You are on page 1of 27

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN


ST ELEVASI MIOKARD INFARK (STEMI)
A. KONSEP DASAR STEMI
1. Pengertian
IMA diklasifikasikan berdasarkan EKG 12 lead dalam dua
kategori, yaitu ST-elevation infark miocard (STEMI) dan non STelevation infark miocard (NSTEMI). STEMI merupakan oklusi total dari
arteri koroner yang menyebabkan area infark yang lebih luas meliputi
seluruh ketebalan miokardium, yang ditandai dengan adanya elevasi
segmen ST pada EKG. Sedangkan NSTEMI merupakan oklusi sebagian
dari arteri koroner tanpa melibatkan seluruh ketebalan miokardium,
sehingga tidak ada elevasi segmen ST pada EKG (Muttaqin, A. 2009).
Sindroma koroner akut dengan elevasi segment ST atau disebut
juga STEMI (ST Elevasi Myocard Infarction) adalah oklusi koroner akut
dengan iskemia miokard berkepanjangan yang pada akhirnya akan
menyebabkan kematian miosit kardiak. Kerusakan miokard yang terjadi
tergantung pada letak dan lamanya sumbtan aliran darah , ada atau
tidaknya kolateral, serta luas wilayah miokard yang diperdarahi
pembuluh darah yang tersumbat (SPM RSJP Harapan Kita , 2009).
STEMI (ST Elevasi Myocard Infarction) merupakan bagian dari
sindrom koroner akut yang ditandai dengan adanya elevasi segmen ST.
STEMI terjadi karena oklusi total pembuluh darah koroner yang tiba-tiba
(Fuster, 2007).

Lokasi infark miokard berdasarkan perubahan gambaran EKG :

No Lokasi
1
Anterior
2

Anteroseptal

Anterolateral

Lateral

Inferolateral

Inferior

Inferoseptal

True posterior

RV Infraction

Gambaran EKG
Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di
V1-V4/V5
Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di
V1-V3
Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di
V1-V6 dan I dan aVL
Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di
V5-V6 dan inversi gelombang T/elevasi
ST/gelombang Q di I dan aVL
Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di II,
III, aVF, dan V5-V6 (kadang-kadang I dan
aVL).
Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di II,
III, dan Avf
Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di II,
III, aVF, V1-V3
Gelombang R tinggi di V1-V2 dengan segmen
ST depresi di V1-V3. Gelombang T tegak di V1V2
Elevasi segmen ST di precordial lead (V3RV4R).
Biasanya ditemukan konjungsi pada infark
inferior.
Keadaan ini hanya tampak dalam beberapa jam
pertama infark.

2. Etiologi
Infark miokard disebabkan oleh oklusi arteri koroner setelah
terjadinya rupture vulnerable atherosclerotic plaque. Pada sebagian besar
kasus, terdapat beberapa faktor presipitasi yang muncul sebelum terjadinya
STEMI, antara lain aktivitas fisik yang berlebihan, stress emosional, dan
penyakit dalam lainnya. Selain itu, terdapat beberapa faktor yang dapat
meningkatkan risiko terjadinya IMA pada individu. Faktor-faktor resiko ini
dibagi menjadi 2 (dua) bagian besar, yaitu faktor resiko yang tidak dapat
dirubah dan faktor resiko yang dapat dirubah.
a) Faktor yang tidak dapat dirubah :
1) Usia

Walaupun akumulasi plak atherosclerotic merupakan proses yang


progresif, biasanya tidak akan muncul manifestasi klinis sampai
lesi mencapai ambang kritis dan mulai menimbulkan kerusakan
organ pada usia menengah maupun usia lanjut. Oleh karena itu,
pada usia antara 40 dan 60 tahun, insiden infark miokard pada
pria meningkat lima kali lipat (Kumar, et al., 2007).
2) Jenis kelamin
Infark miokard jarag ditemukan pada wanita premenopause
kecuali jika terdapat diabetes, hiperlipidemia, dan hipertensi
berat. Setelah menopause, insiden penyakit yang berhubungan
dengan atherosclerosis meningkat bahkan lebih besar jika
dibandingkan dengan pria. Hal ini diperkirakan merupakan
pengaruh dari hormon estrogen (Kumar, et al., 2007).
3) Ras
Amerika-Afrika lebih rentan terhadap aterosklerosis daripada
orang kulit putih.
4) Riwayat keluarga
Riwayat keluarga yang positif terhadap penyakit jantung koroner
(saudara, orang tua yang menderita penyakit ini sebelum usia 50
tahun) meningkatkan kemungkinan timbulnya IMA.
b) Faktor resiko yang dapat dirubah :
1) Hiperlipidemia merupakan peningkatan kolesterol dan/atau
trigliserida serum di atas batas normal. Peningkatan kadar
kolesterol di atas 180 mg/dl akan meningkatkan resiko penyakit
arteri koronaria, dan peningkatan resiko ini akan lebih cepat
terjadi bila kadarnya melebihi 240 mg/dl. Peningkatan kolosterol
LDL dihubungkan dengan meningkatnya resiko penyakit arteri
koronaria, sedangkan kadar kolesterol HDL yang tinggi berperan
sebagai faktor pelindung terhadap penyakit ini (Muttaqin, A.
2009).
2) Hipertensi merupakan faktor risiko mayor dari IMA, baik tekanan
darah systole maupun diastole memiliki peran penting. Hipertensi
dapat meningkatkan risiko ischemic heart disease (IHD) sekitar

60% dibandingkan dengan individu normotensive. Tanpa


perawatan, sekitar 50% pasien hipertensi dapat meninggal karena
IHD atau gagal jantung kongestif, dan sepertiga lainnya dapat
meninggal karena stroke (Kumar, et al., 2007).
3) Merokok merupakan faktor risiko pasti pada pria, dan konsumsi
rokok mungkin merupakan penyebab peningkatan insiden dan
keparahan atherosclerosis pada wanita. Penggunaan rokok dalam
jangka waktu yang lama meningkatkan kematian karena IHD
sekitar 200%. Berhenti merokok dapat menurunkan risiko secara
substansial (Kumar, et al., 2007).
4) Diabetes mellitus menginduksi hiperkolesterolemia dan juga
meningkatkan

predisposisi

atherosclerosis.

Insiden

infark

miokard dua kali lebih tinggi pada seseorang yang menderita


diabetes daripada tidak. Juga terdapat peningkatan risiko stroke
pada seseorang yang menderita diabetes mellitus
5) Gaya hidup monoton, berperan pada timbulnya penyakit jantung
koroner.
6) Stres Psikologik, stres menyebabkan peningkatan katekolamin
yang bersifat aterogenik serta mempercepat terjadinya serangan.
3. Manifestasi Klinis
a) Nyeri
Nyeri merupakan manifestasi yang paling umum ditemukan pada
pasien dengan STEMI. Karakteristik nyeri yang dirasakan yaitu dalam
dan visceral, yang biasa dideskripsikan dengan nyeri terasa berat dan
seperti diremas, seperti ditusuk, atau seperti terbakar. Karakteristik
nyeri pada STEMI hampir sama dengan pada angina pectoris, namun
biasanya terjadi pada saat istirahat, lebih berat, dan berlangsung lebih
lama. Nyeri biasa dirasakan pada bagian tengah dada dan/atau
epigastrium, dan menyebar ke daerah lengan. Penyebaran nyeri juga
dapat terjadi pada abdomen, punggung, rahang bawah, dan leher. Nyeri
sering disertai dengan kelemahan, berkeringat, nausea, muntah, dan
ansietas (Fauci, et al., 2008).
b) Temuan fisik

Sebagian besar pasien mengalami ansietas dan restless yang


menunjukkan ketidakmampuan untuk mengurangi rasa nyeri. Pallor
yang berhubungan dengan keluarnya keringat dan dingin pada
ekstremitas juga sering ditemukan pada pasien dengan STEMI. Nyeri
dada substernal yang berlangsung selama >30 menit dan diaphoresis
menunjukkan terjadinya STEMI. Meskipun sebagian besar pasien
menunjukkan tekanan darah dan frekuensi nadi yang normal selama
satu jam pertama STEMI, sekitar 25% pasien dengan infark anterior
memiliki manifestasi hiperaktivitas sistem saraf simpatik (takikardia
dan/atau hipertensi), dan 50% pasien dengan infark inferior
menunjukkan

hiperaktivitas

parasimpatis

(bradikardi

dan/atau

hipotensi).
4. Patofisiologi
STEMI biasa terjadi ketika aliran darah koroner menurun secara
tiba-tiba setelah oklusi trombotik dari arteri koroner yang sebelumnya
mengalami atherosclerosis. STEMI terjadi ketika thrombus pada arteri
koroner berkembang secara cepat pada tempat terjadinya kerusakan
vascular. Kerusakan ini difasilitasi oleh beberapa faktor, seperti merokok,
hipertensi, dan akumulasi lipid. Pada sebagian besar kasus, STEMI terjadi
ketika permukaan plak atherosclerotic mengalami ruptur sehingga
komponen plak tersebut terekspos dalam darah dan kondisi yang
mendukung trombogenesis (terbentuknya thrombus). Mural thrombus
(thrombus yang menempel pada pembuluh darah) terbentuk pada tempat
rupturnya plak, dan terjadi oklusi pada arteri koroner. Setelah platelet
monolayer terbentuk pada tempat terjadinya ruptur plak, beberapa agonis
(kolagen, ADP, epinefrin, serotonin) menyebabkan aktivasi platelet.
Setelah stimulasi agonis platelet, thromboxane A2 (vasokonstriktor local
yang kuat) dilepas dan terjadi aktivasi platelet lebih lanjut.
Selain pembentukan thromboxane A2, aktivasi platelet oleh agonis
meningkatkan perubahan konformasi pada reseptor glikoprotein IIb/IIIa.
Ketika reseptor ini dikonversi menjadi bentuk fungsionalnya, reseptor ini

akan membentuk protein adhesive seperti fibrinogen. Fibrinogen adalah


molekul multivalent yang dapat berikatan dengan dua plateet secara
simultan, menghasilkan ikatan silang patelet dan agregasi. Kaskade
koagulasi mengalami aktivasi karena paparan faktor jaringan pada sel
endotel yang rusak, tepatnya pada area rupturnya plak. Aktivasi faktor VII
dan X menyebabkan konversi protrombin menjadi thrombin, yang
kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner
seringkali mengalami oklusi karena thrombus yang terdiri dari agregat
platelet dan benang-benang fibrin.
Pada sebagian kecil kasus, STEMI dapat terjadi karena emboli
arteri koroner, abnormalitas congenital, spasme koroner, dan berbagai
penyakit sistemik, terutama inflamasi. Besarnya kerusakan myocardial
yang disebabkan oklusi koroner tergantung:
a) daerah yang disuplai oleh pembuluh darah yang mengalami oklusi
b) apakah pembuluh darah mengalami oklusi total atau tidak
c) durasi oklusi koroner
d) kuantitas darah yang disuplai oleh pembuluh darah kolateral pada
jaringan yang terkena
e) kebutuhan oksigen pada miokardium yang suplai darahnya menurun
secara tiba-tiba
f) faktor lain yang dapat melisiskan thrombus secara dini dan spontan
g) keadekuatan perfusi miokard pada zona infark ketika aliran pada arteri
koroner epikardial yang mengalami oklusi telah dikembalikan.
Iskemia yang berlangsung lebih dari 30 45 menit akan
menyebabkan kerusakan seluler yang irreversibel dan kematian otot atau
nekrosis. Bagian miokardium yang mengelami infark atau nekrosis akan
berhenti berkontraksi secara permanen. Jaringan yang mengalami infark
dikelilingi oleh suatu daerah iskemik yang berpotensi dapat hidup. Bila
pinggir daerah infark mengalami nekrosis maka besar dearah infark akan
bertambah besar, sedangkan perbaikan iskemia akan memperkecil daerah
nekrosis.
Otot yang mengalami infark akan mengalami serangkaian
perubahan selama berlangsungnya proses penyembuhan, mula-mula otot
yang mengalami infark tampak memar dan sianotik akibat terputusnya

alioran darah regional kemudian dalam jangka waktu 24 jam akan timbul
edema pda sel-sel, respon peradangan disertai infiltrasi leukosit. Enzimenzim jantung akan terlepas dari sel-sel ini, menjelang hari kedua atau
ketiga mulai terjadi proses degradasi ringan dan pembuangan semua
serabut nekrotik. Selama fase ini dinding nekrotik relatif tipis, kira-kira
pada minggu ketiga mulai terbentuk jaringan parut. Lambat laun jaringan
penyambung fibrosa menggantikan otot yang nekrosis dan mengalami
penebalan yang progresif. Pada minggu keenam parut sudah terbentuk
dengan jelas.
Akibat yang terjadi karena infark miokardiun adalah daya
kontraksi menurun, gerakan dinding abnormal, perubahan daya kembang
dinding ventrikel, pengurangan curah sekuncup, pengurangan fraksi
ejeksi, peningkatan volume akhir sistolok dan akhir diastolik ventrikel
serta peningkatan akhir diastolik ventrikel kiri.

5.

6. Komplikasi
a) Disfungsi ventrikel
Setelah STEMI, ventrikel kiri mengalami perubahan bentuk, ukuran,
dan ketebalan baik pada segmen yang infark maupun non infark.
Proses ini dinamakan remodeling ventricular. Secara akut, hal ini
terjadi karena ekspansi infark, disrupsi sel-sel miokardial yang
normal, dan kehilangan jaringan pada zona nekrotik. Pembesaran yang
terjadi berhubungan dengan ukuran dan lokasi infark.
b) Gagal pemompaan (pump failure)
Merupakan penyebab utama kematian di rumah sakit pada STEMI.
Perluasaan nekrosis iskemia mempunyai korelasi yang baik dengan
tingkat gagal pompa dan mortalitas, baik pada awal (10 hari infark)
dan sesudahnya. Tanda klinis yang sering dijumpai adalah ronkhi
basah di paru dan bunyi jantung S3 dan S4 gallop. Pada pemeriksaan
rontgen dijumpai kongesti paru.
c) Aritmia
Insiden aritmia setelah STEMI meningkat pada pasien setelah gejala
awal. Mekanisme yang berperan dalam aritmia karena infark meliputi

ketidakseimbangan

sistem

saraf

otonom,

ketidakseimbangan

elektrolit, iskemia, dan konduksi yang lambat pada zona iskemik.


d) Gagal jantung kongestif
Hal ini terjadi karena kongesti sirkulasi akibat disfungsi miokardium.
Disfungsi ventrikel kiri atau gagal jantung kiri menimbulkan kongesti
vena pulmonalis, sedangkan disfungsi ventrikel kanan atau gagal
jantung kanan mengakibatkan kongesti vena sistemik.
e) Syok kardiogenik
Diakibatkan oleh disfungsi ventrikel kiri sesudah mengalami infark
yang massif, biasanya mengenai lebih dari 40% ventrikel kiri. Timbul
lingkaran setan akibat perubahan hemodinamik progresif hebat yang
ireversibel dengan manifestasi seperti penurunan perfusi perifer,
penurunan perfusi koroner, peningkatan kongesti paru-paru, hipotensi,
asidosis metabolic, dan hipoksemia yang selanjutnya makin menekan
f)

fungsi miokardium.
Edema paru akut
Edema paru adalah timbunan cairan abnormal dalam paru, baik di
rongga interstisial maupun dalam alveoli. Edema paru merupakan
tanda adanya kongesti paru tingkat lanjut, di mana cairan mengalami
kebocoran

melalui

dinding

kapiler,

merembes

keluar,

dan

menimbulkan dispnea yang sangat berat. Kongesti paru terjadi jika


dasar vascular paru menerima darah yang berlebihan dari ventrikel
kanan yang tidak mampu diakomodasi dan diambil oleh jantung kiri.
Oleh karena adanya timbunan cairan, paru menjadi kaku dan tidak
dapat mengembang serta udara tidak dapat masuk, akibatnya terjadi
hipoksia berat.
g) Disfungsi otot papilaris
Disfungsi iskemik atau ruptur nekrotik otot papilaris

akan

mengganggu fungsi katup mitralis, sehingga memungkinkan eversi


daun katup ke dalam atrium selama sistolik. Inkompetensi katup
mengakibatkan aliran retrograde dari ventrikel kiri ke dalam atrium
kiri dengan dua akibat yaitu pengurangan aliran ke aorta dan
peningkatan kongesti pada atrium kiri dan vena pulmonalis.
h) Defek septum ventrikel

Nekrosis septum interventrikular dapat menyebabkan rupture dinding


i)

septum sehingga terjadi defek septum ventrikel.


Rupture jantung
Rupture dinding ventrikel yang bebas dapat terjadi pada awal
perjalanan infark selama fase pembuangan jaringan nekrotik sebelum
pembentukan parut. Dinding nekrotik yang tipis pecah, sehingga
terjadi peradarahan massif ke dalam kantong pericardium yang
relative tidak elastic dapat berkembang. Kantong pericardium yang
terisi oleh darah menekan jantung, sehingga menimbulkan tamponade
jantung. Tamponade jantung ini akan mengurangi aliran balik vena

j)

dan curah jantung.


Aneurisma ventrikel
Aneurisma ini biasanya terjadi pada permukaan anterior atau apeks
jantung. Aneurisma ventrikel akan mengembang bagaikan balon pada

setiap sistolik dan teregang secara pasif oleh sebagian curah sekuncup.
k) Tromboembolisme
Nekrosis endotel ventrikel akan membuat permukaan endotel menjadi
kasar yang merupakan predisposisi pembentukan thrombus. Pecahan
thrombus mural intrakardium dapat terlepas dan terjadi embolisasi
l)

sistemik.
Perikarditis
Infark transmural dapat membuat lapisan epikardium yang langsung
berkontak dan menjadi kasar, sehingga merangsang permukaan

pericardium dan menimbulkan reaksi peradangan.


m) Gangguan Hemodinamik
Gagal pemompaan merupakan penyebab utama kematian di RS pada
STEMI. Perluasan iskemia nekrosis mempunyai korelasi yang baik
dengan tingkat gagal pompa dan mortalitas baik pada awal (10 hari
infak) dan sesudahnya. Tanda klinis yang sering dijumpai adalah ronki
basah di paru-paru dan bunyi jantung S3 dan S4 gallop pada
pemeriksaan rontgen sering dijumpai kongesti paru.
7. Pemeriksaan penunjang

10

Nilai pemeriksaan laboratorium untuk mengkonfirmasi diagnosis


STEMI dapat dibagi menjadi 4, yaitu: ECG, serum cardiac biomarker,
cardiac imaging, dan indeks nonspesifik nekrosis jaringan dan inflamasi.
a) Electrocardiograf (ECG)
Adanya elevasi segmen ST pada sadapan tertentu
1) Lead II, III, aVF : Infark inferior
2) Lead V1-V3 : Infark anteroseptal
3) Lead V2-V4 : Infark anterior
4) Lead 1, aV L, V5-V6 : Infark anterolateral
5) Lead I, aVL : Infark high lateral
6) Lead I, aVL, V1-V6 : Infark anterolateral luas
7) Lead II, III, aVF, V5-V6 : Infark inferolateral
8) Adanya Q valve patologis pada sadapan tertentu
b) Serum Cardiac Biomarker
Beberapa protein tertentu, yang disebut biomarker kardiak, dilepas
dari otot jantung yang mengalami nekrosis setelah STEMI. Kecepatan
pelepasan protein spesifik ini berbeda-beda, tergantung pada lokasi
intraseluler, berat molekul, dan aliran darah dan limfatik local.
Biomarker kardiak dapat dideteksi pada darah perifer ketika kapasitas
limfatik kardiak untuk membersihkan bagian interstisium dari zona
infark berlebihan sehingga ikut beredar bersama sirkulasi.
1) cTnT dan cTnI
Cardiac-specific troponin T (cTnT) dan cardiac-specific troponin
I (cTnI) memiliki sekuens asam amino yang berbeda dari protein
ini

yang

ada

dalam

otot

skeletal.

Perbedaan

tersebut

memungkinkan dilakukannya quantitative assay untuk cTnT dan


cTnI dengan antibody monoclonal yang sangat spesifik. Karena
cTnT dan cTnI secara normal tidak terdeteksi dalam darah
individu normal tetapi meningkat setelah STEMI menjadi >20
kali lebih tinggi dari nilai normal, pengukuran cTnT dan cTnI
dapat dijadikan sebagai pemeriksaan diagnostic. Kadar cTnT dan
cTnI mungkin tetap meningkat selama 7-10 hari setelah STEMI.
2) CKMB
Creatinine phosphokinase (CK) meningkat dalam 4-8 jam dan
umumnya kembali normal setelah 48-72 jam. Pengukuran
penurunan total CK pada STEMI memiliki spesifisitas yang

11

rendah, karena CK juga mungkin meningkat pada penyakit otot


skeletal, termasuk infark intramuscular. Pengukuran isoenzim MB
dari CK dinilai lebih spesifik untuk STEMI karena isoenzim MB
tidak terdapat dalam jumlah yang signifikan pada jaringan
ekstrakardiak. Namun pada miokarditis, pembedahan kardiak
mungkin didapatkan peningkatan kadar isoenzim MB dalam serum.
c) Cardiac Imaging
1) Echocardiography
Abnormalitas pergerakan dinding pada two-dimentional
echocardiography hampir selalu ditemukan pada pasien STEMI.
Walaupun STEMI akut tidak dapat dibedakan dari scar miokardial
sebelumnya atau dari iskemia berat akut dengan echocardiography,
prosedur ini masih digunakan karena keamanannya. Ketika tidak
terdapat ECG untuk metode diagnostic STEMI, deteksi awal aka
nada atau tidaknya abnormalitas pergerakan dinding dengan
echocardiography dapat digunakan untuk mengambil keputusan,
seperti apakah pasien harus mendapatkan terapi reperfusi. Estimasi
echocardiographic untuk fungsi ventrikel kiri sangat berguna dalam
segi

prognosis,

menunjukkan

deteksi

indikasi

penurunan
terapi

fungsi

dengan

ventrikel

inhibitor

kiri

RAAS.

Echocardiography juga dapat mengidentifikasi infark pada


ventrikel kanan, aneurisma ventrikuler, efusi pericardial, dan
thrombus pada ventrikel kiri. Selain itu, Doppler echocardiography
juga dapat mendeteksi dan kuantifikasi VSD dan regurgitasi mitral,
dua komplikasi STEMI.
2) High resolution MRI
Infark miokard dapat dideteksi secara akurat dengan high
resolution cardiac MRI.
3) Angiografi
Tes diagnostik invasif dengan memasukan katerterisasi jantung
yang memungkinkan visualisasi langsung terhadap arteri koroner
besar dan pengukuran langsung terhadap ventrikel kiri.
8. Penatalaksanaan

12

a) Pre Hospital
Tatalaksana pra-rumah sakit. Prognosis STEMI sebagian besar
tergantung adanya 2 kelompok komplikasi umum yaitu komplikasi
elektrikal (aritmia) dan komplikasi mekanik (pump failure). Sebagian
besar kematian di luar RS pada STEMI disebabkan adanya fibrilasi
ventrikel mendadak, yang sebagian besar terjadi dalam 24 jam
pertama onset gejala. Dan lebih dari separuhnya terjadi pada jam
pertama. Sehingga elemen utama tatalaksana pra-RS pada pasien yang
dicurigai STEMI :
Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan
medis
Segera memanggil tim medis emergensi yang dapat melakukan
tindakan resusitasi
Transportasi pasien ke RS yang memiliki fasilitas ICCU/ICU serta
staf medis dokter dan perawat yang terlatih
Terapi REPERFUSI
Tatalaksana di IGD. Tujuan tatalaksana di IGD pada pasien yang
dicurigai STEMI mencakup mengurangi/menghilangkan nyeri dada,
identifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat terapi reperfusi
segera, triase pasien risiko rendah ke ruangan yang tepat di RS dan
menghindari pemulangan cepat pasien dengan STEMI.
b) Hospital
1) Aktivitas
Faktor-faktor yang meningkatkan kerja jantung selama masamasa awal infark dapat meningkatkan ukuran infark. Oleh karena
itu, pasien dengan STEMI harus tetap berada pada tempat tidur
selama 12 jam pertama. Kemudian, jika tidak terdapat
komplikasi, pasien harus didukung untuk untuk melanjutkan
postur tegak dengan menggantung kaki mereka ke sisi tempat
tidur dan duduk di kursi dalam 24 jam pertama. Latihan ini
bermanfaat secara psikologis dan biasanya menurunkan tekanan
kapiler paru. Jika tidak terdapat hipotensi dan komplikasi lain,
pasien dapat berjalan-jalan di ruangan dengan durasi dan
frekuensi yang ditingkatkan secara bertahap pada hari kedua atau
13

ketiga. Pada hari ketiga, pasien harus sudah dapat berjalan 185 m
minimal tiga kali sehari.
2) Diet
Karena adanya risiko emesis dan aspirasi segera setelah STEMI,
pasien hanya diberikan air peroral atau tidak diberikan apapun pada
4-12 jam pertama. Asupan nutrisi yang

diberikan harus

mengandung kolesterol 300 mg/hari. Kompleks karbohidrat harus


mencapai 50-55% dari kalori total. Diet yang diberikan harus tinggi
kalium, magnesium, dan serat tetapi rendah natrium.
3) Bowel
Bedrest dan efek narkotik yang digunakan untuk menghilangkan
nyeri seringkali menyebabkan konstipasi. Laksatif dapat diberikan
jika pasien mengalami konstipasi
c) Farmakoterapi
1) Nitrogliserin (NTG)
Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis
0,4 mg dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit.
Selain mengurangi nyeri dada, NTG juga dapat menurunkan
kebutuhan oksigen dengan menurunkan preload dan meningkatkan
suplai oksigen miokard dengan cara dilatasi pembuluh darah
koroner yang terkena infark atau pembuluh darah kolateral. Jika
nyeri dada terus berlangsung, dapat diberikan NTG intravena. NTG
IV juga dapat diberikan untuk mengendalikan hipertensi dan edema
paru. Terapi nitrat harus dihindarkan pada pasien dengan tensi
sistolik <90 mmHg atau pasien yang dicurigai menderita infark
ventrikel kanan.
2) Morfin
Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan
analgesik pilihan dalam tatalaksana nyeri dada pada STEMI.
Morfin diberikan dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulangi dengan
interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg. Efek samping yang
perlu diwaspadai pada pemberian morfin adalah konstriksi vena
dan arteriolar melalui penurunan, sehingga terjadi pooling vena

14

yang akan mengurangi curah jantung dan tekanan arteri. Morfin


juga dapat menyebabkan efek vagotonik yang menyebabkan
bradikardia atau blok jantung derajat tinggi, terutama pasien
dengan infark posterior. Efek ini biasanya dapat diatasi dengan
pemberian atropine 0,5 mg IV.
3) Aspirin
Aspirin merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai
STEMI

dan

efektif

siklooksigenase

pada

trombosit

spektrum
yang

SKA.

Inhibisi

cepat

dilanjutkan

reduksi

kadar

tromboksan A2 dicapai dengan absorpsi aspirin bukkal dengan


dosis 160-325 mg di UGD. Selanjutnya aspirin diberikan oral
dengan dosis 75-162 mg.
4) Beta-adrenoreceptor blocker
Pemberian beta blocker intravena secara akut dapat memperbaiki
hubungan supply-demand oksigen, menurunkan nyeri, menurunkan
ukuran infark, dan menurunkan insiden ventricular aritmia.
5) Terapi reperfusi
Terapi reperfusi yaitu menjamin aliran darah koroner kembali
menjadi lancar. Reperfusi ada 2 macam yaitu berupa tindakan
kateterisasi (PCI) yang berupa tindakan invasive (semi-bedah) dan
terapi dengan obat melalui jalur infuse (agen fibrinolitik).

B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


Pengkajian
1. Identitas Klien
Nama, usia, jenis kelamin, alamat, no.telepon, status pernikahan, agama,
suku, pendidikan, pekerjaan, lama bekerja, No. RM, tanggal masuk,
tanggal pengkajian, sumber informasi, nama keluarga dekat yang bias
dihubungi, status, alamat, no.telepon, pendidikan, dan pekerjaan.
2. Status kesehatan saat ini
Keluhan utama: nyeri dada, perasaan sulit bernapas, dan pingsan.
3. Riwayat penyakit sekarang (PQRST)

15

a) Provoking incident: nyeri setelah beraktivitas dan tidak berkurang


dengan istirahat.
b) Quality of pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan klien, sifat keluhan nyeri seperti tertekan.
c) Region, radiation, relief: lokasi nyeri di daerah substernal atau nyeri di
atas pericardium. Penyebaran dapat meluas di dada. Dapat terjadi nyeri
serta ketidakmampuan bahu dan tangan.
d) Severity (scale) of pain: klien bias ditanya dengan menggunakan
rentang 0-5 dan klien akan menilai seberapa jauh rasa nyeri yang
dirasakan. Biasanya pada saat angina skala nyeri berkisar antara 4-5
skala (0-5).
e) Time: sifat mulanya muncul (onset), gejala timbul mendadak. Lama
timbulnya (durasi) nyeri dada dikeluhkan lebih dari 15 menit. Nyeri
oleh infark miokardium dapat timbul pada waktu istirahat, biasanya
lebih parah dan berlangsung lebih lama. Gejala-gejala yang menyertai
infark miokardium meliputi dispnea, berkeringat, amsietas, dan
pingsan.
4. Riwayat kesehatan terdahulu
Apakah sebelumnya klien pernah menderita nyeri dada, darah tinggi, DM,
dan hiperlipidemia. Tanyakan obat-obatan yang biasa diminum oleh klien
pada masa lalu yang masih relevan. Catat adanya efek samping yang
terjadi di masa lalu. Tanyakan alergi obat dan reaksi alergi apa yang
timbul.
5. Riwayat keluarga
Menanyakan penyakit yang pernah dialami oleh keluarga serta bila ada
anggota keluarga yang meninggal, tanyakan penyebab kematiannya.
Penyakit jantung iskemik pada orang tua yang timbulnya pada usia muda
merupakan factor risiko utama untuk penyakit jantung iskemik pada
keturunannya.
6. Aktivitas/istirahat
Gejala: kelemahan, kelelahan, tidak dapat tidur, riwayat pola hidup

16

menetap, jadual olahraga tak teratur. Tanda: takikardia, dispnea pada


istirahat/kerja.
7. Sirkulasi
Gejala: riwayat IM sebelumnya, penyakit arteri koroner, gagal jantung
koroner, masalah TD, DM.
Tanda:
a) TD dapat normal atau naik/turun; perubahan postural dicatat dari tidur
sampai duduk/berdiri
b) Nadi dapat normal; penuh/tak kuat atau lemah/kuat kualitasnya
dengan pengisian kapiler lambat; tidak teratur (disritmia) mungkin
terjadi.
c) Bunyi

jantung

ekstra

(S3/S4)

mungkin

menunjukkan

gagal

jantung/penurunan kontraktilitas atau komplian ventrikel.


d) Murmur bila ada menunjukkan gagal katup atau disfungsi otot papilar
e) Friksi; dicurigai perikarditis.
f) Irama jantung dapat teratur atau tak teratur.
g) Edema, edema

perifer, krekels mungkin

ada dengan gagal

jantung/ventrikel.
h) Pucat atau sianosis pada kulit, kuku dan membran mukosa.
8. Integritas ego
Gejala: menyangkal gejala penting, takut mati, perasaan ajal sudah dekat,
marah pada penyakit/perawatan yang tak perlu, khawatir tentang
keluarga, pekerjaan dan keuangan.
Tanda: menolak, menyangkal, cemas, kurang kontak mata, gelisah, marah,
perilaku menyerang, dan fokus pada diri sendiri/nyeri.
9. Eliminasi: bunyi usus normal atau menurun
10. Makanan/cairan
Gejala:

mual,

kehilangan

napsu makan,

bersendawa, nyeri

ulu

hati/terbakar.
Tanda: penurunan turgor kulit, kulit kering/berkeringat, muntah, dan
perubahan berat badan

17

11. Hygiene: kesulitan melakukan perawatan diri


12. Neurosensori
Gejala: pusing, kepala berdenyut selama tidur atau saat bangun
(duduk/istirahat)
Tanda: perubahan mental dan kelemahan
13. Nyeri/ketidaknyamanan
Gejala:
a) Nyeri dada yang timbul mendadak (dapat/tidak berhubungan
dengan aktifitas), tidak hilang dengan istirahat atau nitrogliserin.
b) Lokasi nyeri tipikal pada dada anterior, substernal, prekordial,
dapat menyebar ke tangan, rahang, wajah. Tidak tertentu lokasinya
seperti epigastrium, siku, rahang, abdomen, punggung, leher
c) Kualitas nyeri crushing, menusuk, berat, menetap, tertekan,
seperti dapat dilihat.
d) Instensitas nyeri biasanya 10 pada skala 1-10, mungkin
pengalaman nyeri paling buruk yang pernah dialami.
e) Catatan: nyeri mungkin tak ada pada pasien pasca operasi, dengan
DM, hipertensi dan lansia.
Tanda:
a) Wajah meringis, perubahan postur tubuh.
b) Menangis, merintih, meregang, menggeliat.
c) Menarik diri, kehilangan kontak mata
d) Respon

otonom:

perubahan

frekuensi/irama

jantung,

TD,

pernapasan, warna kulit/kelembaban, kesadaran.


14. Pernapasan
Gejala:

dispnea

dengan/tanpa

kerja,

dispnea

nocturnal,

batuk

produktif/tidak produktif, riwayat merokok, penyakit pernapasan kronis


Tanda: peningkatan frekuensi pernapasan, pucat/sianosis, bunyi napas
bersih atau krekels, wheezing, sputum bersih, merah muda kental.
15. Interaksi social

18

Gejala: stress saat ini (kerja, keuangan, keluarga) dan kesulitan koping
dengan stessor yang ada (penyakit, hospitalisasi)
Tanda: kesulitan istirahat dengan tenang, respon emosi meningkat, dan
menarik diri dari keluarga
16. Penyuluhan/pembelajaran
Gejala: riwayat keluarga penyakit jantung/IM, DM, stroke, hipertensi,
penyakit vaskuler perifer, dan riwayat penggunaan tembakau
Pengkajian fisik
Penting untuk mendeteksi komplikasi dan harus mencakup hal-hal berikut:
Tingkat kesadaran
Nyeri dada (temuan klinik yang paling penting)
Frekwensi dan irama jantung: Disritmia dapat menunjukkan tidak
mencukupinya oksigen ke dalam miokard
Bunyi jantung: S3 dapat menjadi tanda dini ancaman gagal jantung
Tekanan darah: Diukur untuk menentukan respons nyeri dan pengobatan,
perhatian tekanan nadi, yang mungkin akan menyempit setelah serangan
miokard infark, menandakan ketidakefektifan kontraksi ventrikel
Nadi perifer: Kaji frekuensi, irama dan volume
Warna dan suhu kulit
Paru-paru: Auskultasi bidang paru pada interval yang teratur terhadap tandatanda gagal ventrikel (bunyi krakles pada dasar paru)
Fungsi gastrointestinal: Kaji motilitas usus, trombosis arteri mesenterika
merupakan potensial komplikasi yang fatal
Status volume cairan: Amati haluaran urine, periksa adanya edema, adanya
tanda dini syok kardiogenik merupakan hipotensi dengan oliguria
(Wilkinson. 2012)
Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan yang sering terjadi antara lain:

19

1. Nyeri akut berhubungan dengan iskemia jaringan sekunder terhadap oklusi


arteri koroner
2. Ketidakefektifan pola nafas yang berhubungan dengan pengembangan
paru tidak optimal, kelebihan cairan di dalam paru akibat sekunder dari
edema paru akut
3. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan frekuensi, irama,
konduksi elektri, penurunan preload/peningkatan tahanan vaskuler
sistemik, otot infark, kerusakan struktural
4. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan aliran darah,
misalnya vasikonstriksi,hipovolemia, dan pembentukan troboemboli
5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai
oksigen miokard dengan kebutuhan, adanya iskemia/nekrotik jaringan
miokard, efek obat depresan jantung
6. Ansietas berhubungan dengan ketakutan akan kematian
7. Resiko ketidakpatuhan terhadap program perawatan

diri

yang

berhubungan dengan penolakan terhadap diagnosis miokard infark


(Wilkinson. 2012)
Rencana keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan iskemia jaringan sekunder terhadap oklusi
arteri koroner
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam nyeri
berkurang
Kriteria hasil:
Nyeri dada hilang/terkontrol
Mendemonstrasikan penggunaan teknik relaksasi
Klien tampak rileks,mudah bergerak
Intervensi:
a) Kaji keluhan pasien mengenai nyeri dada, meliputi : lokasi, radiasi, durasi
dan faktor yang mempengaruhinya.
Rasional: Data tersebut membantu menentukan penyebab dan efek nyeri
dada serta merupakan garis dasar untuk membandingkan gejala pasca
terapi.
b) Berikan istirahat fisik dengan punggung ditinggikan atau dalam kursi
kardiak. Rasional: Untuk mengurangi rasa tidak nyaman serta dispnea dan
istirahat fisik juga dapat mengurangi konsumsi oksigen jantung.
c) Kaji ulang riwayat angina sebelumnya, nyeri menyerupai angina
20

Rasional: Untuk membandingkan nyeri yang ada dari pola sebelumnya,


sesuai dengan identifikasi komplikasi seperti meluasnya infark, emboli
paru, atau perikarditis
d) Anjurkan pasien untuk melaporkan nyeri dengan segera
Rasional : Untuk memberi intervensi secara tepat sehingga mengurangi
kerusakan jaringan otot jantung yang lebih lanjut
e) Berikan lingkungan yang tenang, aktivitas perlahan, dan tindakan nyaman
Rasional: Menurunkan rangsang eksternal
f) Bantu melakukan teknik relaksasi (napas dalam/perlahan,perilaku distraksi,
visualisasi, bimbingan imajinasi
Rasional: Membantu dalam menurunkan persepsi/respon nyeri
g) Periksa tanda vital sebelum dan sesudah obat narkotik
Rasional: Hipotensi /depresi pernapasan dapat terjadi sebagai akibat
pemberian narkotik. Dimana keadaan ini dapat meningkatkan kerusakan
miokardia pada adanya kegagalan ventrikel
h) Kolaborasi dengan tim medis pemberian:
Antiangina (NTG) Rasional: Untuk mengontrol nyeri dengan efek
vasodilatasi koroner, yang meningkatkan aliran darah koroner dan perfusi
miokardia
Penyekat (atenolol) Rasional: Untuk mengontrol nyeri melalui efek
hambatan rangsang simpatis, sehingga menurunkan fungsi jantung, TD
sistolik dan kebutuhan oksigen miokard
Preparat analgesik (Morfin Sulfat) Rasional: Untuk menurunkan nyeri
hebat, memberikan sedasi dan mengurangi kerja miokard
Pemberian oksigen bersamaan dengan analgesik Rasional: Untuk
memulihkan otot jantung dan untuk memastikan peredaan maksimum nyeri
(inhalasi oksigen menurunkan nyeri yang berkaitan dengan rendahnya
tingkat oksigen yang bersirkulasi).
2. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan frekuensi, irama,
konduksi

elektri,

penurunan

preload/peningkatan

tahanan

vaskuler

sistemik, otot infark, kerusakan struktural


Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam curah
jantung adekuat
Kriteria Hasil:

21

TD, curah jantung dalam batas normal

Haluaran urine adekuat

Tidak ada disritmia

Penurunan dispnea, angina

Peningkatan toleransi terhadap aktivitas

Intervensi :
a) Pantau tanda vital: frekuensi jantung, TD,nadi
Rasional: Untuk mengetahui adanya perubahan TD,nadi secara dini
sehingga memudahkan dalam melakukan intervensi karena TD dapat
meningkatkan rangsangan simpatis, kemudian turun bila curah jantung
dipengaruhi.
b) Evaluasi adanya bunyi jantung S3,S4
Rasional: Untuk megetahui adanya komplikasi pada GJK gagal mitral
untuk S3, sedangkan S4 karena iskemia miokardia, kekakuan ventrikel,
dan hipertensi pulmonal /sistemik
c) Auskultasi bunyi napas
Rasional: Untuk mengetahui adanya kongesti paru akibat penurunan
fungsi miokard
d) Berikan makanan porsi makan kecil dan mudah dikunyah, batasi asupan
kafein,kopi, coklat, cola
Rasional: Untuk menghindari kerja miokardia, bradikardi,peningkatan
frekuensi jantung
Kolaborasi:
a) Berikan oksigen sesuai indikasi
Rasional: Untuk memenuhi kebutuhan miokard, menurunkan iskemia dan
disritmia lanjut
b) Pertahankan cairan IV
Rasional: Jalur yang paten untuk pemberian obat darurat pada
disritmia/nyeri dada

22

c) Kaji ulang seri EKG


Rasional: memberikan informasi sehubungan dengan kemajuan atau
perbaikan infark, fungsi ventrikel, keseimbangan elektrolit, dan efek terapi
obat
d) Pantau laboratorium (enzim jantung, GDA, elektrolit)
Rasional: Untuk mengetahui perbaikan/perluasan infark adanya hipoksia,
hipokalemia/hiperkalsemia
e) Berikan obat antidisritmia
3. Ketidakefektifan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan aliran
darah,

misalnya

vasikonstriksi,

hipovolemia,

dan

pembentukan

tromboemboli
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam perfusi
jaringan efektif
Kirteria Hasil:
Kulit hangat dan kering
Nadi perifer kuat
Tanda vital dalam batas normal
Kesadran compos mentis
Keseimbangan pemasukan dan pengeluaran
Tidak edema dan nyeri
Intervensi:
a) Observasi adanya perubahan tingkat kesadaran secara tiba-tiba
Rasional: Untuk mengetahui adanya penurunan curah jantung
b) Observasi adanya pucat, sianosis, kulit dingin/lembab da raba kekuatan
nadi perifer
Rasional: Vasokontriksi sistemik diakibatkan oleh penurunan curah
jantung
c) Observasi adanya tanda Homan, eritema, edema
Rasional: Untuk mengetahui adanya trombosis vena dalam

23

d) Anjurkan klien untuk latihan kaki aktif/pasif


Rasional: Menurunkan stasis vena, meningkatkan aliran balik vena dan
menurunkan risiko tromboflebitis
e) Pantau pemasukan dan perubahan keluaran urine
Rasional: Penurunan/mual terus menerus dapat megakibatkan penurunan
volume sirkulasi, yang berdampak negatif pada perfusi dan fungsi organ
f) Pantau laboratorium, kreatinin, elektrolit
Rasional: Indikator dari perfusi atau fungsi organ
g) Beri obat sesuai indikasi
Heparin: Untuk menurunkan resiko tromboflebitis atau pembentukan
trombus mural
Cimetidine untuk menetralkan asam lambung dan iritasi gaster
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai
oksigen miokard dengan kebutuhan, adanya iskemia/nekrotik jaringan
miokard, efek obat depresan jantung
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama

3x24 jam klien

menunjukkan peningkatan aktivitas secara bertahap


Kriteria Hasil:
Klien dapat melakukan peningkatan toleransi aktivitas yang dapat diukur
dengan frekuensi jantung/irama jantung dan TD dalam batas normal
Kulit teraba hangat, merah muda dan kering
Intervensi :
a) Pantau frekuensi jantung, irama, dan perubahan TD sebelum, selama, dan
sesudah beraktivitas sesuai indikasi
Rasional: Untuk menentukan tingkat aktivitas klien yang tidak
memberatkan curah jantung
b) Tingkatkan

istirahat,

batasi

aktivitas

pada

dasar

hemodinamik, berikan aktivitas senggang yang tidak berat

24

nyeri/respon

Rasional: Menurunkan kerja miokard, sehingga menurunkan risiko


komplikasi
c) Anjurkan pasien untuk tidak mengejan saat defekasi
Rasional: Dengan mengejan dapat mengakibatkan manuver valsava
sehingga terjadi bradikardi, menurunnya curah jantung, takikardi dan
peningkatan TD
d) Jelaskan pola peningkatan bertahap dari tingkat akyivitas
Rasional: Aktivitas yang maju memberikan kontrol jantung, meningkatkan
regangan dan mencegah aktivitas berlebihan
e) Observasi gejala yang menunjukkan tidak toleran terhadap aktivitas
Rasional: Palpitasi, nadi tidak teratur, adanya nyeri dada atau dispnea
dapat mengindikasikan kebutuhan perubahan program oalahraga atau diet

DAFTAR PUSTAKA

Fauci, et.al. 2008. Harrisons Principles of Internal Medicine 17th edition. The
McGraw-Hill Companies, Inc.
Kumar, et.al. 2007. Robbins Basic Pathology. Elsevier Inc.
Muttaqin, A. 2009. Buku Ajar Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Kardiovaskular dan Hematologi. Jakarta: Salemba Medika
Price, S. A., & Wilson, L. M. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Volume 2. Edisi 6. Jakarta: EGC.
Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. 2010. Keperawatan Medikal Bedah. Volume 3.
Edisi 8. Jakarta : EGC.
Wilkinson, judith. 2012. Buku saku diagnosa keperawatan: diagnosis, NANDA,
NIC, NOC 2012-2015. Jakarta: ECG

25

LAPORAN PENDAHULUAN
ST ELEVASI MIOKARD INFARK (STEMI)
DI RUANG ICVCU RSUD Dr. MOEWARDI
SURAKARTA

26

Disusun:
Dyah Isna Romadani
J230145052

PROGRAM PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMADIYAH SURAKARTA
2015

27

You might also like