You are on page 1of 24

7

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Kelenjar Tiroid


Tiroid adalah suatu kelenjar endokrin yang sangat vaskular, berwarna merah
kecoklatan dengan konsistensi yang lunak. Kelenjar tiroid terdiri dari dua buah lobus
yang simetris. Berbentuk konus dengan ujung kranial yang kecil dan ujung kaudal
yang besar. Antara kedua lobus dihubungkan oleh isthmus, dan dari tepi superiornya
terdapat lobus piramidalis yang bertumbuh ke kranial, dapat mencapai os hyoideum.
Pada umumnya lobus piramidalis berada di sebelah kiri linea mediana. Setiap lobus
kelenjar thyroid mempunyai ukuran kira-kira 5 cm, dibungkus oleh fascia propria
yang disebut true capsule, dan di sebelah superfisialnya terdapat fasia pretrachealis
yang membentuk false capsule (Stewart, 2007).
2.2. Fisiologi Kelenjar Tiroid
2.2.1. Sintesis Hormon Tiroid
Sel-sel kelenjar tiroid merupakan sel kelenjar khas yang menyekresi protein.
Retikulum endoplasma dan alat Golgi mensintesis dan menyekresi molekul
glikoprotein besar yang disebut tiroglobulin dengan berat molekul 335.000 ke dalam
folikel. Setiap molekul tiroglobulin mengandung sekitar 70 asam amino tirosin dan
tiroglobulin merupakan substrat utama yang bergabung dengan iodida untuk
membentuk hormon tiroid. Hormon tiroksin dan triiodotironin dibentuk dari asam
amino tirosin yang merupakan sisa bagian dari molekul tiroglobulin selama sintesis
hormon tiroid dan bahkan sesudahnya sebagai hormon yang disimpan di dalam koloid
folikular (Guyton, 1995). Tirosin, suatu asam amino, disintesis dalam jumlah
memadai oleh tubuh, sehingga bukan merupakan kebutuhan esensial dalam makanan.
Di pihak lain, yodium yang diperlukan untuk sintesis hormon tiroid, harus diperoleh
dari makanan (Ganong, 2003).
Universitas Sriwijaya

8
Tahap pertama dalam pembentukan hormon tiroid adalah perubahan ion
iodida menjadi bentuk yodium yang teroksidasi, yang selanjutnya mampu langsung
berikatan dengan asam amino tirosin. Proses oksidasi yodium ini ditingkatkan oleh
enzim peroksidase dan penyertanya hidrogen peroksidase, yang menyediakan suatu
sistem yang kuat yang mampu mengoksidasi iodida. Bila sistem peroksidase ini
terhambat, atau secara herediter tidak terdapat di dalam sel, maka kecepatan
pembentukan hormon tiroid turun sampai nol. Pengikatan yodium dengan molekul
tiroglobulin disebut organifikasi tiroglobulin. Tirosin mula-mula diiodisasi menjadi
monoiodotirosin dan selanjutnya menjadi diiodotirosin. Kemudian, selama beberapa
menit, beberapa jam, dan bahkan beberapa hari berikutnya, makin lama semakin
banyak sisa diiodotirosin yang saling bergandengan (coupling) satu sama lainnya.
Hasil dari reaksi penggandengan ini adalah terbentuknya molekul tiroksin yang tetap
merupakan bagian dari molekul tiroglobulin. Dapat juga terjadi penggandengan satu
molekul monoiodotirosin dengan satu molekul diiodotirosin sehingga terbentuk
triiodotironin, yang merupakan kira-kira satu perlima dari jumlah hormon akhir.
Sekitar 93 persen hormon-hormon aktif metabolisme yang disekresikan oeh kelenjar
tiroid adalah tiroksin dan 7 persen adalah triiodotironin. Akan tetapi, hampir semua
tiroksin akhirnya akan diubah menjadi triiodotironin di dalam jaringan, sehingga
secara fungsional keduanya bersifat penting. Triiodotironin kerjanya kira-kira 4 kali
lebih kuat daripada tiroksin, namun jumlahnya di dalam darah jauh lebih sedikit dan
keberadaannya di dalam darah jauh lebih singkat daripada tiroksin (Guyton, 1995).
2.2.2. Sekresi Hormon Tiroid dan Pengaturannya
Tiroglobulin sendiri tidak dilepaskan ke dalam darah yang bersirkulasi dalam jumlah
yang bermakna, justru pada awalnya tiroksin dan triiodotironin harus dipecah dari
molekul tiroglobulin dan selanjutya hormon bebas ini dilepaskan. Prosesnya sebagai
berikut: permukaan apikal sel-sel tiroid menjulurkan pseudopodia mengelilingi
sebagian kecil koloid sehingga terbentuk vesikel pinositik yang masuk ke bagian
apeks sel-sel tiroid. Kemudian lisosom pada sitoplasma sel segera bergabung dengan
vesikel-vesikel ini untuk membentuk vesikel-vesikel digestif yang mengandung
enzim-enzim pencernaan yang berasal dari lisosom yang sudah bercampur dengan
Universitas Sriwijaya

9
bahan koloid tadi. Beragam protease yang ada di antara enzim-enzim ini akan
mencernakan molekul-molekul tiroglobulin dan akan melepaskan tiroksin dan
triiodotironin dalam bentuk bebas. Kedua hormon bebas ini selanjutnya akan
berdifusi melewati bagian basal sel-sel tiroid ke pembuluh-pembuluh kapiler di
sekelilingnya. Dengan demikian hormon tiroid dilepaskan ke dalam darah (Guyton,
1995).
Untuk menjaga agar tingkat aktivitas metabolisme dalam tubuh tetap normal,
maka setiap saat harus disekresikan hormon tiroid dengan jumlah yang tepat, dan agar
hal ini dapat tercapai, terdapat mekanisme umpan balik spesifik yang bekerja melalui
hipotalamus dan kelenjar hipofisis anterior untuk mengatur kecepatan sekresi tiroid.
Mekanismenya adalah sebagai berikut: Thyroid Stimulating Hormone (TSH) yang
disekresikan dari kelenjar hipofisis anterior, yang juga dikenal sebagai tirotropin,
memiliki beberapa efek spesifik pada kelenjar tiroid yang dapat meningkatkan sekresi
tiroksin dan triiodotironin. Beberapa efeknya adalah peningkatan proteolisis
tiroglobulin yang disimpan di dalam folikel, peningkatan aktivitas pompa yodium
yang meningkatkan kecepatan penjeratan iodida di dalam sel-sel kelenjar,
peningkatan iodinasi tirosin untuk membentuk hormone tiroid, meningkatkan ukuran
dan aktivitas sekretorik sel-sel tiroid serta peningkatan jumlah sel-sel tiroid.
Ringkasnya, TSH meningkatkan semua aktiitas sekresi sel kelenjar tiroid.
Kebanyakan efek-efek di atas disebabkan oleh pengaktifan second messenger sistem
siklik adenosine monofosfat (cAMP) dalam sel. Peristiwa pertama dari pengaktifan
ini adalah timbulnya pengikatan TSH dengan reseptor spesifik TSH yang terdapat di
bagian basal permukaan membrane sel. Ikatan ini lalu mengaktifkan adenilil siklase
yang ada di dalam membrane, yang meningkatkan pembentukan cAMP di dalam sel.
Akhirnya, cAMP bekerja sebagai second messenger untuk mengaktifkan protein
kinase, yang menyebabkan banyak fosforilasi di seluruh sel. Akibatnya segera timbul
peningkatan sekresi hormone tiroid dan perpanjangan waktu pertumbuhan jaringan
kelenjar tiroidnya sendiri (Guyton, 1995).
Sekresi TSH oleh hipofisis anterior diatur oleh satu hormon hipotalamus,
Thyroid Releasing Hormone (TRH), yang disekresikan oleh ujung-ujung saraf di

Universitas Sriwijaya

10
dalam eminensia mediana hipotalamus. Dari eminensia mediana tersebut, TRH
kemudian diangkut ke hipofisis anterior lewat darah porta hipotalamus-hipofisis.
TRH secara langsung mempengaruhi sel-sel kelenjar hipofisis anterior untuk
mengeluarkan TSH. Bila darah sistem porta yang dimulai dari hipotalamus ke
kelenjar hipofisis anterior seluruhnya dihambat, maka kecepatan sekresi TSH oleh
kelenjar hipofisis anterior sangat menurun. Mekanisme molekular TRH yang
menyebabkan sel-sel yang menyekresi TSH dari hipofisis anterior menghasilkan
TSH, pertama-tama terjadi melalui pengikatan dengan TRH di dalam membran sel
hipofisis. Ikatan ini selanjutnya mengaktifkan sistem second messenger fosfolipase di
dalam sel-sel hipofisis untuk menghasilkan sejumlah besar fosfolipase C, yang diikuti
dengan rentetan second messenger yang lain, termasuk ion kalsium dan diasilgliserol, yang akhirnya menyebabkan pelepasan TRH (Guyton, 1995).
Terdapat suatu efek umpan balik negatif hormon tiroid terhadap sekresi TSH
di kelenjar hipofisis anterior. Mekanisme umpan balik ini juga dipakai untuk menjaga
agar konsentrasi hormon tiroid bebas dalam sirkulasi darah tetap berada pada
konsentrasi yang normal (Ganong, 2003).
Terdapat beberapa obat-obatan yang menekan sekresi tiroid, disebut sebagai
substansi antitiroid. Ada tiga bahan yang paling dikenal yakni tiosianat,
propiltiourasil, dan iodida inorganik yang konsentrasinya tinggi. Substansi ion
tiosianat menyebabkan pengurangan penjeratan iodida di dalam sel-sel tiroid.
Propiltiourasil menurunkan pembentukan hormon tiroid dari iodida dan tirosin
dengan cara menghambat enzim peroksidase yang sebagian diperlukan untuk proses
iodinasi tirosin dan sebagian untuk menghambat proses penggandengan (coupling)
dua tirosin teriodinasi untuk membentuk tiroksin atau triiodotironin. Sedangkan
iodida pada konsentrasi tinggi akan menurunkan semua tahap aktifitas tiroid dan
ukuran kelenjar tiroid (Guyton, 1995).

Universitas Sriwijaya

11

Gambar 2.1 Fisiologi Hormon Tiroid


Sumber : Guyton. Hormon Thyroid, Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit, edisi ketiga.
Jakarta, EGC. 1995.

2.2.3. Transport dan Metabolisme Hormon Tiroid


Hormon tiroid yang bersirkulasi dalam plasma terikat pada protein plasma, yaitu:
globulin pengikat tiroksin (thyroxine-binding globulin/TBG), prealbumin pengikat
tiroksin (thyroxine-binding prealbumin/TBPA) dan albumin pengikat tiroksin
(thyroxine-binding albumin/TBA). Kebanyakan hormon dalam sirkulasi terikat pada
protein-protein tersebut dan hanya sebagian kecil saja (kurang dari 0,05%) berada
dalam bentuk bebas. Hormon yang terikat dan yang bebas berada dalam
keseimbangan yang reversibel. Hormon yang bebas merupakan fraksi yang aktif
secara metabolik, sedangkan fraksi yang lebih banyak dan terikat pada protein tidak
dapat mencapai jaringan sasaran. Dari ketiga protein pengikat tiroksin, TBG
merupakan protein pengikat yang paling spesifik. Selain itu, tiroksin mempunyai
afinitas yang lebih besar terhadap protein pengikat ini dibandingkan dengan
triiodotironin. Akibatnya triiodotironin lebih mudah berpindah ke jaringan sasaran
(Ganong, 2003).
Hormon-hormon tiroid diubah secara kimia sebelum diekskresi. Perubahan
yang penting adalah deiodinasi yang bertanggung jawab atas ekskresi 70% hormon
Universitas Sriwijaya

12
yang disekresi. 30% lainnya hilang dalam feses melalui ekskresi empedu sebagai
glukuronida atau persenyawaan sulfat. Akibat deiodinasi, 80% T4 dapat diubah
menjadi 3,5,3-triiodotironin, sedangkan 20% sisanya diubah menjadi reverse 3,3,5triiodotironin (rT3) yang merupakan hormon metabolik yang tidak aktif (Boelen dkk,
2011).
2.2.4. Mekanisme Kerja Hormon Tiroid
Mekanisme kerja hormon tiroid ada yang bersifat genomik melalui pengaturan
ekspresi gen, dan non genomik melalui efek langsung pada sitosol sel membran dan
mitokondria. Mekanisme kerja yang bersifat genomik dapat dijelaskan sebagai
berikut, hormon tiroid yang tidak terikat melewati membran sel, kemudian masuk ke
dalam inti sel dan berikatan dengan reseptor tiroid. T3 dan T4 masing-masing
berikatan dengan reseptor tersebut, tetapi ikatannya tidak sama erat, T3 terikat lebih
erat daripada T4. Kompleks hormon reseptor kemudian berikatan dengan DNA
melalui jari-jari dan meningkatkan atau pada beberapa keadaan menurunkan ekspresi
berbagai gen yang mengkode enzim yang mengatur fungsi sel.
Reseptor-reseptor hormon tiroid/thyroid reseptor (TR) melekat pada untaian
genetik DNA atau terletak berdekatan dengan rantai genetik DNA. Reseptor hormon
tiroid biasanya membentuk heterodimer dengan reseptor retinoid X (RXR) pada
elemen respons hormon tiroid yang spesifik pada DNA. Saat berikatan dengan
hormon tiroid, reseptor menjadi aktif dan mengawali proses transkripsi. Kemudian,
dibentuk sejumlah besar tipe RNA messenger yang berbeda, yang kemudian dalam
beberapa menit atau beberapa jam diikuti dengan translasi RNA pada ribosom
sitoplasma untuk membentuk ratusan tipe protein yang baru. Diyakini bahwa
sebagian besar kerja hormon tiroid dihasilkan dari fungsi enzimatik dan fungsi lain
dari protein yang baru ini (Guyton, 1995).
Terdapat dua gen TR manusia, yaitu gen reseptor alpha pada kromosom 17
dan gen reseptor O pada kromosom 3. Dengan ikatan alternatif, setiap gen
membentuk paling tidak dua mRNA yang berbeda, sehingga akan terbentuk dua
protein reseptor yang berbeda. TRO2 hanya ditemukan di otak, sedangkan TR1,
Universitas Sriwijaya

13
TR2 dan TRO1 tersebar secara luas. TR2 berbeda dari ketiga reseptor yang lain,
yaitu tidak mengikat T3 dan fungsinya belum diketahui. TR berikatan dengan DNA
sebagai monomer, homodimer dan heterodimer bersama dengan reseptor inti yang
lain. Dalam hampir semua kerjanya, T3 bekerja lebih cepat dan 3-5 kali lebih kuat
daripada T4. Hal ini disebabkan karena ikatan T3 dengan protein plasma kurang erat,
tetapi terikat lebih erat pada reseptor hormon tiroid. (Megner, 1990)
2.2.5. Efek Metabolik Hormon Tiroid
Hormon tiroid meningkatkan jumlah dan aktivitas sel mitokondria. Bila hormon tiroid
meningkat, seluruh daerah permukaan membran mitokondria meningkat hampir
berbanding langsung dengan peningkatan laju metabolisme seluruh sel binatang. Oleh
karena itu, salah satu fungsi tiroksin yang utama adalah meningkatkan jumlah dan
aktivitas mitokondria, yang selanjutnya meningkatkan kecepatan pembentukan
adenosin trifosfat (ATP) untuk membangkitkan fungsi seluler. Akan tetapi,
peningkatan jumlah dan aktivitas mitokondria dapat merupakan hasil dari
peningkatan aktivitas sel serta sebagai penyebab peningkatan aktivitas sel tersebut
(Guyton, 1995).
Hormon tiroid meningkatkan transpor aktif ion-ion melalui membran sel.
Salah satu enzim yang aktivitasnya meningkat sebagai respons terhadap hormon
tiroid adalah Na-K-ATPase. Na-K-ATPase ini selanjutnya meningkatkan kecepatan
transport baik ion natrium maupun kalium melalui membran sel di beberapa jaringan.
Karena proses ini mempergunakan energi dan meningkatkan jumlah panas yang
dibentuk di dalam tubuh, telah diduga bahwa proses ini mungkin merupakan salah
satu mekanisme peningkatan kecepatan metabolisme tubuh oleh hormon tiroid.
Hormon tiroid juga menyebabkan membran sel dari sebagian besar sel menjadi
mudah dilewati oleh ion natrium, yang selanjutnya akan mengaktifkan pompa
natrium dan lebih jauh lagi meningkatkan pembentukan panas
Beberapa efek metabolik lainnya dari hormon tiroid adalah: (Megner, 1990)
1. Termoregulasi.
2. Metabolisme protein. Dalam dosis fisiologis kerjanya bersifat anabolik, tetapi
dalam dosis besar bersifat katabolik.

Universitas Sriwijaya

14
3. Metabolisme karbohidrat bersifat diabetogenik, karena resorpsi intestinal
meningkat, cadangan glikogen hati menipis, demikian pula glikogen otot menipis dan
degradasi insulin meningkat.
4. Vitamin A. Konversi provitamin A menjadi vitamin A di hati memerlukan hormon
tiroid. Sehingga pada hipotiroidisme dapat dijumpai karotenemia, kulit kekuningan.
5. Lain-lain: gangguan metabolisme kreatin fosfat menyebabkan miopati, tonus
traktus gastrointestinal meninggi, hiperperistaltik, sehingga sering terjadi diare,
gangguan faal hati, anemia defisiensi Fe dan hipertiroidisme.
2.2.6. Efek Fisiologik Hormon Tiroid
2.2.6.1. Efek Hormon Tirod pada Pertumbuhan
Hormon tiroid mempunyai efek yang umum dan efek yang spesifik terhadap
pertumbuhan. Pada manusia, efek hormon tiroid terhadap pertumbuhan lebih nyata
terutama pada masa anak-anak. Efek yang penting dari hormon tiroid adalah
meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan otak selama kehidupan janin dan
beberapa tahun pertama kehidupan pasca lahir. Bila janin tidak dapat menyekresi
hormon tiroid dalam jumlah cukup, maka pertumbuhan dan pematangan otak sebelum
dan sesudah bayi itu dilahirkan akan sangat terbelakang dan otak tetap berukuran
lebih kecil daripada normal. Bila tidak diberi pengobatan yang spesifik dengan
hormon tiroid selama beberapa hari atau beberapa minggu sesudah dilahirkan, maka
anak akan mengalami keterbelakangan mental yang menetap selama hidupnya
(Guyton, 1995).
2.2.6.2. Efek Hormon Tiroid pada Sistem Kardiovaskular
Efek hormon tiroid pada sistem kardiovaskuler terdiri dari efek meningkatkan aliran
darah dan curah jantung, meningkatkan frekuensi denyut jantung, dan meningkatkan
kekuatan otot jantung (Epstein, 2001). Hormon tiroid secara langsung mempengaruhi
miosit jantung dengan cara meregulasi gen yang penting untuk kontraksi miokardial
dan sinyal elektrokimia, termasuk meregulasi secara positif retikulum sarkoplasma

Universitas Sriwijaya

15
Ca2+-ATPase, rantai berat miosin alfa, reseptor beta 1 andrenergik, protein yang
meregulasi nukleotida guanin, Na+-K+-ATPase dan gerbang voltase jalur protein dan
meregulasi secara negatif rantai berat miosin beta, phospholamban, Na+-Ca2+exchanger, dan adenyl cyclase tipe V dan VI (Klein dan Danzi, 2007). Hormon tiroid
juga mempengaruhi tonus otot polos dan reaktifitas pembuluh darah. Pada tikus yang
mengalami hipotiroid terlihat penurunan aktifitas sistesis nitrit oxide di aorta dan
vena kava tetapi terjadi peningkatan aktifitas di jantung dan aktifitas yang stabil di
ginjal (Quesada A, 2002).
Meningkatnya metabolisme jaringan mempercepat pemakaian oksigen dan
memperbanyak pelepasan jumlah produk akhir metabolisme dari jaringan. Efek ini
menyebabkan vasodilatasi di sebagian besar jaringan tubuh sehingga meningkatkan
aliran darah. Kecepatan aliran darah di kulit terutama meningkat oleh karena
meningkatnya kebutuhan untuk pembuangan panas dari tubuh. Sebagai akibat
meningkatnya aliran darah, maka curah jantung juga akan meningkat, sering kali
menimgkat sampai 60% atau lebih di atas normal bila terdapat kelebihan hormon
tiroid dan turun sampai 50% dari normal pada keadaan hipotiroidisme yang sangat
berat. Frekuensi denyut jantung lebih meningkat di bawah pengaruh hormon tiroid
daripada perkiraan peningkatan curah jantung. Oleh karena itu, hormon tiroid
tampaknya mempunyai pengaruh langsung pada eksibilitas jantung. Efek ini sangat
penting sebab frekuensi denyut jantung merupakan salah satu tanda fisik yang sangat
peka. Peningkatan aktivitas enzimatik yang disebabkan oleh peningkatan produksi
hormon tiroid tampaknya juga meningkatkan kekuatan jantung bila sekresi hormon
tiroid berlebih. Keadaan ini analog dengan meningkatnya kekuatan jantung yang
terjadi pada pasien dengan demam ringan dan selama melakukan kerja fisik. Akan
tetapi, bila peningkatan hormon tiroid itu lebih nyata, maka kekuatan otot jantung
akan ditekan oleh karena timbulnya katabolisme yang berlebihan dalam jangka lama.
Setelah pemberian hormon tiroid, tekanan arteri rata-rata biasanya tetap berada
sekitar nilai normal. Karena terdapat peningkatan aliran darah melalui jaringan di
antara 2 denyut jantung, maka tekanan nadi menjadi sering meningkat, bersama
dengan kenaikan tekanan sistolik sebesar 10-15 mmHg pada hipertiroidisme dan

Universitas Sriwijaya

16
tekanan diastolik akan turun dalam jumlah yang sama (Guyton, 1995).
2.2.6.3. Efek Hormon Tiroid pada Sistem Respirasi
Peningkatan hormon tiroid akan meningkatkan kecepatan dan kedalaman pernapasan.
Peningkatan metabolisme akibat peningkatan hormon tiroid akan meningkatkan
pemakaian oksigen dan pembentukan karbondioksida yang akan mengaktifkan semua
mekanisme yang meningkatkan kecepatan dan kedalaman pernapasan (Ganong,
2003). Sebaliknya, rendahnya kadar hormon tiroid akan menyebabkan gangguan
fungsi pernapasan.
Hipotiroid dapat menyebabkan gangguan fungsi pernapasan melalui tiga
mekanisme. Mekanisme pertama adalah kegagalan pusat pernapasan dalam merespon
hipoksia dan hiperkapnia. Beberapa peneliti melaporkan sebanyak setengah dari
seluruh pasien hipotiroid mengalami peningkatan ventilasi per menit sebagai respon
terhadap peningkatan CO2 dan kurang lebih memiliki respon yang sama terhadap
turunnya O2. Mekanisme kedua adalah terjadinya kelemahan pada diafragma dan
otot-otot pernapasan sehingga terjadi hipoventilasi. Hal tersebut terjadi pada 30-40%
pasien hipotiroid (Duranti dkk, 1993). Khaleli dan Edward (1984) menemukan bahwa
hipotiroid menyebabkan demielinisasi dan fibrosis pada pasien hipotiroid, atrofi pada
serabut tipe II, dan kehilangan total massa otot skeletal. Prognosis dari disfungsi otot
pernapasan tergantung pada derajat rendahnya kadar hormon tiroid bukan lamanya
mengalami hipotiroid. Mekanisme ketiga adalah terdapatnya sindroma sleep apneu
obstruktif pada 25%-35% pasien yang mengalami hipotiroid. Patofisiologi terjadinya
sindroma tersebut kemungkinan karena faring yang menyempit akibat infiltrasi dari
mukopolisakarida dan protein. Pembengkakan yang berhubungan dengan gangguan
kontraksi otot dan relaksasi mempengaruhi aktifitas dari otot saluran nafas atas
sehingga mengalami dilatasi saat malam. Sleep apneu sentral yang terjadi dapat
disebabkan oleh respon neuromuskular dan ventilatori yang tidak baik terhadap
hipoksia, walaupun sleep apneu obstruktif biasanya predominan (Devdhar dkk,
2007).

Universitas Sriwijaya

17
Setelah pemberian hormon tiroid sebagai pengobatan, biasanya respon
pernapasan dan hiperkapnik kembali normal dalam 7-14 hari setelah pemberian
hormon. Akan tetapi, disfungsi otot pernapasan dapat menjadi permanen atau perlu
waktu berbulan-bulan untuk perbaikan (Behnia dkk, 2000).
2.2.6.4. Efek Hormon Tiroid pada Sistem Hepatal
Rendahnya kadar hormon tiroid dapat bermanifestasi sebagai gejala yang mirip
dengan penyakit liver (pseudoliver disease), seperti mialgia, rasa lelah, kram otot
dengan peningkatan kadar aminotransferase aspartat akibat miopati (Laycock dan
Pascuzzi, 1991), koma yang berhubungan dengan hiperamonemia pada koma
mixedema (Thobe dkk, 2000)

dan asites mixedema (Klein dan Levey, 1984).

Dikatakan bahwa asites yang terjadi adalah akibat gagal jantung kanan yang kronik
sebagai akibat dari terbentuknya jaringan ikat pada liver. Dari hasil biopsi liver
pasien-pasien hipotiroid ditemukan fibrosis kongestif sentral sebagai bukti dari
pendapat tersebut (Kinney dkk, 1989). Akan tetapi, beberapa penelitian lainnya
melaporkan tekanan pada jantung kanan normal dan asites serta efusi serosa di
seluruh tubuh terjadi karena kondisi hipotiroid menyebabkan meningkatnya
permeabilitas dari endotelium vaskular. Dengan pemberian hormon tiroid didapatkan
asites mixedema berkurang dalam waktu beberapa bulan (Baker dkk, 1972).
Didapatkan juga bukti hormon tiroid memiliki efek langsung pada struktur
atau fungsi liver. Pada penelitian eksperimental didapatkan kondisi hipotiroid
menyebabkan turunnya aktifitas bilirubin UDP-glucuronyltansferase sehingga
ekskresi bilirubin turun dan menyebabkan jaundice kolestatik (Van Steenbergen dkk,
1989).
2.2.6.5. Efek Hormon Tiroid pada Sistem Hematologi.
Hormon tiroid meningkatkan kandungan 2,3-difosfogliserat eritrosit sehingga
memungkinkan peningkatan disosiasi O2 hemoglobin dan meningkatkan penyediaan
O2 kepada jaringan. Pada hipertiroidisme terdapat peningkatan kebutuhan selular
akan O2 sehingga menyebabkan peningkatan produksi eritropoietin dan peningkatan
eritropoiesis. Keadaan yang sebaliknya terjadi pada hipotiroidisme (Ganong, 2005).

Universitas Sriwijaya

18
Hormon tiroid juga meregulasi hematopoesis langsung pada sumsum tulang
sehingga hipotiroid dapat menyebabkan beberapa bentuk anemia atau dapat
menyebabkan terjadinya hiperproliferasi dari progenitor eritrosit immatur. Anemia
yang biasa terjadi adalah anemia makrositik hipokrom pada derajat sedang (Horton
dkk, 1976). Selain itu, didapatkan juga penurunan ringan kadar leukosit total,
neutropenia dan trombositopenia pada pasien hipotiroid (Lima dkk, 2006).
Berhubungan dengan limfosit B, T3 telah diketahui diperlukan dalam produksi sel B
yang normal melalui kemampuannya meregulasi proliferasi sel pro-B (Foster MP
dkk, 1999; Arpin C dkk, 2000). Beberapa penelitian lainnya menunjukkan hubungan
antara kadar hormon tiroid dengan besi, vitamin B12, dan asam folat dalam tubuh.
Lebih lanjut, didapatkan suatu hipotesis mengenai pengaruh hormon tiroid pada
hematopoesis meliputi peningkatan produksi eritropoetin atau faktor hematopoetik
oleh sel-sel non-eritroid (Fandrey J dkk, 1994).
Kawa dkk (2010) pada penelitiannya menemukan kondisi hipotiroid dan
hipertiroid akan menyebabkan perubahan pada ekspresi gen reseptor tiroid dalam
progenitor hematopoetik in vivo. Data mereka menunjukkan baik hipotiroid atau
hipertiroid secara signifikan mempengaruhi potensial proliferasi dari hematopoetic
progenitor cells (HPCs). Data ini juga menunjukkan bahwa hormon tiroid
berpengaruh kuat dalam proses apoptosis pada HPCs dengan cara mempengaruhi
ekspresi dari gen pro- dan anti-apoptosis yaitu BCL-2, BCL-xl dan BAX.
Keseluruhan data ini membuktikan hormon tiroid memodulasi produksi sel di
sumsum tulang.
2.2.6.6. Efek Hormon Tiroid pada Sistem Saraf Pusat (SSP)
Kadar hormon tiroid sangat berpengaruh pada SSP. Kadar hormon yang rendah secara
klinis dapat menyebabkan defisit yang berat dan menyeluruh terhadap kerja hormon
tiroid, termasuk kalorigenesis dan konsumsi oksigen pada kebanyakan jaringan dan
organ target yang spesifik (Robert dkk, Lancet). Brain neurotrophic factor (BDNF)
adalah suatu neurotrophin yang penting untuk berbagai aspek fisiologis dan
perkembangan fungsi sistem saraf pusat (SSP). Hipotiroid yang berat pada periode

Universitas Sriwijaya

19
neonatal dapat menyebabkan gangguan pada perkembangan dan fungsi kognitif, serta
turunnya ekspresi protein dan mRNA dari BDNF pada beberapa regio otak (Lasley
dkk, 2011).
Kondisi hipotiroid memiliki beberapa efek pada otak. Kondisi ini
menyebabkan kondisi hipometabolik. Hipometabolik akan menyebabkan hipotermi
yang kemudian akan melindungi jaringan dari kerusakan akibat iskemia. Penelitian
oleh Rastogi dkk (2006) memberikan bukti hipotiroid menyebabkan jaringan saraf
lebih tidak rentan pada kondisi iskemia yang berat. Mengingat perannya pada aktifitas
metabolik selular, hormon tiroid juga mengatur perkembangan neural. SSP sangat
tergantung pada hormon tiroid untuk mempertahankan fungsi dan maturasi yang
normal. Secara spesifik terdapat suatu hubungan yang erat antara homon tiroid
dengan asetilkolin, faktor pertumbuhan sel saraf, dan fungsi hipokampus (Smith JW
dkk, 2002). Koma mixedema dapat terjadi sebagai komplikasi dari kondisi hipotiroid
yang berlangsung lama dan tidak diobati.
2.2.6.7. Efek Hormon Tiroid pada Sistem Renal
Penelitian pada hewan, hormon tiroid terlihat mempengaruhi ukuran ginjal, berat dan
strukturnya baik selama perkembangan dan saat dewasa. Penelitian di bidang
histologi menunjukkan efek hormon tiroid pada korteks dan segmen terluar medulla
tubuler, dengan mempengaruhi tubulus proksimal dan tubulus distal (Bentley AG dkk,
1985). Terjadinya mutasi pada gen yng mengkode Pax8, suatu faktor transkripsi yang
penting untuk perkembangan dan fungsi yang normal dari ginjal, pada beberapa
pasien, merupakan kaitan antara hipotiroid kongenital dengan renal dismorfogenesis
(Park SM dan Chatterjee VK, 2005).
Terdapat bukti bahwa aktivasi hormon tiroid pada sistem renin-angiotensinaldosteron tidak berhubungan dengan kondisi hemodinamik. Kobori dkk (2001) pada
penelitiannya menunjukkan aktifitas dari promotor gen renin pada sel-sel Calu-6
diaktivasi oleh hormon tiroid, melalui thyroid hormone response element-dependent
mechanism, yang meningkatkan ekspresi dari mRNA yang mengkode renin.

Universitas Sriwijaya

20
Hormon tiroid juga penting pada perkembangan fungsi tubulus pada masa
prenatal dan postnatal. Penelitian pada hewan menunjukkan efek hormon tiroid pada
maturasi, aktifitas, dan densitas dari kotransporter Na+-H+, meningkatkan Na+-H+
exchanger, dan aktifitas Na+-K+-ATPase, dan memainkan peranan pada proses
penggantian isoform Na+-H+ exchanger 8 saat masa bayi menjadi Na+-H+
exchanger 13 saat dewasa (Gattineni dkk, 2008). Hormon tiroid secara langsung
mempengaruhi ekspresi dan atau aktifitas dari ion channels dan transportertransporternya seperti yang telihat pada Tabel 1. Pada beberapa kasus, hal tersebut
terjadi melalui ikatan langsung hormon

tiroid dengan regio promotor pada gen

transporter.
Tabel 2.1 Transporter ion tubulus renal yang dipengaruhi hormon tiroid

Seperti yang telah dibahas sebelumnya terdapat pengaruh hornon tiroid pada
sistem kardiovaskuler sehingga kondisi turunnya hormon tiroid dapat menurunkan
kardiak output. Turunnya kardiak output ini akibat dari turunnya frekuensi jantung,
turunnya kekuatan otot jantung, dan naiknya tahanan vaskuler sistemik. Akibatnya,
aliran darah ke ginjal menjadi turun pada pasien-pasien hipotiroid. Pada hewan
dewasa, hipotiroid (yang diakibatkan hipotiroidektomi) menurunkan Glomerulus
Filtration Rate (GFR) masing-masing nefron, aliran plasma renal dan tekanan
hidrostatik transkapiler glomerulus (Falk SA dkk, 1991).
Beberapa laporan kasus menunjukkan meningkatnya level kreatinin serum
pada pasien-pasien dengan hipotiroid. Beberapa penelitian terbaru mengindikasikan
Universitas Sriwijaya

21
kondisi hipotiroid klinis dan subklinis umum didapatkan pada pasien-pasien dengan
GFR kurang dari 60ml/menit per 1,73m2 (Lo JC dkk, 2005). Kreatinin serum pada
kadar 6mg/dl sering berkaitan dengan hipotiroid, bahkan pada beberapa pasien
mengalami End Stage Renal Disease (ESRD), walaupun pada kebanyakan laporan
kasus level kreatinin sebesar 1,5-2,5 mg/dl. Peningkatan level kreatinin serum dapat
terjadi dalam waktu 2 minggu pada pasien dengan hipotiroid yang signifikan. Dan
kadar ini akan segera membaik setelah pemberian hormon tiroid (Kreisman SH dan
Hennessey JV, 1999).
Karanikas dkk (2004) memperlihatkan hasil scan renal dengan isotop CrEDTA pada pasien tiroidektomi dengan hipotiroid yang berat ( TSH rata-rata
70+23wIU/ml)

sebelum

dan

sesudah

pemberian

hormon

tiroid.

Hasilnya

menunjukkan turunnya kadar kreatinin serum dengan pemberian hormon tiroid


(1,30+0,44 vs 1,04+0,32 mg/dl) yang berhubungan dengan peningkatan GFR yang
terlihat dari klirens Cr-EDTA (61+18 vs 75+23 ml/menit). Pada penelitian lain
penderita dengan hipotiroid, aliran plasma renal diukur dengan klirens I-hippuran
yang meningkat dari 542,8+215,8 menjadi 717+140,6 ml/menit per 1,73 m2, dan
GFR yang dinilai dari klirens Cr-EDTA meningkat dari 99,6+32,2 menjadi
125,7+41,2 ml/menit setelah pemberian hormon tiroid. Data-data ini memastikan
bahwa perubahan kadar kreatinin serum pada pasien dengan gangguan hormon tiroid
benar-benar sesuai dengan perubahan pada GFR yang terjadi (Villabona dkk, 1999).
Gambaran keseluruhan pengaruhi hormon tiroid GFR terlihat pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Efek langsung dan tidak langsung hormon tiroid pada GFR.

Universitas Sriwijaya

22
2.2. Hipotiroid
Hipotiroid merupakan suatu sindrom klinis akibat penurunan produksi dan sekresi
hormon tiroid atau gangguan aktivitas reseptor hormon tiroid. Hipotiroid dapat
disebabkan oleh proses primer dimana jumlah produksi hormon tiroid oleh kelenjar
tiroid tidak mencukupi, dapat juga sekunder karena gangguan sekresi hormon tiroid
yang berhubungan dengan gangguan sekresi thyroid stimulating hormone (TSH) yang
adekuat dari kelenjar hipofisis atau proses tersier karena gangguan pelepasan
thyrothropin releasing hormone (TRH) dari hipotalamus (Digeorge A, 2000; Anwar
R, 2007; Susanto R dan Madarina J, 2010).
Hipotiroid sendiri dapat terjadi melalui beberapa jalur berikut (Susanto R,
Madarina J 2010):
1. Jalur 1
Agenesis tiroid dan keadaan lain yang menyebabkan sintesis dan sekresi hormon
tiroid menurun sehingga terjadi hipotiroid primer dengan peningkatan kadar TSH
tanpa adanya struma.
2. Jalur 2
Defisiensi yodium berat menyebabkan sintesis dan sekresi hormon tiroid menurun
sehingga hipofisis mensekresi TSH lebih banyak untuk memacu kelenjar tiroid
mensintesis dan mensekresi hormon tiroid sesuai kebutuhan. Akhirnya kadar TSH
meningkat dan kelenjar tiroid membesar (stadium kopensasi). Pada stadium ini kadar
TSH meningkat dan kadar hormon tiroid normal. Bila kompensasi ini gagal maka
akan terjadi stadium dekompensasi, yaitu terdapatnya struma difusa, peningkatan
kadar TSH, dan kadar hormon tiroid rendah.
3. Jalur 3
Semua hal yang terjadi pada kelenjar tiroid dapat mengganggu atau menurunkan
sintesis hormon tiroid (bahan/obat goitrogenik, tiroiditis, pascatoidektomi, pasca
terapi dengan yodium radioaktif, dan adanya kelainan enzim dalam jalur sintesis
hormon tiroid) disebut dishormogenesis sehingga terjadi hipotiroid dengan kadar
TSH tinggi, dengan atau tanpa struma tergantung penyebabnya.

Universitas Sriwijaya

23
4. Jalur 4a
Semua keadaan yang menyebabkan turunnya kadar TSH akibat kelainan hipofisis
akan mengakibatkan hipotiroid tanpa struma dengan kadar TSH rendah atau tak
terulur.
5. Jalur 4b
Semua kelainan hipotalamus yang mengakibatkan sekresi TRH menurun akan
menimbulkan hipotiroid dengan kadar TSH rendah dan tanpa struma.
Diagnosis hipotiroid dapat ditegakkan dari manifestasi klinis dan pemeriksaan
laboratorium. Tabel 2.2 mencantumkan nilai rujukan untuk kadar hormon tiroid dan
TSH.
Tabel 2.2 Nilai Rujukan Hormon Tiroid dan TSH
Hormon T4 (ng/dL)
Bayi Prematur (26-30 minggu, hari ke 3-4)
Bayi Aterm
1-3 hari
1 minggu
1-12 bulan
Prepubertas
1-3 tahun
3-10 tahun
Pubertas (11-18 tahun)
Hormon FT4 (ng/dL)
Bayi Prematur (26-30 minggu, hari ke 3-4)
Bayi Aterm
1-3 hari
1-12 bulan
Prepubertas
Pubertas
Hormon T3 (ng/dL)
Bayi Prematur (26-30 minggu, hari ke 3-4)
Bayi Aterm
1-3 hari
1 minggu
1-12 bulan
Prepubertas
Pubertas (11-18 tahun)
Hormon TSH (nU/mL)
Bayi Prematur (26-30 minggu, hari ke 3-4)
Bayi Aterm
4 hari
1-12 bulan
Prepubertas
Pubertas

2,6 14,0
8,2 19,9
6,0 15,9
6,1 14,9
6,8 13,5
5,5 12,8
4,9 13,0
0,4 2,8
2,0 4,0
0,9 2,6
0,8 2,2
0,8 2,3
24 - 132
89 - 405
91 - 300
85 - 250
119 218
80 185
0.8 - 6.9
1.3 - 1.6
0.9 - 7.7
0.6 5.5
0.5 4.8

Universitas Sriwijaya

24
Sumber: Mac Gillivray MH. Congenital Hypothyroidism. rDalam: Pescovitz OH,
Eugster EA, penyunting. Pediatric Endocrinology: Mechanism, Manifestations, and
Management. USA: Lippincott Williams & Wilkins, 2004. h. 490-507.
2.3. Batasan Penyakit Kritis
Penyakit kritis didefinisikan sebagai suatu kondisi yang menunjukkan
terjadinya gangguan fungsi pada satu atau lebih organ atau sistem organ sehingga
memerlukan bantuan untuk mempertahankan fungsi vital tubuh baik dengan alat
mekanik atau obat-obatan, seperti alat ventilasi mekanik, pemberian oksigen dengan
sungkup dengan konsentrasi >60%, dopamin dosis lebih dari 5 mcg/kg/menit,
pemberian adrenalin, diuresis kurang dari 1 ml/kg/jam, kreatinin serum lebih dari 3,4
mg/dl, dan konsentrasi trombosit kurang dari 100.000/mm3 (Suvarna dan Fande,
2009).
2.4. Aksis Hipotalamus-Hipofisis-Tiroid pada Penyakit Kritis
Oleh karena level TRH di nukleus paraventrikuler merupakan parameter yang utama
dari setpoint aksis hipotalamus-hipofisis-tiroid, maka diasumsikan hipotalamus lah
yang bertanggung jawab terhadap penghambatan regulasi setpoint pada kondisi
penyakit kritis. Indikasi yang menunjukkan terdapatnya keterlibatan hipotalamus pada
penyakit kritis adalah turunnya aliran TSH nokturnal, karena seperti yang kita tahu
bahwa kebanyakan atau bahkan semua cicardian rhytms endocrine diatur di dalam
nukleus suprakiasmatik hipotalamus (Fliers dkk, 2001).
Pada kondisi penyakit kritis, TSH serum turun dengan respon yang rendah
terhadap TRH. Penurunan ini tidak disebabkan oleh pemberian glukokortikoid
eksogen atau dopamin sebelumnya, karena pada pasien dengan sakit yang
berkepanjangan tanpa pemberian obat-obatan tersebut didapatkan level TSH berada
dalam jumlah rendah sampai normal. Bila pada anak dengan hipotiroid primer kadar
TSH meningkat tajam bahkan sebelum kadar T4 dan T3 berada di bawah nilai normal
(juga disebut sebagai hipotiroid subklinis), maka pada penyakit kritis tidak didapatkan
peningkatan TSH walaupun kadar T3 rendah. Pada pemeriksaan post mortem

Universitas Sriwijaya

25
terhadap kelenjar tiroid penderita yang meninggal akibat sakit yang berkepanjangan,
didapatkan turunnya berat dari kelenjar tiroid dan ukuran folikel yang kecil
dibandingkan dengan kondisi kelenjar tiroid penderita yang meninggal secara akut.
Selain itu, pemeriksaan post mortem terhadap ekspresi mRNA TRH di nukleus
paraventrikuler hipotalamus pada penderita penyakit kritis, dimana sampel serum
diambil pada waktu kurang dari 24 jam sebelum penderita meninggal, menunjukkan
turunnya ekspresi gen TRH. Penurunan ekspresi mRNA TRH total di nukleus
paraventrikuler secara signifikan berhubungan dengan TSH dan T3 serum, tetapi tidak
dengan T4. Seluruh penderita ini belum diterapi dengan glukokortikoid atau dopamin
sebelumnya (Fliers dkk, 2001).
Penelitian-penelitian terbaru pada hewan memberikan lebih banyak penjelasan
mengenai jalur neuroendokrin yang terlibat dalam mekanisme umpan balik hormon
tiroid pada sel-sel TRH di nukleus paraventrikuler hipotalamus. Kondisi kekurangan
makanan, sebagai model percobaan eksperimental pada hewan

untuk ESS,

menunjukkan turunnya level T3 serum dan ekspresi TRH di nukleus paraventrikuler.


Pemberian leptin pada hewan yang puasa dapat mencegah turunnya level hormon
tiroid serum akibat kekurangan makanan dan pada mRNA TRH di nukleus
paraventrikuler. Sel neuropeptida Y di nukleus arkuata mengekspresiklan reseptorreseptor leptin dan sebagai sumber utama dari neuropeptida Y yang mempersarafi selsel TRH di nukleus paraventrikuler. Sehingga, nukleus arkuata memiliki kemampuan
untuk menghambat set point dari umpan balik hormon tiroid di nukleus
paraventrikuler (Fliers dkk, 2001).
Peran nukleus arkuata dalam perubahan setting setpoint aksis HipotalamusHipofisis-Tiroid pada penderita dengan penyakit kritis dibuktikan dari penelitian
terbaru mengenai jaringan hipotiroid post mortem dari penderita yang status
endokrinnya dinilai sesaat sebelum meninggal. Pewarnaan immunositokimia dari selsel neuropeptida Y dan neuropeptida Y mRNA dengan

hibridisasi insitu

menghasilkan sinyal yang lemah di nukleus infundibular (suatu homolog nukleus


arkuata tikus percobaan pada manusia) pada pasien dengan penyakit yang
berkepanjangan dibanding pada pasien yang meninggal akibat serangan jantung yang
Universitas Sriwijaya

26
akut (Fliers dkk, 2001).
Peningkatan leptin serum telah banyak dilaporkan pada kondisi penyakit kritis
dan diketahui menurunkan ekspresi neuropeptida Y di nukleus arkuata tikus
percobaan. Bahkan, didapatkan korelasi negatif antara konsentrasi leptin serum
mRNA neuropeptida Y di hipotalamus pada pasien yang sama, yang dinilai dari
analisis gambar nukleus infundibuler. Kontras dengan kondisi pada tikus percobaan
yang kekurangan makanan, pada penyakit kritis didapatkan korelasi positif yang
signifikan antara ekspresi neuropeptida Y dengan mRNA TRH di nukleus
paraventrikuler. Sehingga disimpulkan hipotalamus memegang peranan penting pada
proses adaptasi neuroendokrin terhadap penyakit (Fliers, 2001).
2.5. Skor PELOD (Pediatric Logistic Organ Dysfunction)
Diperlukan penilaian yang objektif untuk mengetahui beratnya penyakit dan prediksi
kematian penderita yang dirawat di UPIA untuk mengetahui prognosis serta
menentukan gangguan fungsi organ utama yang menyebabkan kematian pada
penderita. Penilaian derajat berat penyakit dan prediksi kematian dilakukan dengan
menggunakan skor penilaian derajat berat penyakit.
Skor PELOD merupakan skor prognostik yang dirancang untuk pengukuran
hasil perawatan penderita penyakit kritis. Pada tahun 2003 Letuerte dkk melakukan
validasi terhadap skor PELOD pada 1806 pasien secara konsekutif di 8 UPIA
berdasarkan nilai abnormal tertinggi selama perawatan UPIA dan memperkirakan
validitas dari skor PELOD. Dari peneltian tersebut didapatkan bahwa skor PELOD
lebih bermakna secara klinis dan mampu memaksimalkan deskripsi disfungsi organ
yang terjadi pada anak dengan penyakit kritis yang dirawat di UPIA. Skor PELOD
juga memiliki hubungan yang erat dengan kematian serta dapat mendeteksi setiap
disfungsi organ bahkan pada penderita dengan angka kematian yang rendah. Pada
penelitian mereka, didapatkan rata-rata skor PELOD pada pasien yang meninggal
lebih tinggi secara bermakna (31, SD 1,2) dibanding pada pasien yang hidup (9,2, SD
0,2) (Letuerte dkk, 2003). Penelitian Thukral dkk mendapatkan adanya hubungan

Universitas Sriwijaya

27
antara mortalitas dengan skor PELOD. Pada kondisi dengan 2 organ yang mengalami
disfungsi, mortalitas terjadi sebanyak 15,7 % dan meningkat 6,3% pada tambahan
satu disfungsi organ, bahkan mencapai 100% pada kondisi 6 organ yang mengalami
disfungsi (Thukral dkk, 2007). Penggunaan skor PELOD pada pasien di UPIA RS.
Hasan Sadikin Bandung didapatkan rata-rata skor PELOD pada pasien yang hidup
adalah 13,5 (SD 8,8) dan pada yang meninggal memiliki skor PELOD 22,2 (SD 10,1)
(Metta dkk, 2006). Penelitian Honna (2009) yang menganalisis hubungan skor
PELOD dengan kemungkinan kematian yang terjadi pada penderita yang dirawat di
UPIA RS. Muhammad Hoesin Palembang, didapatkan rerata skor PELOD penderita
yang meninggal lebih tinggi dibanding rerata skor PELOD penderita yang hidup,
dengan cut off point 20,5 (Honna, 2009). Penelitian lanjutan melaporkan 4 sistem
organ yang bermakna mempengaruhi kematian yaitu sistem

neurologis, ginjal,

respirasi dan hepar. Penelitian lanjutan menunjukkan bahwa penderita dengan skor
PELOD kurang dari 20,5 diprediksi mengalami kematian pada lama perawatan
kurang dari 630 jam, sedangkan penderita dengan skor PELOD lebih dari 20,5
diprediksi mengalami kematian pada lama perawatan kurang dari 50 jam (Pratignyo
dkk, 2011).
Variabel yang dinilai pada skor PELOD meliputi 6 organ, yaitu neurologis,
kardiovaskuler, ginjal, respirasi, hematologi dan hepar. Penilaian terdiri dari: skor
koma Glasgow, reaksi pupil, denyut jantung, tekanan darah, kreatinin, rasio
PaO2/FiO2, PaCO2, ventilasi mekanik, leukosit, trombosit, aspartat transminase dan
waktu protrombin. Setiap disfungsi organ mendapat angka untuk variabel tertinggi.
Sebagai contoh, bila denyut jantung 200x/menit (angka PELOD 10) dan tekanan
darah sistolik 30 mmHg (angka PELOD 20), maka angka yang diambil adalah 20.
Nilai maksimum untuk satu organ adalah 20 dan nilai maksimum skor PELOD adalah
71 (Letuerte dkk, 2011).

Universitas Sriwijaya

28
Tabel 2.3 Skor PELOD

2.6. Hubungan antara Penyakit Kritis, Hormon Tiroid dan Skor PELOD.
Kondisi yang penyakit kritis dapat mempengaruhi aksis-aksis endokrin, dimana aksis
endokrin memiliki respon yang bermacam-macam pada kondisi penyakit akut dan
kronik. Secara teori penyakit kritis memiliki efek langsung pada aksis hipotalamushipofisis-tiroid sehingga menyebabkan turunnya kadar hormon tiroid dalam kondisi
ini. Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa hormon tiroid yang rendah
merupakan prediktor mortalitas yang independen pada pasien-pasien yang dirawat di
Unit Perawatan Intensif (UPI), sehingga menegaskan bahwa profil hormon tiroid
perlu dimasukkan dalam sistem skoring tersebut. Perubahan profil hormon tiroid pada
penyakit kritis dimulai dari kadar T3 yang rendah, yang diikuti dengan kadar T4 yang
rendah dan kemudian rendahnya kadar TSH (Fliers dkk, 2001). Dari penelitian Hari
Kumar dkk didapatkan sebanyak 61% penderita penyakit kritis dengan kadar T3 yang
rendah, 14% dengan kadar T4 yang rendah dan 7% dengan kadar TSH yang rendah.
Hasil penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa didapatkan kadar T3 yang rendah
pada penderita yang meninggal dibandingkan dengan penderita yang bertahan hidup

Universitas Sriwijaya

29
di UPI, sehingga disimpulkan bahwa kadar T3 yang rendah merupakan parameter
yang penting untuk memprediksi kematian pasien yang dirawat di UPIA (Hari Kumar
dkk, 2013).
Penyakit kritis ditandai dengan terdapatnya gangguan homeostasis tubuh,
dimana morbiditas dan mortalitas penderita penyakit kritis umumnya disebabkan oleh
gangguan fungsi organ multipel (MODS). MODS atau Multiple Organ Dysfunction
Syndrome didefinisikan sebagai suatu kondisi terdapatnya penurunan fungsi organ
pada pasien sakit berat sehingga homeostasis tidak dapat dipertahankan tanpa
intervensi. Kondisi ini dapat disebabkan oleh beberapa mekanisme yaitu kerusakan
jaringan mekanis, invasi mikroba, pelepasan endotoksin, iskemia nekrosis, dan
iskemia reperfusi (Sharma dan Eschun, 2006).
Untuk mengukur MODS pada anak maka digunakan sistem skoring. Beberapa
sistem skoring untuk menilai derajat berat penyakit dan meramalkan mortalitas pada
anak yaitu Pediatric Logistic Organ Dysfunction (PELOD), Pediatric Risk of
Mortality (PRISM) dan Pediatric Index of Mortality (PIM). Hanya skor PELOD yang
telah divalidasi dalam penelitian multisenter. Skor PELOD juga memiliki hubungan
yang erat dengan kematian serta dapat mendeteksi setiap disfungsi organ bahkan pada
penderita dengan angka kematian yang rendah (Letuerte dkk, 2003).
Penelitian Marks dkk (2009), mengenai perubahan aksis hipotalamushipofisis-tiroid pada anak yang telah dilakukan operasi jantung untuk kelainan
jantung bawaan, yang dirawat di UPIA, menunjukkan terdapatnya hubungan yang
kuat antara skor PELOD dengan TSH, total T3 (TT3), free T3 (fT3), uptake T3
(T3U), free T4 (fT4) dan rT3. Semakin besar perubahan pada hormon tiroid
berhubungan dengan lamanya rawat di rumah sakit, dimana lama rawat di UPIA dan
penggunaan alat bantu nafas mekanik (ventilator) juga meningkat. Pada penelitian ini
didapatkan, pasien akan 12 kali lebih beresiko dirawat di UPIA selama 10 hari atau
lebih bila TT3 pada saat setelah operasi kadarnya kurang dari sama dengan
0,7nmol/liter. Pasien akan 20 kali lebih beresiko dirawat di rumah sakit selama lebih
dari sama dengan 20 hari bila kadar T3U lebih atau sama dengan 0,5. Terdapatnya

Universitas Sriwijaya

30
hubungan antara hormon-hormon dari aksis hipotalamus-hipofisis-tiroid ini dengan
parameter-parameter derajat keparahan penyakit menunjukkan bahwa kemungkinan
kondisi Euthyroid Sick Syndrome (ESS) atau dikenal juga dengan sebutan Non
Thyroidal Illness Syndrome (NTIS) ini kemungkinan bukan suatu mekanisme adaptif
tubuh tetapi mungkin berhubungan dengan mortalitas dan morbiditas yang buruk.
Berdasarkan penelitian ini, secara klinis profil hormon tiroid dapat digunakan sebagai
parameter keparahan penyakit dan prediktor outcome pada populasi ini (Marks dkk,
2009).

Universitas Sriwijaya

You might also like