You are on page 1of 12

Volume.1 Nomor.

2 Desember 2012

PREDICARA

GAMBARAN RESILIENSI SISWA SMA YANG BERESIKO PUTUS SEKOLAH


DI MASYARAKAT PESISIR
Ahmad Junaedi Salim Pulungan1 dan Tarmidi2
PS Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara
Jl. Dr Mansyur No. 7 Padang Bulan Medan
2
bro.midi@gmail.com
Abstrak
Penelitian ini mengkaji resiliensi siswa SMA yang beresiko putus sekolah di masyarakat
pesisir. Hasil menunjukkan bahwa resiliensi siswa SMA yang beresiko putus sekolah di
masyarakat pesisir secara umum tergolong sedang sampai tinggi. Penelitian kuantitatif
deskriptif ini mendeskripsikan nilai mean, standar deviasi, skor minimum dan skor
maksimum dari tujuh aspek yang membentuk resiliensi yaitu: Emotion regulation, Impuls
control, Optimism, Causal analysis, Emphaty, Self-efficacy dan Reaching out pada siswa
SMA yang beresiko putus sekolah di masyarakat pesisir.
Kata Kunci: Resiliensi, Siswa SMA, Masyarakat pesisir
Abstract
The present study examines the resilience of high school drop out risk in coastal community.
The results showed that resilience of high school drop out risk in the coastal community is
moderate to high level. This study descriptive quantitative research looking for the mean
value, standard deviation, as well as minimum and maximum score are seven aspects that
form resilience: Emotion regulation, Impuls control, Optimism, Causal analysis, Emphaty,
Self-efficacy and Reaching out of high school drop out risk in coastal community.
Keywords: Resilience, High School Students, Coastal Communities
Resiliensi
secara
umum
didefinisikan
sebagai
kemampuan
beradaptasi terhadap situasi-situasi yang
sulit dalam kehidupan (Reivich & Shatte,
2002).
Individu
dianggap
sebagai
seseorang yang memiliki resiliensi jika
mereka mampu untuk secara cepat kembali
kepada kondisi sebelum trauma dan
terlihat kebal dari berbagai peristiwaperistiwa kehidupan yang negatif (Reivich
& Shatte, 2002). Di dalam penelitian ini,
kami berasumsi bahwa tingkat fleksibilitas
yang membuat siswa berhasil dalam
akademis walaupun mereka berada pada
kondisi yang sulit, sehingga ia mampu
untuk bertahan, bangkit dan menyesuaikan
dengan kondisi sulit, ini yang disebut
dengan resiliensi. Sehubungan dengan
asumsi ini, kami mencoba untuk melihat
gambaran resiliensi siswa SMA yang
beresiko putus sekolah di masyarakat
pesisir. Melalui penelitian deskriptif ini,
kami
berharap
untuk
memberikan

gambaran ilmiah tentang resiliensi siswa


SMA yang beresiko putus sekolah di
masyarakat pesisir.
Banyak siswa yang mengalami putus
sekolah berasal dari anak nelayan yang
tinggal di daerah pesisir pantai. Kelurahan
Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan,
merupakan salah satu daerah pesisir pantai
yang ada di Medan. Berdasarkan data
laporan bulanan kepala lingkungan Mutas
Mutandis kependudukan di Kelurahan
Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan
selama bulan Mei tahun 2011, penduduk
yang berusia 15-19 tahun pada lingkungan
2, 4 dan 7 sebesar 487 orang, sedangkan
siswa yang bersekolah pada usia tersebut
atau jenjang SLTA sebanyak 193 orang.
Dengan demikian tingkat capaian kinerja
angka partisipasi murni (APM) SLTA di
Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan
Belawan hanya sebesar 39,6%. Siswa yang
beresiko putus sekolah tidak terlepas dari
kemiskinan yang melingkupi masyarakat
47

PREDICARA
pesisir (Sulistyowati, 2003). Namun
ditengah kemiskinan dan kesulitan
tersebut, masih ada siswa yang tetap
melanjutkan sekolah. Hal ini dapat dilihat
selama bulan Mei tahun 2011, penduduk
yang berusia 15-19 tahun berjumlah
kurang lebih 1.500 orang, sedangkan
penduduk yang bersekolah SMA pada usia
tersebut hannya sekitar 500 orang saja.
Siswa yang tetap melanjutkan sekolah
tersebut menyadari bahwa akan pentingnya
pendidikan untuk masa depan mereka
nanti (Prasodjo, 2005). Berdasarkan
fenomena yang terjadi yaitu banyaknya
anak nelayan yang putus sekolah dan
beresiko putus sekolah, tetapi tetap masih
ada anak nelayan yang bertahan untuk
meneruskan pendidikanya hingga ke
jenjang sekolah menengah atas (SMA),
maka kami tertarik ingin mengamati
kondisi ini dengan melihat lebih jauh
resiliensi siswa ini berada dalam kondisi
yang sulit (terutama kemiskinan) yang
dapat mencegah kebanyakan anak dari
latar belakang yang sama untuk tetap
bersekolah.
Masyarakat nelayan dan beresiko putus
sekolah
Banyak siswa yang beresiko putus
sekolah berasal dari daerah pesisir. Siswa
yang beresiko putus sekolah, merupakan
efek dari kemiskinan yang dialami pada
masyarakat pesisir (Sulistyowati, 2003).
Masyarakat pesisir adalah sekelompok
orang atau komunitas yang tinggal di
daerah pesisir yang sumber kehidupan
perekonomiannya
secara
langsung
bergantung pada pemanfaatan sumberdaya
laut dan pesisir. Dari segi mata
pencaharian masyarakat pesisir terdiri dari
nelayan, buruh nelayan, pembudidaya
ikan, pedagang ikan, pengolah ikan dan
orang-orang yang bekerja pada sarana
produksi perikanan (Muhadjirin, 2009).
Pada umumnya, mereka mempunyai ciri
yang sama yaitu berpendidikan yang
rendah. Hal ini terjadi karena pekerjaan
sebagai nelayan merupakan pekerjaan
kasar yang lebih banyak mengandalkan

Volume.1 Nomor. 2 Desember 2012


otot dan pengalaman, oleh karena itu
setinggi apa pun tingkat pendidikan
masyarakat
pesisir
tidak
akan
mempengaruhi kemahiran mereka dalam
melaut
(Sudarso,
2005).
Dengan
penghasilan yang selalu tergantung pada
kondisi alam, membuat mereka sulit untuk
merubah kehidupannya menjadi lebih baik.
Kondisi tersebut yang menyebabkan
rendahnya kemampuan dan keterampilan
mereka, sehingga membuat mereka tetap
hidup dalam kemiskinan (Winengan,
2007).
Hampir setiap tahun jumlah anakanak nelayan yang putus sekolah di
seluruh wilayah Indonesia mengalami
peningkatan. Peningkatan tersebut terjadi
karena terus memburuknya kemiskinan
keluarga
mereka.
Memburuknya
kemiskinan nelayan tersebut terjadi seiring
dengan terus menurunnya pendapatan
melaut
mereka
(Suhana,
2006).
Kemiskinan ini membuat mereka kesulitan
untuk menyekolahkan anak-anaknya.
Anak-anak mereka harus menerima
kenyataan untuk mengenyam tingkat
pendidikan
yang
rendah,
karena
ketidakmampuan ekonomi orang tuanya.
Hal ini membuat anak-anak nelayan ini
sulit membebaskan diri dari profesi
nelayan, biasanya mereka turun-temurun
adalah nelayan (Mubyarto, 1989). Anakanak dituntut untuk ikut mencari nafkah,
menanggung beban kehidupan rumah
tangga, dan mengurangi beban tanggung
jawab orangtuannya (Fathul, 2002). Oleh
karena itu, sebagian besar anak nelayan
harus tetap bekerja sebagai nelayan untuk
menambah pendapatan keluarga daripada
bersekolah dan melanjutkan pendidikan ke
jenjang yang lebih tinggi (Mulyadi, 2005).
Fenomena keseharian masyarakat
pesisir baik anak pria atau wanita mulai
sejak kecil sudah terlibat dalam proses
pekerjaan nelayan, mulai dari persiapan
orangtua untuk ke laut sampai dengan
menjual hasil tangkapan. Hal ini tentunya
berdampak
kepada
keberlangsungan
pendidikan
anak-anak
nelayan
(Pengemanan, 2002). Pada umumnya
48

PREDICARA
rumah tangga di masyarakat pesisir kurang
memiliki perencanaan yang matang untuk
pendidikan anak-anaknya. Pendidikan
untuk sebagian besar keluarga di
masyarakat pesisir masih belum menjadi
suatu kebutuhan yang penting didalam
keluarga. Dapat dikatakan bahwa antusias
terhadap pendidikan di masyarakat pesisir
relatif masih rendah (Anggraini, 2000).
Resiliensi dan pilihan melanjutkan
sekolah
Sebagian siswa tetap melanjutkan
sekolah hingga jenjang SMA atau berhasil
dalam akademis walaupun mereka berada
pada kondisi yang sulit, mereka tetap
yakin bahwa mereka mampu untuk
bertahan dan bangkit dari kondisi tersebut.
Kemampuan yang membuat mereka
bertahan lalu tetap melanjutkan sekolah
dan menyesuaikan dengan kondisi sulit,
disebut dengan resiliensi (Reivich &
Shatte, 2002).
Resiliensi
secara
umum
didefinisikan
sebagai
kemampuan
beradaptasi terhadap situasi-situasi yang
sulit dalam kehidupan (Reivich & Shatte,
2002).
Individu
dianggap
sebagai
seseorang yang memiliki resiliensi jika
mereka mampu untuk secara cepat kembali
kepada kondisi sebelum trauma dan
terlihat kebal dari berbagai peristiwaperistiwa kehidupan yang negatif (Reivich
& Shatte, 2002). Reivich & Shatte (2002)
mengungkapkan beberapa kemampuan
yang menyumbang pada resiliensi individu
yaitu: Emotion regulation, Impuls control,
Optimism, Causal analysis, Emphaty, Selfefficacy dan Reaching out.
Penelitian
ilmiah
yang
telah
dilakukan lebih dari 50 tahun, telah
membuktikan bahwa resiliensi adalah
kunci dari kesuksesan kerja dan kepuasan
hidup (Reivich & Shatte, 2002). Resiliensi
yang dimiliki oleh seorang individu,
mempengaruhi kinerja individu tersebut
baik di lingkungan sekolah maupun di
lingkungan masyarakat, memiliki efek
terhadap kesehatan individu tersebut
secara fisik maupun mental, serta

Volume.1 Nomor. 2 Desember 2012


menentukan keberhasilan individu tersebut
dalam berhubungan dan berinteraksi
dengan lingkungannya. Semua hal tersebut
adalah faktor-faktor dasar dari tercapainya
kebahagiaan dan kesuksesan hidup
seseorang (Reivich & Shatte, 2002).
Dalam penelitian yang dilakukan oleh
Morales (2008) resiliensi dapat dilihat
sebagai proses dan hasil.
Bobey (1999) mengatakan bahwa
orang-orang yang disebut sebagai individu
yang resilien, adalah mereka yang dapat
bangkit, berdiri diatas penderitaan, dan
memperbaiki
kekecewaan
yang
dihadapinya. Kapasitas resiliensi ini ada
pada setiap orang. Artinya kita semua lahir
dengan kemampuan untuk dapat bertahan
dari penderitaan, kekecewaan, atau
tantangan. Resiliensi dapat terlihat dengan
jelas apabila seseorang berada pada
tantangan
atau
masalah.
Semakin
seseorang berhadapan dengan banyak
tantangan dan hambatan, maka akan
semakin terlihat apakah ia telah berhasil
mengembangkan karakteristik resiliensi
dalam dirinya atau tidak (Bobey, 1999).
Dalam bidang pendidikan, resiliensi
bisa disebut sebagai resiliensi edukasi,
resiliensi akademik atau siswa yang
memiliki resiliensi yang baik disebut
sebagai siswa resilien. Siswa resilien
adalah siswa yang berhasil di sekolah
meskipun adanya kondisi yang kurang
menguntungkan (Waxman et al., 2003).
Resiliensi dalam bidang akademis dapat
diartikan sebagai kemampuan seorang
siswa untuk sukses di bidang akademik
meskipun ia berada dalam kondisi yang
membuatnya sulit untuk berhasil (Benard,
1991 & Wang et al., 1997 dalam Bryan,
2005). Kondisi atau lingkungan yang
kurang mendukung tersebut bisa berupa
kemiskinan, kondisi sekolah yang serba
kekurangan, maupun kondisi keluarga
yang kurang baik. Secara spesifik resiliensi
akademik dipahami sebagai proses dan
hasil yang menjadi bagian dari cerita hidup
seorang individu yang meraih kesuksesan
akademik, meskipun ia mengalami banyak
rintangan
yang
dapat
mencegah
49

PREDICARA
kebanyakan orang dari latar belakang yang
sama untuk meraih kesuksesan (Morales &
Trotman, 2004).
Selain faktor internal atau yang
berasal dari siswa itu sendiri, ternyata
faktor eksternal seperti sekolah, keluarga,
komunitas dan masyarakat dimana siswa
itu berada juga turut berperan dalam
menciptakan
siswa
yang
resilien.
Penelitian yang dilakukan Bryan (2005)
mengenai resiliensi dan prestasi akademik
di sekolah pedesaan melalui sekolah,
keluarga, dan komunitas, menunjukkan
hubungan antara sekolah, keluarga dan
komunitas bisa menciptakan kesempatan
yang baik mengembangkan resiliensi
siswa. Hal ini karena ketiga kemampuan
tersebut dapat membantu menghilangkan
stresor, batasan maupun rintangan dalam
mencapai prestasi akademik (Bryan,
2005). Karakteristik sekolah yang dapat
meningkatkan resiliensi siswanya adalah
model komunitas atau lingkungan sekolah
yang mendukung, termasuk elemenelemen yang secara aktif melindungi anakanak dari kesulitan. Intinya adalah sekolah
bisa menciptakan suasana yang harmonis
agar siswanya merasa tidak berbeda dari
kaum mayoritas (Borman & Rachuba,
2001). Dengan kata lain, sekolah
menggunakan cara untuk membuat
lingkungan belajar yang positif, dimana
kompetensi akademik dan perilaku siswa
didukung, responsif terhadap kebutuhan
siswa yang mengarah kepada pencapaian
akademik, dan mengurangi masalah
perilaku (Close & Solberg, 2007).
Penelitian ini
Meskipun sudah banyak penelitian
yang mengambarkan resiliensi dengan
berbagai konteks, sepengetahuan kami,
jarang sekali ada penelitian, khususnya di
Indonesia yang meneliti gambaran
resiliensi di masyarakat pesisir. Dengan
demikian, di dalam penelitian deskriptif
ini, kami mencoba untuk mengambarkan
resiliensi tersebut. Secara spesifik, kami
memfokuskan penelitian ini pada resiliensi
dalam konteks siswa SMA yang beresiko

Volume.1 Nomor. 2 Desember 2012


putus sekolah di masyarakat pesisir.
Berdasarkan
penelitian-penelitian
sebelumnya, yang secara konsisten
menunjukkan bahwa resiliensi yang
dimiliki
oleh
seorang
individu,
mempengaruhi kinerja individu tersebut
baik di lingkungan sekolah maupun di
lingkungan
masyarakat,
kami
mendeskripsikan bahwa tingkat resiliensi
yang dimiliki siswa akan berkontribusi
terhadap kesehatan siswa tersebut secara
fisik maupun mental, serta menentukan
keberhasilan siswa tersebut dalam
lingkungan sekolah dan berinteraksi
dengan lingkungannya.
Metode
Partisipan
Partisipan ini terdiri dari 150 siswa
SMA yang berdomisili di Kelurahan
Bagan Deli, Kecamatan Medan Belawan,
dengan spesifikasi jumlah laki-laki 36
siswa dan perempuan 114 siswa, berusia
antara 14 sampai 19 tahun. Partisipan kami
pilih dengan purposive sampling. Mereka
berpartisipasi secara sukarela dengan
pemberian reward.
Prosedur dan alat ukur
Untuk keperluan penelitian ini,
kami mengunakan skala untuk mengukur
variabel-variabel penelitian. Resiliensi
kami ukur dengan skala yang kami
konstruksi berdasarkan resiliensi Reivich
& Shatte (2002). Skala resiliensi ini sudah
mencakup 7 aspek resiliensi, yaitu
Emotion Regulation (2 aitem), Impulse
Control (7 aitem), Optimisme (7 aitem),
Causal Analysis (3 aitem), Emphati (6
aitem), Self-efficacy (7 aitem), dan Reach
Out (4 aitem). Gabungan dari ketujuh
aspek resiliensi ini membentuk satu skala
resiliensi (e.g., Saya yakin akan sukses di
masa yang akan datang, Ketika ada
masalah yang muncul, saya memiliki
berbagai
macam
solusi
untuk
menyelesaikannya; 36 aitem; = .712;
corrected item-to-total correlation = -.186
sampai .473). Analisa data pada penelitian
ini menggunakan analisis deskriptif,
50

PREDICARA
dengan menghitung frekuensi, nilai
maksimum, nilai minimum,
range,
standard deviasi (), serta mean () untuk
masing-masing aspek dari resiliensi. Selain
menggunakan professional judgment,
dalam penelitian ini validitas isi diuji
dengan menggunakan analisis faktor untuk
menganalisis tujuh aspek resiliensi Reivich
& Shatte (2002) dengan nilai MSA dan
KMO sebesar 0.708. Untuk keperluan
skoring, kami menggunakan model
distribusi normal.
Hasil
Deskriptif dan normalitas
Dalam analisis, respon-respon
setiap partisipan pada setiap aitem pada
setiap skala pengukuran (Resiliensi) kami
reratakan sehingga menciptakan rentang
skor antara 1 sampai dengan 5, senada
dengan skala Likert yang kami gunakan
dalam pengukuran. Uji normalitas
dilakukan dengan menggunakan One
Sample Kolmogorov-Smirnov, dengan nilai
Z sebesar 0,839 dan nilai signifikansi (p)
sebesar 0,482. Karena nilai p > .05, data
dalam penelitian ini terdistribusi secara
normal.
Dengan
demikian,
subjek
penelitian dapat dikategorikan ke dalam
tiga kategori berdasarkan model distribusi
normal, yaitu resiliensi tinggi, resiliensi
sedang, dan resiliensi rendah.
Sebelum
dipaparkan
cara
pengkategorian subjek ke dalam kelompok
subjek yang memiliki resiliensi tinggi,
sedang, dan rendah, berikut ini akan
disajikan deskripsi umum skor resiliensi
siswa. Data ini penting dalam pengolahan
data untuk mengkategorikan subjek ke
dalam tiga kelompok subjek yang
dimaksudkan. Deskripsi umum skor
maksimum, minimum, mean, dan standar
deviasi resiliensi siswa dapat dilihat pada
tabel 1.

Volume.1 Nomor. 2 Desember 2012


Tabel 1
Deskripsi Umum Skor Maksimum,
Minimum, Mean,
dan Standar Deviasi Skor Resiliensi
Variabel N Min MaksMeanStandard
Deviasi
Resiliensi 150 36 180 108
24

Kemudian siswa dikatakan memiliki


resiliensi tinggi, sedang atau rendah
berdasarkan masing-masing aspek dari
resiliensi, berdasarkan klasifikasi tinggi
dan rendah dari mean dan standard deviasi
yang dibuat dalam tiga rentang,
berdasarkan model distribusi normal, yaitu
kategori rendah, kategori sedang, dan
kategori tinggi.
Tabel 2
Penggolongan Resiliensi Siswa SMA
yang Beresiko Putus Sekolah
di Masyarakat Pesisir Berdasarkan
Skor Skala Resiliensi
Varia Rent Katego Freku Perse
bel
ang
risasi
ensi
ntase
Skor
(N)
X < Rendah
Resili
84
ensi
84 Sedang
100
66,7 %
X<
132
X
Tinggi
50
33,3 %
132
Jumlah
150
100 %
Dari tabel 2 dapat dilihat bahwa
mayoritas siswa memiliki kemampuan
resiliensi yang tergolong sedang yaitu
sebanyak 100 orang (66,7%) sedangkan
kemampuan resiliensi yang tergolong
tinggi sebanyak 50 orang (33,3%) dan
tidak ada siswa yang tergolong kedalam
kemampuan resiliensi rendah.
Gambaran resiliensi siswa dapat
dilihat berdasakan tujuh aspek resiliensi.
Karena tidak ada siswa yang tergolong
kedalam kemampuan resiliensi rendah,
berikut grafik penggolongan siswa yang
tergolong kedalam kemampuan resiliensi
sedang dan tinggi.
51

Volume.1 Nomor. 2 Desember 2012

PREDICARA
Grafik 1
Penggolongan resiliensi siswa
berdasarkan aspek-aspek
aspek
resiliensi sedang
Emotion
Regulation

100
80

Impilse
Control

60
40

Optimisme

20
0
Resiliensi Sedang

Causal
Analysis

Grafik 2
Penggolongan resiliensi siswa
berdasarkan aspek-aspek
aspek
resiliensi tinggi
Emotion
Regulation

100
80

Impilse
Control

60
40

Optimisme

20
0
Resiliensi Tinggi

Causal
Analysis

Diskusi
Di dalam penelitian ini, kami melihat
gambaran resiliensi siswa SMA yang
beresiko putus sekolah di masyarakat
pesisir. Hasil penelitian ini menunjukkan
secara umum siswa memiliki kemampuan
kemampu
resiliensi yang tergolong sedang sampai
dengan kemampuan resiliensi yang
tergolong tinggi. Dalam penelitian ini
tidak ada subjek yang memiliki
kemampuan resiliensi yang tergolong
rendah.
Artinya,
mereka
memiliki
resiliensi yang tergolong sedang sampai
tinggi.
inggi. Dengan demikian, penelitian ini
mendemonstrasikan bagaimana resiliensi
yang dimiliki siswa SMA yang beresiko
putus sekolah di masyarakat pesisir
merupakan hal yang sangat penting, agar
siswa mampu mengatasi kesulitan yang

dihadapi
dalam
hidupnya
unt
untuk
melanjutkan pendidikan.
Sesuai dengan penelitian-penelitian
penelitian
sebelumnya, penelitian ini menunjukkan
bagaimana resiliensi dapat bermanfaat bagi
individu yang sedang menghadapi tekanan
dalam menjalani hidupnya (e.g.,
(
Block
dalam Klohnen, 1996; Rutter & Garmezy
dalam Klohnen, 1996; Liquanti, 1992;
Reivich & Shatte, 2002). Secara khusus,
penelitian ini mendukung hasil-hasil
hasil
penelitian sebelumnya tentang bagaimana
resiliensi berperan penting bagi siswa
dalam menghadapi berbagai tantangan
hidup, untuk berhasil
sil di sekolah meskipun
ia berada dalam kondisi yang membuatnya
sulit untuk berhasil (e.g.,
e.g., Bryan, 2005;
Waxman et al., 2003; Morales & Trotman,
2004; Benard, 1991 & Wang et al., 1997
dalam Bryan, 2005; Prasodjo, 2005;
Borman & Rachuba, 2001; Close &
Solberg,
rg, 2007). Namun demikian,
penelitian ini dapat dikatakan cukup unik
karena objek eksplorasi berfokus pada
bagaimana resiliensi yang dimiliki siswa
SMA yang beresiko putus sekolah di
masyarakat pesisir.
Dari
berbagai
permasalahan
kehidupan (Risk
Risk factor)
factor yang ada di
masyarakat pesisir yaitu sebagian besar
merupakan nelayan tradisional dengan
penghasilan pas-pasan, tergolong keluarga
miskin, kondisi keluarga yang kurang baik,
baik
sebagian
ebagian besar penduduknya
penduduk
memiliki
tingkat pendidikan yang rendah dan
kondisi sekolah
ah yang serba kekurangan,
kekurangan
tentunya hal ini berdampak pada
pendidikan yang rendah untuk anakanaknya
sehingga
menyebabkan
banyaknya anak yang beresiko putus
sekolah hingga akhirnya terpaksa putus
sekolah. Hasil dari beberapa penelitian
p
telah menunjukkan bahwa
bah
kegagalan di
sekolah menengah,, terjadi karena siswa
yang berasal dari sosial ekonomi rendah
(Balfanz & Legters, 2004). Selain masalah
kemiskinan, terdapat masalah lain didalam
masyarakat pesisir yaitu antusias terhadap
pendidikan di masyarakat pesisir relatif
masih relatif rendah (Anggraini, 2000).
52

PREDICARA
Pandangan terhadap penting atau tidaknya
pendidikan menjadi penyebab terjadinya
putus sekolah.
Ditengah kemiskinan dan kesulitan
tersebut, tetap ada siswa yang meneruskan
sekolah hingga SMA di masyarakat peisir.
Mereka tetap yakin bahwa mereka mampu
untuk bertahan dan bangkit dari kondisi
tersebut. Hal ini terjadi karena adanya
(Protective factors) yaitu minat, motivasi,
harapan, dan persepsi siswa tentang
sekolah tinggi, lalu persepsi orangtua
tentang pendidikan yang tinggi dan
bantuan dari pihak sekolah. Grotberg
(1995) mengemukakan sumber-sumber
resiliensi, salah satunya adalah I Have. I
Have merupakan dukungan eksternal dan
sumber dalam meningkatkan resiliensi.
Salah satu sumbernya adalah Trusting
relationships yaitu orangtua, anggota
keluarga lainnya, guru, dan teman-teman
yang mengasihi dan menerima anak
tersebut. Dengan adanya hubungan antara
sekolah, keluarga dan komunitas, bisa
menciptakan kesempatan yang baik untuk
menciptakan siswa yang resilien, dengan
seperti itu siswa dapat menghilangkan
stressor, batasan maupun rintangan dalam
mencapai prestasi akademiknya (Bryan,
2005).
Hubungan antara Risk factor dengan
Protektive factor itulah yang menciptakan
resiliensi. Resiliensi adalah kemampuan
siswa untuk mampu bertahan dan tidak
mengalah dalam situasi tertekanan,
sehingga terhindar dari kegagalan di
sekolah dan mampu untuk beradaptasi
terhadap kejadian yang berat atau masalah
yang terjadi dalam kehidupannya. Dengan
adanya resiliensi telah membuat siswa bisa
sekolah dan tetap meneruskan sekolah
hingga SMA. Oleh karena itu sesuai
dengan hasil penelitian ini yang
menunjukkan bahwa secara umum siswa
memiliki kemampuan resiliensi yang
tergolong
sedang
sampai
dengan
kemampuan resiliensi yang tergolong
tinggi dan tidak ada subjek yang memiliki
kemampuan resiliensi yang tergolong
rendah.

Volume.1 Nomor. 2 Desember 2012


Selanjutnya,
kami
menyadari
berbagai kekurangan dari penelitian ini.
Pertama, penelitian ini merupakan
penelitian
yang
bersifat
deskriptif
kuantitatif, di mana kami mengukur
resiliensi siswa SMA yang beresiko putus
sekolah di masyarakat pesisir. Dengan
metodologi seperti ini, kami kurang
memiliki jumlah data statistik yang jelas
tentang jumlah siswa SMA yang beresiko
putus sekolah dan putus sekolah di
masyarakat pesisir, baik secara nasional
dan perdesa-desa sehingga kurang
diperoleh data yang cukup komprehensif.
Dengan demikian, akan sangat menarik di
penelitian selanjutnya untuk melihat
bagaimana resiliensi siswa SMA yang
beresiko putus sekolah di masyarakat
pesisir, apabila datanya lengkap disetiap
daerah pesisir yang ada di Indonesia.
Kedua, pengambilan data dalam
penelitian ini kami menggunakan skala
resiliensi umum (Reivich & Shatte, 2002)
yang telah di adopsi kedalam bahasa
Indonesia, sehingga diperoleh hasil yang
sangat luas mengenai hal-hal yang
berkaitan dengan resiliensi pada siswa
SMA yang beresiko putus sekolah di
masyarakat pesisir. Akan lebih baik lagi
untuk
penelitian
selanjutnya
jika
menggunakan
skala
yang
khusus
menugkur resiliensi akademik. Selain itu
penerjemahan dari bahasa Ingris ke bahasa
Indonesia harus disesuaikan dengan
budaya, situasi, kebiasaan, norma-norma
dan perilaku di negara Indonesia, agar
hasil yang diperoleh sudah lebih terfokus
pada resiliensi akademik siswa SMA yang
beresiko putus sekolah di masyarakat
pesisir di negara Indonesia.
Ketiga,
dalam
penelitian
ini
menggunakan jenis penelitian kuantitatif
deskriptif, sehingga terdapat beberapa data
yang missing yang tidak dapat
diungkapkan dengan menggunakan jenis
ini. Akan sangat menarik untuk penelitian
selanjutnya diharapkan menggunakan jenis
penelitian kualitatif terhadap subjek
penelitian, guna memperoleh gambaran
resiliensi siswa SMA yang beresiko putus
53

PREDICARA
sekolah di masyarakat pesisir yang lebih
komperhensif.
Terakhir, sebagai implikasi praktis,
kami ingin mengajak bagi pihak yang
terkait dan kepada siswa SMA yang
beresiko putus sekolah di masyarakat
pesisir, dengan cara-cara seperti berikut:
1. Pemerintah setempat diharapkan dapat
memberikan bantuan pendidikan yang
besar, agar bisa membantu pihak
sekolah
setempat
untuk
dapat
menerima siswa-siswa SMA di
masyarakat pesisir yang lebih banyak
lagi dan mempertahankan para siswa
agar tidak beresiko putus sekolah.
2. Resiliensi sangat penting bagi
kemajuan
diri
siswa
dibidang
akademik. Dengan adanya resiliensi
maka siswa dapat bertahan dalam
menempuh pendidikannya.
DAFTAR PUSTAKA
Alifianto, A. (2008). Kuliah Kerja Nyata
Wajib Belajar 9 Tahun. [online].
http://www.pewartakabarindonesia.blogspot.com.
Tanggal akses 06 Maret 2011.
Al-Husaini, A. H. (2003). Pendidikan
Anak Menurut Islam (Terjemahan
Abdullah Mahadi), cet.I, Bandung:
Sinar baru Al-Gensiondo.
Anggraini, E. (2000). Menyelamatkan
Generasi
Nelayan.
[online].
www.SuaraKaryaOnline.com.
Tanggal akses 06 Maret 2011.
Audiyahira, J. (2010). 13 Juta Anak
Terancam Putus Sekolah. [online].
http://www.mediaindonesia.com/rea
d/2010/08/04/159874/88/14/13-JutaAnak-Terancam-Putus-Sekolah.
Tanggal akses 25 Maret 2011.
Harahap, A.H. (1981). Bina Remaja.
Medan: Yayasan Bina Pembangunan
Indonesia.
Axford, K., M. (2007). Attachment, Affect
Regulation, and Resilience in
Undergraduate
Students.
Dissertation, Walden University,
hlm. 63.

Volume.1 Nomor. 2 Desember 2012


Azwar, S. (1999). Reliabilitas dan
Validitas.
Yogyakarta:
Pustaka
Pelajar.
_______. (1999). Penyusunan skala
psikologi (edisi 1). Yogyakarta:
Pustaka Pelajar Offset.
_______. (2001). Methodology Research.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
_______. (2005). Penyusunan Skala
Psikologi. Yogyakarta: Pustaka
Belajar.
_______. (2007). Metode Penelitian.
Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Baharuddin, M. (1982). Putus Sekolah dan
Masalah
Penanggulangannya,
Jakarta: Yayasan Kesejahteraan
Keluarga Pemuda 66.
Balfanz, B., Legters, N. (2004). Locating
the dropout crisis: Which high
schools produce the nations
dropouts? Where are they located?
Who attends them?. Center for
Research on the Education of
Students Placed At Risk, Baltimore,
MD: Johns Hopkins University.
Bandura, Albert. (1997). Self Efficacy: The
Exercise of Control. New York:
W.H Freeman and Company.
Benard, B. (1991). Fostering resiliency in
kids: Protective factors in the family,
school, and community. Portland,
OR:
Northwest
Regional
Educational Laboratory. (ERIC
Document Reproduction Service No.
ED335781).
Bobey, Mary. (1999). Resilience : The
ability to Bounce Back from
Adversity. American Academy of
Pediatric.
Available
http://www.crhahealth.ab.ca/clin/wowen102_MarApr
.htm.
Bryan, J. A. (2005). Fostering Educational
Resilience and Achievement in
Urban Schools Through SchoolFamily-Community
Partnerships.
Professional School Counseling. 8:3.
Brown, J. H., D'Emidio-Caston, M., &
Benard, B. (2001). Resilience

54

PREDICARA
education. U.S.; California: Corwin
Press.
Close, W. & Solberg, S. (2007). Predicting
achievement, distress and retention
among lower-income Latino youth.
Journal of Vocational Behavior, 72,
pp. 31-42.
Coulson, R. (2006). Resilience and SelfTalk in University Students. Thesis
University of Calgary, hlm. 5.
Dahuri, R. (2001). Pengelolaan Sumber
Daya Wilayah Pesisir dan Lautan
Secara Terpadu. PT. Pradnya
Paramitha, Jakarta.
Dahuri, R. (2004). Membangun Indonesia
yang Maju, Makmur dan Mandiri
Melalui Pembangunan Maritim.
Makalah disampaikan pada Temu
Nasional Visi dan Misi Maritim
Indonesia dari Sudut Pandang
Politik, Jakarta, 18 Februari 2004.
Daftar Tabel Data Pendidikan Sekolah
Menengah Atas (SMA) Tahun
2009/2010.
Daradjat, Z. (1975). Pendidikan Rumah
Tangga Dalam Pembinaan Mental.
Jakarta: Bulan Bintang.
Davis, N. J. (1999). Subtance Abuse and
Mental
Health
Services
Administration Center for Mental
Health Services Division of Program
Development, Special Populations &
Projects
Special
Programs
Development Branch (301), pp.4432844. Status of Research and
Research-based
Programs.
HYPERLINK.
[online].
http://mentalhealth.samhsa.gov/scho
olviolence/. Tanggal akses 20
Febuari 2011.
Fakhrudin, A. & Yulianto. G. (2008).
Karakteristik
sosial
ekonomi
masyarakat.
Pesisir.[online].
http://coastaleco.wordpress.com/200
8/04/26/karakteristik-sosialekonomimasyarakat-pesisir/.
Tanggal akses 25 Mei 2011.
Farmadi. (2004). Selamatkan Anak-Anak
dari
Putusnya
Pendidikan.
Semarang: Mujahid Press.

Volume.1 Nomor. 2 Desember 2012


Fathul. (2002). Peran Komunitas dalam
Pengasuhan.
[online].
http://ikk.fema.ipb.ac.id/v2/index.ph
p?option=com_content&view=articl
e&id=187%3Aperan-komunitasdalam
pengasuhan&catid=20%3Aterbaru&
Itemid=94&lang=id. Tanggal akses 3
September 2011.
Garmenzy, N. (1991). Resiliency and
vulnerability
to
adverse
developmental outcomes associated
with poverty. American Behavioral
Scientist, 34(4), 416430.
Gordan, E., & Song, L. (1994). Variations
in the experience of educational
resilience. In M. Wang, & E. Gordan
(Eds.), Educational resilience in
inner-City America: Challenges and
prospects (pp. 2743). Hillsdale, NJ:
Lawrence Erlbaum.
Grahacendikia. (2009). Anak Putus
Sekolah dan Cara Pembinaannya.
[online].
http://www.google.co.id/putussekola
h/ReferensiPenelitianSkripsi-Tesis.
Tanggal akses 06 Maret 2011.
Grothberg, E. (1995). A Guide to
Promoting Resilience in Children:
Strengthening the Human Spirit. The
Series
Early
Childhood
Development:
Practice
and
Reflections. Number8. The Hague:
Benard van Leer Voundation.
Hadi, S., (2000). Metodologi research.
Jilid I, II & III. Yogyakarta: Penerbit
Andi.
Hair, J.F., Anderson, R.E., Tatham, R.L.
and
Black,
W.C.
(2006).
Multivariate Data Analysis. Sixth
Edition. Prentice Hall International:
UK.
Hasanuddin, B. (2000). Diundur Hingga
2009, Penuntasan Wajib Belajar
Sembilan
Tahun.
[online].
http://edukasi.kompas.com/read/201
1/03/03/
Diundur-Hingga-2009Penuntasan-Wajib-BelajarSembilan-Tahun. Harian Kompas.

55

PREDICARA
Edisi 3 Maret. Tanggal akses 06
Maret 2011.
Holaday, M. (1997). Resilience and Severe
Burns. Journal of Counseling and
Development.75. 346-357.
Johnson, N. And Wichern, D. (2002).
Applied Multivariate Statistical
Analysis. Prentice-Hall. Englewood
Cliffs. N.J.
Kalyanamitra. (2005). Kuingin Anak
nelayan Pintar. Kompas Cyber
Media.
[online].
www.kalyanamitra.or.id/kalyanamed
ia/2/2/sosok.htm. Tanggal akses 30
Maret 2011.
Kiroyan, J. (2010). 13 Juta Anak
Terancam Putus Sekolah. [online].
http://www.mediaindonesia.com/rea
d/2010/08/04/159874/88/14/13-JutaAnak-Terancam-Putus-Sekolah.
Tanggal akses 30 Maret 2011.
Kitano, M. K., & Lewis, R. B. (2005).
Resilience and coping: Implications
for gifted children and youth at risk.
Roeper Review, 27(4), 200215.
Klohnen, E.C. (1996). Conseptual
Analysis and Measurement of The
Construct of Ego Resilience. Journal
of
Personality
and
Social
Psychology, Volume. 70 No 5, p
1067-1079.
Kurniawan, I., N. & Vita R. (2008).
Pengaruh
Pelatihan
Resiliensi
terhadap Perilaku Asertif pada
Remaja. Jurnal Psikologi Islam, Vol.
5, Nomor 1, hlm. 93-105. ada,
berorientasi pada tujuan, pencarian
dukungan dari orang lain, rasa
humor (sense of humor) dan efikasi
diri (self-efficacy).
Kusnadi. (2003). Akar Kemiskinan
Nelayan, LkiS, Yogyakarta.
Latief. (2009). Siswa SD Putus Sekolah.
[online].
http://edukasi.kompas.com/read/201
1/03/04/10323346/527.850.Siswa.S
D.Putus.Sekolah. Tanggal akses 06
Maret 2011.

Volume.1 Nomor. 2 Desember 2012


Liquanti, R. (1992). Using Communitywide Collaboration to Foster
Resiliency in Kids: A Conceptual
Framework
Western
Regional
Center For Drugs-Free School and
Communities. Far West Laboratory
fo Educational Research and
Development.
San
Fransisco.
[online].
http://www.ncrel.org/sdrs/cityschool/
citu11bhtm. Tanggal akses 20
Febuari 2011.
Lusiana. (2010). Faktor-Faktor Sosial
Ekonomi
Yang
Berpengaruh
Terhadap Motivasi Anak Nelayan
Untuk
Sekolah.
[online].
http://repository.usu.ac.id/bitstream/
123456789/17858/7/Cover.pdf.
Tanggal akses 25 April 2011.
Mendiola, J. J. (2006) . A Case of
Resilience at a Local Bay Area
School:
Defying
the
Odds.
International
Comparative
Education. School of Education.
Stanford University.
McCubbin, L. (2001). Chalange to The
Definition of Resilience. Paper
presented at The Annual Meeting of
The
American
Psychological
Association in San Francisco, 24-28
Agustus 2001, hlm. 9.
Morales, E. E. (2008). Exceptional Female
Students of Color: Academic
Resilience and Gender in Higher
Education.
Innovative
Higher
Education. 33:197213.
Morales, E. E., & Trotman, F. (2004).
Promoting academic resilience in
multicultural America: Factors
affecting student success. New York,
NY: Peter Lang.
Mubyarto. (1989). Pengantar Ekonomi
Pertanian. Jakarta: LP3S.
Muhadjirin. (2009). Sosiologi Pedesaan
Masyarakat Pesisiran. [online].
http://staff.undip.ac.id/sastra/mudjah
irin/2010/07/30/masyarakat-pesisir/ .
Tanggal akses 25 April 2011.
Mulyadi, S. (2005). Ekonomi Kelautan.
Jakarta: Rajawali Pers.
56

PREDICARA
Nata, A. (2003). Mengatasi Kelemahan
Pendidikan Islam di Indonesia, ed. 1,
cet. 1, Jakarta: Kencana.
Nikijuluw,
V.P.H.
(2001).
Rezim
pengelolaan sumberdaya perikanan.
Jakarta:
Kerja
Sama
Pusat
Pemberdayaan dan Pembangunan
Regional (P3R) dengan PT Pustaka
Cidesindo.
Nusajaya. (2011). 3.000 Anak Nelayan
Putus
Sekolah.
[online].
http://nusajaya72.com/tag/penyebabputus-sekolah/. Tanggal akses 30
Maret 2011.
Pengemanan, A.P. (2002). Sumber daya
Manusia
(SDM)
Masyarakat
Nelayan.
[online].
http://tumoutou.net/702_05123/grou
p_a_123.htm. Tanggal akses 30
Maret 2011.
Prasodjo, I. (2005). Remaja berdamai
dengan kekerasan dan kriminalitas.
[online]. www.tempointeraktif.co.id.
Tanggal akses 06 Maret 2011.
Reivich, K & Shatte, A. (2002). The
Resilience Factor; 7 Essential Skill
For Overcoming Lifes Inevitable
Obstacle. New York, Broadway
Books.
Riley, J., R., & Masten, A. S. (2005).
Resilience in Context. Dalam Peters
dkk., Resilience in Children,
Families and Community: Linking
Context to Practice and Policy.
Plenum Publisher, New York, hlm.
16.
Roberts, K., A. (2007). Self-Efficacy, SelfConcept, and Social Competence as
Resources Supporting Resilience and
Psychological Well-Being in Young
Adults Reared within The Military
Community. Dissertation, Fielding
Graduate University, hlm. 18.
Rudkin,
J.K.
(2003).
Community
Psychology: Guiding Principles and
Orienting Concepts. New Jersey:
Prentice Hall.
Santrock, Jhon, W. (2003). Life-Span
development: Perkembangan Masa
Hidup Jilid 2. Jakarta: Erlangga.

Volume.1 Nomor. 2 Desember 2012


Schoon, I. (2006). Risk and Resilience:
Adaptation in Changing Times.
Cambridge University Press, New
York, hlm. 8.
Sharma, S. (1996). Applied Multivariate
Techniques. New-York: John Wiley
& Sons, Inc.
Singgih D.G dan Ny. Y. Singgih D. G.
(1985) Psikologi Remaja, Jakarta:
Gunung Mulia.
Sudarso. (2005). Tekanan Kemiskinan
Struktural
Komunitas
Nelayan
Tradisonal di Perkotaan. Universitas
Airlangga.
Suhana. (2006). Krisis Sumberdaya
Manusia Nelayan (Memperingati
Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei
2006).
[online].
http://ocean.iuplog.com.
Tanggal
akses 02 Maret 2011.
Sulistyowati,
L.
(2003).
Analisis
Kebijakan
Pemberdayaan
Masyarakat Dalam Pengelolaan
Sumber
Daya
Alam
Gugus
Kepulauan.
[online].
http://tumoutou.net/702_07134/vend
a_i_pical.htm. Tanggal akses 8
Maret 2011.
Surachmad, W. (1977). Dasar-dasar Ilmu
Pendidikan. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kesehatan.
Tilaar, H.A.R. (2000). Paradigma Baru
Pendidikan
Nasional.
Jakarta:
Rineka Cipta.
Vembriarto. (1975) Pendidikan Sosial.
Jilid II. Yogyakarta: Paramita.
Wang, M. C., Haertel, G.D., & Walberg,
H. J. (1997). Fostering educational
resilience in inner-city schools.
Children and Youth, 7, 119140.
Waxman, H. C., Gray, J.P., & Padron, Y.
N. (2003). Review of Research on
Educational Resilience (p.1). CA:
Center for Research on Education,
Diversity & Excellence.
Winengan. (2007). Masalah Sosial
Masyarakat
Pesisir.
[online].
http://perikananhangtuah.blogspot.com/2011/02/mas

57

PREDICARA

Volume.1 Nomor. 2 Desember 2012

alah-sosial-masyarakat-pesisir.html.
Tanggal akses 14 November 2011.
Werner, Emmy, E. (2005). Resilience
Research: Past, Present, and Future.
Dalam Peters dkk., Resilience in
Children, Families and Community:
Linking Context to Practice and
Policy. Plenum Publisher, New
York, hlm. 5.

58

You might also like