You are on page 1of 14

ANTIHISTAMIN

Antihistamin adalah obat yang dapat mengurangi atau menghilangkan kerja histamin dalam
tubuh melalui mekanisme penghambatan bersaing pada reseptor H-1, H-2 dan H-3. Efek
antihistamin bukan suatu reaksi antigen antibodi karena tidak dapat menetralkan atau mengubah
efek histamin yang sudah terjadi. Antihistamin pada umumnya tidak dapat mencegah produksi
histamin. Antihistamin bekerja terutama dengan menghambat secara bersaing interaksi histamin
dengan reseptor khas.
Antihistamin sebagai penghambat dapat mengurangi degranulasi sel mast yang dihasilkan dari
pemicuan imunologis oleh interaksi antigen IgE. Cromolyn dan Nedocromil diduga mempunyai
efek tersebut dan digunakan pada pengobatan asma, walaupun mekanisme molekuler yang
mendasari efek tersebut belum diketahui hingga saat ini.
Berdasarkan hambatan pada reseptor khas antihistamin dibagi menjadi tiga kelompok yaitu :
v

Antagonis H-1, terutama digunakan untuk pengobatan gejala-gejalal akibat reaksi alergi

v Antagonis H-2, digunakan untuk mengurangi sekresi asam lambung pada pengobatan
penderita pada tukak lambung
v Antagonis H-3, sampai sekarang belum digunakan untuk pengobatan, masih dalam
penelitian lebih lanjut dan kemungkinan berguna dalam pengaturan kardiovaskuler, pengobatan
alergi dan kelainan mental
Antagonis Reseptos H-1
Antagonis reseptor H-1 adalah senyawa yang secara kompetitif menghambat histamin pada
reseptor H-1 dan telah digunakan secara klinis dalam beberapa tahun. Beberapa tersedia untuk
dijual bebas, baik sebagai tunggal maupun di dalam formulasi kombinasi seperti pil flu dan pil
untuk membantu tidur.
Antagonis H-1 sering disebut antihistamin klasik atau antihistamin H-1. antagonis H-1
menghambat efek histamin dengan cara antagonisme kompetitif yang reversibel pada reseptor H1. Mereka mempunyai kemampuan yang diabaikan pada reseptor H-2 dan kecil pada reseptor H3, contohnya : induksi kontraksi yang disebabkan histamin pada otot polos bronkioler ataupun
saluran cerna dapat dihambat secara lengkap oleh agen-agen tersebut, tetapi efek pada sekresi
asam lambung dan jantung tidak termodifikasi. Antagonis H-1 dibagi menjadi agen generasi
pertama dan generasi kedua.
Antagonis H-1 generasi pertama mempunyai efek sedatif yang relatif kuat, karena agen generasi
pertama lebih mempunyai sifat menghambat reseptor autonom. Sedangkan antagonis H-1
generasi kedua kurang bersifat sedatif disebabkan distribusinya yang tidak lengkap dalam sistem
saraf pusat.

Antagonis H-1 generasi pertama mempunyai banyak efek yang tidak berhubungan dengan
penghambatan terhadap efek histamin. Sejumlah besar efek tersebut diduga dihasilkan dari
kesamaan struktur umumnya dengan struktur obat yang mempunyai efek pada kolinoseptor
muskarinik, adrenoreseptor-, serotonin dan situs reseptor anestetika lokal. Beberapa dari efek
tersebut mempunyai nilai terapeutik dan beberapa lainnya tidak dikehendaki.
Efek yang tidak disebabkan oleh penghambatan reseptor histamin :
1. Efek sedasi
Efek umum dari antagonis H-1 generasi pertama adalah efek sedasi. Tetapi intensitas efek
tersebut bervariasi. Efeknya cukup besar pada beberapa agen membuatnya sebagai bantuan tidur
dan tidak cocok digunakan di siang hari. Efek tersebut menyerupai beberapa obat
antimuskarinik.
1. Efek antimual dan antimuntah
Beberapa antagonis H-1 generasi pertama mempunyai aktivitas mampu mencegah terjadinya
motion sickness. Contoh obatnya : Doxylamine.
1. Kerja antikolinoreseptor
Banyak agen dari generasi pertama mempunyai efek seperti atropin yang bermakna pada
muskarinik perifer.
1. Kerja penghambatan adrenoreseptor
Efek penghambatan reseptor alfa dapat dibuktikan pada beberapa antagonis H-1, namun
penghambatan terhadap reseptor beta tidak terjadi. Penghambatan terhadap reseptor alfa tersebut
dapat menyebabkan hipotensi ortostatik. Contoh obatnya adalah Promethazine.
1. Kerja penghambatan serotonin
Efek penghambatan terhadap reseptor serotonin dapat dibuktikan pada agen antagonis H-1
generasi pertama. Contoh obat : Cyproheptadine.
1. Efek parkinsonisme
Hal ini karena kemampuan agen antagonis H-1 generasi pertama mempunyai efek antikolinergik.
Contoh obat antagonis H-1 generasi pertama dan mekanismenya adalah :
1. Doxylamine

Doxylamine berkompetisi dengan histamin untuk menempati reseptor histamin 1, mengeblok


kemoreseptor, mengurangi stimulasi vestibular dan menekan fungsi labyrinthine melalui
aktivitas kolinergik pusatnya.
1. Clemastine
Clemastine berkompetisi dengan histamin untuk menempati reseptor histamin 1 pada efektor di
saluran pencernaan, pembuluh darah, dan saluran pernapasan.
Antagonis histamin 1 generasi 2
Pada reaksi alergi, alergen (semacam antigen) berinteraksi dan membentuk ikatan silang dengan
permukaan dari antibodi IgE pada sel mast dan basofil. Ketika terjadi kompleks sel mast
antibodi-antigen, akan memacu terjadinya degranulasi dan pelepasan histamin (dan mediator
lainnya) dari dalam sel mast maupun basofil. Setelah dilepaskan,histamin dapat bereaksi
(menimbulkan efek) pada jaringan yang terdapat reseptor histamin.
Proses release histamin tidak terjadi secara langsung, melainkan diawali dengan transduksi
signal. Proses transduksi signal adalah proses masuknya signal ke dalam sel sehingga membuat
sel bereaksi dan menimbulkan efek. Ketika alergen masuk pertama kali ke dalam tubuh, TH-2
limfosit akan mengeluarkan IL-4, IL-4 menghasilkan signal yang merangsang B-sel (suatu sel
limfosit) untuk menghasilkan antibodi IgE. Ketika alergen menyerang untuk yang kedua kalinya,
IgE berikatan dengan alergen dan dibawa menuju sel mast. Pada sel mast kompleks IgE-alergen
akan terikat pada reseptor Fc (Epsilon-C reseptor). Ikatan ini akan menghasilkan signal ke dalam
sel yang akan mengaktifkan enzim fosfolipase. Fosfolipase akan mengubah phosphatidylinositol
4,5-bisphosphate (PIP2) menjadi inositol 1,4,5-triphosphate (IP3) yang akan memobilisasi Ca2+
dari organel penyimpan dalam sel mast. Ca2+ merupakan second messenger bagi terjadinya
kontraksi otot atau sel. Second messenger inilah yang memacu proses degranulasi sel mast
sehingga histamin akan terlepas.
Histamin bereaksi pada reseptor H-1, dapat menyebabkan pruritus (gatal-gatal), vasodilatasi,
hipotensi, wajah memerah, pusing, takikardia, bronkokonstriksi, menaikkan permeabilitas
vaskular, rasa sakit dan lain-lain. Histamin merupakan produk dekarboksilasi dari asan amino
histidin. Histamin terdapat dalam sel mast dan leukosit basofil dalam bentuk tidak aktif secara
biologik dan disimpan terikat dalam heparin dan protein basa. Histamin akan dibebaskan pada
reaksi hipersensitivitas pada rusaknya sel dan akibat senyawa kimia. Antihistamin adalah obat
yang mampu mengusir histamin secara kompetitif dari reseptornya sehingga mampu meniadakan
histamin.
Reseptor H-1 disebut juga metabotropik G-protein coupled reseptor. G-protein yang terdapat
dalam reseptor H-1 menghasilkan fosfolipase dan fosfatidylinositol. Kedua senyawa inilah yang
bertindak sebagai penunjuk jalan histamine sampai ke reseptor H-1. Pelepasan histamin dapat
diinduksi oleh produksi enzim prostaglandin sintase. Sebagai akibatnya terjadi pelepasan
histamine yang berlebihan sehingga menyebabkan vasodilatasi karena histamine menginduksi
endotel vaskuler yang menghasilkan cGMP di otot polos. cGMP inilah yang menyebabkan

vasodilatasi. Efek ini dapat dihilangkan dengan adanya antagonis histamin H-1 dimana
mekanisme kerjanya bersifat inhibitor kompetitif terhadap reseptor-reseptor histamin.
Antagonis histamin H-1 terdiri dari 3 generasi : generasi 1,generasi 2 dan generasi 3. Perbedaan
antara generasi 1 dan generasi 2 terletak pada efek samping yang ditimbulkan, generasi 1
menimbulkan efek sedatif sedangkan generasi 2 pada umumnya non sedatif karena generasi 2
pada umumnya tidak dapat menembus blood brain barrier (bersifat lipofobik dan bulky),
sehingga tidak mempengaruhi sistem saraf pusat. Selain itu, antihistamin H-1 generasi 2 bersifat
spesifik karena hanya terikat pada reseptor H-1. Beberapa obat generasi 2 dapat menghambat
pelepasan mediator histamin oleh sel mast.
Obat antihistamin H-1 generasi 2 tidak bisa digolongkan berdasarkan struktur kimianya karena
meskipun memiliki struktur kimia dasar yang sama, obat tersebut masih memiliki gugus
fungsional tambahan yang berbeda. Contoh : sterfenadine, aztemizole, nuratadine, ketotifen,
levokaloastin, mempunyai cincin piperidin tetapi tidak dapat dimasukkan dalam satu golongan
karena mempunyai gugus fungsional tambahan yang berbeda.
Efek samping antagonis histamin H-1 G2 :
-

Allergic photosensitivity, anaphylactic shock, drug rash, dermatitis

Central nervous system* somnolence / drowsiness, headache fatigue, sedation

Respiratory** dry mouth, nose and throat (cetirizine, loratadine)

Gastrointestinal** nausea, vomiting, abdominal distress (cetirizine, fexofenadine

Obat-obat antagonis histamin H-1 G2 :

Cetirizine (Zyrtex)

Cetirizine HCl merupakan antagonis reseptor H-1. Nama kimianya adalah () [2-[4-[(4chlorophenyl)phenylmethyl]-1-piperazinyl]ethoxy]acetic acid. Rumus empirisnya adalah
C12H25C4N2O3.2HCl dan Bmnya 461,82.
Cetirizine dapat menurunkan jumlah histamin dengan mengurangi jumlah produksi prostaglandin
dan menghambat migrasi basofil yang diinduksi oleh antigen. Indikasi : seasonal allergic rhinitis
(karena pollen, rumput). Perennial allergic rhinitis (karena debu, bulu binatang, dan jamur).
Chronic urticaria. Efek samping : anoreksia, tachycardia, migraine, konstipasi, dehidrasi.

Fexofenadine

Fexofenadine HCl (paten: Allegra dan Telfast) adalah suatu obat antihistamin yang digunakan
untuk pengobatan demam dan gejala alergi yang mirip lainnya. Obat ini merupakan obat
alternatif dari terfenadine yang memiliki kontra indikasi yang serius. Fexofenadine seperti
antagonis H1 generasi 2 dan 3 lainnya, tidak dapat melewati blood brain barrier dan kurang

menyebabkan efek sedative dibandingkan dengan obat generasi 1. kerja dari obat ini adalah
sebagai antagonis dari reseptor H1.
Indikasi : seasonal allergic rhinitis, chronic idiopathic urticaria.
Efek samping : dizziness, back pain, cough, stomach discomfort, pain in extremity.
Kontraindikasi : pada pasien dengan hipersensitifitas dengan fexofenadine dan beberapa aksus
lainnya yang jarang terjadi menyebabkan angiodema, sesak nafas, kemerahan pada kulit dan
anafilaksis.
Terdapat obat-obat generasi dua yang dapat mengakibatkan cardiotoxic seperti astemizole. Obat
astemizole dapat berikatan dengan potassium (K) channel, yang merupakan reglator potensial
membrane sel. Ikatan ini dapat menyebabkan terganggunya fungsi potassium channel
menyebabkan Long QT Syndrome. Long DT Syndrome merupakan perpanjangan dari QT
interval. Apabila QT interval panjang, secara otomatis ritme jantung akan menurun, disebut juga
dengan bradycardia. Bradycardia akan menyebabkan kurngnya supply oksigen dalam tubuh dan
juga penyumbatan aliran darah (heart block).
KORTIOSTEROID
Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan di bagian
korteks kelenjar adrenal sebagai tanggapan atas hormon adrenokortikotropik (ACTH) yang
dilepaskan oleh kelenjar hipofisis, atau atas angiotensin II. Hormon ini berperan pada
banyak sistem fisiologis pada tubuh, misalnya tanggapan terhadap stres, tanggapan sistem
kekebalan tubuh, dan pengaturan inflamasi, metabolisme karbohidrat, pemecahan protein,
kadar elektrolit darah, serta tingkah laku1.
Kortikosteroid dibagi menjadi 2 kelompok berdasarkan atas aktivitas biologis yang
menonjol darinya, yakni glukokortikoid (contohnya kortisol) yang berperan mengendalikan
metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein, juga bersifat anti inflamasi dengan cara
menghambat pelepasan fosfolipid, serta dapat pula menurunkan kinerja eosinofil. Kelompok
lain dari kortikosteroid adalah mineralokortikoid (contohnya aldosteron), yang berfungsi
mengatur kadar elektrolit dan air, dengan cara penahanan garam di ginjal. Beberapa

kortikosteroid menunjukkan kedua jenis aktivitas tersebut dalam beberapa derajat, dan
lainnya hanya mengeluarkan satu jenis efek.
Hormon kortikosteroid dihasilkan dari kolesterol di korteks kelenjar adrenal yang
terletak di atas ginjal. Reaksi pembentukannya dikatalisis oleh enzim golongan sitokrom
P450.
Dalam bidang farmasi, obat-obatan yang disintesis sehingga memiliki efek seperti
hormon kortikosteroid alami memiliki manfaat yang cukup penting. Deksametason dan
turunannya tergolong glukokortikoid, sedangkan prednison dan turunannya memiliki kerja
mineralokortikoid disamping kerja glukokortikoid.
2. Penggunaan Klinis
Kortikosteroid merupakan obat yang sangat banyak dan luas dipakai dalam dunia
kedokteran terutama golongan glukokortikoid. Glukokortikoid sintetik digunakan pada
pengobatan nyeri sendi, arteritis temporal, dermatitis, reaksi alergi, asma, hepatitis, systemic
lupus erythematosus, inflammatory bowel disease, serta sarcoidosis. Selain sediaan oral,
terdapat pula sediaan dalam bentuk obat luar untuk pengobatan kulit, mata, dan juga
inflammatory bowel disease. Kortikosteroid juga digunakan sebagai terapi penunjang untuk
mengobati mual, dikombinasikan dengan antagonis 5-HT3 (misalnya ondansetron)2.
Baik kortikosteroid alami maupun sintetik digunakan untuk diagnosis dan pengobatan
kelainan fungsi adrenal. Hormon ini juga sering digunakan dalam dosis lebih besar untuk
pengobatan berbagai kelainan peradangan dan imunologi.

Penggunaan glukokortikoid pada pengobatan gangguan fungsi adrenal biasanya


diberikan pada keadaan insufisiensi atau hiperfungsi dari adrenokortikal. Keadaan
insufisiensi adrenokortikal dapat berupa akut maupun kronis (penyakit Addison) yang
ditandai dengan hiperpigmentasi, lemah, kelelahan, berat badan menurun, hipotensi, dan
tidak ada kemampuan untuk memelihara kadar gula darah selama puasa. Untuk keadaan
hiperfungsi adrenokortikal misalnya terjadi pada hiperplasia adrenal kongenital, sindrom
chusing, atau aldosteronisme.
Glukokortikoid dapat pula digunakan untuk tujuan diagnostik dari sindrom chusing.
Dengan tes supresi deksametason, obat ini diberikan sejumlah 1 mg per oral pada jam 11
malam, dan sampel plasma diambil pada pagi hari. Pada individu normal, konsentrasi
kortisol biasanya kurang dari 5 g/dl, sedangkan pada sindrom chusing kadarnya biasanya
lebih besar daripada 10 g/dl. Namun hasil ini tidak dapat dipercaya pada keadaan depresi,
ansietas, penyakit, dan kondisi stress yang lain.
Selain itu, maturasi paru-paru pada janin diatur oleh sekresi kortisol janin. Ibu dengan
pengobatan glukokortikoid dalam dosis besar akan dapat menurunkan insiden sindrom
gawat nafas pada bayi yang dilahirkan secara prematur.
Kortisol dan analog sintetiknya berguna dalam pengobatan berbagai kelompok
penyakit yang tidak berhubungan dengan kelainan fungsi adrenal. Kegunaan kortikosteroid
pada kelainan ini merupakan kemampuannya untuk menekan respon peradangan dan respon
imun. Pada keadaan yang respons peradangan atau respon imunnya penting untuk
mengendalikan proses patologi, terapi dengan kortikosteroid mungkin berbahaya tetapi

dibenarkan untuk mencegah timbulnya kerusakan yang tak dapat diperbaiki akibat respon
peradangan jika digunakan bersama dengan terapi spesifik untuk proses penyakitnya2.
3. Farmakodinamik kortikosteroid
Pada waktu memasuki jaringan, glukokortikoid berdifusi atau ditranspor menembus
sel membran dan terikat pada kompleks reseptor sitoplasmik glukokortikoid heat-shock
protein kompleks. Heat shock protein dilepaskan dan kemudian kompleks hormon reseptor
ditranspor ke dalam inti, dimana akan berinteraksi dengan respon unsur respon
glukokortikoid pada berbagai gen dan protein pengatur yang lain dan merangsang atau
menghambat ekspresinya. Pada keadaan tanpa adanya hormon, protein reseptor dihambat
dari ikatannya dengan DNA; jadi hormon ini tidak menghambat kerja reseptor pada DNA.
Perbedaan kerja glukokortikoid pada berbagai jaringan dianggap dipengaruhi oleh protein
spesifik jaringan lain yang juga harus terikat pada gen untuk menimbulkan ekspresi unsur
respons glukokortikoid utama.
Selain itu, glukokortikoid mempunyai beberapa efek penghambatan umpan balik yang
terjadi terlalu cepat untuk dijelaskan oleh ekspresi gen. Efek ini mungkin diperantarai oleh
mekanisme nontranskripsi3.
4. Efek Samping Kortikosteroid
Manfaat yang diperoleh dari penggunaan glukokortikoid sangat bervariasi. Harus
dipertimbangkan dengan hati-hati pada setiap penderita terhadap banyaknya efek pada setiap
bagian organism ini. Efek utama yang tidak diinginkan dari glukokortikoidnya dan
menimbulkan gambaran klinik sindrom cushing iatrogenik.

Sindrom cushing iatrogenik disebabkan oleh pemberian glukokortikoid jangka panjang


dalam

dosis

farmakologik

untuk

alasan

yang

bervariasi.

Sindrom Cushing iatrogenic dijumpai pada penderita arthritis rheumatoid, asma, limfoma,
dan gangguan kulit umum yang menerima glukokortikoid sintetik sebagai agen anti
inflamasi.
Iatrogenic Cushings syndrome, diinduksikan dengan pemberian glukokortikoid atau
steroid lain seperti megesterol yang mengikat reseptor glukokortikoid, dibedakan oleh
penemuan fisik dari hiperfungsi adrenokortikal endogen. Perbedaan dapat dibuat,
bagaimanapun, dengan mengukur kadar kortisol urine dalam keadaan basal; pada sindrom
iatrogenik pada kadar ini merupakan rendah secara sekunder akibat penekanan dari aksis
adrenal pituari. Keparahan dari iatrogenic Cushings syndrome terkait dengan dosis steroid
total, steroid paruh hidup biologis, dan lama terapi.
Kortikosteroid

dapat

mempengaruhi

sel-sel

melalui

reseptor-reseptor

glukokortikoidnya dengan mekanisme kerja sebagai berikut: kortikosteroid berdifusi ke


dalam sel melewati membran s?l dan selanjutnya berikatan dengan reseptor. Kompleks
kortikosteroid-reseptor masuk ke dalam nukleus dalam bentuk aktif, dan akan mengikat
DNA serta meningkatkan sintesis messenger RNA (mRNA). Messenger RNA ini akan
menimbulkan sintesis protein yang baru. Protein baru ini akan menghambat fungsi sel-sel
limfoid dengan penghambatan uptake glukosa3.
Sehubungan dengan pengaruh kortikosteroid ini kita kenal dua golongan spesies yaitu
golongan yang resisten dan sensitif terhadap kortikosteroid. Spesies yang resisten terhadap
kortikosteroid adalah manusia dan kera sedangkan yang sensitif adalah tikus dan kelinci.

Apabila kortikosteroid diberikan kepada golongan resisten akan menyebabkan


limfositopeni akibat redistribusi limfosit ke luar sirkulasi darah menuju organ-organ limfoid
lainnya terutama sumsum tulang. Redistribusi ini lebih banyak mempengaruhi limfosit-T
daripada limfosit-B. Mekanisme yang mendasari terjadinya redistribusi limfosit belum
diketahui secara pasti. Secara teoritis limfositopeni dapat terjadi melalui dua mekanisme
yaitu: migrasi hebat keluar dari pembuluh darah dan blok perifer. Mekanisme blok perifer ini
ditunjang oleh penemuan bahwa aktifitas fisik pada orang normal menyebabkan limfositosis
akibat mobilisasi cadangan perifer, tetapi hal ini tidak ditemukan setelah pemberian
kortikosteroid. Limfositopeni akan mencapai puncaknya 4-6 jam setelah pemberian 20 mg
prednison intravena dan kembali ke nilai normal setelah 24 jam. Berat dan lamanya
limfositopeni tidak berbeda apabila dosis prednison ditingkatkan sampai 40 mg atau 80 mg.
Pengaruh kortikosteroid yang terpenting pada manusia adalah penghambatan
akumulasi makrofag dan netrofil di tempat radang. Selain itu kortikosteroid juga
menyebabkan berkurangnya aktifitas makrofag baik yang beredar dalam darah (monosit)
maupun yang terfiksir dalam jaringan (sel Kupffer). Pengaruh tersebut diperkirakan akibat
penghambatan kerja faktor-faktor limfokin yang dilepaskan oleh sel-T sensitif pada
makrofag, karena tempat kerja kortikosteroid diperkirakan pada membran makrofag.
Penghambatan akumulasi netrofil di tempat radang adalah akibat kerja kortikosteroid
mengurangi daya lekat netrofil pada dinding endotel pembuluh darah, bukan akibat
penghambatan kemotaksis yang hanya dapat dihambat oleh kortikosteroid pada kadar
suprafarmakologik.

Leonard melaporkan bahwa pemberian 10 mg prednison per oral pada orang sehat
sudah cukup untuk meningkatkan netrofil dan menurunkan jumlah limfosit, monosit dan
eosinofil dalam darah, sesuai dengan yang dilaporkan oleh Saavedra-Delgado dkk yang
menggunakan 3570 mg prednison per oral. Kepustakaan lain melaporkan bahwa
kortikosteroid mempunyai pengaruh yang kompleks

terhadap distribusi netrofil.

Kortikosteroid meningkatkan pelepasan netrofil muda dari sumsum tulang ke sirkulasi. Di


samping itu kortikosteroid juga meningkatkan masa paruh netrofil dalam sirkulasi.
Kombinasi kedua pengaruh ini menyebabkan terjadinya netrofilia, walaupun fungsi
bakterisidanya menurun. Hasil akhir pengaruh kortikosteroid adalah menghambat migrasi
dan akumulasi netrofil pada daerah radang. Mungkin pengaruh kortikosteroid pada
makrofag dan netrofil inilah yang menyebabkan peningkatan kejadian infeksi pada
penggunaan kortikosteroid setiap hari2.
Penggunaan kortikosteroid selang sehari telah dapat mengembalikan akumulasi
netrofil pada hari bebas pemberian obat, tetapi akumulasi makrofag pada hari tersebut masih
rendah. Hal ini menunjukkan bahwa makrofag lebih sensitif daripada netrofil terhadap
pengaruh antiinflamasi kortikosteroid. Dilaporkan pula bahwa penggunaan kortikosteroid
selang sehari tidak disertai peningkatan angka infeksi. Kortikosteroid mungkin juga
mengurangi pelepasan enzim-enzim lisosom, tetapi hanya sedikit mempengaruhi stabilitas
membran lisosom pada kadar farmakologik.
Kortikosteroid mempunyai pengaruh terhadap aktifitas biologik komplemen. Pengaruh
tersebut berupa penghambatan fiksasi C3b terhadap reseptornya pada fagosit mononuklear,
dan penghambatan pengaruh C3a, C5a dan C567 pada lekosit PMN. Pengaruh non-spesifik

ini hanya terjadi pada pemberian kortikosteroid dosis tinggi. Hal ini telah dibuktikan secara
invitro dengan pemberian metilprednisolon dosis 30 mg/kgbb. Intravena atau secara invivo
dengan hidrokortison dosis 120 mg/kgbb intravena.
Kepustakaan lain melaporkan bahwa kortikosteroid topikal juga berpengaruh terhadap
sistem imun. Pengaruh tersebut berupa atrofi kulit sehingga kulit tampak tipis, mengkilat
dan keriput seperti kertas sigaret. Hal ini dapat memperberat dan mempermudah terjadinya
infeksi oleh karena terjadi gangguan mekanisme pertahanan kulit. Beberapa efek samping
lain yang mungkin terjadi adalah diabetes melitus, osteoporosis, gangguan psikologik dan
hipertensi.
Efek samping lain yang cukup serius meliputi perkembangan ulkus peptikum dan
komplikasinya. Gambaran klinik yang menyertai kelainan lain, terutama infeksi bakteri dan
jamur, dapat diselubungi oleh kortikosteroid, dan penderita harus diawasi dengan teliti untuk
menghindari kecelakaan serius bila digunakan dosis tinggi. Beberapa penderita mengalami
miopati, yang sifatnya belum diketahui. Frekuensi terjadinya miopati lebih besar pada
penderita yang diobati dengan triamnisolon. Penggunaan obat ini maupun metilprednisolon
berhubungan dengan timbulnya mual, pusing dan penurunan berat badan pada beberapa
penderita4.
Psikosis juga dapat terjadi, terutama pada penderita yang mendapat dosis besar
kortikosteroid. Terapi jangka lama dapat menimbulkan perkembangan katarak subkapsular
posterior. Hal ini ditunjukkan dengan pemeriksaan slitlamp periodik pada penderita ini.
Biasa terjadi peningkatan tekanan intraokular, dan mungkin menyebabkan glaukoma. Juga

terjadi hipertensi intrakranial jinak. Pada dosis 45 mg/m2/hari atau lebih, dapat terjadi
retardasi pertumbuhan pada anak-anak.
Jika diberikan dalam jumlah lebih besar dari jumlah fisiologi, steroid seperti kortison
dan hidrokortison yang mempunyai efek mineralokortikoid selain efek glukokortikoid, dapat
menyebabkan retensi natrium dan cairan serta hilangnya kalium. Pada penderita dengan
fungsi kardiovaskular dan ginjal normal, hal ini dapat menimbulkan alkalosis hipokloremik
hipokalemik, dan akhirnya peningkatan tekanan darah. Pada penderita hiponatremia,
penyakit ginjal, atau penyakit hati, dapat terjadi edema. Pada penderita penyakit jantung,
tingkat retensi natrium yang sedikit saja dapat menyebabkan gagal jantung kongestif.
5. Penanganan Efek Samping Kortikosteroid
Penanganan yang disarankan untuk saat ini pada penderita yang mendapatkan efek
samping kortikosteroid adalah dengan melakukan penurunan konsumsi dosis kortikosteroid
secara perlahan-lahan (tapering off). Jika timbul diabetes, diobati dengan diet dan insulin.
Sering penderita yang resisten dengan insulin, namun jarang berkembang menjadi
ketoasidosis. Pada umumnya penderita yang diobati dengan kortikosteroid seharusnya diberi
diet protein tinggi, dan peningkatan pemberian kalium serta rendah natrium seharusnya
digunakan apabila diperlukan5.
DAFTAR PUSTAKA
1. Dorland, W.A.N. (2002). Kamus Kedokteran Dorland, 29th ed. EGC, Jakarta.
2. Katzung, B.G. (1997). Farmakologi Dasar dan Klinik. EGC, Jakarta.
3. Goodman & Gilman. (2006) The Pharmacological Basis Of Therapeutics 11th ed. McGrawHill, New York.

4. Werner, R. (2005). A massage therapists guide to Pathology. 3rd edition. Lippincott Williams
& Wilkins, Pennsylvania, USA.
5. Schwaz, M. W. (2005). Pedoman Klinis Pediatri. EGC, Jakarta.

You might also like