You are on page 1of 35

KOMPLIKASI HIPERTENSI : JANTUNG

Definisi
Komplikasi klinis jantung dari peningkatan tekanan darah yang persisten dan abnormal
berupa peningkatan massa ventrikel kiri, dengan atau tanpa dilatasi ruang, abnormalitas
atrial kiri, iskemia miokard, disfungsi sistol dan diastole ventrikel kiri, aritmia atrial dan
ventrikel, serta kematian mendadak.
Temuan Utama

Komplikasi jantung hipertensi akibat dari interaksi proses patogenik hemodinamik,


vaskuler, jantung dan neurohormonal, termasuk peningkatan tekanan dinding ventrikel
kiri, perubahan ekspresi gen miokard, disfungsi endothelial, dan aktivasi system
adrenergic serta rennin-angiotensi.

Hipertrofi ventrikel kiri (LVH), ketika telah didiagnosis berdasarkan elektrokardiografi


atau dengan ekokardiogarafi, merupakan contributor utama terhadapa komplikasi
jantung mayor.

Gagal jantung yang berkaitan dengan hipertensi memiliki ditandai dengan remodeling
ventrikel dan dapat berkembang dari disfungsi diastolik ventrikel kiri asimptomatik
hingga disfungsi sistolik simptomatik, berdasarkan derajat kontrol tekanan darah dan
luas iskemia miokard.

penyakit aterosklerosis koroner jantung disertai hipertensi meningkatkan risiko semua


kejadian kardivaskuler dan kemungkinan terjadinya sindrom koroner akut.

Aritmia dan kematian mendadak meningkat pada pasien hipertensi, terutama yang
mengalami LVH dan iskemia miokard.

Implikasi klinis

Menurunkan tekanan darah ke tingkat optimal merupakan hal utama.

Mengurangi total risiko penyakit kardiovaskuler absolute dengan menangani faktor


risiko, seperti diabetes, dislipidemia, merokok, dan kurangnya aktivitas fisik,
merupakan kompronen penting dalam pengobatab.

Regresi LVH berkaitan dengan kebanyakan agen antihipertensi (kecuali vasodilator


kerja langsung). Regresi LVH mengurangi risiko kardiovaskuler sdan atrial fibrilasi
sertai memperbaiki hasil pengobatan.

Pemilihan terapi antihipertensi yang juga cocok untuk mengobati komplikasi jantung
yang mengiringi (seperti inhibitor enzim angiotensin (ACEI) dan/atau antagonis
reseptor angitensin untuk disfungsi sistolik LV; antagonis reseptor angiotensi untuk
disfungsi diastolik LV; beta bloker untuk angina pectoris, paska infark miokard, dan
aritmia atrial atau ventrikel) merupakan hal yang esensial.

Jantung bertanggung jawab terhadap patogenesis terjadinya hipertensi, namun juga


mengalami konsekuensinya. Perubahan awal dalam hemodinamik jantung yaitu
kompensasi luas secara alami, tapi jika hipertensi pada pasien tidak diobati atau tidak
dikontrol, maka tanpa kecuali akan menyebabkan gangguan struktur dan fungsi jantung.
Secara khusus, telah diketahui dengan baik bahwa adanya hipertrofi ventrikel kiri (LVH)
merupakan ciri buruk pada hipertensi, dengan pasien yang terkena memiliki risiko kejadian
kardivaskuler yang lebih besar, termasuk mortalitasn dan morbiditas dari gagal jantung,
atrial fibrilasi, kematian mendadak, dan stroke. Memang, LVH munngkin manifestasi yang
paling terlihat dari kerusakan organ target akibat hipertensi. Bagaimanapun juga, hipertensi
adalah penyakit yang kompleks dimana beberapa faktor genetik dan demografi, penyakit
penyerta (misalnya, dia-betes dan obesitas), proses patofisiologis, dan pengaruh lingkungan
hidup berinteraksi untuk menghasilkan berbagai macam jenis kerusakan organ target.
Konsekuensi klinis utama hipertensi berasal tidak hanya dari efek peningkatan tekanan
darah tetapi juga dari patofisiologi, fungsional, dan respon struktural terjadinya hipertensi
(Tabel 41.1 )

Tabel 41.1. komplikasi jantung dari hipertensi sistemik.


PATOFISIOLOGI HYPERTENSIVE HEART DISEASE (HHD)
Adanya hipertensi meningkatkan lebih dari dua kali lipat risiko penyakit arteri koroner,
termasuk infark miokard dan kematian mendadak, dan lebih dari tiga kali meningkatkan
risiko gagal jantung kongestif. Meskipun hipertensi, penyakit arteri koroner dan gagal
jantung memiliki proses penyakit yang berbeda, penyakit ini secara klinis terkait dan
memperngaruhi satu sama lain. Sebagai contorh, hemodinamik koroner dapat terganggu,
dengan berkurangnya aliran koroner pada hipertensi. Hal ini dapat menunjukkan adanya
reduksi densitas dari resistensi arteri koroner, peningkatan rasio antara ketebalan dinding
dan lumen, kurangnya kapasitas vasodilator korone, dan meningkatnya kesulitan sistolik
untuk mengaliri koroner pada keadaan hipertrofi. Perubahan koroner ini secara langsung
berkontribusi pada terganggunya fungsi ventrikel. Bagaimanapun, pada stadium akhir
hipertensi, dapat ditandai dengan fibrosis interstitial dan remodeling struktur ruang LV,
yang juga dapat berakibat pada berkurangnya efektifitas kontraksi.
Temuan ini mendukung konsep hypertensive heart disease sebagai kesatuan yang
berbeda, yang tidak tergantung pada kaitan dengan penyakit umum lain seperti penyakit
ateromatous arteri koroner. Hypertensive heart disease didefinisikan sebagai respon jantung
terhadap beban afterload pada ventrikel kiri oleh peningkatan agresif tekanan arteri dan
resistensi perifer total akibat penyakit hipertensi vaskuler. Secara spesifik, Hypertensive

heart disease ditandai dengan adanye perubahan hemodinamik koroner, hipertrofi dan
pembesaran ventrikel kiri, fibrosis ventrikel, disfungsi diastolic, serta gagal jantung.
Hypertensive heart disease berkembang sebagai respon terhadap berbagai faktor genetic,
faktor risiko lingkungan dan mekanisme hemodinamik maupun non-hemodinamik (Gambar
41.1).

Gambar 41.1. Patofisiologi hypertensive heart disease. ANg II, angiotensinII; LVH, left
ventricular hypertrophy; SNS, sympathetic nervous system.
Karena jantung dan pembuluh merupakan komponen yang tak terpisahkan dari sistem
denyut pompa, mekanisme hemodinamik yang menyebabkan terjadinya Hypertensive heart
disease yaitu baik elemen jantung (kontraktilitas dan tekanan dinding miokard, volume

sekuncup[stroke volume]) maupun faktor vaskuler (resistensi perifer dan komplians


vaskuler), yang secara kompleks, saling terkait perubahan adaptif dan degenerative sebagai
respon terhadap peningkatan kronis beban hemodinamik rata-rata dan pulsatil (Tabel 41.2).
Meskipun beban hemodinamik merupakan dasar awal stimulus dimulainya rentetan
kejadian biologik yang menyebabkan berkembangnya Hypertensive heart disease, faktor
non-hemodinamik juga berpengaruh dan berkontribusi terhadap kaskade perubahan
molekular yang akhirnya menghasilnya buruknya remodeling struktur dan melahirkan
Hypertensive heart disease. Faktor non-hemodinamik ini termasuk umur, ras, kontribusi
genetic, kegemukan, intake garam, resistensi insulin, dan sejumlah faktor neuroendokrin
(seperti angitensinII, aldosteron, tonus simpatis, endotelin) serta faktor hemoreulogik
(kekentalan darah, volume plasma). Abnormalitas satu atau lebih faktor ini dapat
mendahului berkembangnya kelanjutan klinis hipertensi, namun dapat bekerja secara
pathogenesis pada tahap preklinis hipertensi sistemik.

Table 41.2. Proses pathogenesis yang mendasar kerusakan jantung akibat hipertensi
sistemik
Memang, meskipun pembuluh darah terkena tekanan tinggi, komplikasi hipertensi
(misalnya infark miokard dan strok) secara paradoksal trombotik dibanding hemoragik;
inilah yang disebut paradox trombotik hipertensi atau paradox Birmingham. Tentu saja,

abnormalitas hemostasis, platelet, dan kerusakan/disfungsi endothelial yang juga ada pada
hipertensi, berkontribusi terhadap tahap protrombotik atau hiperkoagulasi. Abnormalitas ini
juga berkaitan dengan kerusakan organ target hipertensif, termasuk LVH; lebih lanjut lagi,
hal ini dapat dapat ditangani secara baik dengan pengobatan antihipertensi.
Rentetan kejadian yang berkembang dari faktor-faktor hemodinamik dan non-hemodinamik
ini menjadi Hypertensive heart disease hanya permulaan dari yang akan dijelaskan. Baik
miosit (jantung dan vaskuler) maupun non-miosit (fibroblast) merupakan sensor langsung
biomekanik dari beban hemodinamik. Aktivasi mereka menghasilkan serangkaian sinyal
seluler dan subseluler yang meregulasi ekspresi proto-onkogen dan gen lain yang mengatur
pertumbuhan sel, apoptosis, fenotip dan pergantian matriks. Pada Hypertensive heart
disease, homogenitas jaringan memberikan jalan kepada heterogenitas dan disproporsi yang
melibatkan sel non-kardiomiosit, menyebabkan buruknya remodeling struktur miokard dan
jaringan vaskuler. Perubahan pada struktur jaringan ini bertanggungjawab terhadap
patologis LVH dan penebalan medial arteri dan arteriol koroner intramural Hypertensive
heart disease dan berkontribusi pada perluasan risiko kejadian kardiovaskuler buruk,
termasuk infark miokard, disfungsi diastole dan/atau sistolik, serta aritmia.
KOMPLIKASI JANTUNG PADA HIPERTENSI : HIPERTROFI VENTRIKEL KIRI
Data epidemiologi menunjukkan risiko kardiovaskuler dan serebrovaskuler meningkat
dengan meningkatnya tekanan darah, dengan hubungan dosis-respon (lihat bab 39).
Meskipun LVH, gagal jantung, penyakit koroner, dan aritmia jantung terjadi pada pasien
non-hipertensi, jika kondisi ini disertai dengan tekanan darah tinggi maka mereka berkaitan
dengan risiko kerusakan organ target yang lebih besar, peningkatan risiko kejadian jantung
nonfatal, kematian kardivaskuler premature, serta memburuknya prognosis menyeluruh.
Penurunan kecil tekanan darah tidaklah adekuat, dan berfokus pada modifikasi berbagai
faktor risiko dan pengurangan risiko penyakit kardiovaskuler mungkin diperlukan.
Meskipun LVH dapat didefinisikan sebagai peningkatan massa ventrikel kiri, yang diukur
secara quantitas dari berat ventrikel kiri post-mortem, dari kriteria elktrokardiografi (EKG),
atau oleh ekokardiografi, hal ini masih kompleks dengan berbagai variabilitas terhadap

ukur ventrikel kiri pada populasi dewasa normal. Massa LVH sangat berkaitan erat terhadap
ukuran tubuh, dengan komponen berdasarkan massa tubuh dan obesitas. Kriteria LVH
berdasarkan nilai indeks tinggi, berat badan atau permukaan area tubuh.
Batas atas massa ventrikel kiri normal diindek ke area permukaan tubuh, diperkirakan
menggunakan ekokardiografi M-Mode subjek sehat populasi Framingham Heart Study
yaitu 131 g/m2 pada laki-laki dan 100g/m2 pada perempuan (Tabel 41.3). menggunakan
kriteria ini, LVH didapatkan pada 12% laki-laki dan 14% perempuan pada penelitian
Framingham. Pada dewasa dengan normotensi, LVH secara langsung berkaitan dengan
risiko berkembangnya hipertensi, meningkatakn prosbilitas bahwa LVH juga dapat terlibat
pada berkembangnya hipertensi.

Tabel 41.3. Kriteria Ekokardigrafi untuk batas atas massa ventrikel kiri.
Peningkatan tekanan darah secara besar meningkatkan risiko mengalami LVH; terdapat
peningkatan 43% terhadap risiko relative memiliki LVH pada laki-laki dan 25% pada
wanita untuk setiap 20 mmHg peningkatan tekanan sistolik. Prevalensi LVH sebagai bentuk
sekunder dari hipertensi terkait dengan penyakit renovaskuler atau endokrinologi serupa
dengan hipertensi essensial.
Prognosis implikasi LVH

Hipertrofi ventrikel kiri yang ditentukan dengan EKG atau dengan ekokardiografi
merupakan faktor risiko yang kuat dan independen terhadap morbiditas dan mortalitas
vaskuler pada populasi umum, pasien hipertensi dan pasien dengan penyakit arteri koroner.
Ekokardiografi

LVH

memprediksi

peningkatan

risiko

morbiditas

dan

kematian

kardiovaskuler, bahkan setelah penyesuasian dengan faktor risiko mayor lainnya (umur,
tekanan darah, diabetes, obesitas, profil kolesterol, dan bukti elektrokardiografi LVH). LVH
secara signifikan meningkatkan risiko penyakit arteri koroner, gagal jantung kongestif,
kejadian serebrovaskuler, aritmia ventrikel, dan kematian mendadak. LVH ini
meningkatkan risiko relatif mortalitas dua kali lipat pada individu dengan penyakit arteri
koroner dan empat kali lipat pasien dengan arteri koroner epikardium normal. Dalam
keadaan lain, dimana individu sehat yang diketahui memiliki LVH dengan massa LV lebih
dari 143 g/m pada laki-laki dan lebih dari 102 g/m pada perempuan, diamati selama 4
tahun, risiko relatif berkembangnya penyakit kardiovaskuler 1.49 pada laki-laki dan 1.57
pada perempuan setiap peningkatan massa LV 50 g/m. Meskipun EKG kurang sensitif
dalam mengukur LVH, adanya gambaran LVH pada pemeriksaan meningkatkan risiko
penyakit kardiovaskuler dari tiga hingga tujuh kali lipat tergantung pada umur dan jenis
kelamin pasien.
Telah ditemukan bahwa pola geometri ventrikel kiri berkaitan dengan risiko morbiditas dan
mortalitas kardiovaskuler. Empat pola geometri LV yang berbeda telah diidentifikasi :
geometri LV normal, remodelling konsentrik, LVH eksentrik, dan LVH konsentrik. Studi
longitudinal menunjukkan risiko penyakit kardiovaskuler tertinggi terdapat pada pasien
dengan geometri konsentrik. Namun, harus dicatat bahwa massa LV cenderung lebih besar
pada LVH konsentrik. Karenany, impak prognosis geometri LV dapat berkurang atau
ditiadakan karena nilai prognosis yang berlebihan dari massa LV itu sendiri.
Patofisiologi
Genetik dan non-genetik yang mempengaruhi faktor hemodinamik dan non-hemodinamik
dan menyebabkan stimulasi intraseluler sintesis protein dapat juga mempengaruhi
berkembangnya LVH (lihat Gambar 41.1). terdapat beberapa bukti yang mendukung

pengaruh genetik terhadap berkembangnya LVH. Ravogli dkk menemukan adanya


peningkatan massa LV pada pasien normotensi dari keturunan orang tua hipertensi.
Penelitian lain mendokumentasikan faktor genetik yang melibatkan studi pada pasien
kembar dan studi ras yang membandingkan pasien warna kulit putih dan warna kulit hitam
dengan hipertensi. Keturunan Afrika Amerika telah diketahui memiliki faktor risiko
independen untuk LVH. Akhir ini, sejumlah gen kandidat telah dipelajari, termasuk
polimorfisme penyisipan/pengahpusan gen angiotensyn-converting enzyme (ACE) dan gen
sisntesis aldosteron.
Baik tekanan maupun volume berimplikasi pada berkembangnya LVH. Singkatnya, tekanan
darah diastolik lebih berkaitan dengan ketebalan dinding LV, dan bertanggung jawab
terhadap beban tekanan murni, sedangkan tekanan darah sistolik lebih berkaitan dengan
massa LV. Berkurangnya komplians arteri pada hipertensi juga akan meningkatan beban
pulsasi, dan lebih lanjut lagi menstimulus terjadinya LVH. Beberapa penelitian crosssectional telah menemukan bahwa peningkatan variabilitas tekanan darah lebih berkorelasi
dengan adanya LVH. Faktor risiko non-hemodinamik yang berpengaruh terhadap
berkembangnya LVH termasuk faktor trofik dari system rennin-angiotensin-aldosteron,
tonus simpatis, dan insulin. Angiotensin II memacu pertumbuhan miosit, dan aldosteron
meningkatkan konten kolagen serta menstimulasi terjadinya fibrosis miokard. Insulin
memiliki efek trofik, dan LVH hipertensi sering berkaitan dengan kadar insulin yang tinggi
dan resistensi insulin. Obesitas, yang berhubungna dengan peningkatan volume plasma dan
curah jantung, juga menentukan massa LV.
Sebagai respon terhadap beban berlebih hemodinamik dan peningkatan tekanan dinding
sitolik, faktor pertumbuhan spesifik hipertensi terproduksi dan teraktivasi. Baik miosit
maupun non-miosit (vaskuler dan fibroblast) berespon sebagai sensor langsung biomekanik
beban hemodinamik. Transduksi sinyal biomekanik yang diamati pada model hewan
menunjukkan seringkali tranduksi ini disertai dengan terlibatnya neurohormon G Proteincoupled, aktivasi yang memperkuat sinyal pertumbuhan yang dipicu oleh kejadian mekanik
itu sendiri. Tabel 41.4 menunjukkan beberapa stimulus hipertrofi ventrikel yang telah

diidentifikasi baik yang berasal dari neuroendokrin (misalnya katekolamin) atau yang
disintesis di dilepaskan secara lokal oleh miosit dan non-miosit (misalnya angiotensin II).
Jalur sinyal yang bertanggung jawah terhadap pertumbuhan hipertrofi telah secara aktif
dipelajari, dan tampaknya fosforilasi dan defosforilasi protein reversible juga terlibat. Tiga
jalur sinyal yang menunjukkan potensi repon regulasi : proteinkinase C, kaskade mitogenactivated proteinkinase, dan kalsineurin. Tekanan oksidatif juga berkontribusi pada LVH.

Tabel 41.4. stimulus dan sinyal hipertrofi miosit ventrikel


Disamping hipertrofi miosit, juga terjadi pertumbuhan non-miosit pada LVH yang
menyebabkan buruknya remodelling struktur miokardium dan vaskuler. Akumulasi
berlebihan pada interstitial dan perivaskular dari kolagen tipe I dan tipe III telah ditemukan
pada jantung hipertensi. Hal ini menunjukkan bahwa bukan kuantitas namun kualitas
miokard yang membedakan LVH pada hipertensi dan LVH adaptif pada atlit. Homogenitas
struktur jaringan jantung diatur oleh keseimbangan antara sinya stimulator dan inhibitor

yang meregulasi sel pertumbuhan, apoptosis, fenotip, dan pergantian matriks (Gambar
41.2). stimulator normalnya diseimbangkan dengan inhibitor (lihat Gambar 41.2).
hilangnya regulasi ini bertanggung jawab atas terjadinya remodelling jaringan ikat pada
LVH.

Gambar 41.2. Remodeling jantung pada hypertensive heart disease. Homogenitas struktur
miokard terselamatkan dengan keseimbangan anatara stimulator dan inhibitor yang masingmasing meregulasi pertumbuhan dan kematian sel (atau apoptosis) dan pergantian kolagen
fibroblast (dan/atau sel fenotip). Pada hypertensive heart disease, buruknya remodeling
struktur berkaitan dengan keseimbangan persamaan ini dimana terjadi peningkatan absolute
stimulator atau peningkatan relatif akbiat kurangnya inhibitor. ALDO, aldosteron; ANG II,
angiotensin II; ET-1, ednothelin I; NO, nitri oksida; PG, prostaglandin; TGF, transforming
growth factor.
Mekanisme dimana LVH berkaitan dengan peningkatan risiko sekuel kardiovaskuler belum
secara penuh dipahami. Berkembangnya LVH yang berkaitan dengan fibrosis miokard dan
disusul disfungsi diastolik, merupakan faktor penting dalam evolusi gagal jantung
kongestif. Berkurangnya cadangan koroner pada LVH meningkatkan risiko iskemia
miokard --yang dapat berpotensi menjadi aritmia letal-- dan kemungkinan mengalami
infark miokard. Peningkatan fibrosis miokard dapat menyebabkan terganggunya
repolarisasi miokard, yang secara potensial menimbulkan aritmia malignan dan selanjutnya

kematian mendadak. Akhir ini, lebih banyak abnormalitas protrombotik ditemukan


memiliki kaitan dengan LVH, yang berkontribusi terhadap peningkatan risiko komplikasi
thrombosis.
Gambaran Klinis dan Diagnosis
Hipertrofi patologik dapat memiliki gejala yang tidak terlihat selama bertahun-tahun
sebelum berkembang menjadi gagal jantung kongestif atau kematian mendadak yang tidak
terduga. Sehingga, dalam praktik klinis kontemporer, diagnosis bergantung pada
pengukuran pemeriksaan EKG atau ekokardiografi. Walaupun demikian, pemeriksaan
klinis mungkin memberikan beberapa petunjuk. Pulsasi lateral pada garis medioklavikula
merupakan tanda sensitif namun tidak spesifik. Diameter apeks lebih dari 2 cm
menunjukkan adanya pembesaran LV; jika diameter lebih dari 3 cm pada posisi kubitus kiri,
ini menjadi tanda yang akurat. Foto x-ray thoraks bernilai terbatas dalam menentukan LVH,
meskipun hasil yang ada dapat menunjukkan kontur jantung namun tidak spesifik
menggambarkan kondisi jantung.
EKG merupakan prosedur yang selalu tersedia dan alat diagnostik yang spesifik.
Gelombang P negative pada sadapan prekordial menunjukkan peningkatan beban atrium
kiri. Amplitude QRS yang besar dengan S yang dalam pada sadapan anterior dan R yang
tinggi pada sadapan lateral menunjukkan pembesaran diameter LV; waktu aktivasi ventrikel
yang memanjang seperti kompleks QRS yang lebar, dan perubahan ST-T menunjukkan
terganggunya depolarisasi dan repolarisasi miokard sebagai akibat dari penebalan dinding.
Lebih lanjut lagi, hal ini menandai adanya hemiblok anterolateral pada pasien hipertensi
sebagai

petunjuk

LVH.

Kombinasi

beragam

dari

kriteria

ini

diajukan

untuk

mengidentifikasi LVH dengan EKG. Namun bagaimanapun, ulasan sistematik terbaru yang

melibatkan 21 penelitian ( n

1
4

5608 pasien) oleh Pewsner dkk yang menilai akurasi

EKG untuk skrining pasien hipertensi, menandai rendahnya sensitivitas EKG dalam
mendeteksi LVH jika dibandingkan dengan ekokardiogram.

Ekokardiogram dapat memberikan pengukuran yang akurat dari septum intraventrikular,


ketebalan dinding posterior LV, dan diameter LV pada diastole. Ekokardiografi dalam
menentukan LVH ditandai dengan spesifitas (80% atau lebih) dan sensitivitas (80% atau
lebih) yang tinggi. Sebagai tambahan, ekokardiografi dapat menunjukkan adanya penyebab
lain dari LVH (misalnya penyakit katup, kardiomiopati hipertrofi) dan dapat
memberikaninformasi eksistensi pola geometri LV yang berbeda, fungsi sistolik dan
diastolik, serta kemungkinan untuk mendeteksi deposisi kolagen pada LVH. Pencitraan
jaringan Doppler secara meningkat digunakanuntuk menilai fungsi ventrikel global pada
sistol dan diastole.
Teknik tiga dimensi baru untuk pencitraan jantung antara lain magnetic resonance imaging
(MRI), teknik computed-tomography (CT) yang lebih maju, dan ekokardiografi tiga
dimensi. Semua teknik ini dapat mengukur massa miokar lebih akurat dibanding teknik
ekokardiografi konvensional sehingga menawarkan lebih banyak manfaat. Namun
bagaimanapun, peran mereka dalam penilaian klinis rutin untuk pasien hipertensi belum
ditetapkan.
Manajemen
Karena LVH merupakan faktor risiko independen yang penting dalam hipertensi, timbul
pendapat umum bahwa akan bermanfaat jika LVH dicegah dan diregresi. Regresi berkaitan
dengan manfaat potensial dalam memperbaiki kerja jantung dan pengisian diastolik,
memperluas tersedianya aliran koroner, dan menurunkan aritmia ventrikel. Banyak
penelitian yang melaporkan berkurangnya massa dan ketebalan dinding LV dari hasil
pengobatan antihipertensi. Reduksi tekanan darah dengan semua kelas agen antihipertensi,
kecuali vasodilator murni seperti minoksidil dan hidralazin, mengurangi terjadinya LVH.
Pada follow-up jangka panjang, insidens kumulatif dari kejadian kardiovaskuler secara
signifikan lebih besar pada pasien hipertensi yang diobati tanpa adanya regresi LVH
dibandningkan dengan pasien yang mengalami regresi yang signifikan.
Beberapat meta-analisis menunjukkan bahwa agen hipertensi tertentu lebih efektif
dibanding agen lainnya dalam mendorong regresi LVH. Analisis ini berkomplikasi dengan

tidak terlepasnya variabel demografi, biologik atau farmakologik, karena penelitianpenelitian pada analisa ini melibatkan ketidaksamaan jenis kelamin, ras, dan umur pasien,
jumlah yang diobati pada periode yang berbeda, dosis yang berbeda dan dengan perbedaan
kombinasi pada kelas terapi yang sama (yang mungkin memiliki kerja fisiologik,
farmakodinamik dan farmakokinetik yang tidak sama), serta riwayat pengobatan yang
berbeda. Bagaimanapun juga, perlu dicatat bahwa meskipun terdapat beberapa uji
intervensi yang membandingkan efek satu agen hipertensi pada LVH, kebanyak dari uji ini
menjadi uji perbandingan kombinasi terapi, karena kebanyakan pasien membutuhkan
pengobatan lebih dari satu macam.
Terdapat peningkatan bukti perbaikan prognosis berkaitan dengan regresi LVH.
Kebanyakan dari bukti ini berasal dari penelitian STUDY. Penelitian The Losartan
Intervention for Endpoint Reduction in Hypertension (LIFE) merupakan uji acak kelompok
paralel double-blind pada pasien dengan hipertensi esensial dan bukti EKG adanya

LVH,yang secara acak membagi pengobatan dengan dasar losartan (n

dengan dasar atenolol (n

1
4

4605) atau

1
4 4588) (Gambar 41.3). komposit poin akhir primer (mortalitas

kardiovaskuler, strok, dan infark miokard) lebih baik pada losartan [11% angka kejadian,
dibanding 13% pada atenolol; rasio risiko, 0.87 (95% confidence interval [CI], 0.77-0.98; P
1
4 021)] dan menyebabkan reduksi 25% terhadap strok dengan losartan [5%, dibanding
dengan atenolol, 7%; rasio risiko, 0.75 (95% CI, 0.63-0.89; P < 0.001)]. Angka infark
miokard, mortalitas kardiovaskuler, perawatan rumah sakit karena gagal jantung, dan
revaskularisasi tidak secara signifikan berbeda diantara kedua kelompok pengobatan ini.
Sebagai tambahan, terdapat reduksi 25% pada kasus-kasus diabetes baru pada pasien yang
diobati dengan losartan dibanding dengan yang diobati dengan atenolol. Bahkan diantara

pasien risiko rendah pada penelitian LIFE --yaitu pasien tanpa penyakit vaskuler atau
diabetesterdapat reduksi 18% terhadap poin akhir primer pada pasien yang mendapatkan
losartan. Analisis lanjutan dari penelitian LIFE menunjukkan adanya regresi LVH yang
lebih besar dengan pengobatan losartan, disertai kejadian kardiovaskuler, stroke, dan atrial
fibrilasi baru yang lebih sedikit, serta berkurangnya perawatan dirumah sakit karena gagal
jantung.

Gambar 41.3. Uji coba TRIAL. Perbandingan efek losartan dan atenolol pada strok (A)
dan infark miokard (B)
Pada naskah penelitian LIFE mengenai subkelompok diabetes (n

1
4

1195, dari 585 yang

diobati dengan losartan), pasien yang diobati dengan losartan menunjukkan reduksi

mortalitas total sebesar 39% (P

akhir komposit primer 24% (P

1
4 0.002), mortalitas total 37% (P
1
4

1
4

0.028) dan poin

0.031). namun bagaimana pun, diabetes dapat

mempengaruhi LVH, menyebabkan kurangnya regresi.


GAGAL JANTUNG DAN HIPERTENSI
Penelitian epidemiologi, seperti Framingham Heart Study, mengatakan bahwa hipertensi
merupakan faktor etiologi yang paling umum untuk gagal jantung kongestif, hadir pada
50% kasus. Walaupun demikian, penelitian kontemporer menunjukkan penyakit jantung
iskemik saat ini merupakan penyebab paling umum, terutama setelah pengobatan infark
miokard membaik, menghasilkan lebih banyak angka keselamatan. Lebih lanjut lagi,
hipertensi itu sendiri menyebabkan gagal jantung karena penyakit arteri koroner dan aritmia
yang mendasari, seperti atrial fibrilasi, sebagai tambahan disfungsi diastolik.
Muncul pemahaman peran hipertensi pada gagal jantung yaitu mungkin memang akibat
dari perubahan tekanan darah pada gambaran klinis, dari gagal jantung itu sendiri atau dari
penyakit arteri koroner. Sesungguhnya, tekanan darah tidak dapat lebih lama meningkat
pada gambaran klini gagal jantung, karena gangguan fungsi pompa LV atau karena
berkurangnya tekanan darah setelah kejadian koroner yang tumpang tindih namun tidak
disadari.
Tidak seperti gagal jantung yang disebabkanoleh penyakit arteri koroner, diaman gagal
jantung berkembang setelah sebuah kejadian (iskemia atau infark miokad) yang merusak

otot jantung, disfungsi LV pada pasien hipertensidapat berkembang secara perlahan melalui
beberapa tahap fungsional dan morfologik (Gambar 41.4) :

Disfungsi diastolic LV dengan remodelling konsentrik

Disfungsi sistolik LV asimptomatik dengan LVH konsentrik

Dilatasi LV asimptomatik dengan eksentrik LVH; dan

Disfungsi sistolik LV simptomatik dengan LVH eksentrik dan dilatasi yang lebih
besar.

Gambar 41.4. Progresi morfologi LV pada gagal jantung. LVD, left ventricular
dysfunction; LVH, left ventricular hypertrophy.
Patofisiologi
Disfungsi Diastolik
Pada LVH hipertensi, ventrikel tidak dapat relaksasi secara normal pada saat diastole.
Sehingga, untuk menghasilkan peningkatan yang perlu dalam input ventrikel, terutama saat
bekerja, terdapat peningkatan tekanan atrium kiri dibanding reduksi normal tekanan
ventrikel, yang menimbulkan efek isap suction effect. Hal ini akan menimbulkan
peningkatan tekanan kapiler pulmoner yang cukup untuk menginduksi kongesti pulmoner.
Disfungsi diastole dan peningkatan tekanan atrium juga dapat menyebabkan fibrilasi atrial,
dan pada ventrikel hipertroi yang bergantung pada sistol atrium, hilangnya transport atrium
akan menghasilkan reduksi signifikan volume sekuncup dan edema pulmoner. Iskemia
subendokardial yang diinduksi oleh latihan juga dapat menghasilkan gangguan
berlebihan dari relaksasi diastolic pada miokard hipertrofi.

pada pasien hipertensi, abnormalitas diastolik merupakan manifestasi yang paling sering
dan paling awal dari difungsi ventrikel. Abnormalitas relaksasi dan komplians diastolik LV
biasanya terjadi bahkan sebelum adanya bukti disfungsi sistolik, paling sering terjadi
sehubungan dengan LVH, meskipun sindrom ini juga dapat muncul bahkan tanpa LVH.
Disfungsi diastolik seringkali secara klinis tidak terlihat dan hanya dapat disadari selama
deteksi ekokardiografi LVH (Gambar 41.5) atau sebagai bagian evaluasi fungsi ventrikel.
Memang, disfungsi diastolik mungkin satu-satunya banormalitas hemodinamik ventrikel
yang terdeteksi pada hamper 40% pasien dengan gejala dan tanda klinis gagal jantung.
Prevalensi menyeluruh dari fungsi sistolik normal pasien dengan gejala gagal jantung
kongestif berkisar dari 11% hingga 83% pada pasien hipertensi dan dari 5% hingga 67%
pada pasien penyakit arteri koroner (lihat Bab 73).

Gambar 41.5. kurva tekanan-volume disfungsi diastolik dan sistolik.


Hipertensi dapat menyebabkan perubahan pada penentu mayor fungsi diastolik, relaksasi
dan komplians ventrikel. Dibanding menjadi fenomena pasif, relaksasi ventrikel lebih aktif,
sebuah proses yang membutuhkan energy yang timbul pada onset diastole ventrikel keteka
tekanan atrium melebihi tekanan ventrikel. Relaksasi ventrikel juga sensitif kondisi
pembebanan, iskemia, ketersediaan ATP, ketersediaan kalsium sitosolik, dan perubahan

pada kalsium yang diatur oleh reticulum sarkoplasmik. Komplians ventrikel kiri, dan
penentunya termasuk peningkatan ketebalan dinding LV, peningkatan kekakuan ruang, dan
peningkatan konten kolagen jantung. Komplians arteri abnormal dapat secara potensial
berkontribuso terhadap berkembangnya disfungsi diastolik pada penyakit hypertensive
heart disease.
Secara klinis, disfungsi diastolik dapat terlihat dengan semua gejala dan tanda tipikal gagal
jantung kongestif. Meskipun gejala gagal jantung dapat tereksaserbasi dengan iskemia dan
aritmia, terdapat bukti bahwa hipertensi dapat mengeksaserbasi disfungsi diastolik dan
edema pulmoner. Dengan mempelajari pasien yang dirawat akibat edema pulmoner
hipertensif, Gandhi dkk mendapatkan efek akut dramatis dari elevasi akut tekanan darah
sistolik dalam mengurangi kerja diastolik. Pasien ini tidak memiliki disfungsi sistolik LV
transient. Penelitian ini menentukan peran hipertensi dalam menghasilkan dan
mengeksaserbasi disfungsi diastolik.
Disfungsi sistolik LV asimptomatik.
Penurunan fungsi sistolik LV merupakan faktor risiko paling potensial terhadap
berkembangynya gagal jantung kongestif, dan pada pasien hipertensi hal ini dapat terjadi
sekunder dari penyakit arteri koroner. Fungsi sistolik LV juga sebuah faktor risiko untuk
hypertensive heart disease stadium akhir. Reduksi kerja sistolik LV memprediksi dilatasi
progresif jantung dan penanda prognosis yang buruk. Jika dibiarkan tidak ditangani, walau
dengan penurunan minimal fungsi sitolik dapat menjadi gagal jantung simptomatik. Pada
pasien hipertensi, penilaian akurat fungsi ventrikel menjadi hal yang esesnsial, bahkan
tanpa adanya gejala, terapi agresif merupakan hal yang sangat penting.
Pasien asimptomatik dengan fungsi sistolik LV abnormal, progresi dilatasi ventrikel lebih
lambat dan kejadian klini seperti kematian jarang terjadi. Walaupun demikian, pasien
disfungsi sitolik asimptomatik, angka survival 2 tahun secara signifikan berkurang (15%
hingga 18%), dibanding pada pasien dengan fungsi sistolik yang normal.

Dilatasi Ventrikel Kiri Asimptomatik


Dilatasi ventrikel kiri merupakan sebuah precursor gagal jantung dan sebuah indikasi
peningkatan risiko kejadian jantung mayor serta kematian. Pada pasien hipertensi, adanya
LVH dapat mengurangi tekanan dinding LV. Adanya dilatasi ventrikel pada pasien
hipertensi dengan LVH, bahkan jika asimptomatik, merupakan pertanda buruk, yang
mengindikasikan bahwa LVH tidak dapat lagi dipertahankan dengan tekanan dinding yang
normal. Dapat dihipotesiskan bahwa, dengan hilangnya fungsi mekanik yang ditandai
dengan LVH, dilatasi ventrikel adalah tahap respon kompensasi selanjutnya (berdasarkan
mekanisme Frank-Starling), yang diupayakan untuk mengembalikan fungsi sistolik
ventrikel normal.
Gagal Jantung Simptomatik
Transisi dari gagal jantung asimptomatik menjadi simptomatik disertai dengan detorasi
lanjut fungsi sistolik LV, peningkatan aktivasi mekanisme kompensasi, dan progress yang
lebih cepat terhadap jalur dekompensasi jantung, mengakibatkan hilangnya kemampuan
jantung untuk mengantarkan cukup oksigen yang memungkinkan jaringan berfungsi
optimal. Pada pasien hipertensi, tidak jelas apakah peningkatan induksi neurohormon pada
resistensi vaskuler perifer yang awalnya melebihi ambang afterload dan menyebabkan
penurunan kapasitas pompa jantung, atau apakah faktor-faktor yang menyebabkan
peningkatan resistensi perifer yang juga mendorong efek parallel independen pada jantung,
menghasilkan remodelling LV, disfungsi mikrovaskuler, dan penurunan kapasitas pompa.
Mekanisme-mekanisme

kompensasi

(misalnya

aktivasi

system

rennin-angiotensi-

aldosteron, katekolamin, sitokin, dan system vasodilator molekuler) menjadi lebih


maladaptif, dengan retensi cairan, vasokonstriks, dilatasi jantung progresi dan gangguan
lebih lanjut. Hipertrofi miosit, disfungso kontraktil seluler, apoptosis, perubahan komposisi
kolagen, matriks ekstraseluler, dan ruang geometry memiliki efek merusak jangka panjang
terhadap keseimbangan energy dan fungsi kontraktil jantung

Gambaran Klinis
Meskipun bermanfaat dalam memahami patofisiologi, katagorisasi gambaran klinis gagal
jantung berdasarkan disfungsi sistolik dan diastolik tidak memadai, karena kedua
mekanisme ini dapat aktif pada seorang individu pasien.
Tanda dan gejalan gagal jantung pada pasienhipertensi serupa dengan pasien gagal jantung
akibat etiologi lain (Tabel 41.5). sesak napas merupakan gejalan paling konsisten, dimana
gagal jantung akibat utmananya dari disfungsi diastole atau sistol. Paien hipertensi mungkin
mengalami gambaran kombinasi antara gejala, beberapa dari disfungsi sistolik, seperti
kelemahan, intoleransi aktivitas, dan kelemahan otot; dan lainnya dari tipikal disfungsi
diastolik dan kongesti pulmonal, termasuk sesak napas, batuk persisten, dan edema
pulmoner. Eksaserbasi gejala pulmoner dengan takikardi ata hilangnya irama sinus (dengan
terjadinya fibrilasi atrial) dapat menunjukkan adanya disfungsi diastolik.

Tabel 41.5. Gejala dan tanda umum gagal jantung kongestif pada hipertensi.
Teknik diagnostik
Pendekatan diagnostik terhadao gagal jantung hipertensif tidak berbeda dari gagal jantung
kongestif pada umumnya (lihat Bab 42). Anamnesis dan pemeriksaan fisis dapat
memberikan petunjuk penting dalam diagnosis klinis banding, tapi terdapat batasan nilai
dalam menentukan diagnose patofisiologi definitif. Karena penyakit koroner sering disertai
dengan hipertensi, anamnnesis yang hati-hati, pemeriksaan fisis dan bukti laboratorium
iskemia atau infark miokard penting dalam menentukan penyakit yang mendasari gagal
jantung. Pemeriksaan fisis, termasuk distensi vena jugular, bunyi jantung tiga atau empat,

bising pulmoner atau edema pedal, tidak cukup untuk membedakan gagal jantung apakah
disebabkan oleh disfungsi diastolik atau dari disfungsi sistolik. Memang, disfungsi diastolik
dapat menyebabkan peningkatan curah jantung (temuan cardinal pada disfungsi sistolik),
dan disfungsi sistolik dapat menyebabkan peningkatan tekanan pengisisan LV (temuan
cardinal pada disfungsi diastolik) (Gambar 41.6).
EKG dan foto x-ray dada dapat memberikan informasi penting, tapi tidak membedakan
disfungsi diastolik dari disfungsi sistolik. Ekokardiografi dan ventrikulografi redionuklit
berguna untuk mendokumentasikan keberadaan, tipe,dan keparahan disfungsi LVserta dapat
berperan penting dalam menentukan diagnosis banding, stage, dan manajemen gagal
jantung. Sebagai tambahan untuk menilai fungsi LV, ekokardiogram dengan Doppler sangat
membantu dalam mengeksklusi adanya penyakit katup, pericardial, infiltrative, atau jantung
bawaan. Consensus terbaru menyatakan mendukung penggunaan B-type natriuretic peptide
(BNP), dan pencitraan jaringan Dopplerdapat digunakan untuk mendiagnosis gagal jantung
diastolik (gambar 41.7)

Gambar 41.6 temuan klinis umum pada pasien hipertensi dengan gagal jantung sistol atau
diastole. PCWP, pulmonary capillary wedge pressure.

Gambar 41.7. diagnosis gagal jantung dengan ejeksi farsi ventrikel kiri (VEF) normal.
Sebagaimana yang direkomendasikan Heart Failure and Echocardiography Association of
the European Society of Cardiology.
Magnetic Resonance Imaging (MRI) baru-baru ini digunakan sebagai modalitas pencitraan
yang dapat memberikan akurasi yang sangat tepat dalam menilai dimensi dan fungsi ruang
LV.
Manajemen
Pendekatan manajemen gagal jantung pada pasien hipertensi harus, secara umum,
mengikuit prinsip yang serupa pada gagal jantung kongestif. Tekanan darah tinggi garus
diobati dan dikontrol. Iskemia jantung dan aritmia yang menyertai harus langsung diterapi.
Dengan memperhatikan pengobatan gagal jantung akut, didapatkan sedikit perbedaan
antara disfungsi diastolik dengan disfungsi sistolik; pada gagal jantung kronik, kontrol
tekanan darah agresif, kontrol denyut/ritme, dan regresi LVH sangat penting untuk
menangani gagal jantung diastolik. Sebagai tambahan untuk mengobati gejala, pendekatan
terapi harus diarahkan pada memperlambat remodelling ventrikel dan mencegah progresi
kerusakan jantung dan vaskuler (gambar 41.8)

Gambar 41.8. sasaran pengobatan akut dan kronik pada disfungsi diastolik.
ACEI adalah pengobatan lini pertama untuk gagal jantung kronik, agen ini mencegah atau
memperlambat progresi gagal jantung, menurunkan risiko serangan jantung mayor,
memperbaiki kualitas hidup, baik pada pasien asimptomatik maupun simptomatik dengan
gagal jantung. Pada pasien dengan intoleransi ACEI, bloker reseptor angiotensin menjadi
alternative yang tersedia, dengan bukti yang terus meningkat, manfaat mereka semain
terlihat. Meskipun agen kelas ini tidak menyembuhkan geja;a akut, regimen ini membatasi
remodeling vaskuler dan ventrikel yang menyertai gagal jantung.
Sebagai tambahan peran mereka dalam manajemen disfungsi sistolik, obat-obatan dengan
target sistem rennin-angiotensin-aldosteron memiliki peran dalam manajemen kronik
disfungsi diastolik, dengan mengurangi konten kolagen miokard dan memperbaiki
komplians serta relaksasi, terutama pada hadirnya LVH. Memang, obat-obatan dari kelas
ini merupakan obat yang paling baik diteliti untuk disfungsi diastolik. Penelitian CHARM
merupakan uji klinis skala besar pertama untuk disfungsi diastolik. Pada penelitianini,
kandesarta cilexitil (dititrasi hingga dosis 32 mg/hari) dibandingkan dengan placebo pada
3031 pasien gagal jantung dan LVEF >40%. Setelah rata-rata di follow-up selama 37
minggu, terdapat 11% reduksi terhadap poin akhir primer kematian kardiovaskuler atau
gagal jantung yang dirawat dirumah sakit, sebuah hasil yang tidak mencapai statistic yang
signifikan (Gambar 41.9). berkurangnya perawatan rumah sakit dalam batas signifikan. Uji
PEP-CHF memeriksa potensi manfaat perindopril pada pasien usia tua dengangagal jantung
dan bukti ekokardiografi disfungsi diastolik. Meskipun tidak ada efek pada hasil selama
durasi penuh penelitian, terlihat adanya reduksi pada hasil primer kematian atau gagal

jantung terkait dengan perawatan rumah sakit pada 1 tahun pertama. Ada 2 uji coba besar
yang sedang berlangsung untuk disfungsi diastolik, satu melibatkan bloker reseptor
angiotensi dan yang lainnya akan menginvestigasi potensi manfaat dari spironolakton. Pada
pasien yang tidak toleransi atau dikontraindikasikan pemberian ACEI (atau bloker reseptor
angiotensin), kombinasi hidralazin dan isosorbid dinitrat dapat menjadi alternative yang
sesuai, meskipun manfaat survival lebih besar pada ACEI. Kombinasi ini mempunyai
manfaat tertentu untuk pasien hipertensi Afro-Caribean dengan gagal jantung. Tambahan
dosis loop diuretic pada ACEI dibutuhkan untuk manajemen retensi cairan, edema, atau
kongesti pulmoner, tapi lebih secara simptomatik bukan diagnostik. Beta bloker telah
terbukti sebagai agen hipertensi yang efektif; agen ini juga memperlambay denyut jantung
dan efektif untuk mengobati infark miokar, sebagai tambahan untuk memperbaiki fungsi
LV dan memperpanjang angka survival pada pasien gagal jantung. Penelitian SENIORS
mendapatkan manfaat perawatan rumah sakit kardiovaskuler dari beta bloker generasi
ketiga, pada pasien usia tua dengan gagal jantung dan fungsi sistolik yang masih baik.

Gambar 41.9. penelitian CHARM.


Pasien hipertensi dengan disfungsi diastolik, bloker kanal kalsium (CCB) nondihidropiridin tidak hanya menurunkan tekanan darah dan denyut jantung, namun juga
memperbaiki relaksasi jantung. Meskipun verapamil dan diltiazem memiliki efek relaksasi

langsung, ini tidak jelas apakan manfaat merekan terlpeas dari efek pada denyut jantung,
tekanan darah, dan anti-iskemik. Bagaimanapun, obat-obatan ini sebaiknya dihindari pada
disfungsi sistolik LV.
PENYAKIT ARTERI KORONER DAN HIPERTENSI
Terdapat kaitan erat antara hipertensi dan risiko penyakit arteri koroner. Risiko
berkembangnya serangan kardiovaskuler mencapai dua kali lipat pada pasien hipertensi,
dan ini terlepas dari umur maupun jenis kelamin, atau baik peningkatan tekanan darah
sistolik maupun diastolik. Memang, terdapat hubungan respon-dosis antara risiko
penyakit arteri koroner dengan peningkatan tekanan darah, semakin besar tekanan darah
semakin besar pula risiko yang ada (lihat bab 39). Pada sebuah penelitian atas 500 pasien
dengan angina pectoris kronik, lebih dari 50% diantaranya memiliki riwayat hipertensi.
Dalam satu penelitian yang mengevaluasi efek tekanan darah normal, prehipertensi, dan
hipertensi pada progresi aterosklerosis koroner dengan ultrasonografi intravaskuler,
menemukan tekanan darak yang tidak terkontrol berkontribusi pada progresi penyakit dan
volume ateroma yang lebih besar, dimana laju progresi atrosklerosis koroner paling baik
didapatkan pada pasien dengan tekanan darah pada rentan yang normal (misalnya sistolik
<120 mmHg dan diastolik <80 mmHg).
Lebih lanjut lagi, pasien dengan hipertensi memiliki peningkatan insidens infar miokard
yang tidak disadari, klomplikasi dari sindrom kororner akut yang lebih besar, dan
dibandingkan dengan pasien normotensi, serangan akut dan keselamatan 5 tahun paska
infark miokard yang lebih buruk (Gambar 41.10)

Gambar 41.10. prevalensi penyakit jantung koroner (CHD) dan hipertensi (HTN), sendiri
dan dalam kombinsi, diantara pasien Framingham Heart Study dengan gagal jantung
kongestif.
Patofisologi
Hipertensi tidak hanya berkontribusi pada berkembangnya ateroskelerosis arteri
epicardium, namun juga penting pada genesis abnormalitas struktur dan fungsi endotel
mikrovaskuler (plak ateroma tidak terjadi pada mikrovaskulatur).
Terdapat bukti yang berkembang bahwa proses aterosklerosis merupakan respon terhadap
cedera endotel vaskuler dan akibat perubahan pada produksi dan pelepasan substansi
vasodilator dan vasokonstrikto. Nitrir oksida, faktor relaksasi endotel yang paling penting,
terkait dengan modulasi proses aterogenik. Proses lain, seperti agregasi dan adhesi platelet,
proliferasi sel otot polos, dan adhesi leukosit, juga penting. Apakah abnormalitas struktur
dan fungsi endothelial (dan berkaitan dengan aterogenesos) yang terjadi pada hipertensi
adalah penyebab atau akibat dari peningkatan tekanan darah merupakan area yang masih
aktif diinvestigasi.
Peningkatan bukti menunjukkan bahwa pasien dengan hipertensi juga mengalami (Gambar
41.11) abnormalitas :

Dinding pembuluh (disfungsi atau krusakan endotel);

Konstituen darah (konsentrasi faktor hemostatik yang abnormal, aktivasi platelet


dan fibrinolisis; dan

Aliran darah (reologi, viskositas dan aliran yang tersedia)

Gambar 41.11. triase Virchow mengenai trombogenesis : paradox Birmingham


Memenuhi dari tiga komponen hokum Virchow untuk trombogenesis menunjukkan bahwa
hipertensi menimbulkan tahap protromboktik atau hiperkoagulasi, yang berkaitan dengan
derajat atau keparahan kerusakan organ target. Abnormalitas ini berhubungan dengan
prognosis jangka panjang, dan sebagai tambahan, dapat diubah dengan pengobatan
antihipertensi. Sebagaimana proses trombogenesis berkaitan dengan aterogenesos, tahap
protrombotik pada hipertensi berkontribuso terhadap peningkatan risiko (aterosklerotik)
penyakit arteri koroner dan komplikasi terkait dengan thrombus, seperti angina tidak stabil
dan infark miokard. Tambahan iskemia miokard dapat disebabkan oleh redukso aliran darah
koronerpada arteri besar atau berkurangnya cadangan koroner sebagai akibat dari aliran
darah yang tidak adekuat pada peningkatan kebutuhan oksigen miokard (sering berkaitan
dengan disfungsi mikrovaskuler).
Hipertensi juga dapat mengakibatkan peruabahn pada kekuatan mekanik dan hemodinamik
yang dapat mempengaruhi komposisi plak, potensi erosi plak dan disrupsi plak.
Peningkatan terkait hipertensi pada tekanan transmural dan tekanan dinding menginduksi
proliferasi, hipertrofi dan hyperplasia berlebihan dari sel otot polos vaskuler; meningkatkan
ketebalan dinding; mengurangi kapasitas dilator vaskuler; dan mempercepat pembentukan

plak. Fibrosis perivaskuler juga dapat berkontribuso terhadap ganguan aliran koroner.
Schwartzkopff dkk mendapatkan bahwa pembentukan

volume kolagen perivaskuler

berbanding terbalik dengan aliran darah koroner pada individu hipertensi. Memang,
iskemia miokard yang disebabkan abnormalitas fungsi koroner dan reaktivitas vaskuler
koroner juga telah dilaporkan pada pasien hipertensi, sterosklerosis koroner atau LVH dan
hiperkolesterolemia.
Gambaran klinis
Spectrum gambaran klinis penyakit arteri koroner dan hipertensi, dengan angina, sindrom
koroner akut dan infark miokar, dibahan mendetail pada bab 40
Angina pectoris kronik berkaitan dengan iskmeia miokard sekunder dari gangguan lumen
oleh satu atau lebih plak aterosklerosis pada arteri epikardium. Bagaimanapun, pada pasien
hipertensi juga terjadi perubahan fungsi dan struktur mikrovaskulatur koroner, yang
menghasilkan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen miokard. Hal ini
dapat terjadi bahkan tanpa adanya penyakit vaskuler koroner aterosklerosis dan faktor
risiko independen lainnya. Sindrom ini, sering disebut sebagai sindrom X, termasuk nyeri
dada atipikal, predominan perempuan, tes non-invansi kadang abnormal, berkurangnya
cadangan aliran koroner, dan prognosis ringan ---yang telah ditunjukkan pada pasien
hipertensi dengan atau tanpa LVH. Pada keadaan adanya LVH, abnormalitas fungsi endotel
juga terjadi dan berkaitan dengan perubahan struktur miokard, seperti peningkatan
hipertrofi miosit, kolagen interstitial berlebihan, pengurangan densitas mikrovaskuler dan
kompresi eksternal arteriol intramiokard. Pada pasien tanpa LVH, iskemia miokard dapat
timbul akibat kerusakan endotel oleh peningkatan tekanan darah itu sendiri, oleh
hiperkolesterolemia, atau oleh dasar abnormalitas kontrol neurohormonal tonus vaskuler.
Hipertensi, terutama pada adanya LVH, meningkatkan risiko komplikasi paska infark
miokard, termasuk perluasan infark, reinfark, dan rupture jantung. Pada pasien hipertensi
tanpa LVH, manifestasi klini penyakit arteri koroner ateroskleoris epikardium dapat
tumpang tindih dengan gambaran klini dari disfungsi vaskuler non-aterosklerosis dan

remodeling ventrikel, seperti vasospasme arteri, gangguan kerja ventrikel, berkurangnya


cadangan aliran koroner, dan instabilitas eletrik.
Teknik diagnosis
Untuk pasien hipertensi, sulit untuk membedakan penrubahan gelombang ST-T sekunder
(depresi segmen ST dan inverse gelombang T) yang berkaitan dengan LVH atau penyakit
mikrovaskuler dengan depresi gelombang ST-T primer yang timbul pad angina tidak stabil
dan infark non-gelombang Q. perbedaan ini mungkin akan sulit dipisahkan, bahkan setelah
tes tekanan latihan, sebagaiman dasar perubahan ST-T berkaitan dengan LVH dan
hipertensi dapat membatasi spesifitas temuan ini. Diagnosis dan pemeriksaan detail untuk
penyakit arteri koroner disimpulkan pada bab 19 dan 20.
Manajemen
Manajemen pasien dengan hipertensi dengan kecurigaan atau temua penyakit koroner
membutuhkan :

Kontrol hipertensi

Menghindari gejala iskemia miokard

Pencegahan komplikasi koroner (angina tidak stabil, infark, gagal jantung, atau
kematian); dan

Mencegah penyakit kardiovaskuler lain melalui manajemen faktor risiko

Penurunan tekanan darah merupakan elemen penting dalam manajemen. Superioritas kelas
obat spesifik masih diperdebatkan. Terlepas dari perbedaannya, kombinasi dari obat-obatan
ini seringkali dibutuhkan untuk mencapai tekanan darah target.
Dalam memilih pengobatan anti-hipertensi untuk pasien dengan kemungkinana atau
penyakit koroner yang telah dikonfirmasi, penting untuk mempertimbangkan bukan hanya
tekanan darah, tapi juga nilai atau pembatasannya dalam mengurangi infark miokard dan
mengurangi risiko total penyakit kardiovaskuler. Beberapa agen antihipertensi dapat
memperburuk iskemia miokard bahkan jika tekanan darah telah diturunkan. Vasodilator
kerja langsung (hidralazin dan minoxidil) dapat menyebabkan vasodilatasi dan stimulasi
baroreseptor, yang mengakibatkan peningkatan denyut jantung dan kerja miokard.

Hidralazin dapat secara langsung menstimulasi jantung, sebagai tambahan kerja vasodilator
perifer potennya, sehingga meningkatkan kontraktilitas dan kebutuhan oksigen.
Beta bloker
Meskipun beta bloker tidak lagi direkomendasikan sebagai terapi awal rutin, agen ini
menjadi pilihan pengobatan untuk manajemen pasien dengan hipertensi disertai penyakit
arteri koroner atau gagal jantung. Efek anti-iskemik beta bloker sebanding [ada semua
kelompok ras, meskipun kontrol tekanan darah efektif membutuhkan dosis dan durasi yang
lebih tinggi untuk pengobatan pada ras kulit hitam. Beta bloker juga direkomendasikan
untk pencegahan sekunder paske infark miokard karena obat ini telah terbukti mengurangi
ukuran infark, menurunkan mortalitas paska infark, mengurangi insidensi komplikasi
iskemik nonfatal, serta mereduksi aritmia dan kematian mendadak.
Nitrat
Gliseril trinitrat dan nitrat organic lain, yang diberikan per sublingual, transdermal atau
oral, telah lama dipertahankan sebagai pengobatan angina pectoris. Bagaimanapun,
meskipun nitrat menurunkan tekanan darah secara bervariasi melalui venodilatasi dan
reduksi tonus arteri, obat ini tidak dapat digunakan untuk manajemen hipertensi sistemik
kronik dan dan digunakan primer untuk pengobatan angina pectoris akut (diberikan
sublingual) dan untuk angina pektori kronik (kerja panjang).
ACEI
Bukti dari uji klinis telah ditemukan untuk agen kelas ini sebagai pengobatan efektif untuk
hipertensi dan gagal jantung serta untuk mencegal insufisiensi renal pada pasien diabetes.
Penelitian terbaru mengenai ACEI pada manusia dengan penyakit koroner iskemik
kronistidak menunjukkan bahwa obat ini mempunya kerja anti-iskemik substansial, dan
agen ini memiliki batas nilai pada pengobata angina atau sindrom koroner akut. Agen ini
juga terbukri mencegah remodeling miokard dan gagal jantung serta menurunkan angka
kematian pada pasien dengan infark miokard dan difungsi LV.
Bloker kanal kalsium (CCB)

Impak CCB dihidropridine pada infark miokard masih kontroversi. Bagaimanapu, obatobatan ini telah terbukti efektif untuk pengobatan spasme koroner akut dan angina jenis
Prinzmetal. Terdapat data bahwa CCB dihidropiridin kerja panjang, seperti nifedipin uji
GITS pada ACTION, aman untuk angina stabil. Meskipun tidak memiliki efek pada
mortalitas kardiovaskuler mayor, agen ini mereduksi kebutuhan angiografi koroner dan
intervensi koroner. Setelah infark miokard, CCB dihidropiridin telah terbukti memiliki
impak negate pada reinfark dan angka mortalitas, dan tidak direkomendasikan untuk
manajemen infark miokard akut, terutama pada disfungsi LV. Sebaliknya, CCB nondihidropiridin dapat dipertimbangkan untuk pasien dengan hipertensi dan penyakit jantung
iskemik aktif. Penelitian INVEST membuktikan manfaat yang setara dari regimen
verapamil dibandingkan dengan regimen beta bloker pada pasien tersebut.
Pada pasien yang tidak toleransi terhadap beta-bloker, ivabradine dapat digunakan sebagai
alternative agen anti-angina yang menurunkan denyut jantung dengan secara eksklusif
menghambat secara selektif kanal I(f). agen ini tidak memiliki efek inotrofi negative, tidak
seperti CCB, dan saat ini diujikan pada pasien dengan iskemia aktif dan disfungsi LV
sistolik.
Kombinasi Obat untuk Hipertensi dan Penyakit Arteri Koroner
Meskipun data yeng ada terbatas, kombinasi terapi terbukti memberikan keuntungan pada
keadaan tertentu. Sebagai contoh, kombinasi dosis rendah beta bloker dan CCB nondihidropiridin dapat dengan efektif mengontrol baik angina maupun hipertensi dengan
mereduksi efek samping. Karena kedua agen ini memiliki efek inotropik negative dan
kronotropik, beta bloker sebaiknya tidak dikombinasi dengan CCB non-dihidropiridine
pada pasien dengan risiko bradikardia (misalnya interval PR memanjang, penyakit nodus
atrioventrikular). CCB (misalnya amlodipin atau felodipin) dapat ditambahkan pada ACEI
dan diuretic untuk lebih efektif mengontrol angina dan tekanan darah.
ARITMIA DAN KEMATIANMENDADAK

Hipertensi merupakan faktor risiko penting berkembangnya aritmia atrial dan ventricular
serta kematian jantung mendadak. Hipertensi berperan langsung pada berkembangnya
gangguan ritme ini dengan berkontribusi pada kejadian LVH, penyakit aterosklerosis, dan
disfungsi mikrovaskuler. Risiko aritmia terbesar dengan adanya bukti LVH dan/atau
abnormalitas atrium kiri pada ekokardiografi dan EKG, bahkan pada pasien tanpa riwayat
klinis penyakit koroner. Individu hipertensi mudah terkena aritmia bahkan pada pasien
denganukuran ruang jantung yang normal.
Aritmia atrial
Fibrilasi atrial merupakan takiaritmia atrial yang pasling sering dan paling serius karena
aritmia ini berhubungan dengan strok dangagal jantung fatal maupun nonfatal. Memang,
hipertensi bertanggung jawab lebih atas atrial fibrilasi pada populasi dibanding faktor risiko
lain. Dibanding diabetes, hipertensi merupakan satusatunya faktor risiko kardiovaskuler
yang secara independen meramalkan berkembangnya atrial fibrilasi, bahkan setelah
penyesuaian umur dan komorbid yang menyertai. Tekanan nadi yang tinggi secara khusus
menjadi predictor kuat atrial fibrilasi.
Adanya hipertensi menambah risiko strok dan tromboemboli pada fibrilasi atrial, yang
dapat dikurangi dengan antikoagulasi; diantara pasien atrial fibrilasi yang diberi
antikoagulasi, kontrol tekanan darah yang baik mengurangi risiko strok dan tromboemboli.
Evaluasi dan manajemen pasien hipertensi denganfibrilasi atrial harus meliputi :

Pemilihan obat antihipertensi yang tepat;

Identifikasi penanda prognosis;

Eksklusi penyakit jantung intrinsic;

Mempertahankan sinus ritme; dan

Antikoagulasi jiga terdapat fibrilasi atrial persisten

Penggunaan agen antihipertensi blok rennin-angiotensi dalam memperbaiki fibrilasi atrial


sedang mendapat perhatian lebih. Sebagai contoh, Madrid dkk mendapatkan bahwa agen
seperti bloker reseptor engiotensi memperpanjang periode refrakter efektif pada atrium dan
hal ini menjadi memberikan efek klinis yang menguntungkan. Uji coba klinis skala besar

saat ini sedang mengevaluasi apakah efek menguntungkan ini dapat memberikan hasil
berkurangnya serangan jantung mayor.
Aritmia ventrikuler
Ventricular premature ektopik dan takiaritmia ventrikel kompleks biasa ditemukan pada
pasien hipertensi, tapi lebih sering terjadi pada pasien dengan hipertensi dan LVH
dibanding pada pasien tanpa hipertrofi ataupun normotensi. Risiko aritmia pasien hipertensi
telah terbukti meningkat jika ditandai adanya perubahan level gelombang T. aritmia pada
pasien hipertensi berkaitan dengan LVH, tapi terlepas dari koinsiden penyakit arteri koroner
ataupun disfungsi LV. Peningkatan risiko kematian mendadak terjadi akibat iskemia
miokard dan fibsoris subendokardial serta deposisi kolagen, dengan gangguan vasodilator
koroner, iskemia subendokardium, dan abnormalitas eletrofisiologi seluler yang berkaitan
dengan hipertrofi jantung.
Dalam mengobati aritmia ventrikel, penggunaan beta bloker sebagai agen antihipertensi
sangat diperlukan karena peran obat ini sebagai anti-iskemia dan agen antiaritmia.
Pengibatan diuretic dosis rendah juga mengurangi serangan kardiovaskuler pada pasien
hipertensi. Sebaliknya, penggunaan diuretic dosis tinggi dan hipokalemia atau
hipomagnesia selam pengobatan hipertensi harus dihindai karena meningkatkan risiko
aritmia pada keadaan ketidaseimbangan elektrolit.
KEMATIAN JANTUNG MENDADAK
LVH yang diinduksi hipertensi merupakan faktor risiko aritmua ventricular spontan dan
berkaitan dengan risiko yang lebih besar terjadinya kematianjantung mendadak. Sekitar
80% individu yang mengalami kematian jantung mendadak memiliki penyakit arteri
koroner. Harus diingat bahwa tidak semua kematian mendadak berkaitan dengan aritmia,
sebagaiman hasil studi autopsy yang mengonfirmasi adanya thrombus pada arteri koroner
utama kiri, sesuai dengan keadaan protrombotik yang terlihat pada hipertensi.
Meskipun hipertensi, LVH, hiperkolesterolemia, intoleransi glukosa, merokok, dan berat
badan berlebih adalah faktor risiko penyakit arteri koroner, faktor-faktor ini juga

diidentifikasi pada individu yang berisiko mengalami kematianjantung mendadak.


Disfungsi LV berat juga merupakan predictor independen untuk kematian jantung
mendadak pada pasien dengan kadiomiopati iskemik maupun non-iskemik.
Untuk pasien yang mengalami infark miokard dan paada pasien dengan gagal jantung, beta
bloker merupakan pilihan pengobatan. Namun bagaimanapun, pemasangan defibrillator
kardioverter menjadi modalitas terapi baru terbaik sebagai profilaksis terjadinya kematian
jantung mendadak, dan sebaiknya diberikan pada populasi risiko tinggi.

You might also like