Professional Documents
Culture Documents
Page 1 of 8
Page 2 of 8
Perencanaan lebih melibatkan banyak hal daripada sekedar membuat suatu dokumen
perencanaan.
Perencanaan dianggap sebagai suatu proses yang berlangsung terus menerus, bukan
suatu proses yang dikerjakan sekali saja, bahkan berkembang menjadi Rolling Plans.
Peran perencana tidak hanya sebagai seseorang yang bekerja di atau untuk suatu
departemen atau instansi akan tetapi menyangkut pengertian yang luas bagi siapa saja
yang terlibat dalam suatu jenis kegiatan perencanaan.
Dengan melihat pada implikasi tersebut, karakteristik perencanaan yang diharapkan akan
meliputi pada:
Mengarah ke pencapaian tujuan .
Mengarah ke perubahan.
Pernyataan pilihan.
Rasionalitas
Tindakan Kolektif.
Karakteristik terakhir ini lah yang kemudian menjadi titik berat dari berbagai proses
perencanaan yang dilakukan. Tidak efektifnya perencanaan yang ada seringkali disebabkan
oleh tidak adanya tindakan kolektif dari stakeholder di wilayah perencanaan sebagai akibat
dari proses awal yang tidak dibangun secara kolektif.
PERUBAHAN PROSEDUR PERENCANAAN DAERAH
Perubahan besar sejak tahun 1997 berdampak pada model proses perencanaan yang
digunakan di setiap kabupaten/kota atau propinsi. Perubahan ini didasarkan pada adanya
Undang-undang Otonomi Daerah yang memberikan otonomi penuh kepada pemerintah
kabupaten/kota dan mengurangi porsi peran propinsi di daerah. Selain itu pula, UU ini
memberikan tuntutan pada proses partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan
pembangunan daerah.
Kewenangan propinsi menurut Undang-undang Otonomi Daerah merupakan kewenangan
yang hanya bersifat lintas regional. Dengan kata lain, jika ada suatu sektor yang menjadi
bagian kepentingan dalam dua atau lebih kabupaten/kota, maka pihak propinsi memiliki
kewenangan dalam proses pengaturannya. Selain itu pula adalah berbagai fasilitas pelayanan
publik yang berskala regional pun menjadi salah satu kewenangan propinsi.
Secara tabularis, D. Zulkaedi menyatakan beberapa hal yang menjadi kewenangan dari
propinsi menurut hasil penafasiran dari UU Otonomi Daerah, yaitu sebagai berikut:
Kewenangan Utama (langsung): Perencanaan,
Penetapan Lokasi, Pemanfaatan, Pengendalian,
Penyelenggaraan, dan Izin Lokasi
Umum:
1. Lintas kabupaten dan kota: Pekerjaan umum,
perhubungan, kehutanan, perkebunan.
2. Kewenangan yang belum atau tidak dapat
dilaksanakan oleh kabupaten / kota.
3. Tata ruang propinsi.
Pertanian
1. Kawasan pertanian terpadu berdasarkan
kesepakatan dengan kabupaten.
1.
2.
3.
Page 3 of 8
1.
2.
Kekayaan laut.
Sumberdaya ikan.
1.
1.
2.
Page 4 of 8
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
Page 5 of 8
Pengumpulan data.
Analisa data.
Refinement of goals.
Pengembangan sasaran terukur.
Evaluasi.
Keputusan
Prosedur implementasi.
Pemantauan.
Revisi sasaran dan tujuan.
Aspek yang menonjol dari beberapa model ini adalah proses technical yang dilakukan oleh
seorang perencana. Aspek ini pun masih menonjol terlihat pada tahapan proses
perencanaan menurut George Chadwick (1978) sebagai berikut:
Identifikasi Masalah
Formulasi Tujuan
Proyeksi Tujuan
Evaluasi thp proyeksi
Evaluasi alternatif
Evaluasi Kinerja
Deskripsi Sistem
Permodelan sistem
Proyeksi sistem
Sintesa sistem (alternatif)
Pengendalian Sistem
Model proses perencanaan yang memberikan penekanan pada pelibatan suatu organisasi
dalam rencana dapat dilihat pada model perencanaan menurut D. Conyer (1984). Tahapan
proses ini adalah sebagai berikut:
1. Keputusan untuk merencana.
2. Pembentukan kerangka organisasi untuk perencanaan.
3. Spesifikasi tujuan perencanaan.
4. Formulasi sasaran.
5. Pengumpulan dan analisa data.
6. Identifikasi alternatif tindakan.
7. Penilaian alternatif.
8. Seleksi alternatif terbaik.
9. Implementasi.
10. Pemantauan dan evaluasi.
PROSES PENYUSUNAN RTRW JAWA BARAT
Proses penyusunan RTRW Propinsi Jawa Barat tidak terlepas dari perubahan prosedur
penyusunan rencana di daerah. Penyusunan RTRW ini pun merupakan suatu langkah
terobosan terhadap berbagai tuntutan proses perencanaan yang lebih partisipatif.
Penyusunan RTRW Propinsi Jawa Barat ini sarat dengan dialog yang dilakukan. Ada
sederet dialog yang berkontribusi secara langsung maupun tidak langsung pada substansi
rencana itu sendiri. Beberapa dialog dilakukan untuk mencari isu-isu strategis di Jawa Barat,
dan beberapa dialog lainnya dilakukan untuk mencari cara pengembangan potensi Jawa
Barat.
Khusus untuk proses penyusunan RTRW Propinsi Jawa Barat, ada beberapa tahapan
proses perencanaan yang dilakukan, yaitu sebagai berikut:
1. Pra Dialog I, yang ditujukan untuk menginformasikan kepada Pemerintah
Kabupaten/Kota tentang: kegiatan revisi RTRW, menggali informasi tentang isu-isu
strategis penataan ruang, tanggapan terhadap RTRW Jawa Barat (perda 3/1994), dan
E:\adjie-PWK-4juni 2004\peng-diri\Paper\Makalah seminar PP-Reposisi Model Prosper.doc
2.
3.
4.
5.
Page 6 of 8
harapan terhadap RTRW Jawa Barat 2010. Stakeholder yang terlibat adalah empat
bakorwil di Jawa Barat. Pra dialog ini dilakukan pada tanggal 28 agustus 2001 4
september 2001. berbagai isu yang berhasil dijaring di keempat bakorwil ini menjadi
akan fokus perencanaan dan pembahasan pada tahap-tahap selanjutnya
Dialog I, Dengan data dan informasi hasil pradialog dan pemberitaan di Media massa,
dialog I dilakukan dengan melibatkan stakeholder pembangunan Jawa Barat. Unsurunsur yang terlibat didalam Dialog I ini adalah eksekutif (pusat, propinsi,
Kabupaten/kota, propinsi yang berbatasan), legislatif (propinsi dan kabupaten/ kota),
perguruan tinggi, masyarakat dan dunia usaha. Tujuan dari dilakukannya Dialog I ini
adalah untuk menyepakati fungsi, kedudukan, substansi, legalitas dari RTRW propinsi
Jawa Barat, isu-isu strategi penataan ruang, kelembagan (aspek pemanfaatan ruang) dan
pengawasan, dan penertiban kedepan (aspek pengendalian pemanfaatan ruang) beserta
kelembagaannya. berbagai hasil dialog ini dilakukan penajaman hasil dialog I. Dari
proses penajaman ini, kedudukan, fungsi, dan berbagai norma dalam aspek
pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan telah berhasil didefinisikan secara jelas.
Dengan demikian, hasil Dialog I ini memberikan batasan apa-apa saja yang diatur oleh
propinsi, bagaimana kedudukannya terhadap RTRW kabupaten/kota dan Nasional,
dan hal-hal apa saja yang perlu dilakukan dalam mekanisme pemanfaatan dan
pengendalian pemanfaatannya. Penetapan ini menjadi salah satu titik penting dalam
penyusunan RTRW Propinsi mengingat adanya perubahan kewenangan dan otoritas
propinsi di daerah.
Pemberitaan dan penyebaran angket di media massa. Penyebaran angket ini
bertujuan untuk menginformasikan kegiatan revisi RTRW Propinsi Jawa Barat pada
masyarakat dan menggali aspirasi masyarakat tentang penataan ruang. Hasil penting
dari penggalangan aspirasi melalui media massa adalah adanya pengusulan beberapa
kota untuk dijadikan pusat pertumbuhan, pengusulan pengembangan infrasruktur
regional, peringatan untuk tetap memperhatikan kelestarian alam Jawa Barat melalui
mempertahankan kawasan lindung, peringatan untuk mempertahankan pantura sebagai
lumbung padi Jawa Barat, dan pengusulan sektor-sektor kegiatan unggulan di Jawa
Barat.
Penyusunan dokumen RTRW Propinsi Jawa Barat sementara. Proses ini
merupakan proses teknis, yang memperhatikan berbagai usulan/isu-isu maupun hasil
lainnya dalam Dialog I dan Pra Dialog I. Proses ini dimulai dengan melakukan analisa
teknik pada 7 aspek perencanaan di Propinsi Jawa Barat. Ketujuh aspek tersebut adalah
kebijaksanaan pembangunan, sektoral dan perekonomian, fisik dan daya dukung
lingkungan, kependudukan, daya dukung sarana dan prasarana, kemampuan
pembiayaan dan sosial budaya. Dari berbagai aspek tersebut, dilakukan perumusan
tujuan, skenario, konsep dan strategi pengembangan tata ruang wilayah. Hasil
perumusan ini dilanjutkan dengan menetapkan arahan pengelolaan kawasan lindung,
arahan pengelolaan kawasan pedesaan, perkotaan, arahan pengembangan kawasan
produksi, arahan pengembangan sistem, arahan pengembangan sarana dan prasarana,
arahan pengembangan dan pedoman pengendalian pemanfaatan. Berbagai arahan
tersebut kemudian diformulasikan menjadi draft RTRW Propinsi yang meliputi pola
pemanfaatan ruang dan struktur ruang.
Pra Dialog II, yang bertujuan untuk menyepakati RTRW hasil sementara pada setiap
bakorwil dan menyaring aspirasi yang berkembang di pemerintah kota. Stakeholder
yang terlibat lebih difokuskan pada aparat pemerintahan kabupaten/kota di keempat
bakorwil. Kesepakatan yang berhasil dibangun pada masing-masing bakorwil adalah
meliputi rumusan isu-isu strategis, strategi pengembangan, skenario pengembangan
yang dipilih, rencana struktur ruang, dan rencana pemanfaatan ruang. Berbagai hasil
kesepakatan ini dibangun dengan memperhatikan pada metode dialog stakeholder yang
disusun lebih merupakan gabungan dari metode scenario planning dan strategic planning
6.
7.
8.
9.
10.
Page 7 of 8
yang diawali dengan mengungkapkan harapan dan kecemasan sebagai dasar isu yang
akan diangkat.
Dialog II, yang ditujukan untuk penyepakatan publik terhadap sustansi RTRW sebagai
pedoman pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan. Stakeholder yang terlibat
merupakan gabungan dari eksekutif (pusat, propinsi, kabupaten/kota, propinsi
berbatasan), legislatif (propinsi dan kabupaten/kota), perguruan tinggi, masyarakat dan
dunia usaha. Hasil Dialog II ini merupakan penyepakatan terhadap strategi
pengembangan (baik strategi pola pemanfaatan ruang, strategi pengembangan sistem
kota, maupun strategi pengembangan infrastruktur wilayah), Rencana struktur ruang
(baik rencana sistem kota-kota, maupun rencana pengembangan infrastruktur wilayah),
rencana pemanfaatan ruang (kawasan berfungsi lindung, kawasan yang dipertahankan
fungsinya, rencana pengembangan kawasan yang diprioritaskan). Dari berbagai hasil
pada Dialog II ini, proses penajaman hasil dialog ini dilakukan bersama instansi
pemerintah propinsi yang terkait seperti isu-isu yang lebih kepada infrastruktur
transportasi dilakukan pembahasan di Dinas Bina Marga, isu-isu yang lebih kepada
pertanian di lakukan pembahasan di Dinas pertanian Tanaman Pangan, dan isu-isu
yang mengarah kepada kawasan lindung dilakukan di Dinas Kehutanan.
Penyempurnaan Dokumen RTRW, penyempurnaan ini dilakukan dengan melihat
pada hasil Dialog II dan proses penajaman Dialog II dibeberapa dinas terkait. Berbagai
draft ini disempurnakan untuk dijadikan draft kedua yang menjadi bahan pada tahap
selanjutnya.
Apresiasi RTRW Propinsi Jawa Barat, apresiasi RTRW ini lebih merupakan pada
penyampaian informasi kepada pemerintah baik tingkat propinsi maupun
kabupaten/kota. Sosialisasi ini dibagi dalam dua tahap, yaitu sosialisasi tingkat propinsi
pada Dinas/Badan/Lembaga Propinsi Jawa Barat dan sosialisasi kepada DPRD dan
Bappeda Kabupaten/Kota se-Jawa Barat. Hasil sosialisasi pada tingkat propinsi ini
pada dasarnya sudah mampu menyepakati berbagai hal dalam RTRW, yaitu pada aspek
perencanaan, aspek pemanfaatan maupun aspek pengendalian pemanfaatan. Sedangkan
pada tingkat kabupaten/kota, penyepakatan tidak saja pada ketiga aspek penataan
ruang, akan tetapi adanya usulan baru berupa klarifikasi rencana pembangunan
infrastruktur, usulan kawasan tertentu menjadi PKW, dan proses penentuan terminal
type A. Proses sosialisasi atau apresiasi ini ternyata tidak saja pada dua kegiatan
tersebut, akan tetapi juga dilakukan pada propinsi lain yang berpengaruh pada Propinsi
Jawa Barat, yaitu Propinsi Banten, Propinsi Jawa Tengah, Propinsi DKI dan
pemerintah pusat. Apresiasi ini pun dilakukan tidak saja di tingkat birokrasi akan tetapi
juga dilakukan pada kelompok civil society (Perguruan Tinggi, LSM, dunia usaha).
Penyusunan RTRW Propinsi Jawa Barat dan Raperda, dari berbagai masukan
pada hasil apresiasi dan sosialisasi pada tahap ke delapan tersebut, maka disusun
RTRW yang berupaya memasukkan/mengakomodasi aspirasi yang berkembang dari
tahap 1 sampai tahap 8. selain itu pula, tahapan ini pun berupaya menyusun Raperda
tentang RTRW Propinsi Jawa Barat 2010.
Sosialisasi dan Konsultasi RTRW Propinsi Jawa Barat serta Pengesahan
Peraturan Daerah, proses sosialisasi dan pengesahan perda ini dilakukan dengan suatu
tahapan tersendiri yang meliputi penyusunan bahan sosialisasi, sosialisasi dan
konsultasi, pemberitaan dan angket di media massa, pengesahan peraturan daerah.
Dari berbagai proses perencanaan, kebutuhan partisipasi, tingkatan dalam partisipasi dan
kasus proses penyusunan RTRW Propinsi Jawa Barat, maka dapat diambil suatu sintesa
mengenai model proses perencanaan di tingkat propinsi. Model proses ini memiliki
beberapa titik penting keberhasilan proses partisipasi, yaitu:
1. Deliniasi kewenangan Propinsi terhadap kabupaten/kota melalui proses
penyepakatan antara propinsi dengan kabupaten/kota.
E:\adjie-PWK-4juni 2004\peng-diri\Paper\Makalah seminar PP-Reposisi Model Prosper.doc
Page 8 of 8
2. Reposisi kedudukan, fungsi dan peranan RTRW Propinsi terhadap RTRWN dan
RTRW Kabupaten/Kota melalui penyepakatan antara propinsi dengan
kabupaten/kota.
3. Deliniasi stakeholder yang akan terlibat melalui tiga klasifikasi besar, yaitu civil society,
governance, dan private sector.
4. Penetapan isu-isu strategis, dan faktor perubah (driving forces) pengembangan wilayah
propinsi melalui penyepakatan publik.
5. Proses teknikal dalam pengembangan kondisi di masa depan.
6. Penyepakatan publik pada skenario terpilih.
7. Konfirmasi berbagai rencana tindak pada dinas-dinas teknis terkait.
8. Penyepakatan publik pada berbagai rencana tindak.
9. Penyepakatan publik pada penyusunan peraturan daerah tentang RTRW Propinsi.
Dengan melihat pada beberapa titik penting proses partisipasi yang perlu dilakukan pada
proses perencanaan di tingkat propinsi, maka model proses perencanaan ini dapat
diadaptasi menjadi sebagai berikut:
1. Tahap pendefinisian kewenangan propinsi dalam penataan ruang.
2. Tahap identifikasi stakeholder yang terlibat dalam perencanaan di tingkat propinsi
sesuai dengan kewenangannya.
3. Tahap pendefinisian fungsi, kedudukan, substansi dan peran RTRW propinsi
melalui penyepakatan antara birokrasi tingkat propinsi dengan kabupaten/kota.
4. Tahap penyepakatan publik terhadap isu, faktor pengarah (driving force), harapan,
kecemasan, tujuan dan sasaran perencanaan di tingkat propinsi.
5. Tahap peramalan kondisi dimasa depan sesuai dengan trend perkembangan yang
ada atau faktor pengarah (driving force).
6. Tahap pengembangan skenario perencanaan, arah kebijakan, dan rencana tindak
penataan ruang sesuai dengan skenario pengembangan.
7. Tahap konfimasi dan penyepakatan publik skenario terpilih, dan arah kebijakan
penataan ruangnya.
8. Tahap penetapan rencana tindak, program sesuai dengan skenario terpilih.
9. Tahap konfirmasi dan penyepakatan publik mengenai rencana tindak, program
sesuai dengan skenario terpilih.
10. Tahap penyepakatan antar kabupaten/kota terhadap peran masing-masing
kabupaten/kota dan propinsi sesuai dengan skenario, rencana tindak dan program
terpilih.
11. Tahap sosialisasi, konfirmasi dan penyepakatan publik terhadap substansi
perencanaan di tingkat propinsi.
12. Tahap penyusunan mekanisme kelembagaan antara propinsi dan kabupaten/kota
dalam implementasi dan pengendalian pemanfaatan ruang.
13. Tahap penyepakatan antar kabupaten/kota dengan propinsi terhadap mekanisme
kelembagaan dalam implementasi dan pengendalian pemanfaatan ruang.