You are on page 1of 21

BAB II

PEMBAHASAN
Penderita usia lanjut umumnya mengalami beberapa penyakit secara
bersamaan, dan ada kemungkinan dokter (beberapa dokter) berusaha memberikan
obat untuk setiap penyakit. Jumlah obat-obat yang banyak ini dapat menimbulkan
masalah baru antara lain karena efek samping dan interaksi obat. Walaupun tidak
mudah mengelola penderita lanjut usia dengan multipatologi, beberapa pedoman
dapat dipakai sebagai pegangan, antara lain: Langkah-langkah untuk menghindari
polifarmasi.
Penampilan penyakit pada lanjut usia (lansia) sering berbeda dengan pada
dewasa muda, karena penyakit pada lansia merupakan gabungan dari kelainankelainan yang timbul akibat penyakit dan proses menua, yaitu proses
menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki
diri atau mengganti diri serta mempertahankan struktur dan fungsi normalnya,
sehingga tidak dapat berthan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki
kerusakan yang diderita.
Demikian juga, masalah kesehatan yang sering terjadi pada lansia berbeda
dari orang dewasa, yang menurut Kane dan Ouslander sering disebut dengan
istilah 14 I, yaitu immobility (kurang bergerak), instability (berdiri dan berjalan
tidak stabil atau mudah jatuh), incontinence (beser buang air kecil dan atau buang
air besar), intellectual impairment (gangguan intelektual/dementia), infection
(infeksi), impairment of vision and hearing, taste, smell, communication,
convalescence, skin integrity (gangguan pancaindera, komunikasi, penyembuhan,
dan kulit), impaction (sulit buang air besar), isolation (depresi), inanition (kurang
gizi), impecunity (tidak punya uang), iatrogenesis (menderita penyakit akibat

obat-obatan), insomnia (gangguan tidur), immune deficiency (daya tahan tubuh


yang menurun), impotence (impotensi).
Masalah kesehatan utama tersebut di atas yang sering terjadi pada lansia
perlu dikenal dan dimengerti oleh siapa saja yang banyak berhubungan dengan
perawatan lansia agar dapat memberikan perawatan untuk mencapai derajat
kesehatan yang seoptimal mungkin.
Selain gangguan-gangguan tersebut, Nina juga menyebut tujuh penyakit
kronik degeratif yang kerap dialami para lanjut usia, yaitu:

a. Osteo Artritis (OA)


OA adalah peradangan sendi yang terjadi akibat peristiwa mekanik dan
biologik yang mengakibatkan penipisan rawan sendi, tidak stabilnya sendi, dan
perkapuran. OA merupakan penyebab utama ketidakmandirian pada usia lanjut,
yang dipertinggi risikonya karena trauma, penggunaan sendi berulang dan
obesitas.
b. Osteoporosis
Osteoporosis merupakan salah satu bentuk gangguan tulang dimana masa
atau kepadatan tulang berkurang. Terdapat dua jenis osteoporosis, tipe I merujuk
pada percepatan kehilangan tulang selama dua dekade pertama setelah
menopause, sedangkan tipe II adalah hilangnya masa tulang pada usia lanjut
karena terganggunya produksi vitamin D.
c. Hipertensi
Hipertensi merupakan kondisi dimana tekanan darah sistolik sama atau
lebih tinggi dari 140 mmHg dan tekanan diastolik lebih tinggi dari 90mmHg, yang
terjadi karena menurunnya elastisitas arteri pada proses menua. Bila tidak
ditangani, hipertensi dapat memicu terjadinya stroke, kerusakan pembuluh darah
(arteriosclerosis), serangan/gagal jantung, dan gagal ginjal
d. Diabetes Mellitus
2

Sekitar 50% dari lansia memiliki gangguan intoleransi glukosa dimana


gula darah masih tetap normal meskipun dalam kondisi puasa. Kondisi ini dapat
berkembang menjadi diabetes melitus, dimana kadar gula darah sewaktu diatas
atau sama dengan 200 mg/dl dan kadar glukosa darah saat puasa di atas 126
mg/dl. Obesitas, pola makan yang buruk, kurang olah raga dan usia lanjut
mempertinggi risiko DM. Sebagai ilustrasi, sekitar 20% dari lansia berusia 75
tahun menderita DM. Beberapa gejalanya adalah sering haus dan lapar, banyak
berkemih, mudah lelah, berat badan terus berkurang, gatal-gatal, mati rasa, dan
luka yang lambat sembuh.
e. Dimensia
Merupakan kumpulan gejala yang berkaitan dengan kehilangan fungsi
intelektual dan daya ingat secara perlahan-lahan, sehingga mempengaruhi
aktivitas kehidupan sehari-hari. Alzheimer merupakan jenis demensia yang paling
sering terjadi pada usia lanjut. Adanya riwayat keluarga, usia lanjut, penyakit
vaskular/pembuluh darah (hipertensi, diabetes, kolesterol tinggi), trauma kepala
merupakan faktor risiko terjadinya demensia. Demensia juga kerap terjadi pada
wanita dan individu dengan pendidikan rendah.
f. Penyakit jantung koroner
Penyempitan pembuluh darah jantung sehingga aliran darah menuju
jantung terganggu. Gejala umum yang terjadi adalah nyeri dada, sesak napas,
pingsan, hingga kebingungan.
g. Kanker
Kanker merupakan sebuah keadaan dimana struktur dan fungsi sebuah sel
mengalami perubahan bahkan sampai merusak sel-sel lainnya yang masih sehat.
Sel yang berubah ini mengalami mutasi karena suatu sebab sehingga ia tidak bisa
lagi menjalankan fungsi normalnya. Biasanya perubahan sel ini mengalami
beberapa tahapan, mulai dari yang ringan sampai berubah sama sekali dari
keadaan awal (kanker). Kanker merupakan penyebab kematian nomor dua setelah
3

penyakit jantung. Faktor resiko yang paling utama adalah usia. Dua pertiga kasus
kanker terjadi di atas usia 65 tahun. Mulai usia 40 tahun resiko untuk timbul
kanker meningkat.
Konsep Dasar Pemakaian Obat
Ada tiga faktor yang menjadi acuan dasar dalam pembuatan atau peresepan
obat
Diagnosis dan patofisiologi penyakit
Kondisi organ tubuh
Farmakologi klinik obat (Boedi, 2006)
Setelah dokter mendiagnosis penyakit pasien, maka sebelum penentuan obat
yang diberikan perlu dipertimbangkan kondisi organ tubuh serta farmakologi dari
obat yang akan diresepkan. Pada usia lanjut banyak hal-hal yang lainnya yang
perlu dipertimbangkan dalam pemilihan obat, karena pada golongan lansia
berbagai perubahan fisiologik pada organ dan sistema tubuh akan mempengaruhi
tanggapan tubuh terhadap obat. Adapun prinsip umum penggunaan obat pada usia
lanjut :
1.

Berikan obat hanya yang betul-betul diperlukan artinya hanya bila ada
indikasi yang tepat. Bila diperlukan efek plasebo berikan plasebo yang

2.

sesungguhnya
Pilihlah obat yang memberikan rasio manfaat yang paling menguntungkandan

3.

tidak berinteraksi dengan obat yang lain atau penyakit lainnya


Mulai pengobatan dengan dosis separuh lebih sedikit dari dosis yang biasa

4.

diberikan pada orang dewasa yang masih muda.


Sesuaikan dosis obat berdasarkan dosis klinik pasien, dan bila perlu dengan
memonitor kadar plasma pasien. Dosis penunjang yang tepat umumnya lebih

5.

rendah.
Berikan regimen dosis yang sederhana dan sediaan obat yang mudah ditelan

6.

untuk memelihara kepatuhan pasien


Periksa secara berkala semua obat yang dimakan pasien, dan hentikan obat
yang tidak diperlukan lagi (Manjoer, 2004)

Farmakokinetik
Pada usia lanjut perubahan terjadi pada saluran cerna yang diduga
mengubah absorbsi obat, misalnya meningkatnya pH lambung, menurunnya aliran
4

darah ke usus akibat penurunan curah jantung dan perubahan waktu pengosongan
lambung dan gerak saluran cerna. Oleh karena itu, kecepatan dan tingkat absorbsi
obat tidak berubah pada usia lanjut, kecuali pada beberapa obat seperti fenotain,
barbiturat, dan prozasin (Bustami, 2001).
Pada distribusi obat terdapat hubungan antara penyebaran obat dalam cairan
tubuh dan ikatannya dengan protein plasma (biasanya dengan albumin, tetapi pada
beberapa obat dengan protein lain seperti asam alfa 1 protein), dengan sel darah
merah dan jaringan tubuh termasuk organ target.
Pada usia lanjut terdapat penurunan yang berarti pada massa tubuh tanpa lemak
dan cairan tubuh total, penambahan lemak tubuh dan penurunan albumin plasma.
Penurunan albumin sedikit sekali terjadi pada lansia yang sehat dapat lebih
menjadi berarti bila terjadi pada lansia yang sakit, bergizi buruk atau sangat
lemah. Selain itu juga dapat menyebabkan meningkatnya fraksi obat bebas dan
aktif pada beberapa obat dan kadang-kadang membuat efek obat lebih nyata tetapi
eliminasi lebih cepat.
Munculnya efek obat sangat ditentukan oleh kecepatan penyerapan dan cara
penyebarannya. Durasi (lama berlangsungnya efek) lebih banyak dipengaruhi oleh
kecepatan ekskresi obat terutama oleh penguraian di hati yang biasanya membuat
obat menjadi lebih larut dalam air dan menjadi metabolit yang kurang aktif atau
dengan ekskresi metabolitnya oleh ginjal.
Sejumlah obat sangat mudah diekskresi oleh hati, antara lain melalui ambilan
(uptake) oleh reseptor di hati dan melalui metabolisme sehingga bersihannya
tergantung pada kecepatan pengiriman ke hati oleh darah. Pada usia lanjut,
penurunan aliran darah ke hati dan juga kemungkinan pengurangan ekskresi obat
yang tinggi terjadi pada labetolol, lidokain, dan propanolol.
Efek usia pada ginjal berpengaruh besar pada ekskresi beberapa obat.
Umumnya obat diekskresi melalui filtrasi glomerolus yang sederhana dan
kecepatan ekskresinya berkaitan dengan kecepatan filtrasi glomerolus (oleh
karena itu berhubungan juga dengan bersihan kreatinin). Misalnya digoksin dan
antibiotik golongan aminoglikosida. Pada usia lanjut, fungsi ginjal berkurang,
begitu juga dengan aliran darah ke ginjal sehingga kecepatan filtrasi glomerolus
berkurang sekitar 30 % dibandingkan pada orang yang lebih muda. Akan tetapi,
kisarannya cukup lebar dan banyak lansia yang fungsi glomerolusnya tetap
normal. Fungsi tubulus juga memburuk akibat bertambahnya usia dan obat
5

semacam penicilin dan litium, yang secara aktif disekresi oleh tubulus ginjal,
mengalami penurunan faali glomerolus dan tubulus (Bustami, 2001).
Interaksi Farmakokinetik
1. Fungsi Ginjal
Perubahan paling berarti saat memasuki usia lanjut ialah berkurangnya fungsi
ginjal dan menurunnya creatinine clearance, walaupun tidak terdapat penyakit
ginjal atau kadar kreatininnya normal. Hal ini menyebabkan ekskresi obat sering
berkurang, sehingga memperpanjang intensitas kerjanya. Obat yang mempunyai
half-life panjang perlu diberi dalam dosis lebih kecil bila efek sampingnya
berbahaya.
Dua obat yang sering diberikan kepada lansia ialah glibenklamid dan digoksin.
Glibenklamid, obat diabetes dengan masa kerja panjang (tergantung besarnya
dosis) misalnya, perlu diberikan dengan dosis terbagi yang lebih kecil ketimbang
dosis tunggal besar yang dianjurkan produsen. Digoksin juga mempunyai waktuparuh panjang dan merupakan obat lansia yang menimbulkan efek samping
terbanyak di Jerman karena dokter Jerman memakainya berlebihan, walaupun
sekarang digoksin sudah digantikan dengan furosemid untuk mengobati payah
jantung sebagai first-line drug (Darmansjah, 1994).
Karena kreatinin tidak bisa dipakai sebagai kriteria fungsi ginjal, maka harus
digunakan nilai creatinine-clearance untuk memperkirakan dosis obat yang renaltoxic, misalnya aminoglikoside seperti gentamisin. Penyakit akut seperti infark
miokard dan pielonefritis akut juga sering menyebabkan penurunan fungsi ginjal
dan ekskresi obat.
Dosis yang lebih kecil diberikan bila terjadi penurunan fungsi ginjal,
khususnya bila memberi obat yang mempunyai batas keamanan yang sempit.
Alopurinol dan petidin, dua obat yang sering digunakan pada lansia dapat
memproduksi metabolit aktif, sehingga kedua obat ini juga perlu diberi dalam
dosis lebih kecil pada lansia.
2. Fungsi Hati
Hati memiliki kapasitas yang lebih besar daripada ginjal, sehingga
penurunan fungsinya tidak begitu berpengaruh. Ini tentu terjadi hingga suatu
6

batas. Batas ini lebih sulit ditentukan karena peninggian nilai ALT tidak seperti
penurunan creatinine-clearance. ALT tidak mencerminkan fungsi tetapi lebih
merupakan marker kerusakan sel hati dan karena kapasitas hati sangat besar,
kerusakan sebagian sel dapat diambil alih oleh sel-sel hati yang sehat.
ALT juga tidak bisa dipakai sebagai parameter kapan perlu membatasi obat
tertentu. Hanya anjuran umum bisa diberlakukan bila ALT melebihi 2-3 kali nilai
normal sebaiknya mengganti obat dengan yang tidak dimetabolisme oleh hati.
Misalnya pemakaian methylprednisolon, prednison dimetabolisme menjadi
prednisolon oleh hati. Hal ini tidak begitu perlu untuk dilakukan bila dosis
prednison normal atau bila hati berfungsi normal. Kejenuhan metabolisme oleh
hati bisa terjadi bila diperlukan bantuan hati untuk metabolisme dengan obat-obat
tertentu.
First-pass effect dan pengikatan obat oleh protein (protein-binding)
berpengaruh penting secara farmakokinetik. Obat yang diberikan oral diserap oleh
usus dan sebagian terbesar akan melalui Vena porta dan langsung masuk ke hati
sebelum memasuki sirkulasi umum. Hati akan melakukan metabolisme obat yang
disebut first-pass effect dan mekanisme ini dapat mengurangi kadar plasma
hingga 30% atau lebih. Kadar yang kemudian ditemukan dalam plasma
merupakan bioavailability suatu produk yang dinyatakan dalam prosentase dari
dosis yang ditelan. Obat yang diberikan secara intra-vena tidak akan melalui hati
dahulu tapi langsung masuk dalam sirkulasi umum. Karena itu untuk obat-obat
tertentu yang mengalami first-pass effect dosis IV sering jauh lebih kecil daripada
dosis oral.
Protein-binding juga dapat menimbulkan efek samping serius. Obat yang
diikat banyak oleh protein dapat digeser oleh obat lain yang berkompetisi untuk
ikatan dengan protein seperti aspirin, sehingga kadar aktif obat pertama meninggi
sekali dalam darah dan menimbulkan efek samping. Warfarin, misalnya, diikat
oleh protein (albumin) sebanyak 99% dan hanya 1% merupakan bagian yang
bebas dan aktif. Proses redistribusi menyebabkan 1% ini dipertahankan selama
obat bekerja. Bila kemudian diberi aspirin yang 80-90% diikat oleh protein,
aspirin menggeser ikatan warfarin kepada protein sehingga kadar warfarin-bebas
naik mendadak, yang akhirnya menimbulkan efek samping perdarahan spontan.
Aspirin sebagai antiplatelet juga akan menambah intensitas perdarahan. Hal ini
7

juga dapat terjadi pada aspirin yang mempunyai waktu-paruh plasma hanya 15
menit. Sebagian besar mungkin tidak berpengaruh secara klinis, tetapi untuk obat
yang batas keamanannya sempit dapat membahayakan penderita (Boestami, 2001)
Farmakodinamik
Farmakodinamik adalah pengaruh obat terhadap tubuh. Respon seluler pada
lansia secara keseluruhan akan menurun. Penurunan ini sangat menonjol pada
respon homeostatik yang berlangsung secara fisiologis. Pada umumnya obat-obat
yang cara kerjanya merangsang proses biokimia selular, intensitas pengaruhnya
akan menurun misalnya agonis untuk terapi asma bronkial diperlukan dosis yang
lebih besar, padahal jika dosisnya besar maka efek sampingnya akan besar juga
sehingga index terapi obat menurun. Sedangkan obat-obat yang kerjanya
menghambat proses biokimia seluler, pengaruhnya akan terlihat bila mekanisme
regulasi homeostatis melemah (Boedi, 2006)
Interaksi Farmakodinamik
Interkasi farmakodinamik pada usia lanjut dapat menyebabkan respons
reseptor obat dan target organ berubah, sehingga sensitivitas terhadap efek obat
menjadi lain. Ini menyebabkan kadang dosis harus disesuaikan dan sering harus
dikurangi. Misalnya opiod dan benzodiazepin menimbulkan efek yang sangat
nyata terhadap susunan saraf pusat. Benzodiazepin dalam dosis normal dapat
menimbulkan rasa ngantuk dan tidur berkepanjangan. Antihistamin sedatif seperti
klorfeniramin (CTM) juga perlu diberi dalam dosis lebih kecil (tablet 4 mg
memang terlalu besar) pada lansia.
Mekanisme terhadap baroreseptor biasanya kurang sempurna pada usia
lanjut, sehingga obat antihipertensi seperti prazosin, suatu 1 adrenergic blocker,
dapat menimbulkan hipotensi ortostatik; antihipertensi lain, diuretik furosemide
dan antidepresan trisiklik dapat juga menyebabkannya (Darmansjah, 1994)
. Sayangnya, pengelompokan dosis obat hanya sebatas usia dewasa saja. Ada
satu kelompok yang terlupakan, yaitu lansia.
Usia lanjut merupakan kelompok yang mesti mendapatkan perhatian
khusus dalam berbagai hal, termasuk soal kesehatan. Populasi mereka yang
8

berusia lebih dari 65 tahun sekitar 75%. Sekitar 25% diantaranya, sudah
mengalami penurunan kualitas dalam aktvitas yang sifatnya instrumental seperti
bertransportasi, belanja, memasak, memakai telepon, meminum obat sendiri dan
sebagainya. Selain itu, terdapat juga penurunan kualitas dalam aktivitas seharihari seperti mandi, memakai baju, makan, buang air. Keluhan kesehatan pada
lansia seringkali atipikal sehingga sulit dimengerti. Kelainan pada satu sistem
organ bisa jadi sebenarnya akibat kelainan pada sistem organ yang lain.
Tak heran bila pelayanan kesehatan pada lansia membutuhkan perubahan
yang signifikan dalam pendekatan medis dibandingkan pasien usia muda.
Penyakit-penyakit pada lansia umumnya merupakan stadium awal yang sangat
mudah menimbulkan gejala akibat mekanisme homeostatik tubuh yang sudah
terganggu. Berbagai penyakit yang umum terjadi pada lansia antara lain demensia,
kepribadian

dependent,

imobilitas,

depresi,

hipertensi,

stroke,

kanker,

osteoporosis, inkontinensia urin, penurunan berat badan dan malnutrisi, gangguan


pendengaran dan penglihatan dan sebagainya.
Jadi, wajar pasien lansia sangat membutuhkan pendekatan khusus dan
perhatian lebih matang terutama saat merencanakan terapi farmakologis.
Memahami tujuan pasien berobat akan membantu dokter agar fokus pada inti
permasalahan dan tujuan terapi pada pasien lansia.
Perubahan Farmakokinetik dan Farmakodinamik
Pengetahuan yang mesti diketahui dalam memberikan pengobatan ialah
pengetahuan mengenai farmakokinetik dan farmakodinamik obat dalam tubuh.
Hal tersebut biasanya berkaitan dengan usia pasien yang dikelompokkan menjadi
bayi, balita, anak-anak dan remaja/dewasa. Pengelompokkan itu bertujuan untuk
mempermudah

dokter

dalam

mengukur

tingkat

farmakokinetik

dan

farmakodinamik obat dalam tubuh seseorang sehingga obat yang diberikan pada
pasien menjadi efektif untuk penyembuhan dan tidak memiliki efek samping/
toksisitas. Biasanya dalam kemasan obat yang beredar di pasaran saat ini, sudah
dicantumkan dosis pemberian normal. Akan tetapi, sayangnya dalam kemasan
obat tersebut baik di Indonesia maupun di negara lain, pengelompokkan dosis
hanya sebatas hingga usia dewasa saja, melupakan satu kelompok terakhir yakni
lansia. Akibatnya pasien lansia ini walaupun diberikan obat dalam dosis normal
seperti dosis orang dewasa malah dapat berefek toksisitas.
9

Bertambahnya

usia

akan

menyebabkan

perubahan-perubahan

farmakokinetik dan farmakodinamik. Perubahan ini akan menyebabkan gangguan


pada metabolisme obat terutama akibat penurunan fungsi ginjal (filtrasi
glomerulus dan sekresi tubuli) dan penurunan bersihan hepatik. Penurunan filtrasi
glomerulus sekitar 30% pada usia 65 tahun. Perubahan farmakokinetik lainnya
adalah penurunan aktivitas enzim mikrosom, berkurangnya kadar albumin plasma
(sehingga dapat meningkatkan kadar obat bebas), pengurangan berat badan dan
cairan tubuh serta penambahan lemak tubuh (sehingga dapat mengubah distribusi
obat), berkurangnya perfusi hepatik karena penuaan, dan berkurangnya absorpsi
aktif. Hasil dari semua perubahan ini adalah kadar obat yang lebih tinggi dan
bertahan lebih lama dalam darah dan jaringan. Waktu paruh obat dapat meningkat
sampai 50%.
Perubahan faktor-faktor farmakodinamik yakni peningkatan sensitivitas
reseptor, terutama reseptor di otak (terhadap obat-obat yang bekerja sentral) dan
penurunan mekanisme homeostatik, misalnya homeostatik kardiovaskular
(terhadap

obat-obat

antihipertensi).

Selain

faktor

perubahan-perubahan

farmakokinetik dan farmakodinamik, adanya berbagai penyakit pada usia lanjut


juga dapat berpengaruh pada konsumsi obat tertentu. Pasien lansia dengan kondisi
kronis multiple seringkali mendapatkan banyak obat termasuk obat yang tidak
diresepkan (seperti vitamin, dan obat jual bebas lainnya). Pemakaian banyak obat
tersebut dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya interaksi obat. Akibatnya
seringkali terjadi respon yang berlebihan atau efek toksik serta berbagai efek
samping.
Prinsip umum peresepan obat pada lansia, yaitu: pertama, obat hanya
diberikan apabila ada indikasi yang tepat. Bila diperlukan efek plasebo, berikan
plasebo sesungguhnya (yang tidak mengandung bahan aktif). Kedua, pilih obat
yang memberikan rasio manfaat-risiko paling menguntungkan bagi pasien lansia
(misalnya bila diperlukan hipnotik, jangan digunakan barbiturate) dan tidak
berinteraksi dengan obat lain atau penyakit lain pada pasien yang bersangkutan.
Ketiga, mulailah dengan dosis separuh lebih sedikit dari dosis yang biasa
diberikan kepada pasien dewasa muda. Selanjutnya dosis obat disesuaikan
berdasarkan respon klinik pasien dan bila perlu dengan memonitor kadar obat
dalam plasma pasien. Dosis penunjang yang tepat pada umumnya lebih rendah
10

daripada dosis untuk pasien dewasa muda. Keempat, berikan regimen dosis yang
sederhana (yang ideal 1x sehari) dan sediaan obat yang mudah ditelan (sebaiknya
sirop atau tablet yang dilarutkan dalam air) untuk memelihara kepatuhan pasien.
Kelima, periksa secara berkala semua obat yang dimakan pasien dan hentikan
obat yang tidak diperlukan lagi.
Besarnya dosis dapat diperkirakan dari berat badan pasien, indeks terapi
obat dan cara eliminasi obat. Untuk obat-obat yang eliminasi utamanya melalui
ekskresi ginjal (misalnya digoksin, aminoglikosida dan klorpropamid) besarnya
penurunan dosis dapat diperhitungkan berdasarkan besarnya penurunan bersihan
kreatinin pasien. Sedangkan untuk obat-obat lain, besarnya penurunan dosis hanya
dikira-kira saja berdasarkan educated guess.
Beberapa contoh obat yang mesti diperhatikan
Digoksin. Obat ini dapat menyebabkan respon intoksikasi akibat filtrasi
glomerulus yang berkurang, penurunan berat badan (indeks massa tubuh) terhadap
distribusi obat, adanya

gangguan elektrolit

pada lansia dan penyakit

kardiovaskular yang lanjut.


Antihipertensi (terutama penghambat adrenergik). Efek toksisitas obat ini
dapat mengakibatkan sinkope akibat hipotensi postural dan insufisiensi koroner
karena penurunan mekanisme homeostatik kardiovaskular pada lansia.
Diuretik (tiazid, furosemid). Efek toksisitas pada obat ini dapat
mengakibatkan

hipotensi,

hipokalemia,

hipovolemia,

hiperglikemia

dan

hiperurikemia. Efek tersebut berkaitan dengan berat badan pada pasien lansia
yang sudah sangat berkurang, penurunan fungsi ginjal dan penurunan mekanisme
homeostatik kardiovaskular.
Obat-obat glaukoma seperti beta bloker topikal dan asetazolamid dapat
mengakibatkan efek samping sistemik seperti bradikardi, asma dan gagal jantung.
Sementara anti emetik seperti metoklopramid dan proklorperazin dapat
mengakibatkan drug-induced parkinsonism.
Antikoagulan. Efek toksisitas obat ini dapat menyebabkan perdarahan
akibat penurunan respon homeostatik vaskular pada pasien lansia.
Barbiturat dapat menyebabkan kebingungan mental (gelisah sampai
psikosis). Diazepam, nitrazepam dan flurazepam dapat meningkatkan depresi
pada Susunan Saraf Pusat (SSP). Fenotiazin dapat menyebabkan hipotensi
postural, hipotermia dan reaksi koreiform.
11

Triheksifenidil dapat menyebabkan kebingungan mental, halusinasi,


konstipasi dan retensi urin. Respon berlebihan pada obat ini terjadi akibat
peningkatan sensitivitas otak terhadap obat-obat tersebut, penurunan metabolisme
obat-obat tersebut di hepar serta penurunan eliminasi obat. Isoniazid juga
termasuk obat yang dimetabolisme di hati. Oleh karena itu harus diwaspadai pula
sebab dapat mengakibatkan hepatotoksisitas.
Obat lainnya yang harus diperhatikan antara lain antibiotik seperti
penisilin dalam dosis besar, aminoglikosida, streptomisin dan tetrasiklin,
klorpropamid serta simetidin. Streptomisin yang berlebihan dalam tubuh akan
memberikan

respon

berupa

ototoksisitas,

sementara

klorpropamid

akan

mengakibatkan hipoglikemia. Semua obat ini dikaitkan dengan penurunan fungsi


ginjal pada lansia sehingga sulit diekskresi melalui ginjal.
2.4 Polifarmasi Pada Lansia
Pengertian Polifarmasi
Istilah polifarmasi termasuk istilah di bidang kedokteran yang cukup
sering didengungkan beberapa tahun belakangan ini, khususnya di Indonesia.
Polifarmasi berarti pemakaian banyak obat sekaligus pada seorang pasien, lebih
dari yang dibutuhkan secara logis-rasional dihubungkan dengan diagnosis yang
diperkirakan. Istilah ini kerap dinilai memiliki makna berlebihan, tidak diperlukan
dan sebenarnya sebagian besar dapat dihilangkan tanpa mempengaruhi kondisi
pasien dalam hasil pengobatannya.
Polifarmasi juga dinilai sebagai salah satu hal yang mubazir karena dinilai
berdampak pada membengkaknya biaya pengobatan sang pasien. Namun, dari
semua penilaian negatif tentang polifarmasi, alasan kesehatan dan keamanan
mengkonsumsi beberapa obat tersebut tetap menjadi hal krusial bagi konsumen,
khususnya pasien. Dengan mengkonsumsi beberapa obat, interaksi antarobat akan
terjadi dan tidak dapat dipastikan apakah hal tersebut berdampak baik bagi
penyembuhan pasien atau justru memperburuk kondisi pasien.
Polifarmasi di Indonesia umumnya terjadi pada pasien berusia lanjut dan
pasien anak-anak. Sudah menjadi rahasia umum bahwa orang yang sudah berusia
lanjut sangat rentan terhadap komplikasi penyakit seperti jantung, hipertensi,

12

diabetes mellitus, gangguan ginjal dan hati, gangguan pengindraan (penglihatan


maupun pendengaran), gangguan fungsi kognitif, dan beberapa penyakit lainnya.
Dengan beberapa penyakit yang sering menyerang para lansia, sudah tentu
pasien lansia ini mendapatkan pengobatan yang lebih kompleks dan banyak
jenisnya. Dalam kondisi itulah polifarmasi mungkin terjadi. Namun, jika semua
obat yang dikonsumsi pasien lansia tersebut berdampak positif terhadap
penyembuhan penyakitnya, maka istilah polifarmasi tidak berlaku.
Beberapa interaksi obat yang penting ialah:

cerivastatin

dengan

gemfibrozil

(rhabdomyolisis,

kreatin-kinase

meningkat)

azathioprin dengan alopurinol (sifat sitotoksik azathioprin meningkat 3-4


kali)

grapefruit juice (menghambat absorbsi karbamazepin, felodipin, dan


simvastatin)

St Johns wort merangsang metabolisme warfarin, indinavir, dan


cyclosporine

cisapride dengan makrolid, ketokonazol, kinidin, atau grapefruit juice


(torsade de pointes dan kematian mendadak)

coumarin dengan antiplatelet (perdarahan)


Dengan kondisi demikian, seringkali para konsumen atau pasien dibuat

bingung dalam hal mengklasifikasikan apakah keadaan tersebut tergolong


polifarmasi atau tidak. Bila ditanyakan jumlah berapa yang dapat dianggap
sebagai polifarmasi, sulit dinyatakan dengan angka.
Oleh karena itu, pengertian umum sedikit ambigu karena tidak
membedakan penggunaan lebih dari satu obat yang memang ditopang dengan
bukti penelitian (hipertensi, diabetes, payah jantung) dan tidak dianggap
redundant, walaupun interaksi dan efek samping masih merupakan issue.
Sehingga dalam arti asalnya terdapat unsur mubazir (tidak perlu dan merugikan)
yang

memang

merupakan

masalah

yang

ada,

karena dalam

keadaan
13

multipatologis perlu dipakai lebih banyak obat (diperlukan dan ditopang dengan
bukti-bukti).
Kendati polifarmasi masih sering terjadi dan kita tidak dapat mengetahui
secara pasti apakah polifarmasi tersebut terjadi atau tidak, yang penting untuk kita
perhatikan adalah bagaimana mengelola pengobatan yang kita lakukan. Menurut
Pillans, ada beberapa langkah yang dapat diterapkan untuk memanajemen
polifarmasi, antara lain:
Pencegahan
Hanya mengkonsumsi obat jika ada bukti yang kuat bahwa pasien benarbenar dalam keadaan membutuhkan pengobatan. Hindari mengkonsumsi obat
untuk keadaan yang bisa disembuhkan tanpa obat
Review pengobatan secara rutin
Me-review catatan penggunaan obat sangat penting bagi pasien untuk
menjalani beberapa pengobatan. Review tersebut meliputi terapi yang sedang
dijalani maupun yang akan dijalani, efek samping, interaksi, dosis, formulasi obat,
dan berapa lama akan dilakukan.
Pendekatan non-farmasi
Gunakan gaya hidup sehat untuk mengukur kapan perlunya tindakan
pengobatan
Komunikasi
Komunikasi dengan tenaga kesehatan penting bagi pasien, terutama
mengenai ekspektasi, kesulitan dalam pengobatan dan kemampuan pasien untuk
memenuhi aturan pengobatan.
Sederhanakan
Pertimbangkan kemungkinan sekecil apapun untuk dosis yang paling
kecil, interval dan pengurangan dosis sepanjang itu tepat.Dengan menerapkan
langkah-langkah tersebut, diharapkan dampak dari polifarmasi yang merugikan
pasien dapat diminimalisasi.
Peresepan obat pada lanjut usia (lansia) merupakan salah satu masalah
yang penting, karena dengan bertambahnya usia akan menyebabkan perubahanperubahan farmakokinetik dan farmakodinamik.
Pemakaian obat yang banyak (polifarmasi), lebih sering terjadi efek
samping, interaksi, toksisitas obat, dan penyakit iatrogenik, lebih sering terjadi
peresepan obat yang tidak sesuai dengan diagnosis penyakit dan berlebihan, serta
ketidakpatuhan

menggunakan

obat

sesuai

dengan

aturan

pemakaiannya

(inadherence).
14

Dari data yang diperoleh, peresepan obat pada lansia berkisar sepertiga
dari semua peresepan dan separuh dari obat yang dibeli tanpa resep digunakan
oleh lansia.
Secara keseluruhan, 80 % dari lansia setiap hari menggunakan paling
sedikit satu jenis obat. Dengan semakin meningkatnya jumlah lansia maka
masalah peresepan obat pada lansia akan menjadi masalah yang sangat perlu
diperhatikan atau perlu mendapat perhatian khusus.
Peresepan Obat Yang Rasional Menurut World Health Organization (1985)
bahwa yang termasuk dalam peresepkan obat yang rasional adalah jika penderita
yang mendapat obat-obatan sesuai dengan diagnosis penyakitnya, dosis dan lama
pemakaian obat yang sesuai dengan kebutuhan pasien, serta biaya yang serendah
mungkin yang dikeluarkan pasien maupun masyarakat untuk memperoleh obat.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka di dalam meningkatkan
mutu pengobatan terhadap pasien perlulah diperhatikan hal-hal yang dapat
menimbulkan peresepan obat yang tidak rasional pada lansia. Di bawah ini
diuraikan beberapa bentuk peresepan obat yang tidak rasional pada lansia, yaitu:
1.

Meresepkan obat dengan boros (extravagantly drug prescribing)


Hal ini terjadi karena meresepkan obat yang mahal, sedangkan masih ada

obat pilihan lain yang lebih murah dengan manfaat dan keamanan yang sama atau
hampir sama. Termasuk juga disini berupa pemberian obat-obat yang hanya
mengurangi gejala-gejala dan tanda-tanda tanpa memperhatikan penyebab
penyakit yang lebih penting.
2.

Meresepkan obat secara berlebihan (over drug prescribing)


Hal ini terjadi jika dosis, lama pemberian, jumlah atau jenis obat yang

diresepkan melebihi dari yang diperlukan, termasuk juga di sini meresepkan obatobat yang sebenarnya tidak diperlukan untuk pengobatan penyakitnya.

3.

Meresepkan obat yang salah (incorrect drug prescribing)

15

Hal ini terjadi akibat menggunakan obat untuk hal-hal yang tidak
merupakan indikasi, pemakaian obat tanpa memperhitungkan keadaan lain yang
diderita pasien secara bersamaan.
4.

Meresepkan

obat

lebih

dari

satu

jenis

(multiple

drugs

prescribing/polypharmacy)
Hal ini dapat terjadi pada pemberian dua jenis atau lebih kombinasi obat,
sedangkan sebenarnya cukup hanya diperlukan satu jenis obat saja, termasuk pula
disini berupa pemberian obat terhadap segala gejala dan tanda-tanda yang timbul,
tanpa memberikan obat yang dapat mengatasi penyebab utamanya.
5.

Meresepkan obat yang kurang (under drug prescribing)


Hal ini dapat terjadi jika obat yang seharusnya diperlukan tidak diberikan,

dosis obat yang diberikan tidak mencukupi maupun lama pemberian terlalu
singkat dibandingkan dengan yang sebenarnya diperlukan.
Masalah Dalam Peresepan Obat
Beberapa masalah yang sering timbul dalam peresepan obat pada lansia
adalah sebagai berikut :
1.

Farmakokinetik

Meliputi penyerapan, distribusi, metabolisme dan pengeluaran obat.

Penyerapan obat
Beberapa hal yang menghambat penyerapan obat pada lansia adalah

berkurangnya permukaan lapisan atas usus, berkurangnya gerakan dan aliran


darah saluran cerna, berkurangnya keasaman lambung, dan penyakit-penyakit
tertentu. Sebaliknya, akibat berkurangnya gerakan saluran cerna menyebabkan
lebih lama obat didapati saluran cerna sehingga absorpsinya lebih banyak. Akibat
hal-hal tersebut di atas ma ka penyerapan obat hanya sedikit terganggu.

16

Distribusi obat
Dipengaruhi oleh jumlah darah yang dipompakan jantung keseluruh tubuh

per menit (curah jantung), kelarutan obat dalam air atau lemak dan keterikatan
obat dengan protein. Akibat bertambahnya usia, curah jantung berkurang yang
menyebabkan berkurangnya obat yang terikat dengan reseptor yang terdapat di
dalam sel.
Demikian juga terjadi perubahan komposisi tubuh (berkurangnya cairan
dan bertambahnya lemak tubuh) serta berkurangnya massa otot.

Mengenai kelarutan obat


Ada yang larut dalam air dan ada yang larut dalam lemak. Akibat

kurangnya cairan tubuh maka obat yang larut dalam air mempunyai volume
distribusi yang lebih sedikit, sehingga kadarnya dalam serum meningkat dan
takarannya perlu dikurangi.
Sebaliknya, obat yang larut dalam lemak, akibat pertambahan lemak tubuh
menyebabkan volume distribusi meningkat, sehingga memperpanjang lamanya
obat dalam tubuh. Kadar protein (albumin) yang berkurang pada lansia
menyebabkan bertambah sedikit obat yang terikat dengan albumin dan bertambah
banyak obat dalam bentuk bebas di dalam serum sehingga efek obat meningkat.

Metabolisme
Berkurangnya kecepatan metabolisme pada lansia karena berkurangnya

aliran darah ke hati dan fungsi hepatosit serta enzim hati cytochrome P 450.

Pengeluaran
Berkurangnya fungsi ginjal untuk mengeluarkan obat dari tubuh pada

lansia disebabkan berkurangnya fungsi glomerulus dan tubulus. Sebagai


akibatnya, obat -obat mempunyai durasi yang lebih lama dan kadarnya lebih
tinggi di dalam tubuh, sehingga mudah terjadi efek samping dan toksisitas obat.

17

2.

Farmakodinamik
Perubahan ini berupa gangguan kepekaan target organ terhadap obat yang

dikonsumsi pada lansia yang menyebabkan meningkatnya atau berkurangnya efek


obat tersebut dibandingkan dengan pada usia yang lebih muda. Hal ini disebabkan
gangguan pengikatan obat dengan reseptor dan berkurangnya jumlah reseptor.
3.

Masalah-masalah khusus.
Beberapa masalah khusus perlu diperhatikan di dalam meresepkan obat

pada lansia, yaitu:

Polifarmasi
Lansia cenderung mengalami polifarmasi karena penyakitnya yang lebih

dari satu jenis (multipatologi), dan diagnosis tidak jelas. Polifarmasi adalah
peresepan 5 jenis atau lebih obat, baik obat makan, salep, injeksi, yang digunakan
untuk jangka waktu yang lama (480 hari atau lebih dalam 2 tahun).
Adapun lansia yang berisiko tinggi menderita penyakit atau masalah
kesehatan sebagai akibat penggunaan obat, yaitu : berusia lebih dari 85 tahun,
mendapat 9 jenis atau lebih obat atau lebih 12 dosis obat per hari, menderita 6
jenis atau lebih penyakit kronik yang sedang aktif, terutama gangguan fungsi
ginjal. Oleh karena itu, sedapat mungkin hindarilah polifarmasi, khususnya pada
yang berisiko tinggi.

Takaran obat
Akibat perubahan farmakokinetik dan farmakodinamik pada lansia maka

takaran obat perlu diberikan serendah mungkin yang masih mempunyai efek
untuk menyembuhkan (S!- takaran dewasa yang dianjurkan) dan titrasi secara
perlahanlahan setiap 7-14 hari sampai tercapai efek penyembuhan yang optimal
(start low, go slow, but use enough ). Jika ingin mengganti atau mengkombinasi
dengan obat lain hendaknya dosis maksimal tercapai dulu dan kurangi jenis obat.

18

Efek samping, interaksi, toksisitas obat dan penyakit iatrogenik (penyakit

yang disebabkan obat yang digunakan) didapati hubungan positif antara jumlah
obat yang digunakan dan usia dengan risiko terjadinya efek samping, interaksi,
toksisitas obat dan penyakit iatrogenik.

Ketidakpatuhan menggunakan obat menurut aturan pemakaian, memegang

peranan untuk timbulnya efek samping obat. Dalam hal ini, sebaiknya digunakan
obat dengan satu kali pemberian per hari. Jika terjadi efek samping obat,
sebaiknya obat yang menimbulkan efek samping tadi dihentikan dan jangan
ditambahkan obat lain untuk mengatasi efek samping tersebut.

Ketidakpatuhan menggunakan obat menurut aturan pemakaian menjadi

meningkat dengan bertambah banyaknya jenis obat dan kepikunan.

Peresepan Obat Yang Dianjurkan


Sehubungan dengan berbagai masalah yang telah diuraikan di atas, untuk
mengurangi kejadian terhadap masalah-masalah tersebut maka peresepan obat
yang dianjurkan adalah sebagai berikut:

Gunakan obat seminimal mungkin dan regimen dosis sesederhana


mungkin.

Start low, go slow, but use enough.

Gunakan obat yang mempunyai efek samping minimal.

Pengobatan sesuai diagnosis dan hindari pengobatan berdasarkan gejala


dan tanda, serta evaluasi kembali obat-obat yang telah diberikan secara
berkala.

Jangan tambahkan obat untuk mengatasi efek samping obat lain yang
digunakan.

Jika ingin mengganti atau mengkombinasi obat untuk suatu diagnosis,


hendaknya dosis maksimal tercapai dulu dan kurangi jumlah obat.
19

Bentuk sediaan obat yang digunakan yang tepat.

Etiket/label yang digunakan pada obat yang tepat.

Keluarga dan pengasuh perlu dilibatkan dalam pemberian obat.

Biaya obat yang terjangkau, dengan mutu dan keamanan yang terjamin.

BAB III

20

PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Penyakit-penyakit pada lansia umumnya merupakan stadium awal yang
sangat mudah menimbulkan gejala akibat mekanisme homeostatik tubuh yang
sudah terganggu. Berbagai penyakit yang umum terjadi pada lansia antara lain
demensia, kepribadian dependent, imobilitas, depresi, hipertensi, stroke, kanker,
osteoporosis, inkontinensia urin, penurunan berat badan dan malnutrisi, gangguan
pendengaran dan penglihatan dan sebagainya.
Jadi, wajar pasien lansia sangat membutuhkan pendekatan khusus dan
perhatian lebih matang terutama saat merencanakan terapi farmakologis.
Memahami tujuan pasien berobat akan membantu perawat dan dokter agar fokus
pada inti permasalahan dan tujuan terapi pada pasien lansia.

3.2 SARAN
Diharapkan makalah ini bisa memberikan masukan bagi rekan- rekan
mahasiswa calon perawat, sebagai bekal terutama ketika melakukan praktik atau
bekerja pada ruang perawatan geriatric, sehinga kami menyarankan agar temanteman perawat membaca dan memahami isinya sehinga menjadi bekal bila
menghadapi kasus yang sama dengan pembahasan makalah ini.

21

You might also like