, lidokain, dan propanolol. Efek usia pada ginjal berpengaruh
besar pada ekskresi beberapa obat. Umumnya obat diekskresi melalui filtrasi glomerolus
yang sederhana dan kecepatan ekskresinya berkaitan dengan kecepatan filtrasi glomerolus
(oleh karena itu berhubungan juga dengan bersihan kreatinin). Misalnya digoksin dan
antibiotik golongan aminoglikosida. Pada usia lanjut, fungsi ginjal berkurang, begitu juga
dengan aliran darah ke ginjal sehingga kecepatan filtrasi glomerolus berkurang sekitar 30
% dibandingkan pada orang yang lebih muda. Akan tetapi, kisarannya cukup lebar dan
banyak lansia yang fungsi glomerolusnya tetap normal. Fungsi tubulus juga memburuk
akibat bertambahnya usia dan obat semacam penicilin dan litium, yang secara aktif
disekresi oleh tubulus ginjal, mengalami penurunan faali glomerolus dan tubulus (Bustami,
2001).
2.4 Penurunan Fungsi Organ pada Lansia
2.4.1
Fungsi Ginjal
Perubahan paling berarti saat memasuki usia lanjut ialah berkurangnya fungsi ginjal
dan menurunnya creatinine clearance, walaupun tidak terdapat penyakit ginjal atau kadar
kreatininnya normal. Hal ini menyebabkan ekskresi obat sering berkurang, sehingga
memperpanjang intensitas kerjanya. Obat yang mempunyai half-life panjang perlu diberi
dalam dosis lebih kecil bila efek sampingnya berbahaya.
Dua obat yang sering diberikan kepada lansia ialah glibenklamid dan digoksin.
Glibenklamid, obat diabetes dengan masa kerja panjang (tergantung besarnya dosis)
misalnya, perlu diberikan dengan dosis terbagi yang lebih kecil ketimbang dosis tunggal
besar yang dianjurkan produsen. Digoksin juga mempunyai waktu-paruh panjang dan
merupakan obat lansia yang menimbulkan efek samping terbanyak di Jerman karena dokter
Jerman memakainya berlebihan, walaupun sekarang digoksin sudah digantikan dengan
furosemid untuk mengobati payah jantung sebagai first-line drug (Darmansjah, 1994).
Karena kreatinin tidak bisa dipakai sebagai kriteria fungsi ginjal, maka harus digunakan
nilai creatinine-clearance untuk memperkirakan dosis obat yang renal-toxic, misalnya
aminoglikoside seperti gentamisin. Penyakit akut seperti infark miokard dan pielonefritis
akut juga sering menyebabkan penurunan fungsi ginjal dan ekskresi obat.
Dosis yang lebih kecil diberikan bila terjadi penurunan fungsi ginjal, khususnya bila
memberi obat yang mempunyai batas keamanan yang sempit. Alopurinol dan petidin, dua
obat yang sering digunakan pada lansia dapat memproduksi metabolit aktif, sehingga
kedua obat ini juga perlu diberi dalam dosis lebih kecil pada lansia.
2.4.2
Fungsi Hati
Hati memiliki kapasitas yang lebih besar daripada ginjal, sehingga penurunan
fungsinya tidak begitu berpengaruh. Ini tentu terjadi hingga suatu batas. Batas ini lebih
sulit ditentukan karena peninggian nilai ALT tidak seperti penurunan creatinine-clearance.
ALT tidak mencerminkan fungsi tetapi lebih merupakan marker kerusakan sel hati dan
karena kapasitas hati sangat besar, kerusakan sebagian sel dapat diambil alih oleh sel-sel
hati yang sehat.
ALT juga tidak bisa dipakai sebagai parameter kapan perlu membatasi obat tertentu.
Hanya anjuran umum bisa diberlakukan bila ALT melebihi 2-3 kali nilai normal sebaiknya
mengganti obat dengan yang tidak dimetabolisme oleh hati. Misalnya pemakaian
methylprednisolon, prednison dimetabolisme menjadi prednisolon oleh hati. Hal ini tidak
begitu perlu untuk dilakukan bila dosis prednison normal atau bila hati berfungsi normal.
Kejenuhan metabolisme oleh hati bisa terjadi bila diperlukan bantuan hati untuk
metabolisme dengan obat-obat tertentu. (Boestami, 2001)
2.5
1. Digoksin. Obat ini dapat menyebabkan respon intoksikasi akibat filtrasi glomerulus
yang berkurang, penurunan berat badan (indeks massa tubuh) terhadap distribusi obat,
adanya gangguan elektrolit pada lansia dan penyakit kardiovaskular yang lanjut.
2. Antihipertensi (terutama penghambat adrenergik). Efek toksisitas obat ini dapat
mengakibatkan sinkope akibat hipotensi postural dan insufisiensi koroner karena
penurunan mekanisme homeostatik kardiovaskular pada lansia.
3. Diuretik (tiazid, furosemid). Efek toksisitas pada obat ini dapat mengakibatkan
hipotensi, hipokalemia, hipovolemia, hiperglikemia dan hiperurikemia. Efek tersebut
berkaitan dengan berat badan pada pasien lansia yang sudah sangat berkurang,
penurunan fungsi ginjal dan penurunan mekanisme homeostatik kardiovaskular.
4. Obat-obat glaukoma seperti beta bloker topikal dan asetazolamid dapat
mengakibatkan efek samping sistemik seperti bradikardi, asma dan gagal jantung.
Sementara
anti
emetik
seperti
metoklopramid
dan
proklorperazin
dapat
Semua obat ini dikaitkan dengan penurunan fungsi ginjal pada lansia sehingga sulit
diekskresi melalui ginjal.
3. Meresepkan obat yang salah (incorrect drug prescribing). Hal ini terjadi akibat
menggunakan obat untuk hal-hal yang tidak merupakan indikasi, pemakaian obat
tanpa memperhitungkan keadaan lain yang diderita pasien secara bersamaan.
4. Meresepkan obat lebih dari satu jenis (multiple drugs prescribing/polypharmacy). Hal
ini dapat terjadi pada pemberian dua jenis atau lebih kombinasi obat, sedangkan
sebenarnya cukup hanya diperlukan satu jenis obat saja, termasuk pula disini berupa
pemberian obat terhadap segala gejala dan tanda-tanda yang timbul, tanpa
memberikan obat yang dapat mengatasi penyebab utamanya.
5. Meresepkan obat yang kurang (under drug prescribing). Hal ini dapat terjadi jika obat
yang seharusnya diperlukan tidak diberikan, dosis obat yang diberikan tidak
mencukupi maupun lama pemberian terlalu singkat dibandingkan dengan yang
sebenarnya diperlukan.
2.5.3
2.6
2.6.1 Definisi
10
Beberapa definisi telah dikemukakan untuk adverse drug reaction. Menurut WHO
1972, ADR adalah setiap efek yang tidak diinginkan dari obat yang timbul pada
pemberian obat dengan dosis yang digunakan untuk profilaksis, diagnosis dan terapi.
Menurut FDA, 1995, ADR didefinisikan sebagai efek yang tidak diinginkan yang
berhubungan dengan penggunaan obat yang timbul sebagai bagian dari aksi farmakologis
dari obatyang kejadiannya mungkin tidak dapat diperkirakan. Laurence, 1998 ADR
adalah efek yang membahayakan atau tidak mengenakkan yang disebabkan oleh dosis
obat yang digunakan sebagai terapi (atau profilaksis atau diagnosis) yang mengharuskan
untuk mengurangi dosis atau menyetop pemberian dan meramalkan adanya bahaya pada
pemberian selanjutnya. Menurut Edward, ADR adalah reaksi yang berbahaya atau tidak
mengenakkan akibat penggunaan produk medis yang memperkirakan adanya bahaya
pada pemberian berikutnya sehingga mengharuskan pencegahan, terapi spesifik,
pengaturan dosis atau penghentian obat. Beberapa reaksi obat dapat timbul pada semua
orang, sedangkan lainnya hanya dapat timbul pada orang yang suseptibel. Alergi obat
merupakan reaksi imunologis yang spesifik (timbul pada orang yang suseptibel) dan
berulang bila terpapar kembali oleh obat yang mencetuskannya.
2.6.2 Insiden
Efek samping obat sering kita jumpai di praktek sehari-hari. Pada sebuah penelitian
di Perancis, dari 2067 dewasa berusia 2067 tahun yang datang ke pusat kesehatan untuk
pemeriksaan kesehatan dilaporkan bahwa 14,7% memiliki riwayat efek samping sistemik
terhadap satu atau lebih obat. Penelitian di Swiss dari 5568 pasien rawat inap, 17%
diantaranya mendapatkan efek samping obat. Reaksi obat yang fatal terjadi pada 0,1%
pasien medik dan 0,01% pasien bedah. Obat yang tersering adalah antibiotik dan obat anti
inflamasi non steroid. Banyak mekanisme ADR yang diperkirakan, tetapi mekanisme
pasti reaksi obat yang menimbulkan ADR belum jelas diketahui. Hal ini menyebabkan
sangat sulit untuk membedakan antara alergi obat dengan bentuk lain reaksi obat serta
dalam menilai insiden alergi obat, mengevaluasi faktor risiko dan menentukan
panatalaksanaannya.
11
ADR diperkirakan terjadi hampir 15% dari pemberian obat. Risiko terjadinya dapat
meningkat hingga dua kali lipat di rumah sakit. Reaksi obat yang dapat menimbulkan
kematian dapat timbul sebesar 0,1% pada pasien medik rawat inap dan 0,01% pada
penderita bedah. Hanya 5 10% dari ADR merupakan alergi obat.
2.6.3
Klasifikasi ADR
ADR dapat dibagi menjadi dua kategori besar, yaitu yang dapat diperkirakan,
umum terjadi dan berhubungan dengan aksi farmakologis obat (reaksi tipe A) dan yang
tidak dapat diperkirakan, jarang terjadi dan biasanya tidak berhubungan dengan aksi
farmakologis obat (reaksi tipe B). Hampir 80% ADR adalah tipe A contohnya adalah
toksisitas obat, efek samping, efek sekunder, dan interaksi obat. Reaksi termediasi sistem
imun atau alergi termasuk tipe B, timbulnya jarang, hanya 6 10% dari keseluruhan ADR.
Tipe B seringkali tidak terlihat sampai obat tersebut dipasarkan, dependen terhadap faktor
genetik dan lingkungan. Yang termasuk reaksi tipe B adalah intoleransi obat (efek tidak
diinginkan yang timbul pada dosis terapi atau subterapi), reaksi idiosinkrasi (reaksi tidak
spesifik yang tidak dapat dijelaskan oleh reaksi farmakologis obat) dan alergi atau reaksi
hipersensitifitas (reaksi yang sesuai dengan mekanisme imunologi). Alergi dapat
diklasifikasikan berdasarkan sistem klasifikasi Gell dan Coombs, menjadi reaksi
hipersensitivitas tipe cepat (diperantarai IgE), reaksi sitotoksik dan imun kompleks
(diperantarai IgG dan IgM) dan reaksi tipe lambat (diperantarai limfosit T). Meskipun
kategorinya jelas, tetapi mengklasifikasikannya amat sulit karena mekanisme yang belum
jelas.
ADR dalam segi praktis klinis dapat diklasifikasikan untuk memudahkan dalam
mengetahui terjadin ADR pada penggunaan obat dalam praktek sehari-hari, salah satu
klasifikasi yang dapat digunakan adalah:
1. Reaksi yang dapat timbul pada setiap orang:
a. Overdosis obat: efek farmakologis toksik yang timbul pada pemberian obat
yang timbul akibat kelebihan dosis ataupun karena gangguan ekskresi obat
12
b. Efek samping obat: efek farmakologis yang tidak diinginkan yang timbul pada
dosis terrekomendasi.
c. Interaksi obat: aksi farmakologis obat pada efektivitas maupun toksisitas obat
yang lain.
2. Reaksi yang hanya timbul pada orang yang suseptibel:
a. Intoleransi obat: ambang batas yang rendah pada aksi farmakologis normal dari
obat.
b. Idiosinkrasi obat: respon abnormal dari obat yang berbeda dari efek
farmakologisnya. Hal ini timbul pada pasien yang suseptibel dan kejadian bisa /
tidak bisa diperkirakan. Terjadi karena metabolisme obat ataupun defisiensi
enzim.
c. Alergi obat
d. Reaksi pseudoalergik/anafilaktoid: reaksi yang secara klinis mirip dengan reaksi
alergi tanpa peranan imunologis (tidak diperantarai IgE).
2.6.4
obat masih diperdebatkan. Atopi mungkin berperan pada reaksi yang timbul akibat
pemberian kontras yodium tetapi tidak untuk penisilin maupun obat anestesi. Faktor
risiko yang berhubungan dengan obat itu sendiri termasuk ukuran molekulnya, molekul
yang besar dapat dianggap sebagai antigen komplit, contoh insulin;bivalensi, yaitu
kemampuan untuk berikatan dengan beberapa reseptor (cross link) contohnya suksinil
kolin; serta kemampuannya berperan sebagai hapten. Sensitisasi dapat tergantung pada
13
cara pemberian, lebih sering timbul pada cara pemberian lokal atau topikal, lebih jarang
pada pemberian secara parenteral, dan paling jarang pada penggunaan secara oral.
Pemberian secara intravena akan dapat menimbulkan reaksi yang lebih berat.
Penggunaan obat-obatan penyekat akan mengurangi respon penderita terhadap
adrenalin yang diberikan untuk menangani anafilaksis. Asma akan memperberat
penanganan apabila terjadi reaksi anafilaksis, karena konstriksi bronkus yang terjadi
dapat disebabkan oleh asmanya sendiri maupun akibat reaksi dengan obat yang
diberikan. Kehamilan juga akan menyulitkan dalam penatalaksanaan, seperti pemilihan
obat serta kita harus memikirkan nasib janin yang dikandung selain menangani
kegawatan yang terjadi pada si ibu. Secara singkat, faktor resiko terjadinya ADR adalah
sebagai berikut:
1.
a.
Usia
b.
Jenis Kelamin
c.
Genetik
d.
Atopi
e.
AIDS
2.
a.
Makromolekul
b.
Bivalensi
c.
Hapten
d.
Rute pemberian
14
e.
Dosis
f.
Lama terapi
3.
Faktor pendukung
a.
Beta bloker
b.
Asma
c.
Kehamilan
Berikut ini faktor resiko terjadinya ADR yang berhubungan dengan polifarmasi pada lansia
2.6.5
Diagnosis ADR
15
Tes diagnosis ADR untuk reaksi hipersensitivitas yang baik termasuk anamnesis
yang detail dan pemeriksaan fisik sangat penting untuk mengklasifikasikan reaksi,
menentukan terapi, mengidentifikasi obat yang menimbulkan reaksi tersebut dan untuk
mengetahui insiden alergi terhadap obat tersebut. Anamnesis yang mendetail dan pasti
harus didapatkan dari pasien. Hal hal yang harus didapatkan pada saat anamnesis adalah
a. Gejala klinis serta waktu timbulnya gejala serta jarak timbul gejala dari paparan
obat yang dicurigai
b. Kemungkinan onset timbulnya gejala:
Delayed, timbul gejala lebih dari 72 jam setelah paparan. Gejala yang
mungkin didapatkan antara lain sidrom mukokutan (rash, dermatitis
eksfoliatif)
atau
tipe
hematologis
(anemia,
trombositopenia,
netropenia)
16
2.6.6
Penatalaksanaan ADR
Sekarang ini hanya sedikit alat yang dapat membantu evaluasi dan penatalaksanaan
pasien dengan reaksi akibat obat. Alat tersebut belum ada karena keterbatasan
pengetahuan mengenai patofisiologi dan faktor predisposisi timbulnya kebanyakan reaksi
tersebut. Meski dengan segala keterbatasan pasien tetap harus dapat ditangani.
Pendekatan terhadap pasien alergi obat harus secara metodologis. Pertama hubungannya
dengan obat harus dapat dibuktikan. Setelah hal tersebut dapat dibuktikan, tipe reaksi
harus dapat ditentukan sebisa mungkin. Untuk reaksi tipe A, modifikasi dosis sebelum
diberikan merupakan satu satunya hal yang perlu dikerjakan. Toksisitas, serta efek
samping dan efek sekunder dapat membaik dengan menurunkan dosis obat. Untuk reaksi
tipe B, obat masih dapat diberikan kembali bila reaksi sebelumnya ringan (tinitus pada
pemberian aspirin). Untuk reaksi idiosinkrasi, kewaspadaan yang lebih perlu
dipertimbangkan. Pada reaksi yang berat atau mengancam nyawa penderita, obat tersebut
tidak boleh diberikan kembali. Pada reaksi yang tidak terlalu berat, tes provokasi dapat
dipertimbangkan.
17
kebanyakan
kasus
memang
tidak
ada,
beberapa
pendekatan
dapat
dilakukan.Pendekatan yang paling mudah adalah dengan menghindari obat bila obat
alternatif tersedia. Bila obat alternatif tidak ada, challenge test bertahap dapat dikerjakan
bila reaksi yang timbul sebelumnya bukan merupakan reaksi yang diperantarai IgE dan
tidak merupakan reaksi yan berat dan membahayakan nyawa penderita. Bila reaksi yang
sebelumnya timbul merupakan reaksi yang diperantarai IgE, desensitisasi harus
dikerjakan.
2.7
2.
3.
dibutuhkan. Selain itu Over prescribing juga mengarah pada pemberian obat dengan
dosis, frekuensi dan durasi yang lebih dibandingkan yang dibutuhkan secara klinis.
2. IP berkaitan dengan peningkatan resiko terjadinya Adverse Drug Reaction jika
penggunaan obat tidak dipikirkan adanya rasio untung ruginya, dimana obat yang
diberikan lebih banyak memberikan resiko dibanding keuntungannya.
3. IP juga meningkatkan resiko terjadinya interaksi antar obat
4. Underuse of medications atau under prescribing
2.7.2
digunakan untuk
meningkatkan kualitas dan keamanan resep obat untuk pasien usia lanjut. Sehingga
adanya polifarmasi irasional dan Adverse Drug Reactions dapat dideteksi.
merupakan alat
skrining untuk mendeteksi adanya kemungkinan obat yang perlu diberikan tetapi
tidak diberikan sehingga dapat pula mencegah polifarmasi irasional.
Berikut ini adalah kriteria START dan STOPP yang meliputi berbagai sistem organ.
KERANGKA TEORI
19
20
21
BAB III
KERANGKA KONSEP, VARIABEL PENELITIAN
DAN DEFINISI OPERASIONAL
Polifarmasi
Pengobatan irasional
3.2 VARIABEL PENELITIAN
1. Variabel bebas / Independent
Polifarmasi
Pengobatan irasional
2. Variabel tergantung / Dependent
-
Variabel
Adverse
Drug
Reactions
(ADRs)
Definisi
ADRs adalah setiap
efek yang tidak diinginkan
dari obat yang timbul pada
pemberian obat dengan
dosis yang digunakan
untuk
profilaksis, diagnosis dan
terapi
2.
Pengobatan Penggunaan
Obat
irasional
Rasional adalah apabila
pasien
menerima
pengobatan
sesuai
dengan
kebutuhan
klinisnya, dalam dosis
yang sesuai dengan
kebutuhan,
dalam
periode waktu yang
sesuai dan dengan biaya
yang terjangkau oleh
dirinya dan kebanyakan
Alat Ukur
Kuesioner
Naranjo
Cara Ukur
Wawancara
dan
pemeriksaan
fisik
Kuesioner
START
dan
STOPP
Wawancara
Hasil Ukur
Hasil Skor ADRs
berdasarkan
kuesioner
Naranjo:
1 - 3 Possible
(Kemungkinan
ADRs)
4 - 8 Probable
(Kemungkinan
Besar ADRs)
9 - 13 Definite
(Pasti ADRs)
- Irasional : bila
jawaban
kuesioner (+)
- Rasional : bila
sesuai
kebutuhan dan
jawaban
kuesioner (-)
Skala Ukur
Nominal
Referensi
WHO
Nominal
WHO
23
3.
Polifarmasi
masyarakat.
Polifarmasi
adalah Data
penggunaan bersamaan pasien
5 macam atau lebih obat
- obatan oleh pasien
yang sama dalam satu
resep, terutama tidak
sesuai dengan kriteria
klinis.
Wawancara
dan
pemeriksaan
fisik
1. Polifarmasi :
obat >5/hari
(tidak termasuk
vitamin dan
suplemen)
2. Bukan
polifarmasi:
obat 5/hari
Nominal
POM
Daftar Pustaka
1. OMahony D, OSullivan D, Byrne S, OConnor MN, Ryan C. STOPP/START Criteria for
Potentially Inappropriate Prescribing in Older People : Version 2. In: Age and Ageing. 2014;
0:
p.
16.
Available
at
http://ageing.oxfordjournals.org/content/early/2014/11/18/ageing.afu145.long
Accesed
Rational
Use
of
Medicines.
2012.Available
at
24
25
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1.
Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasional
analitik, dimana peneliti mencari hubungan antara satu variabel dengan variabel
lainnya.Berdasarkan klasifikasi waktu, pendekatan dilakukan dengan mengunakan studi
potong lintang (cross sectional), dimana subjek diamati pada satu waktu, dimana
pengukuran variabel subjek dilakukan pada saat pemeriksaan tersebut, namun tidak dapat
menentukan pengelompokan antara sebab dan akibat dari variabel-variabel yang diteliti.
4.2.
4.3.
a. Kriteria Inklusi
1. Lansia usia 65 tahun
2. Datang dengan keluhan/gejala penyakit akibat gangguan dari sistem
kardiovaskuler, sistem gastrointestinal, sistem respiratorius, dan
sistem musculoskeletal
3. Mengalami dan tidak mengalami reaksi obat yang tidak diinginkan
b. Kriteria Eksklusi
1. Sedang mengkonsumsi obat tradisional atau jamu-jamuan
2. Pasien yang memiliki gangguan kesadaran dan kesulitan untuk
berkomunikasi
4.3.3
Sampel Penelitian
Teknik pengambilan sampel adalah dengan consecutive non probability
sampling, yaitu diambil berdasarkan subyek yang datang berurutan dan memenuhi
kriteria pemilihan dimasukan dalam penelitian sampai jumlah subyek terpenuhi.
Besar sampel minimal dalam penelitian ini sesuai dengan rumus berikut ini:
Besar sampel
Perkiraan besar sampel yang digunakan pada penelitian ini menggunakan rumus:
Rumus populasi infinit:
No
=
Z2 x P x Q
d2
Z
= Tingkat kemaknaan yang dikehendaki 95% besarnya 1,96
P
= Prevalensi kelompok yang polifarmasi 24% = 0.24
Q
= Prevalensi/proporsi yang tidak polifarmasi 1 0.24 = 0.76
d
= Akurasi dari ketepatan pengukuran untuk p > 10% adalah 0.05
= (1.96)2 x 0.24x 0.76= 280.2 , Pembulatan 280
(0.05)2
Rumus populasi finit:
n
=
n0
(1 + n0/N)
= Besar sampel yang dibutuhkan untuk populasi yang finit.
= Besar sampel dari populasi yang infinit
= Besar sampel populasi finit (Jumlah lansiausia 65 tahun yang berobat di
No
n
n0
N
Pasien lansia periode 1 Februari - 20 Februari 2015 yang memenuhi kriteria inklusi
Informed consent
Data primer
Data yang diperoleh dengan cara langsung yaitu menggunakan alat bantu
berupa anamnesis dan pemeriksaan fisik yang berkaitan dengan diagnosis pasien
dan keluhan yang mengarah ke adverse drug reactions (ADRs) pada pasien.
Data sekunder
Data yang diperoleh dari dokumen-dokumen, catatan-catatan, arsip resmi,
serta
literatur
lainnya
yang
relevan
dalam
melengkapi
data
primer
mendiagnosis), data diagnosis dan obat yang diresepkan untuk dicocokkan dengan
kriteria START dan STOPP yang berisi daftar obat dan indikasinya yang dapat
mengarahkan kepada adanya pengobatan irasionaldan polifarmasi pada pasien.
No
1.
Instrumen
Kuesioner
kriteria
2.
Kuesioner Naranjo
Fungsi
START mendeteksi adanya pengobatan yang mungkin
sebenarnya perlu ditambahkan dalam terapi pasien
STOPP mendeteksi adanya pengobatan yang sebenarnya
tidak perlu diberikan
Berisi 10 pertamyaan untuk menentukan apakah keluhan
efek obat yang tidak diinginkan merupakan adverse drug
reactions (ADRs) dari obat yang diberikan pada pasien
Keterangan:
-
Termasuk kelompok polifarmasi bila mendapat terapi >5 obat dalam sehari. Vitamin dan
Analisis ini dilakukan pada masing-masing variabel. Hasil ini berupa distribusi dan
persentase pada variabel-variabel yang diteliti.
2. Analisis Bivariat
Analisis yang dilakukan untuk melihat ada tidaknya hubungan antara variabel bebas
dengan variabel tergantung.
4.9 Penyajian Data
Data yang telah terkumpul dan diolah akan disajikan dalam bentuk, yaitu :
a. Tekstular
Penyajian data hasil penelitian dengan menggunakan kalimat.
b. Tabular
Penyajian data hasil penelitian dengan menggunakan tabel.
31
Daftar Pustaka :
1. Mariyono
H.
Suryana
K.
Adverse
Drug
Reaction.
Available
at:
at:
27
geriatric unit: a prospective study of 1756 patients. In: Pub Med. 2008;vol.31(6): p.54556Available at http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18484788AccesedJanuary 26, 2015
9. OMahony D, OSullivan D, Byrne S, OConnor MN, Ryan C. STOPP/START Criteria
for Potentially Inappropriate Prescribing in Older People : Version 2.
Ageing.
2014;
0:
p.
16.
Available
at
http://ageing.oxfordjournals.org/content/early/2014/11/18/ageing.afu145.long
:
Accesed
Rational
Use
of
Medicines.
2012.Available
at
at
http://ojs.unud.ac.id/index.php/jim/article/viewFile/3862/2857Accesed
33