You are on page 1of 8

Reposisi Model Proses Perencanaan Partisipatif di Tingkat Propinsi

Page 1 of 8

Reposisi Model Proses Perencanaan Partisipatif di Tingkat Propinsi


Oleh adjie PAMUNGKAS
PENDAHULUAN
Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai
satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya untuk hidup dan melakukan
kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya (UUPR 1992). Dalam proses
pemanfaatannya, ruang menjadi suatu bahan yang menjadi wadah semua aktivitas manusia.
Berbagai dampak dari aktivitas ini tumbuh dan berkembang, saling pengaruh dan
mempengaruhi dan kembali berdampak pada manusia itu sendiri baik sebagai individu
maupun sebagai kelompok.
Dengan melihat pada besarnya kebutuhan optimalisasi ruang tersebut, pemerintah
berkepentingan untuk mengatur ruang. Pemerintah memiliki kewenangan dalam
mengalokasikan sumberdayanya untuk mengefektifkan dan mengefisiensikan ruang.
Pemerintah pun diyakini memiliki otoritas dalam memacu pemanfaatan ruang yang lebih
baik dimasa depan. Dengan berbagai alasan tersebut, muncullah berbagai istilah dalam
perencanaan seperti RTRW, RDTRK, RTRK, RTBL, dan berbagai rencana tata ruang
lainnya. Semua istilah itu merujuk pada satu pengertian bahwa rencana adalah produk dari
perencanaan (planning), merupakan susunan langkah-langkah secara sistematik atau teratur
untuk mencapai tujuan atau memecahkan masalah, dapat membentuk grafis atau visual atau
gambar bangunan dan lingkungannya atau dapat juga verbal berupa rangkaian kata-kata
(kamus tata ruang).
Fokus perencanaan yang berawal dan berdampak akhir pada manusia menyebabkan
timbulnya kepentingan-kepentingan manusia (stakeholder). Kepentingan-kepentingan ini pun
dapat tercermin pada berbagai kelompok masyarakat atau bahkan kelompok tersebut tidak
merepresentasikan kepentingan masyarakat. Fokus ini kemudian didorong pula oleh
perubahan di Indonesia dengan adanya UU Otonomi Daerah tahun 1999. Berbagai
tuntutan terhadap hasil dari perencanaan mengarah pada semakin dibutuhkannya
keterlibatan atau peran serta aktif masyarakat dalam perencanaan.
Trend fokus perencanaan pada masyarakat ini menyebabkan diperlukannya reposisi model
proses perencanaan di Indonesia. Model proses yang menitikberatkan pada proses technical
perlu diubah dengan proses-proses perencanaan yang lebih partisipatif, akomodatif
terhadap kepentingan-kepentingan stakeholder yang terlibat. Permasalahan yang muncul
adalah bagaimana peran serta, pelibatan dan formulasi dari proses perencanaan pada level
propinsi. Kewenangan propinsi yang semakin kurang menjadikan salah satu penyebab
kompleksitas proses perencanaan ini.
PEMAHAMAN PERENCANAAN SEBAGAI SUATU PROSES
D. Conyer (1984) menyatakan bahwa perencanaan adalah suatu proses yang kontinu yang
menyangkut pengambil keputusan tentang alternatif pemanfaatan sumberdaya yang tersedia
untuk mencapai tujuan tertentu di masa yang akan datang. Dari peristilahan tersebut,
penekanan perencanaan sebagai suatu proses memberikan implikasi pada produk yang
dihasilkan, sifat kontinuitasnya, dan peranan perencana.
Menurut I. Kustiwan (1997) perencanaan sebagai suatu proses memberikan implikasi
sebagai berikut:
E:\adjie-PWK-4juni 2004\peng-diri\Paper\Makalah seminar PP-Reposisi Model Prosper.doc

Reposisi Model Proses Perencanaan Partisipatif di Tingkat Propinsi

Page 2 of 8

Perencanaan lebih melibatkan banyak hal daripada sekedar membuat suatu dokumen
perencanaan.
Perencanaan dianggap sebagai suatu proses yang berlangsung terus menerus, bukan
suatu proses yang dikerjakan sekali saja, bahkan berkembang menjadi Rolling Plans.
Peran perencana tidak hanya sebagai seseorang yang bekerja di atau untuk suatu
departemen atau instansi akan tetapi menyangkut pengertian yang luas bagi siapa saja
yang terlibat dalam suatu jenis kegiatan perencanaan.

Dengan melihat pada implikasi tersebut, karakteristik perencanaan yang diharapkan akan
meliputi pada:
Mengarah ke pencapaian tujuan .
Mengarah ke perubahan.
Pernyataan pilihan.
Rasionalitas
Tindakan Kolektif.
Karakteristik terakhir ini lah yang kemudian menjadi titik berat dari berbagai proses
perencanaan yang dilakukan. Tidak efektifnya perencanaan yang ada seringkali disebabkan
oleh tidak adanya tindakan kolektif dari stakeholder di wilayah perencanaan sebagai akibat
dari proses awal yang tidak dibangun secara kolektif.
PERUBAHAN PROSEDUR PERENCANAAN DAERAH
Perubahan besar sejak tahun 1997 berdampak pada model proses perencanaan yang
digunakan di setiap kabupaten/kota atau propinsi. Perubahan ini didasarkan pada adanya
Undang-undang Otonomi Daerah yang memberikan otonomi penuh kepada pemerintah
kabupaten/kota dan mengurangi porsi peran propinsi di daerah. Selain itu pula, UU ini
memberikan tuntutan pada proses partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan
pembangunan daerah.
Kewenangan propinsi menurut Undang-undang Otonomi Daerah merupakan kewenangan
yang hanya bersifat lintas regional. Dengan kata lain, jika ada suatu sektor yang menjadi
bagian kepentingan dalam dua atau lebih kabupaten/kota, maka pihak propinsi memiliki
kewenangan dalam proses pengaturannya. Selain itu pula adalah berbagai fasilitas pelayanan
publik yang berskala regional pun menjadi salah satu kewenangan propinsi.
Secara tabularis, D. Zulkaedi menyatakan beberapa hal yang menjadi kewenangan dari
propinsi menurut hasil penafasiran dari UU Otonomi Daerah, yaitu sebagai berikut:
Kewenangan Utama (langsung): Perencanaan,
Penetapan Lokasi, Pemanfaatan, Pengendalian,
Penyelenggaraan, dan Izin Lokasi
Umum:
1. Lintas kabupaten dan kota: Pekerjaan umum,
perhubungan, kehutanan, perkebunan.
2. Kewenangan yang belum atau tidak dapat
dilaksanakan oleh kabupaten / kota.
3. Tata ruang propinsi.
Pertanian
1. Kawasan pertanian terpadu berdasarkan
kesepakatan dengan kabupaten.

Kewenangan yang berkaitan: kebijakan, pedoman,


norma, syarat, prosedur, criteria, standar, dan
pengaturan
1.
2.
3.
4.

Pembangunnan regional secara makro.


Pengelolaan pelabuhan regional.
Pengendalian LH.
Kewenangan yang dilimpahkan kepada
gubernur selaku wakil pemerintah.

1.
2.
3.

Pelayanan wajib minimum kabupaten.


Dukungan kerjasama antar kabupaten / kota.
Air irigasi.

E:\adjie-PWK-4juni 2004\peng-diri\Paper\Makalah seminar PP-Reposisi Model Prosper.doc

Reposisi Model Proses Perencanaan Partisipatif di Tingkat Propinsi


Kelautan
1. Perairan di wilayah laut propinsi
Kehutanan dan Perkebunan
1. Perkebunan lintas Kabupaten/Kota .
2. Rencana makro kehutanan dan perkebunan
lintas kabupaten / kota.
Penataan ruang.
1. Tata Ruang Propinsi.
Pekerjaan Umum
1. Jalan bebas hambatan lintas kabupaten / kota.
2. Bangunan, saluran, prasarana dan sarana PU
lintas Kabupaten / Kota.
3. Air Irigasi
Perhubungan
1. Alur penyebrangan lintas kabupaten/kota lintas
propinsi.
2. Jalan propinsi.
3. Lintas penyebrangan antar propinsi.
4. Jaringan jalan KA lintas kabupaten/kota.
Lingkungan Hidup
1. LH lintas Kabupaten / Kota

Page 3 of 8

1.
2.

Kekayaan laut.
Sumberdaya ikan.

1.

Batas hutan produksi dan hutan lindung.

Pelabuhan dan bandara propinsi

1.
2.

Sumberdaya laut antara 4 12 mil.


Amdal kegiatan lebih dari 1 kabupaten/kota.

Aturan dasar Undang-undang Otonomi Daerah ini ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya


berbagai Peraturan Pemerintah, SK menteri maupun SE menteri dalam mendukung proses
perencanaan yang melibatkan peran serta stakeholder. Beberapa keputusan pemerintah dalam
menekan proses perencanaan partisipatif menurut W. Ngoedijo (2003) adalah sebagai
berikut:
Peraturan Pemerintah No. 20/2001
Tentang prosedur pengendalian pelaksanaan kepemerintahan di daerah. Peraturan
tersebut menegaskan peran propinsi dalam mengendalikan, mengawasi, mengevaluasi,
melaporkan, serta menyempurnakan pelaksanaan kepemerintahan di daerah.
Peraturan Pemerintah No.68/1999
Tentang prosedur partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan kepemerintahan negara.
Peraturan ini menjelaskan peran, posisi, tanggung jawab, hak-hak masyarakat dalam
memperoleh informasi serta prosedur partisipasi yang berkaitan dengan pelaksanaan
kepemerintahan.
Surat Edaran Mendagri 050/987/SJ Tahun 2003
Tentang pedoman penyelenggaraan Forum Koordinasi Pembangunan Partisipatif.
Pedoman ini memberikan arahan tahapan, proses dan langkah-langkah untuk
menyelenggarakan konsultasi publik mulai dari kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota
hingga propinsi berkaitan dengan penyusunan dokumen rencana daerah dan APBD.
Surat Edaran Dirjen Bangda No. 050/1240/II/Bangda 2001
Tentang pedoman penyiapan dokumen rencana pembangunan untuk propinsi,
kabupaten, dan kota yang menguraikan peran dan fungsi tiap dokumen rencana
maupun status hukumnya.
Selain itu pula, proses pelibatan stakeholder dalam perencanaan pembangunan di level
propinsi, kabupaten/kota pun telah diatur pada Peraturan Menteri Dalam Negeri No.9
tahun 1998 tentang tata cara dan peran serta masyarakat dalam proses perencanaan tata
ruang di daerah. Pada pasal 5 dinyatakan bahwa pelaksanaan peranserta masyarakat dalam
proses perencanaan tata ruang di wilayah propinsi dapat berbentuk :
1. Pemberian masukan dalam penentuan arah pengembangan wilayah yang akan
dicapai.
E:\adjie-PWK-4juni 2004\peng-diri\Paper\Makalah seminar PP-Reposisi Model Prosper.doc

Reposisi Model Proses Perencanaan Partisipatif di Tingkat Propinsi

Page 4 of 8

2. Pengidentifikasian berbagai potensi dan masalah pembangunan, termasuk bantuk


untuk memperjelas hak atas ruang di wilayah dan termasuk pula perencanaan tata
ruang kawasan.
3. bantuan untuk merumuskan perencanaan tata ruang wilayah propinsi Daerah
Tingkat I.
4. Pemberian informasi, saran, pertimbangan, atau pendapat dalam penyusunan
strategi dan struktur pemanfaatan ruang wilayah propinsi/Daerah Tingkat I; dan
atau
5. Pengajuan keberatan terhadap rancangan RTRW Propinsi Daerah Tingkat I.
TAHAPAN PROSES PARTISIPASI
Proses partisipasi didalam perencanaan tidak akan terlepas dari model perencanaan bottom
Up Planning. Model perencanaan ini diyakini merupakan model yang sesuai dengan otonomi
daerah dan euforia demokrasi, yaitu dengan pelibatan stakeholder sejak awal. Dalam hal ini
yang paling penting adalah faktor masyarakat yang akan memakainya sehingga masyarakat
betul-betul terlibat secara aktif dalam proses perencanaan.
Berbagai tahapan partisipasi menurut Arnstein (1969) menyatakan tingkatan partisipasi.
Beberapa tingkatan itu adalah sebagai berikut:
1. Manipulation.
Non participation
2. Therapy.
3. Informing
4. Consulatation.
Degress of tokenism
5. Placation.
6. Partneship
7. Deelegated Power.
Degree of citizen power
8. Citizen control.
Dari berbagai tingkatan partisipasi, untuk proses perencanaan tata ruang akan terasa sudah
cukup baik bila hanya sampai pada deegree of tokenism.
BERBAGAI PROSES PERENCANAAN
I. Kustiwan (1997) menyatakan bahwa dalam kepustakaan perencanaan wilayah dan kota
serta perencanaan pembangunan secara umum, terdapat beberapa model proses
perencanaan. Model proses perencanaan ini dilakukan dengan menjabarkannya menurut
tahapan-tahapan lebih rinci dan spesifik. Beberapa model tersebut antara lain adalah:
Brian McLoughin (1969) memberikan tahapan proses perencanaan sebagai berikut:
1. Keputusan untuk mengadopsi perencanaan.
2. Formulasi tujuan: Identifikasi sasaran.
3. Kajian terhadap serangkaian tindakan yang mungkin diambil, dengan bantuan
model.
4. Evaluasi alternatif; dengan mengacu pada values dan biaya manfaat.
5. Implementasi; melalui investasi publik atau pengendalian terhadap investasi swasta.
6. Review (monitoring) terhadap keadaan sistem.
Margaret Reberts (1974) memberikan rumusan proses perencanaan sebagai berikut:
1. Penilaian makro terhadap lingkup perencanaan.
2. Keputusan terhadap kerangka organisasi dan pengendalian perencanaan.
3. Spesifikasi tujuan makro.
4. Formulasi sasaran-sasaran yang layak.
E:\adjie-PWK-4juni 2004\peng-diri\Paper\Makalah seminar PP-Reposisi Model Prosper.doc

Reposisi Model Proses Perencanaan Partisipatif di Tingkat Propinsi

5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.

Page 5 of 8

Pengumpulan data.
Analisa data.
Refinement of goals.
Pengembangan sasaran terukur.
Evaluasi.
Keputusan
Prosedur implementasi.
Pemantauan.
Revisi sasaran dan tujuan.

Aspek yang menonjol dari beberapa model ini adalah proses technical yang dilakukan oleh
seorang perencana. Aspek ini pun masih menonjol terlihat pada tahapan proses
perencanaan menurut George Chadwick (1978) sebagai berikut:
Identifikasi Masalah
Formulasi Tujuan
Proyeksi Tujuan
Evaluasi thp proyeksi
Evaluasi alternatif
Evaluasi Kinerja

Deskripsi Sistem
Permodelan sistem
Proyeksi sistem
Sintesa sistem (alternatif)
Pengendalian Sistem

Model proses perencanaan yang memberikan penekanan pada pelibatan suatu organisasi
dalam rencana dapat dilihat pada model perencanaan menurut D. Conyer (1984). Tahapan
proses ini adalah sebagai berikut:
1. Keputusan untuk merencana.
2. Pembentukan kerangka organisasi untuk perencanaan.
3. Spesifikasi tujuan perencanaan.
4. Formulasi sasaran.
5. Pengumpulan dan analisa data.
6. Identifikasi alternatif tindakan.
7. Penilaian alternatif.
8. Seleksi alternatif terbaik.
9. Implementasi.
10. Pemantauan dan evaluasi.
PROSES PENYUSUNAN RTRW JAWA BARAT
Proses penyusunan RTRW Propinsi Jawa Barat tidak terlepas dari perubahan prosedur
penyusunan rencana di daerah. Penyusunan RTRW ini pun merupakan suatu langkah
terobosan terhadap berbagai tuntutan proses perencanaan yang lebih partisipatif.
Penyusunan RTRW Propinsi Jawa Barat ini sarat dengan dialog yang dilakukan. Ada
sederet dialog yang berkontribusi secara langsung maupun tidak langsung pada substansi
rencana itu sendiri. Beberapa dialog dilakukan untuk mencari isu-isu strategis di Jawa Barat,
dan beberapa dialog lainnya dilakukan untuk mencari cara pengembangan potensi Jawa
Barat.
Khusus untuk proses penyusunan RTRW Propinsi Jawa Barat, ada beberapa tahapan
proses perencanaan yang dilakukan, yaitu sebagai berikut:
1. Pra Dialog I, yang ditujukan untuk menginformasikan kepada Pemerintah
Kabupaten/Kota tentang: kegiatan revisi RTRW, menggali informasi tentang isu-isu
strategis penataan ruang, tanggapan terhadap RTRW Jawa Barat (perda 3/1994), dan
E:\adjie-PWK-4juni 2004\peng-diri\Paper\Makalah seminar PP-Reposisi Model Prosper.doc

Reposisi Model Proses Perencanaan Partisipatif di Tingkat Propinsi

2.

3.

4.

5.

Page 6 of 8

harapan terhadap RTRW Jawa Barat 2010. Stakeholder yang terlibat adalah empat
bakorwil di Jawa Barat. Pra dialog ini dilakukan pada tanggal 28 agustus 2001 4
september 2001. berbagai isu yang berhasil dijaring di keempat bakorwil ini menjadi
akan fokus perencanaan dan pembahasan pada tahap-tahap selanjutnya
Dialog I, Dengan data dan informasi hasil pradialog dan pemberitaan di Media massa,
dialog I dilakukan dengan melibatkan stakeholder pembangunan Jawa Barat. Unsurunsur yang terlibat didalam Dialog I ini adalah eksekutif (pusat, propinsi,
Kabupaten/kota, propinsi yang berbatasan), legislatif (propinsi dan kabupaten/ kota),
perguruan tinggi, masyarakat dan dunia usaha. Tujuan dari dilakukannya Dialog I ini
adalah untuk menyepakati fungsi, kedudukan, substansi, legalitas dari RTRW propinsi
Jawa Barat, isu-isu strategi penataan ruang, kelembagan (aspek pemanfaatan ruang) dan
pengawasan, dan penertiban kedepan (aspek pengendalian pemanfaatan ruang) beserta
kelembagaannya. berbagai hasil dialog ini dilakukan penajaman hasil dialog I. Dari
proses penajaman ini, kedudukan, fungsi, dan berbagai norma dalam aspek
pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan telah berhasil didefinisikan secara jelas.
Dengan demikian, hasil Dialog I ini memberikan batasan apa-apa saja yang diatur oleh
propinsi, bagaimana kedudukannya terhadap RTRW kabupaten/kota dan Nasional,
dan hal-hal apa saja yang perlu dilakukan dalam mekanisme pemanfaatan dan
pengendalian pemanfaatannya. Penetapan ini menjadi salah satu titik penting dalam
penyusunan RTRW Propinsi mengingat adanya perubahan kewenangan dan otoritas
propinsi di daerah.
Pemberitaan dan penyebaran angket di media massa. Penyebaran angket ini
bertujuan untuk menginformasikan kegiatan revisi RTRW Propinsi Jawa Barat pada
masyarakat dan menggali aspirasi masyarakat tentang penataan ruang. Hasil penting
dari penggalangan aspirasi melalui media massa adalah adanya pengusulan beberapa
kota untuk dijadikan pusat pertumbuhan, pengusulan pengembangan infrasruktur
regional, peringatan untuk tetap memperhatikan kelestarian alam Jawa Barat melalui
mempertahankan kawasan lindung, peringatan untuk mempertahankan pantura sebagai
lumbung padi Jawa Barat, dan pengusulan sektor-sektor kegiatan unggulan di Jawa
Barat.
Penyusunan dokumen RTRW Propinsi Jawa Barat sementara. Proses ini
merupakan proses teknis, yang memperhatikan berbagai usulan/isu-isu maupun hasil
lainnya dalam Dialog I dan Pra Dialog I. Proses ini dimulai dengan melakukan analisa
teknik pada 7 aspek perencanaan di Propinsi Jawa Barat. Ketujuh aspek tersebut adalah
kebijaksanaan pembangunan, sektoral dan perekonomian, fisik dan daya dukung
lingkungan, kependudukan, daya dukung sarana dan prasarana, kemampuan
pembiayaan dan sosial budaya. Dari berbagai aspek tersebut, dilakukan perumusan
tujuan, skenario, konsep dan strategi pengembangan tata ruang wilayah. Hasil
perumusan ini dilanjutkan dengan menetapkan arahan pengelolaan kawasan lindung,
arahan pengelolaan kawasan pedesaan, perkotaan, arahan pengembangan kawasan
produksi, arahan pengembangan sistem, arahan pengembangan sarana dan prasarana,
arahan pengembangan dan pedoman pengendalian pemanfaatan. Berbagai arahan
tersebut kemudian diformulasikan menjadi draft RTRW Propinsi yang meliputi pola
pemanfaatan ruang dan struktur ruang.
Pra Dialog II, yang bertujuan untuk menyepakati RTRW hasil sementara pada setiap
bakorwil dan menyaring aspirasi yang berkembang di pemerintah kota. Stakeholder
yang terlibat lebih difokuskan pada aparat pemerintahan kabupaten/kota di keempat
bakorwil. Kesepakatan yang berhasil dibangun pada masing-masing bakorwil adalah
meliputi rumusan isu-isu strategis, strategi pengembangan, skenario pengembangan
yang dipilih, rencana struktur ruang, dan rencana pemanfaatan ruang. Berbagai hasil
kesepakatan ini dibangun dengan memperhatikan pada metode dialog stakeholder yang
disusun lebih merupakan gabungan dari metode scenario planning dan strategic planning

E:\adjie-PWK-4juni 2004\peng-diri\Paper\Makalah seminar PP-Reposisi Model Prosper.doc

Reposisi Model Proses Perencanaan Partisipatif di Tingkat Propinsi

6.

7.

8.

9.

10.

Page 7 of 8

yang diawali dengan mengungkapkan harapan dan kecemasan sebagai dasar isu yang
akan diangkat.
Dialog II, yang ditujukan untuk penyepakatan publik terhadap sustansi RTRW sebagai
pedoman pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan. Stakeholder yang terlibat
merupakan gabungan dari eksekutif (pusat, propinsi, kabupaten/kota, propinsi
berbatasan), legislatif (propinsi dan kabupaten/kota), perguruan tinggi, masyarakat dan
dunia usaha. Hasil Dialog II ini merupakan penyepakatan terhadap strategi
pengembangan (baik strategi pola pemanfaatan ruang, strategi pengembangan sistem
kota, maupun strategi pengembangan infrastruktur wilayah), Rencana struktur ruang
(baik rencana sistem kota-kota, maupun rencana pengembangan infrastruktur wilayah),
rencana pemanfaatan ruang (kawasan berfungsi lindung, kawasan yang dipertahankan
fungsinya, rencana pengembangan kawasan yang diprioritaskan). Dari berbagai hasil
pada Dialog II ini, proses penajaman hasil dialog ini dilakukan bersama instansi
pemerintah propinsi yang terkait seperti isu-isu yang lebih kepada infrastruktur
transportasi dilakukan pembahasan di Dinas Bina Marga, isu-isu yang lebih kepada
pertanian di lakukan pembahasan di Dinas pertanian Tanaman Pangan, dan isu-isu
yang mengarah kepada kawasan lindung dilakukan di Dinas Kehutanan.
Penyempurnaan Dokumen RTRW, penyempurnaan ini dilakukan dengan melihat
pada hasil Dialog II dan proses penajaman Dialog II dibeberapa dinas terkait. Berbagai
draft ini disempurnakan untuk dijadikan draft kedua yang menjadi bahan pada tahap
selanjutnya.
Apresiasi RTRW Propinsi Jawa Barat, apresiasi RTRW ini lebih merupakan pada
penyampaian informasi kepada pemerintah baik tingkat propinsi maupun
kabupaten/kota. Sosialisasi ini dibagi dalam dua tahap, yaitu sosialisasi tingkat propinsi
pada Dinas/Badan/Lembaga Propinsi Jawa Barat dan sosialisasi kepada DPRD dan
Bappeda Kabupaten/Kota se-Jawa Barat. Hasil sosialisasi pada tingkat propinsi ini
pada dasarnya sudah mampu menyepakati berbagai hal dalam RTRW, yaitu pada aspek
perencanaan, aspek pemanfaatan maupun aspek pengendalian pemanfaatan. Sedangkan
pada tingkat kabupaten/kota, penyepakatan tidak saja pada ketiga aspek penataan
ruang, akan tetapi adanya usulan baru berupa klarifikasi rencana pembangunan
infrastruktur, usulan kawasan tertentu menjadi PKW, dan proses penentuan terminal
type A. Proses sosialisasi atau apresiasi ini ternyata tidak saja pada dua kegiatan
tersebut, akan tetapi juga dilakukan pada propinsi lain yang berpengaruh pada Propinsi
Jawa Barat, yaitu Propinsi Banten, Propinsi Jawa Tengah, Propinsi DKI dan
pemerintah pusat. Apresiasi ini pun dilakukan tidak saja di tingkat birokrasi akan tetapi
juga dilakukan pada kelompok civil society (Perguruan Tinggi, LSM, dunia usaha).
Penyusunan RTRW Propinsi Jawa Barat dan Raperda, dari berbagai masukan
pada hasil apresiasi dan sosialisasi pada tahap ke delapan tersebut, maka disusun
RTRW yang berupaya memasukkan/mengakomodasi aspirasi yang berkembang dari
tahap 1 sampai tahap 8. selain itu pula, tahapan ini pun berupaya menyusun Raperda
tentang RTRW Propinsi Jawa Barat 2010.
Sosialisasi dan Konsultasi RTRW Propinsi Jawa Barat serta Pengesahan
Peraturan Daerah, proses sosialisasi dan pengesahan perda ini dilakukan dengan suatu
tahapan tersendiri yang meliputi penyusunan bahan sosialisasi, sosialisasi dan
konsultasi, pemberitaan dan angket di media massa, pengesahan peraturan daerah.

Dari berbagai proses perencanaan, kebutuhan partisipasi, tingkatan dalam partisipasi dan
kasus proses penyusunan RTRW Propinsi Jawa Barat, maka dapat diambil suatu sintesa
mengenai model proses perencanaan di tingkat propinsi. Model proses ini memiliki
beberapa titik penting keberhasilan proses partisipasi, yaitu:
1. Deliniasi kewenangan Propinsi terhadap kabupaten/kota melalui proses
penyepakatan antara propinsi dengan kabupaten/kota.
E:\adjie-PWK-4juni 2004\peng-diri\Paper\Makalah seminar PP-Reposisi Model Prosper.doc

Reposisi Model Proses Perencanaan Partisipatif di Tingkat Propinsi

Page 8 of 8

2. Reposisi kedudukan, fungsi dan peranan RTRW Propinsi terhadap RTRWN dan
RTRW Kabupaten/Kota melalui penyepakatan antara propinsi dengan
kabupaten/kota.
3. Deliniasi stakeholder yang akan terlibat melalui tiga klasifikasi besar, yaitu civil society,
governance, dan private sector.
4. Penetapan isu-isu strategis, dan faktor perubah (driving forces) pengembangan wilayah
propinsi melalui penyepakatan publik.
5. Proses teknikal dalam pengembangan kondisi di masa depan.
6. Penyepakatan publik pada skenario terpilih.
7. Konfirmasi berbagai rencana tindak pada dinas-dinas teknis terkait.
8. Penyepakatan publik pada berbagai rencana tindak.
9. Penyepakatan publik pada penyusunan peraturan daerah tentang RTRW Propinsi.
Dengan melihat pada beberapa titik penting proses partisipasi yang perlu dilakukan pada
proses perencanaan di tingkat propinsi, maka model proses perencanaan ini dapat
diadaptasi menjadi sebagai berikut:
1. Tahap pendefinisian kewenangan propinsi dalam penataan ruang.
2. Tahap identifikasi stakeholder yang terlibat dalam perencanaan di tingkat propinsi
sesuai dengan kewenangannya.
3. Tahap pendefinisian fungsi, kedudukan, substansi dan peran RTRW propinsi
melalui penyepakatan antara birokrasi tingkat propinsi dengan kabupaten/kota.
4. Tahap penyepakatan publik terhadap isu, faktor pengarah (driving force), harapan,
kecemasan, tujuan dan sasaran perencanaan di tingkat propinsi.
5. Tahap peramalan kondisi dimasa depan sesuai dengan trend perkembangan yang
ada atau faktor pengarah (driving force).
6. Tahap pengembangan skenario perencanaan, arah kebijakan, dan rencana tindak
penataan ruang sesuai dengan skenario pengembangan.
7. Tahap konfimasi dan penyepakatan publik skenario terpilih, dan arah kebijakan
penataan ruangnya.
8. Tahap penetapan rencana tindak, program sesuai dengan skenario terpilih.
9. Tahap konfirmasi dan penyepakatan publik mengenai rencana tindak, program
sesuai dengan skenario terpilih.
10. Tahap penyepakatan antar kabupaten/kota terhadap peran masing-masing
kabupaten/kota dan propinsi sesuai dengan skenario, rencana tindak dan program
terpilih.
11. Tahap sosialisasi, konfirmasi dan penyepakatan publik terhadap substansi
perencanaan di tingkat propinsi.
12. Tahap penyusunan mekanisme kelembagaan antara propinsi dan kabupaten/kota
dalam implementasi dan pengendalian pemanfaatan ruang.
13. Tahap penyepakatan antar kabupaten/kota dengan propinsi terhadap mekanisme
kelembagaan dalam implementasi dan pengendalian pemanfaatan ruang.

E:\adjie-PWK-4juni 2004\peng-diri\Paper\Makalah seminar PP-Reposisi Model Prosper.doc

You might also like