You are on page 1of 7

Oseanografi, Lingkungan Laut

9/6/2011
Edit terakhir: 9 Nop 2006

5. LINGKUNGAN LAUT
5.1. PENDAHULUAN
Kehidupan di lingkungan laut sangat bervariasi. Tumbuhan dan hewan hadir dalam berbagai
ukuran, bentuk, warna, dan cara hidup. Berbagai kelompok hewan dan tumbuhan tampak hadir dalam
jumlah yang berbeda-beda, baik dalam hal jumlah jenis atau spesiesnya, jumlah individu, maupun
luas areal penyebarannya.
Penelitian dasar oleh ilmuwan tentang biologi laut ditekankan pada bagaimana hewan dan
tumbuhan berinteraksi satu sama lain dan lingkungan tempat hidupnya. Pengetahuan tentang
lingkungan ini meliputi pengetahuan detil tentang sifat kimia air laut yang penting bagi kehidupan di
laut, dan pemahaman tentang proses-proses biologi yang mendasar. Sementara itu, penelitian terapan
difokuskan terutama pada efek dan bagaimana mendeteksi polusi yang terjadi di laut, dan bagaimana
meningkatkan produksi makanan dari laut serta obat-obatan (Ross, 1977).
Di dalam bab ini uraian akan difokuskan pada laut sebagai lingkungan yang mendukung
kehidupan di laut. Adapun hal tentang tumbuhan dan hewan di laut, polusi dan sumberdaya hayati laut
akan iuraikan di dalam bab-bab mendatang.

5.2. LAUT SEBAGAI LINGKUNGAN BIOLOGIS


Organisme laut secara terus menerus berhubungan langsung dengan air laut. Dengan
demikian, kondisi fisika dan kimia air laut akan dengan cepat mengenai organisme itu. Suatu hal yang
menguntungkan adalah karakter fisika dan kimia air laut cenderung relatif stabil, dan organisme laut
tidak dihadapkan pada perubahan kondisi lingkungan yang mendadak sebagaimana dialami oleh
organisme yang hidup di darat. Organisme laut dipengaruhi secara langsung oleh sifat kimia laut,
karena organisme laut itu mendapatkan berbagai unsur kimia untuk proses kehidupannya dari air laut.
Berikut ini diuraikan beberapa sifat fisika dan kimia air laut yang penting bagi kehidupan laut.

5.2.1. Sifat-sifat Air Laut Yang Penting Secara Biologis


Beberapa sifat air laut yang penting bagi kehidupan tumbuhan dan hewan di laut adalah
sebagai berikut:
1). Kemampuan melarutkan (sebagai pelarut). Air laut dapat melarutkan dan membawa banyak
material untuk memenuhi kebutuhan berbagai mineral dan gas yang dibutuhkan bagi
kehidupan organisme laut.
2). Densitas (pendukung kehidupan). Air laut itu sendiri memberikan dukungan bagi banyak
organisme, dan sampai pada tingkat tertentu menghilangkan kebutuhan akan struktur rangka
tubuh. Sebagai cotoh: ubur-ubur dan berbagai hewan kecil dapat mengapung di laut, dan laut
dapat mendukung kehidupan ikan paus yang sangat besar.
3). Sebagai larutan penyangga (buffer). Sifat ini membuat air laut tetap netral dan melawan
perubahan untuk menjadi lebih asam ataupun lebih basa atau alkalin. Air laut bersifat sedikit
alkalin dengan pH 7,5 8,4. Sifat alkalin ini diperlukan oleh organisme untuk membentuk
cangkang dari kalsium karbonat (CaCO3). Bila air laut bersifat asam, maka karbonat akan
larut. Keuntungan lain adalah, dalam kondisi buffer, barbon dalam bentuk CO2 dapat hadir
dalam jumlah besar di dalam air laut dengan tidak merubah pH. Karbon diperlukan oleh
tumbuhan untuk memproduksi material organik.
4). Transparansi. Air laut yang transparan membuat sinar dapat menembus air laut sampai
kedalaman yang besar. Sinar dibutuhkan dalam proses fotosintesis. Dengan demikian, proses
fotosintesis tidak hanya terjadi pada kedalaman beberapa meter dari permukaan laut,
melainkan dapat mencapai kedalaman sampai 200 meter, tergantung pada tingkat kejernihan
air.
5). Kapasitas panas dan panas laten penguapan yang tinggi. Kedua sifat ini mencegah
terjadinya perubahan temperatur air laut yang cepat, yang membahayakan kehidupan laut.
6). Mengandung banyak unsur kimia. Unsur kimia yang ada di dalam air laut sangat penting
Page 1 of 7

Oseanografi, Lingkungan Laut


9/6/2011
Edit terakhir: 9 Nop 2006

bagi kehidupan organisme laut. Rasio beberapa unsur itu di dalam air laut sama dengan yang
dikandung oleh cairan tubuh dari sebagian besar organisme laut. Kesamaan antara medium
luar (air laut) dan medium dalam (cairan tubuh) sangat penting bagi proses osmosis.
Organisme laut harus melawan tekanan osmosis untuk mempertahankan komposisi cairan
dalam tubuhnya. Di lingkungan laut, ada kesamaan antara cairan tubuh dengan medium luar,
sehingga hanya sedikit tekanan osmosis yang terjadi. Keadaan ini berarti hanya sedikit energi
yang dibutuhkan untuk mempertahankan cairan tubuh, dan banyak energi yang dapat dipakai
untuk pertumbuhan.

5.2.2. Karakter Umum Samudera Sebagai Lingkungan Biologis


Beberapa kondisi parameter lingkungan air laut yang mempengaruhi kehidupan organisme
laut adalah:
1). Temperatur berkisar dari -2oC sampai 40oC. Di samudera, banyak kawasan yang sangat
luas memiliki kisaran temperatur yang seragam.
2). Salinitas berkisar dari mendekati nol di estuari dan dekat pantai sampai sekitar 4 di Laut
Merah. Meskipun demikian, di permukaan samudera terbuka, salinitas air laut sangat konstan
berkisar antara 3,3 3,7. Di air yang lebih dalam, salinitas lebih seragam dengan kisaran
normal 3,46 3,5.
3). Kedalaman laut berkisar dari nol meter sampai mencapai ribuan meter meter di palung
atau cekungan samudera.
4). Tekanan berkisar dari 1 atm di permukaan laut sampai lebih dari 1000 atm di perairan yang
sangat dalam. Dari permukaan, tekanan air laut bertambah 1 atm untuk setiap turun 10 meter
kedalaman.
5). Penetrasi cahaya dapat mencapai 1000 meter.
6). Oksigen terlarut berkisar dari lingkungan yang aerob sampai anaerob.
7). Sirkulasi. Sirkulasi air laut sangat penting secara biologis, antara lain karena: (1) membawa
oksigen dari permukaan laut ke bagian-bagian laut yang dalam, (2) membawa nutrien dari air
yang dalam ke permukaan laut, sehingga dapat dipergunakan oleh tumbuhan, dan (3) sebagai
mekanisme penyebaran bahan buangan (waste products), telur-telur, larva-larva atau individu
dewasa dari berbagai kehidupan laut.
Semua parameter-parameter lingkungan itu membuat di laut terdapat berbagai variasi kondisi
lingkungan hidup organisme, yang disetiap lingkungan itu dihuni oleh organisme yang spesifik.
Berikut ini akan diuraikan tentang pembagian dari lingkungan laut dan karakter umumnya.

5.3. KLASIFIKASI LINGKUNGAN LAUT


Berasarkan pada dua komponen utamanya, yaitu bumi sebagai wadah dan massa air sebagai
sesuatu yang diwadahi, lingkungan laut dapat dibedakan menjadi dua lingkungan utama, yaitu: (1)
lingkungan bentik (benthic), yang mengacu kepada dasar samudera atau dasar laut, dan (2)
lingkungan pelagis (pelagic), yang mengacu kepada massa air laut. Kedua kelompok utama
lingkungan laut itu meliputi dasar laut dan perairan dengan kisaran kedalaman yang sangat besar,
mulai dari nol meter di tepi laut sampai kedalaman ribuan meter di daerah palung. Oleh karena itu,
kedua lingkungan itu dibedakan lagi menjadi beberapa zona lingkungan berdasarkan beberapa
parameter lingkungan laut. Beberapa penulis seperti Hedgpeth, 1957 vide Nybaken, 1993, Ross,
1977, Ingmanson dan Wallace, 1985, dan Webber dan Thurman, 1991, telah membagi-bagi
lingkungan laut menjadi berapa zona. Dasar yang dipakai untuk menentukan batas-batas dari setiap
zona lingkungan itu adalah salinitas, kedalaman air, kedalaman penetrasi cahaya, dan temperatur air.
Kriteria yang paling umum dipakai adalah kedalaman air. Beberapa skema zonasi pernah diajukan dan
direview oleh Menzies at al. (1973 vide Nybakken, 1991). Tidak skema zonasi tunggal yang diterima
secara universal. Sebab utamanya adalah karena kurangnya informasi tentang ekologi. Zonasi
lingkungan laut yang dipakai disini adalah seperti pada Gambar 5.1, dan Tabel 5.1.

Page 2 of 7

Oseanografi, Lingkungan Laut


9/6/2011
Edit terakhir: 9 Nop 2006

Gambar 5.1. Zonasi lingkungan laut. Dikutip dari Webber dan Thorman (1991) dengan
modifikasi.
Tabel 5.1.A. Zonasi lingkungan laut dangkal.
Cahaya Zona Pelagis Kisaran Kedalaman (m)

Zona Bentik
Kisaran Kedalaman (m)
Supralitoral
Di atas pasang tinggi
Litoral
Pasang tinggi surut rendah
Eufotik
Inner
Surut rendah (0 ) - 50
Neritik
0 - 200
Sublitoral
Outer
50 (?) - 200
Sumber: Kompilasi dari Ross (1977), Ingmanson dan Wallace (1985), dan Webber dan Thurman (1991).
Tabel 5.1. B. Zonasi lingkungan laut dalam.
Cahaya
Zona Pelagis
Kisaran Kedalaman (m)
Zona Bentik
Eufotik (99%)
Epipelagis
0 200
Sublitoral
Disfotik (1%)
Mesopelagis
200 1000 (?)
Batial
Batipelagis
1000 (?) 4000 (?)
Afotik (0%)
Abisalpelagis
4000 (?) - 6000
Abisal
Hadalpelagis
> 6000
Hadal
Catatan: (?) = batas tidak tentu.
Sumber: Hedgpeth (1957 vide Nybakken, 1993) dengan modifikasi.

Kisaran kedalaman (m)


0 200
200 4000 (?)
4000 (?) 6000
> 6000

Berdasarkan pada posisinya terhadap konfigurasi benua dan samudera, lingkungan pelagis
dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: (1) lingkungan neritik (neritic)atau sistem neritik, yaitu yang
mengacu kepada air laut dangkal yang menutupi paparan benua; kedalamannya mencapai 200 meter,
dan (2) lingkungan oseanik (oceanic) atau sistem oseanik, yaitu yang mengacu kepada air laut dalam
yang menutupi lereng benua sampai cekungan samudera; kedalamannya lebih dari 200 meter.
Lingkungan oseanik dibedakan menjadi lima zona lingkungan, yaitu: (1) epipelagis
Page 3 of 7

Oseanografi, Lingkungan Laut


9/6/2011
Edit terakhir: 9 Nop 2006

(epipelagic) dari permukaan laut sampai kedalaman 200 meter, (2) mesopelagis (mesopelagic)
dari 200 sampai 700-1000 meter, (3) batipelagis (bathypelagic) dari 700-1000 sampai 2000-4000
meter, (4) abisalpelagis (abyssalpelagic) dari 2000-4000 sampai 6000 meter, dan hadalpelagis
(hadalpelagic) kedalaman lebih dari 6000 meter. Sementara itu, berdasarkan pada penetrasi sinar
matahari, lingkungan pelagis dapat dibedakan menjadi tiga zona, yaitu: (1) eufotik (euphotic)
mulai dari permukan laut sampai batas kedalaman dimana 99% sinar matahari diserap; mencakup
kedalaman sampai 200 meter atau sebanding dengan zona neritik atau epipelagis, (2) disfotik
(dysphotic) dari batas bawah zona eufotik sampai kegelapan total; kedalaman dari 200 1000 meter
atau sebanding dengan zona mesopelagis, dan (3) afotik (aphotic) zona tidak ada sama sekali
cahaya yang menembus; mencakup zona batipelagis, abisal pelagis, dan hadal. Kedalaman 1000 meter
yang menjadi awal dari zona afotik adalah batas dari deep scattering layer (DSL), yaitu suatu zona
penghamburan suara (sound scatter) di dalam jalur gelombang yang sempit. DSL bergerak naik ke
permukaan di malam hari dan turun di siang hari. Fenomena DSL ini berkaitan dengan aktivitas
hewan laut (Ingmanson dan Wallace, 1985). Hewan-hewan laut yang yang ada di dalam jalur itu
berkisar dari hewan-hewan mikriskopis zooplankton sampai copepoda, udang, ikan dan cumi-cumi.
Sementara itu, lingkungan bentik dengan dasar yang sama seperti pelagis, dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu: (1) lingkungan litoral (littoral) atau sistem litoral, yaitu dasar laut yang berupa
paparan benua; kedalaman mencapai 200 meter, dan (2) lingkungan laut dalam (deep sea) atau sistem
laut dalam, yaitu dasar laut mulai dari lereng benua sampai cekungan samudera; kedalaman air lebih
dari 200 meter.
Selanjutnya, berdasarkan pada kedalaman air, lingkungan litoral dapat dibedakan menjadi
tiga, yaitu: (1) supralitoral (supralittoral) dasar laut di atas pasang tinggi, (2) eulitoral (eulittoral)
mulai dari dasar laut batas pasang tinggi sampai surut rendah, dan (3) sublitoral (sublittoral) mulai
dari dasar laut surut rendah sampai dengan kedalaman 200 meter. Pembagian ini umum diterima oleh
ilmuwan. Webber dan Thurman (1991), lingkungan sublitoral dapat dibedakan menjadi dua, yaitu (1)
inner sublittoral kedalaman dari surut rendah (0 meter) sampai kedalaman 50 meter yang
merupakan batas tumbuhan yang menempel dapat tumbuh dan berfotosintesis, dan (2) outer
sublittoral kedalaman dari 50 meter sampai 200 meter. Ross (1977) menetapkan batas zona eulitoral
ke arah laut sampai kedalaman 40 60 meter, yang merupakan batas tumbuhan yang menempel dapat
tumbuh dan berfotosintesis. Batas dari Ross itu identik dengan batas sisi laut dari zona inner
sublittoral dari Webber dan Thurman (1991). Sedang zona sublitoral dari Ross (1977) identik dengan
zona outer sublittoral dari Webber dan Thurman (1991).
Lingkungan laut dalam berdasarkan kedalaman air, dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu:
(1) batial (bathyal) kedalaman dari 200 sampai 2000-4000 meter, (2) abisal (abyssal) kedalaman
dari 2000-4000 sampai 6000 meter, dan (3) hadal (hadal) kedalaman > 6000 meter.
Batas kedalaman pembagian zona lingkungan bentik batial dan abisal, bertepatan dengan
batas kedalaman antara lingkungan pelagis batipelagis dan abisalpelagis. Lingkungan Menurut
Ingmanson dan Wallace (1985), batas antara batial dan abisal ditentukan pada kedalaman 2000 meter
dengan anggapan bahwa sebagian besar lantai samudera terletak di kedalaman dari 2000 sampai 6000
meter. Ross (1977) juga menempatkan batas antara batial dan abisal pada kedalaman 2000 meter,
meskipun tanpa penjelasan. Di pihak lain, beberapa buku teks Biologi Laut menempatkan batas itu
pada kedalaman 4000 meter (seperti Weber dan Thurman, 1991; McConnaughey, 1974). Sementara
itu, Hedgpeth (1957 vide Nybakken, 1993), dengan mempertimbangkan parameter temperatur
menempatkan batas antara batipalagis abisalpelagis pada kisaran kedalaman dari 2000 sampai
4000 meter, yaitu bertepatan pada kedalaman dengan temperatur 4oC. Selain itu, ia juga
menempatkan batas antara mesopelagis batipelagis pada kisaran kedalaman dari 700 sampai 1000
meter, yaitu pada kedalaman dengan temperatur 10oC.
Berikut ini akan diberikan uraian lebih lanjut tentang karakteristik dari berbagai zona
lingkungan laut tersebut di atas.

Page 4 of 7

Oseanografi, Lingkungan Laut


9/6/2011
Edit terakhir: 9 Nop 2006

5.4. KARAKTERISTIK LINGKUNGAN LAUT


5.3.1. Lingkungan Bentik
5.4.1.1. Lingkungan Suparlitoral
Lingkungan supralitoral berada di atas pasang tinggi. Lingkungan ini lebih banyak tersingkap
ke udara, dan hanya akan tergenang pada saat air laut mengalami pasang tertinggi. Sehari-harinya,
lingkungan ini basah oleh air laut oleh cipratan air dari gelombang yang pecah di pantai atau bila
terjadi badai.
Kondisi permukaan lingkungan ini sangat kasar. Organisme yang hidup di lingkungan ini
hampir terus menerus tersingkap ke udara, dan hanya basah bila terjadi air laut pasang tertinggi,
cipratan air dari gelombang yang pecah di pantai atau bila terjadi badai. Hewan yang hidup di
lingkungan ini, sama di seluruh dunia.

5.4.1.2. Lingkungan Eulitoral


Umum diterima bahwa lingkungan eulitoral, sering juga disebut litoral, meliputi daerah yang
secara periodik tersingkap ke udara pada waktu laut surut (daerah pasang surut atau intertidal). Lebar
daerah pasang surut (intertidal) tergantung pada kisaran tinggi pasang surut dan kemiringan lereng
dasar laut. Hewan yang hidup di daerah ini adalah hewan yang sanggup bertahan terhadap pukulan
gelombang. Ross (1977) menarik batas sisi laut lingkungan ini sampai daerah dengan kedalaman 40
sampai 60 meter. Batas sisi laut dari lingkungan ini adalah sampai kedalaman dimana sebagian besar
tumbuhan yang menempel masih dapat tumbuh dan mendapatkan cukup cahaya untuk fotosintesis.
Hewan dan tumbuhan di kawasan ini sangat banyak dan bervariasi. Selain itu, kawasan ini
juga sangat baik untuk mempelajari kondisi lingkungan biologi laut, karena kondisi lingkungan ini
dapat diamati secara langsung dengan cara menyelam.

5.4.1.3. Lingkungan Sublitoral


Lingkungan sublitoral mencakup daerah dengan kedalaman 200. Menurut Ross (1977) batas
sisi laut lingkungan ini bahkan sampai 400 meter. Batas ini didasarkan pada kedalaman maksimum
dimana algae (tumbuhan) dapat hidup,. Batas bawah lingkungan ini umumnya bertepatan dengan
batas bawah zona eufotik. Selain itu batas sisi laut dari lingkungan ini bertepatan dengan tepi paparan
benua.
Faktor lingkungan yang penting adalah cahaya dan temperatur. Selain itu, faktor lain yang
kadang-kadang juga penting adalah kondisi geologi dasar perairan, gelombang, dan arus. Beberapa
hal yang penting yang perlu dicatat dari lingkungan ini adalah bahwa di lingkungan ini terbentuk
delta-delta, terumbu karang, atau alur-alur bawah laut (submarine canyon).
Pada rentangan dari lingkungan eulitoral sampai sublitoral, terdapat penurunan kehidupan
tumbuhan dan peningkatan kehidupan hewan laut. Adanya berbagai jenis hewan yang bernilai
ekonomis itu menyebabkan kawasan sublitoral yang sangat ekstensif dieksploitasi oleh para nelayan
komersil.

5.4.1.4. Lingkungan Laut Dalam


Lingkungan laut dalam yang meliputi lingkungan batial, abisal, dan hadal, kosong dari
kehidupan tingkat tinggi, tetapi bakteri dapat hidup di lingkungan yang dalam ini.
Kondisi oseanografi di lingkungan laut dalam ini seragam. Temperatur turun perlahan sesuai
dengan kedalaman, salinitas relatif konstan, dan tekanan meningkat 1 atm setiap turun dengan
kedalaman 10 meter. Organisme yang hidup di dalam lingkungan ini sebagian besar tersusun oleh air.
Oleh karena itu, tekanan tidak mempengaruhi proses kehidupan hewan laut dalam.
Kondisi oseanografi yang seragam di dalam lingkungan ini menunjukkan bahwa musim
musim memiliki pengaruh yang kecil terhadap berbagai fenomena kehidupan, seperti musim
berkembang biak, yang di perairan dangkal dipengaruhi oleh musim.
Page 5 of 7

Oseanografi, Lingkungan Laut


9/6/2011
Edit terakhir: 9 Nop 2006

Makanan di lingkungan laut dalam tidak sebanyak di lingkungan litoral. Hewan-hewan laut
dalam diperkirakan mendapat makanan dari material organik yang jatuh dari perairan dekat
permukaan ke dasar samudera.
Zona hadal meliputi daerah palung laut dalam, temperatur mencapai <1oC, dan tekanan
mencapai 600 atm. Jumlah hewan di daerah ini kira-kira sepersepuluh kehidupan di zona abisal.

5.4.2. Lingkungan Pelagis


5.4.2.1. Lingkungan Neritik
Lingkungan neritik pelagis umumnya memperlihatkan kondisi keanekaragaman yang tinggi
bila di lingkungan itu terdapat air tawar yang masuk dari aliran sungai. Organisme yang hidup di
lingkungan ini dengan demikian harus bertahan hidup dalam kisaran salinitas yang lebar.
Nutrien yang masuk ke dalam lingkungan ini berasal dari laut dalam yang masuk melalui
mekanisme upwelling yang terjadi karena angin di daerah pesisir, dan dari daratan yang masuk
melalui aliran sungai. Banyak ikan dan berbagai tipe makanan dari laut diambil dari daerah ini.

5.4.2.2. Lingkungan Oseanik


Telah disebutkan di depan bahwa lingkungan oseanik dibedakan menjadi zona eufotik,
dysfotik, dan afotik. Berdasarkan kedalamannya dari permukaan laut, lingkungan eufotik oseanik
setara dengan lingkungan neritik. Meskipun demikian, terdapat perbedaan kondisi lingkungan
diantara keduanya yang disebabkan oleh perbedaan kedekatan fisiknya dengan daratan. Berbeda
dengan lingkungan neritik, salinitas di lingkungan eufotik oseanik relatif konstan, temperatur turun
sesuai kedalaman dan perubahan temperatur terbesar terjadi pada kedalaman sekitar 100 meter di
daerah termoklin. Temperatur air permukaan bervariasi sesuai dengan posisi lintang. Nutrien biasanya
rendah di perairan permukaan dan meningkat sesuai dengan kedalaman. Secara biologis, zona eufotik
oseanik memiliki produktifitas rendah dibandingkan zona neritik.
Zona disfotik adalah zona dengan penetrasi sinar matahari kurang dari 1%. Hanya sedikit
sinar biru yang masuk ke dalam zona ini. Batas bawah zona ini adalah daerah dengan oksigen
minimum dan sinar matahari nol persen. Di dalam zona ini bakteri mengurai fitoplankton dan
zooplankton yang mati dan tenggelan ke dalam zona ini dari zona eufotik. Pengurai itu menghasilkan
nutrien. Nutrien tersebut kemudian dibawa kembali ke dalam zona eufotik dengan mekanisme
upwelling. Deep scattering layer (DSL) terdapat di dalam zona ini dengan ketebalan 50 sampai 200
meter. DSL bergerak ke arah permukaan pada malam hari dan turun lagi pada pagi hari, dan juga
bergerak sedikit naik turun bila ada awan lewat di atasnya. Fenomena naik turunnya DSL terjadi
karena hewan-hewan laut yang ada di dalam DSL naik ke atas untuk memakan plankton di malam
hari dan kembali ke kedalaman di siang hari untuk menghindari predator (Ingmanson dan Wallace,
1985).
Zona afotik adalah zona bertemperatur sangat rendah, tekanan sangat tinggi, dan tanpa sinar.
Zona ini meliputi zona batipelagis, abisalpelagis, dan hadal. Zona abisalpelagis adalah satu dari
beberapa unit ekologi terbesar di dunia, karena tiga per empat dari volume total samudera terletak di
dalam zona ini. Di dalam zona ini, densitas air naik sesuai dengan pertambahan kedalaman, dan
stratifikasi air laut terjadi karena densitas. Sementara itu, temperatur turun dengan bertambahnya
kedalaman. Temperatur di dasar laut sekitar 1,6oC.

5.5. LINGKUNGAN KHUSUS


5.5.1. Lingkungan Hidrotermal Laut Dalam
Lingkungan ekosistem lubang hidrotermal laut dalam (deep-sea hydrothermal-vent
ecosystem) pertama kali ditemukan pada tahun 1977 ketika kapal selam Alvin dipakai untuk
mempelajari lubang hidrotermal di Galapagos Rift di lingkungan laut dalam dengan kedalaman 2,5
km (Igmanson dan Wallace, 1985). Lingkungan ini sangat kaya secara biologis. Temperatur di dekat
lubang mencapai 400oC, tekanan tinggi, dan air bersifat asam dengan pH mencapai 2,8. Perairan
banyak mengandung methan dan sulfur.
Page 6 of 7

Oseanografi, Lingkungan Laut


9/6/2011
Edit terakhir: 9 Nop 2006

Secara biologis, lingkungan ini sangat produktif, tetapi produser primer fotosintesis tidak
ditemui. Produktifitas yang tinggi terjadi karena aktifitas bakteri autotrophic (chemosynthetic).
Bakteri tersebut mengoksidasi hidrogen sulfida menjadi sulfur dan menggunakan energi kimia untuk
mensintesa protein, karbohidarat dan lemak.

5.5.2. Estuari
Estuari atau mulut sungai adalah lingkungan transisi di antara sungai dan laut. Kondisi fisik
lingkungan ini, seperti bentuk, panjang, lebar dan dalamnya, sangat ditentukan oleh sejarah geologi
estuari tersebut. Secara fisik, konfigurasi lingkungan estuari menyerupai sebuah teluk.
Di dalam estuari terjadi pertemuan antara air tawar dari aliran sungai dan air laut. Fenomena
itu membuat salinitas air di dalam estuari sangat bervariasi, mulai dari salinitas air laut sampai kurang
dari 5% di tempat masuknya air sungai. Pola penyebaran salinitas di dalam estuari sangat rumit. Hal
itu karena dalam estuari terjadi pola arus yang sangat kompleks sebagai hasil dari interaksi antara
pasang surut, aliran air sungai, rembesan air tawar, dan efek Coriolis.
Nutrien banyak masuk ke dalam estuari dari daratan melalui aliran sungai. Suplai nutrien
yang banyak dan ditambah sinar matahari membuat lingkungan estuari sangat subur.

DAFTAR PUSTAKA
Ingmanson, D. E. and Wallace, W. J., 1985. Oceanography: an introduction, 3rd ed., Wadsworth
Publishing Company, Belmont, California, 530 p.
McConnaughey, B. H., 1974. Introduction to Marine Biology, 2nd ed., The C.V. Mosby Company,
Saint Louis, 544 p.
Nybakken, J. W., 1993. Marine Biology: an ecological approach, 3rd ed., HarperCollins College
Publisher, New York, 462 p.
Ross, D. A., 1977. Introduction to Oceanography, Prentice-Hall, Inc. Englewood Cliffs, New
Jersey, 437 p.
Weber, H. H. and Thruman, H. V., 1991. Marine Biology, 2nd ed., HarperCollins Publisher Inc., New
York, 424 p.

Page 7 of 7

You might also like